Rabu, 28 Juli 2021

Bukan Fairy Tale

 

Dulu aku menutup telingaku rapat-rapat kalau harus mendengar hal-hal tentang pernikahan, memilih menghindar dari topik itu ketika terlibat obrolan dengan teman-temanku, kalian yang dulu pernah mengajakku membahas hal itu mungkin mengerti. Aku lebih sering mengalihkan ke topik yang lain, atau justru tidak menanggapi. Maaf untuk skeptisku itu. Aku punya alasan tapi kamu tidak perlu tahu kenapa.

Sekarang, biar kubayar skeptisku yang dulu dengan tulisan ini, ya.

“Wedding dream kamu?” hal-hal semacam itu, aku hampir tidak punya jawabannya.

“Menikah itu apa sih? Kenapa orang-orang harus menikah? Harus berpasangan? Berkeluarga?”

Pertanyaan yang sering kulontarkan untuk diriku sendiri. Kalau jawabannya karena “ibadah”, aku tidak bisa lebih setuju dari itu, tetapi adakah jawaban lain yang lebih terdengar manusiawi? Jawaban yang menunjukkan sisi humanisme seseorang kenapa mereka harus mengikat komitmen mereka pada pernikahan? Yang lebih jujur karena keinginan diri mereka sendiri? Bukan karena tuntutan? Bukan soal batas usia? Bukan karena paksaan? Lebih karena mereka menemukan sebuah tujuan untuk hidupnya, untuk dunianya, dan kalau mereka percaya tentang kehidupan setelah di dunia, itu berarti juga untuk akhiratnya. Untuk apa saja yang membuat kita memanusiakan diri kita sendiri, bukan demi memenuhi banyak ekspektasi.

Karena kupikir, saat seseorang sudah menemukan alasan yang dia butuhkan untuk dirinya sendiri, saat mereka sudah selesai mencari jawaban itu untuk dirinya,mereka akan menemukan waktunya. Tolok ukur itu tidak bisa dipukul rata ke semua orang, karena kebutuhan setiap orang berbeda-beda, bukan? Juga waktunya tidak akan sama.

Jadi, tolong berhenti menanyakan sesuatu kepada seseorang yang belum menemukan alasan itu untuk dirinya sendiri. Kepada seseorang yang bahkan tidak tahu kapan dia akan selesai dengan dirinya.

Lagipula, Kawan, apakah kamu percaya negeri dongeng?

Fairytale itu bohong, Cinderella dan pangerannya itu tidak ada. Tidak nyata.

Dunia kita pararel, bergerak dinamis, roda kehidupan berputar, hidup bukan cuma berisi warna terang, Hidup bukan cuma soal bahagia, bukan yang indah-indah saja. Kupikir “pernikahan” begitu juga. Kendati sering kujumpai potret keluarga bahagia di sosal media, tapi bukan kah segala hal yang diletakkan di etalase kaca adalah yang paling layak buat ditampilkan? Di balik itu, siapa tahu? Aku bukan bilang bahagia mereka palsu, hanya dibalik bahagia yang mereka tampilkan itu, kita tidak pernah tahu sisi yang terjadi dibaliknya. Pasti banyak kompromi di sana.

Jadi berhenti membayangkan kehidupan setelah menikah itu cuma berisi tentang keindahan saja. Itu cuma ada di negeri dongeng. Itu cuma fairylate. Karena semakin kita berekspektasi tentang menikah itu cuma tentang bahagia, kupikir kita tidak akan pernah cukup bahagia menjalaninya.

Sementara itu, terkhusus diriku sendiri, juga kawan-kawan di luar sana yang saat ini belum menemukan alasan kenapa mereka harus menikah, apa pun itu. Aku cuma mau bilang, bahagiakan dulu dirimu, sehingga nanti, saat kita sudah menemukan alasannya, kita tidak lagi punya ekspektasi untuk dibahagiakan siapa-siapa. Karena bahagia kita tanggung jawab diri kita sendiri, bukan tanggung jawab siapa pun. Termasuk pasangan kita nanti.

Bahwa menikah itu tentang komitmen dan kompromi, menikah menambah masalah itu pasti. Masalah dua kepala, dua keluarga. Bedanya, masalah yang ada ditanggung berdua. Bedanya kepada siapa kita membagi masalah itu. Kalau kepada orang yang tepat, kita bisa berkompromi menyelesaikan banyak hal berdua. Dan semoga kalian beruntung menemukannya.

Katanya, menemukan pasangan bukan mencari soal siapa yang paling sempurna, kan?

Kalau begitu, temukan seseorang yang seburuk apa pun masa lalunya masih bisa kamu terima, temukan seseorang yang semua sifat dan karakternya masih bisa kamu tolerir, yang marah-marahnya masih bisa membuatmu legowo, yang kata-katanya masih kamu izinkan masuk ke telingamu meski semenyakitkan apa pun itu, temukan seseorang yang kekurangannya masih bersedia kamu lengkapi, yang kelebihannya membuatmu terpacu untuk mejadi lebih baik lagi, temukan seseorang yang meski dalam keadaan paling buruk pun masih sanggup membuatmu bertahan untuk tidak meninggalkannya pergi.

Karena selamanya itu terlalu lama. Karena yang sempurna itu tidak ada.

Karena kalau masih sanggup memilih apa yang bisa kita perjuangkan untuk diri kita sendiri, kenapa harus memenuhi standar bahagia dan penilaian orang lain?

 


pict from here


Minggu, 18 April 2021

Namanya Abi, Abimanyu

 



Sore kemarin, aku duduk diantara kerumunan pengunjung yang mulai ramai berdatangan. Di sebuah kafe, di jalan Jakarta. Malam Minggu, mungkin adalah hari dimana umumnya dirayakan oleh beberapa orang.  Bersama pasangan mungkin, atau teman, keluarga, siapa saja. Aku adalah pengecualian, aku sedang tidak merayakan apa-apa. Aku hanya sedang ingin duduk menyendiri, di bangku paling ujung. Di sini ramai, sengaja memilih sudut paling sepi, keberadaanku tidak akan terdeteksi, siapa peduli?

                Di depanku, ada laptop dengan layarnya yang menunjukkan lembar kerja Microsoft Word. Aku deadline malam ini. Dua artikel lagi setelah delapan sebelumnya sudah selesai kukerjakan sedari sore. Ornamen kafe itu, setiap sudutnya, mengingatkan aku kepada salah satu tempat paling menyenangkan di Jogja; Malioboro. Ada dream catcher yang biasanya terjual di rak asesoris dan oleh-oleh di samping ruas kanan dan kiri sisi Malioboro, lukisan beruansa batik, dan lampu berukiran khas Jogja terpajang di beberapa spot bagian dindingnya.

                Di sela-sela pekerjaanku mengerjakan tulisan, aku tidak bisa mengelak kalau sore itu, aku sedang tidak baik-baik saja.  Kendati sering perasaan itu muncul, dan kerapkali kuabaikan. Ada sesuatu yang memang tidak bisa kita bicarakan, tidak bisa kita jelaskan alasan dibaliknya, dan bagi sebagian orang, berterus terang pada diri sendiri itu bukan hal mudah dilakukan. Aku tidak pernah ingin menangis di depan banyak orang, dilihat oleh siapa pun. Pantang bagiku menangis di depan orang lain, tetapi rasanya menjadi manusia kupikir tidak ada salahnya. Menangis itu manusiawi. Seharusnya.

“Mbak, kenapa menangis? Maaf saya enggak bisa nawarin tissue buat ngelap air matanya, tapi kalau Mbaknya mau cerita, saya punya dua telinga buat dengerin.”

Aku mendongak, buru-buru menghapus air mataku, menatap heran seseorang dengan penampilan casual yang tengah duduk di seberang kursiku. Entah sejak kapan dia ada di situ. Memakai kaos putih polos, jaket jeans hitam, dan kacamata bertengger di hidungnya.

“Maaf Mas, apakah barusan saya lagi dengerin suara buaya?”

Dia tertawa.
“Saya nggak perlu dihibur,”

“Tapi saya juga nggak berniat menghibur kok, saya cuma menawarkan telinga kalau kamu mau cerita.”

“Saya ini, sama orang yang sudah saya kenal lama saja mikir dua kali kalau mau cerita masalah saya, kenapa berharap cerita sama orang yang bahkan saya enggak tahu namanya siapa?”

“Kalau begitu, boleh kenalan dulu? Nama saya Abi, Abimanyu.”

Dia mengulurkan tangannya, aku menatapnya sesaat, menimbang sesuatu sebelum mengulurkan tanganku, balas menjabat tangannya demi kode etik.

“Kiara,”

“Nama yang bagus,”
“Memang tahu artinya?”

“Sinar mentari pertama dalam bahasa Korea, tapi lebih umum diartikan bercahaya. Benar?”

“Ya,”

 “Tapi kalau kamu menangis, nanti cahanya jadi redup.”

“Jadi apakah maksudnya saya nggak boleh nangis?”

“Boleh. Tapi nanti senyum lagi, ya?”

“Masnya ngapain ke sini?”

“Datang, duduk, menulis. Sama seperti kamu.”

“Maksudnya, ngapain ke sini? Nyamperin meja saya?”

“Boleh saya panggil nama? Kamu menarik perhatian saya, Kiara. Sejak awal kamu datang ke sini, duduk di meja paling ujung, menulis sendirian. Apa yang kamu lakukan itu sama persis dengan apa yang saya kerjakan, bedanya, saya fokus mengetik. Sementara kamu kadang-kadang berhenti, menatap sekitarmu, melamunkan sesuatu yang entah apa. Dan terakhir sebelum saya memutuskan mendatangi kamu ke sini, saya melihat kamu menangis. Ada sesuatu yang berat sedang terjadi, ya?”

“Kalau pun ada, saya juga nggak akan perlu repot-repot menceritakannya, Mas. Tapi sebelumnya terima kasih sudah bertanya.”

Anytime, boleh tetap merasa baik-baik saja. Tapi dengar ini, kamu nggak harus menjadi kuat sendirian.”

Aku mengangguk, sibuk mengelap sisa tangisanku dengan telapak tangan, tidak tahu harus berkomentar apa.  Aku hanya-aku hanya sedang malas mendengarkan apa pun, hal-hal yang semacam itu, malas sekali.

“Maaf tadi namanya siapa?”

“Abi,”

“Sedang mengerjakan sesuatu juga di sini?”

“Iya, kalau Kiara nggak keberatan, boleh enggak saya bawa laptop saya ke sini? Saya bisa temenin kamu ngobrol, atau kalau kamu minta saya diam selama kamu mengerjakan pekerjaanmu, saya enggak akan mengganggu, fokus sama pekerjaan saya, enggak akan mengajak kamu mengobrol.”

Aku tidak punya banyak tenaga untuk menolak, jadi kujawab, “Boleh,”

“Saya ke sana dulu ya,” Laki-laki berperawakan kurus tinggi itu menunjuk mejanya, yang terletak satu garis diagonal dengan mejaku. Hanya berbeda sudut. Mejaku di sudut utara, dia di sebelah selatan.

Dia kisaran usia 27 tahun atau 28 entah lah, aku tidak pandai memprediksi usia seseorang. Tetapi wajahnya terlihat jauh lebih muda dari usianya, wajah yang innocent, seperti anak kecil. Yang saat dia tiba-tiba duduk di depanku lalu bertanya kenapa aku menangis? Aku seperti tidak sedang berhadapan dengan orang asing. Pembawaannya tenang dan menyenangkan,  sesuatu yang menarikmu untuk membuka diri, menurunkan sedikit benteng pertahananmu, di depan seseorang yang bahkan sebelumnya tidak pernah kamu temui.

Tersenyum, dia meletakkan laptopnya di mejaku. Duduk di seberang bangkuku, menyiapkan beberapa dokumen yang dia keluarkan dari dalam tas punggungnya, sebuah bolpoint, dan charger laptop. Saat dia menarik kabel charger laptopnya itu, sebuah benda ikut tertarik ke atas. Aku sekilas melihatnya, name tag identitas seseorang. Itu bukan hanya sekadar identitas, itu simbol profesi.

“Mas Abi, jurnalis?”

Dia tertawa lalu menggeleng, buru-buru memasukkan name tagnya ke dalam tasnya yang tidak sengaja ditariknya keluar itu, “Bukan, Kiara. Saya ini cuma kuli tinta.”

                “Begitu ya insting seorang jurnalis? Sibuk mengamati situasi? Sampai-sampai tahu kalau ada seorang perempuan menangis di pojok sebuah kafe yang padahal dikerumuni banyak orang di sekitarnya?”

                Berhenti dari aktifitasnya menyiapkan barang-barangnya di atas meja, dia menatapku. Memberi jeda sebelum akhirnya menjawab, “Saya senang mengamati, memang. Itu bagian dari pekerjaan. Tetapi tidak semua hal saya perhatikan, kalau perempuan yang saya lihat sedang menangis tadi bukan kamu, saya tidak yakin apakah saya akan punya keberanian untuk berhadapan dengan kamu saat ini.”

                “Seharusnya kamu ini beralih profesi jadi pawang buaya saja, Mas Abi, daripada jurnalis.”

                Abimanyu, nama laki-laki itu, tertawa, “Kamu ini, kenapa senang sekali memberi label laki-laki dengan kata buaya?”

                Aku mengedikkan bahu, malas berkomentar.

                “Saya temani kamu mengobrol, atau diminta diam?”

                “Diam saja,”

                “Oke, lanjutkan pekerjaanmu. Nanti kalau sudah selesai, dan merasa perlu seseorang untuk diajak ngobrol, beri tahu saya, ya.”

                Aku mengangguk,kembali fokus pada layar laptop di depanku. Sesekali, aku mengamati dia yang juga tengah fokus melanjutkan pekerjaannya. Dari samping wajahnya terlihat serius sekali, lensa kacamatanya tebal, itu pasti karena dia hobi membaca, oh atau kalau tidak, dia mungkin suka membaca sambil tiduran. Atau kalau tidak, mungkin dia tidak suka makan wortel, atau? Kenapa aku jadi memikirkan hal-hal receh semacam ini? Kenapa aku jadi lupa kalau sepuluh menit sebelumnya aku sedang menangisi sesuatu?  Menyebalkan sekali.

               

                 


 pict from tumblr


Fiksi

Mlg, 18/04/2021

15.15 WIB


               

 

 

Kamis, 18 Februari 2021

Seseorang yang Memintaku Menjadi Bandara

Katamu, hidup cuma peralihan, ya Han? Antara sedih ke senang, senang ke sedih, tangis ke tawa, tawa ke tangis, begitu seterusnya. Siklus yang terjadi berulang-ulang. Tidak ada  waktu yang kekal, benar kata Sapardi dulu. Yang fana adalah waktu, kita abadi.

Kamu menyukai kota yang asing, sebuah tempat dimana tidak ada yang mengenalimu seorang pun. Karena apa yang diharapkan dari dikenal banyak orang? Apa yang perlu dicari dari validisi? Karena bukan kah pada akhirnya setiap orang harus belajar hidup sendiri-sendiri?

            Di bandara pagi itu, kujumpai kamu dengan senyum paling merekah sepanjang aku mengingatnya. Dengan tas ransel warna hijau army di punggungmu, topi baseball broken white di kepalamu, dan convers hitam yang warnanya sudah memudar. Tentu saja, dengan tali sepatu yang kamu urai seenaknya.

            “Setelah ini, ke kota mana lagi?” Aku bertanya, menyambutmu dengan senyum tak kalah lebar.

            Dan kamu menggeleng, mengedikkan bahumu, “tidak tahu, biar jadi kejutan.”

            “Mau sarapan apa?”

            Jawabanmu mengantarkan kita sekarang di sini, di salah satu kedai nasi uduk favoritemu. Yang ramai benar di datangi pembeli sejak pukul lima pagi, kita datang dua jam setelah kedai  itu dibuka, tentu saja setelah tiga puluh menit perjalanan meninggalkan bandara, dengan aku yang fokus menyetir, kamu duduk di sebelah kemudiku. Menceritakan perjalanan yang kamu lalui selama satu pekan terakhir.

            “Bu, nasi uduknya dua, ya. Yang satu porsinya setengah, tanpa kerupuk. Sama es tehnya dua,”

            Seperti biasa, kamu yang dengan lantang memesan, aku memilih bangku paling ujung. Di dekat jalan raya, yang dari sana kamu bisa melihat kendaraan berlalu lalang, bonus hamparan sawah di seberangnya.

            “Gimana, capek?”

            Kamu duduk di depanku, “Nggak ada hal yang bikin capek kalau kita senang melakukanya,”

            Aku tersenyum.

            “Boleh kutanya sesuatu?” tanyamu.

            “Boleh, apa?”

            “Kalau misalnya ini bukan hari minggu, hari liburmu, apakah kamu punya alasan untuk nggak  menjemputku di bandara?”

            Aku tertawa, “Apa-apan kamu ini,”

            “Kan aku cuma tanya, Nat.”

             “Mana aku punya alasan buat nggak menjemputmu? Pernah sekali, pun?”

            Kamu menggeleng, “Kenapa nggak pernah absen?”

            “Karena aku senang melakukannya,”

            “Walaupun kamu sedang banyak pekerjaan?”

            “Lalu kenapa?”

            “Memangnya enggak capek?”

            “Nggak ada hal yang bikin capek kalau kita senang melakukanya. Itu katamu, lupa?”

            Kini, giliran kamu yang tertawa. Renyah. Dan aku menyukainya. Selalu.

            Dua porsi nasi uduk dan es teh itu terhidang di meja kita. Porsimu setengah, tanpa kerupuk. Kamu menyantapnya setelah sebelumnya menepuk punggung tanganku, ”doa dulu, ya?”

            “Hana,”

            “Ya?”

            “Kalau bukan aku yang menjemputmu pagi ini di bandara, kamu mau minta dijemput siapa?”

            “Sendiri, kenapa harus minta dijemput?”

            “Tapi kenapa mau dijemput aku?”

            Kamu berhenti mengunyah, menatapku dengan tatapan seolah ingin mencari tahu jawabanmu dari sana. Tapi sepertinya gagal, ya? Karena setelah itu kamu cuma menggeleng.

            Aku tertawa, lucu sekali. Kenapa aku harus menanyakan sesuatu pada seseorang yang  bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan itu untuk dirinya sendiri? Untuk perasaannya?

            “Nata,”

            “Ya?”

            “Kenapa kamu di sini?”

            “Maksudnya? Kan daritadi aku sama kamu,”

            “Maksudku, kenapa yang duduk di depanku sekarang ini dalah kamu. Kenapa bukan orang lain?”

            “Karena cuma aku orang yang kamu persilakan duduk,”

            “Ya sudah, sekarang kamu tahu jawabannya.”

            Kamu lebih senang membuat aku menebak-nebak, Han. Memintaku menjadi bandara, tempatmu datang dan pulang, untuk kemudian pergi lagi, ke suatu tempat yang tidak bisa aku prediksi. Aku adalah bandara yang mengantarmu sebelum pesawat-pesawat itu membawamu terbang tinggi. Juga tempat yang kamu pijaki pertama kali, ketika pesawat itu membawamu kembali. Maaf, biar kuralat. Kamu tidak pernah memintanya, aku sendiri yang melakukan itu tanpa terpaksa.

Juga katamu, kita semua belajar dari hal-hal yang kita benci. Sesuatu yang kita tidak ingin terlibat di dalamnya, tidak ingin menyentuh rasa sakitnya, tidak ingin berkompromi dengan konsekuensi yang akhirnya kita lalui. Kita selalu belajar dari hal-hal yang tidak kita suka, sesuatu yang justru membawa kita terlibat, merasakan, dan membaur bersama semua hal yang kita benci itu. Han, apakah pelajaran untukmu belum selesai? Sampai hari itu datang, sampai waktu itu tiba, mungkin aku tetap akan menjadi bandara. Menunggu hingga kamu selesai, dan kamu telah berhasil berdamai.


pict from here


Malang
19.02.21
19.12

Selasa, 16 Februari 2021

Setitik Perjalanan

 

               1202 2021


Pagi-pagi sekali, ponselku berdering. Panggilan pertama yang lebih pagi dari alarmku hari itu.

Aku mengangkat panggilannya, begitu membaca nama kontak yang tertera.
                “Halo, Assalamualaikum,” ujarku dengan nada suara berat.
                “Halooo waalaikumsalam. Selamat ulang tahun,  anak cantik, semoga..... ” dan doa-doa lain dipanjatkan setelahnya.
                Aku tersenyum, aku bahkan lupa dan enggan mengingat hari itu selain hari imlek. Tetapi,  bersemangat sekali mengaminkan doa-doanya.

                “Aamiin.Terima kasih Buk,”

                 Panggilan itu selesai. Aku membuka notif WhatsApp yang tidak akan terbaca kalau tidak kubuka. Beberapa pesan masuk, yang tidak langsung kubuka satu per satu. Aku tidak ingin menspesialkan hari apa pun, termasuk hari lahirku sendiri. Juga tidak berambisi merayakannya. Tetapi, sebelumnya, aku berterima kasih untuk teman-teman yang memberiku doa. Terima kasih banyak.

                Pagi-pagi sekali, aku berkemas. Aku berencana pergi ke suatu kota kecil di Jawa timur, kota dengan ikon bernama SLG (Simpang Lima Gumul) hari itu, dengan naik kereta. Jadi aku ke stasiun, menanyakan apakah tiket go show hari itu masih tersisa? Habis. Kenapa aku tidak memesan jauh-jauh hari sebelumnya menggunakan aplikasi? Aku tidak akan bilang kalau kebetulan sistem jaringan aplikasi di ponselku bermasalah, karena bukankah tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini? Jadi kupikir hari itu memang aku tidak ditakdirkan pergi ke sana naik kereta. Mungkin aku tetap di takdikan pergi ke sana, tetapi bukan naik sepeda, ya, naik sepeda motor.

                Kupikir akan seru sekali kalau hari itu aku bisa touring ke luar kota sendirian, pertama kali dalam hidupku, melakukan sesuatu yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Maksudnya, naik sepeda motor sendirian keluar kota. Karena biasanya aku naik kereta atau bis antar kota kalau sedang pergi sendiri, kalau pun naik motor, biasanya dengan kawanku.

Aku tidak berencana naik motor sebelumnya, tapi dalam perjalanan sepulang dari stasiun, ide itu tiba-tiba terlintas begitu saja dikepalaku. Ide spontan itu bisa kubilang cukup nekat, karena jarak Malang-Kediri yang lumayan jauh jika ditempuh menggunakan sepeda motor dan aku juga tidak pandai membaca peta.

                Sepanjang perjalanan, aku menikmati waktuku di jalan sendirian. Melihat pemandangan serba hijau di sepanjang jalan Batu dan Pujon. Aku berkali-kali melewati jalan itu, tapi tetap tidak berhenti takjub  dan berdecak kagum saat melewatinya. Gunung yang terbentang dengan begitu luas dan indah, pohon-pohon hijau yang masih asri, sungai yang deras mengalir dan menyejukkan.

Jalan Pujon yang berkelok-kelok adalah salah satu jalan yang membuat aku trauma, kecelakaan yang terjadi tahun 2017 lalu, yang membuat aku dan Bapak jatuh tergelincir dari sepeda, begitu membekas di kepala.

                Aku melewati titik lokasi kecelakaan dengan jantung berdebar, sebuah tikungan tajam di  atas tanjakan jalan beraspal. Tidak jauh dari sana, berdiri sebuah pukesmas tempat kami dulu di rawat. Bersyukur karena masih banyak orang-orang baik hari itu yang menolong kami.

                Aku masih ingat kata-kata Bapak hari itu, “Padahal di jalan tadi sepi, tapi waktu kita jatuh, orang-orang tiba-tiba berdatangan, bantuin kita sampai bisa ditangani di sini (baca: pukesmas). Itu bukan kebetulan, bisa jadi itu karena doa orang yang pernah kita tolong, Allah tolong kita juga dari perantara orang lain di saat kita membutuhkan pertolonganNya. Jangan pernah bosan berbuat baik, karena akhirnya kebaikan  itu akan kembali ke kita.”

                Aku tidak berhenti mengucap syukur selama aku berkendara. Betapa baiknya Tuhan memberi aku kesempatan untuk  menghirup udara sampai usiaku yang sekarang. Betapa baiknya Ia, sebab diberiNya aku kesempatan menjelajah setitik dari bumi ciptaanNya yang begitu luas. Hari itu, di hari lahirku, aku tidak ingin meminta apa pun. Aku cuma ingin bilang terima kasih. “Ya Allah, terima kasih banyak.”

                Aku tidak menghubungi siapa pun hari itu, kalau aku mau touring ke Kediri. Satu-satunya yang kuberi kabar adalah seorang sahabatku yang tinggal di sana, Mega. Ia awalnya mengira aku tak jadi datang karena kehabisan tiket kereta. Ia tidak tahu kalau saat aku menghubunginya, aku sudah tiba di Pare. Sebuah kota kecil yang masih satu kabupaten dengan Kediri.

                “Meggg, tiket keretanya habis. Tapi.. aku tetap jadi berangkat ke sana. Naik motor. Ini udah sampai Pare. Hahaha.”

                “Hah? Sumpah? Ya Allah nekat banget temen guaaaa.”

                “Kalau nggak nekat kan namanya bukan temanmu,”

                Tentu saja dia kaget. Sebagai saksi hidup yang paham benar aku hobi kesasar, mana dia mengira aku akan benar-benar pergi ke sana naik motor? Dan sendirian? Hahaha.

                Butuh kurang lebih 4 jam sampai aku tiba dan bertemu dengan Mega. Tentu itu sudah termasuk waktu berhenti istirahat di jalan, dan nyasar sana-sani. Tetapi tidak berkurang rasa senang, tetap kunikmati. Karena selama perjalanan itu, aku bertemu dengan orang-orang baru, berinteraksi dengan warga lokal, mereka semua baik sekali dan menyenangkan.

                Kota Kediri yang tidak terlalu bising, rumah Mega yang terletak di pedesaan yang masih asri,keluarganya yang sangat hangat menyambut kedatanganku (walapaun Ibu Mega sempat  terheran-heran, tidak menyangka kalau aku betulan datang ke rumahnya hari itu), pemandangan di halaman rumahnya yang kusukai, yang saat aku di sana, bisa kulihat pemandangan sawah terbentang luas. Udara yang masih sejuk, jauh dari hiruk pikuk kota.

                Hari itu rasanya sudah cukup. Aku tidak meminta apa-apa, tidak ingin mengharapkan apa pun dari orang lain, bahkan untuk sepotong kata selamat. Aku bersyukur, untuk seluruh perjalanan yang kulalui, untuk teman-teman baik disekelilingku, untuk orang-orang yang kusayangi, untuk orang-orang yang menyayangiku, untuk begitu banyak kesempatan, untuk banyak hal yang bisa kujadikan pelajaran.

Ya Allah, terima kasih banyak. Aku mencintaiMu.”





             

                 


               

                 


               

               PS: Thank you, Mbak-mbak fotografer! Haha.


Malang, 16 februari 2021


18.59

               

               

Senin, 26 Oktober 2020

Surat dari Dermaga

           Kepada, pengelana dengan ransel warna cokelat tua. Pemilik senyum sengahat matahari pukul sepuluh pagi, apa kabar hari ini?   

Kukabarkan kepadamu melalui sebuah surat. Bahwa ada seorang perempuan yang kemarin berkunjung kemari. Kulihat dia berjalan sendirian menujuku, menepi diantara hingar bingar manusia yang tengah berlalu lalang. Aku memerhatikannya sedang menatap nanar ke arah deburan ombak, sambil sesekali melempar kerikil kecil ke dasar laut. Benda yang dia bawa di kantong hitam kecil, yang ia kalungkan di tubuhnya yang terlihat sangat ringkih.

Sesekali aku menatapnya sesenggukan. Sebagai dermaga tempat berlabuh kapal-kapal yang datang dan pulang, aku ingin sekali menyewakan tubuhku sebagai tempatnya meneduh. Aku ingin tiba-tiba menjadi rumah baginya, menawarkan atap yang dilengkapi dengan jendela, sehingga dengan begitu, ada ruang lebih nyaman baginya untuk menumpahkan air mata.

Tetapi aku cuma bisa menyimaknya dari kejauhan, mendengarkan ceritanya yang lirih itu, yang dikabarkan angin pagi kepadaku. Sungguh, aku tidak habis mengerti dengan jalan pikirannya yang terlalu rumit dimengerti. Ia berulangkali menyebut namamu, mengejanya dengan penekanan yang susah payah ia lafalkan dengan kata-kata.

Kau tahu apa tidak? Barangkali, di bumi ini memang ada bebarapa orang yang sanggup meredam habis perasaannya sendiri. Perempuan itu salah satunya, dia bagian dari mereka. Ada sekat-sekat yang sekuat tenaga dia tentang, ada perbedaan-perbedaan cukup besar antara dia dan kau, seseorang yang ia kira adalah dunianya, keajaiban yang membuatnya sedikit berkompromi dari keterasingan yang pernah membuatnya begitu sakit.

Baginya, kau tidak lebih dari kata-kata yang melebur bersama dengan mimpi-mimpinya yang ia ingat setelah bangun dari tidur. Dalam dunianya, kau tidak lebih dari seseorang yang sangat ingin ia hindari sebab ia terlalu takut terjebak oleh perasaannya sendiri. Terkadang, demi melindungi dirinya dari patah hati, seseorang rela menimbun habis harapannya sendiri.

Tidak ada kata-kata yang sanggup kuutarakan banyak padamu, sebab ia lebih banyak menyimpan ceritanya sebagai rahasia. Perempuan itu, yang dari matanya menyiratkan sesuatu yang tidak habis kutebak perasaannya seperti apa. Dia penuh tanda tanya. Dia terlihat tidak peduli. Dia begitu apatis, entah bagimu.

  Baju putihnya berkibar-kibar ditiup angin, anak-anak rambutnya bersemburat acak tidak dihiraukannya. Kali ini, kering sudah air matanya, angin menyampaikan padaku bahwa perasaannya sedikit lebih baik. Tidak ada seorang pun bisa membuatnya sakit selama dia tidak mengharapkan apa pun dari manusia. Dia terlalu tangguh untuk sekadar meratapi setiap kepergian. Baginya hidup adalah adrenalin terbesar. Sementara kau adalah salah satu bagian dari hidupnya yang membuat dia merasa tertantang. 

Dia lebih berani, lebih tangguh, lebih kuat dari yang sanggup kamu bayangkan sebelumnya.

Dia tidak pernah mengharapkan apa pun dari seseorang. Tidak waktunya, tidak dunianya.

Dia cuma selalu butuh dirinya sendiri dan rasa sepi.




 source: tumblr

 

 

Kamis, 22 Oktober 2020

Hujan Pukul 22.00


Aku sedang ke toko buku, sendirian. Pulangnya, tidak bisa kuterobos hujan karena aku tidak bawa mantel. Berdiri menunggu di depan gedung pertokoan. Hawa dingin di luar. Hujan malam itu, deras sekali. Waktu sudah menunjuk pukul 10 malam, bukan aku tidak berani pulang. Aku berani saja sebenarnya. Tapi mengendarai sepeda motor malam hari dengan hujan sederas ini , kupikir bukan pilihan cukup baik. Jadi aku memutuskan menunggu sampai hujan mereda.

                Sambil memainkan ponsel, aku iseng membuat story. Merekam video hujan di depanku.

                Satu balasan pesan masuk.
“Kamu dimana?”
“Di Gramedia, kenapa?”

“Gramedia mana?”

“Gramedia Basuki Rahmat,”

“Sendiri? Ngapain di situ?”

“Beli buku. Kejebak hujan. Hahaha.”

“Jas hujannya kemana?”

“Lupa dibawa. Hehe.”

“Ya sudah, aku kesana.”

“Ngapain?”

“Aku anterin jas hujan,”

“Jangan, bentar lagi juga reda,”

“Ini udah malam, sudah tunggu di situ.”
“Enggak usah,”
“Eh ini udah reda, aku mau pulang.”
“Jangan ke sini..”
“Enggak usah dibawain jas hujan, beneran enggak usah, makasih sebelumnya..”

Percuma,  pesan-pesan yang kubombardir itu tidak terbaca, cuma centang dua.

                Hujan masih belum berhenti, malah makin deras resonansi. Sepuluh menit kemudian, sebuah mobil hitam terparkir tidak jauh dari tempatku berdiri. Pemiliknya berhenti, membuka pintu mobil. Sesosok yang tidak asing keluar dari sana, memakai jaket jeans dan topi. Dia berlari menerobos hujan. Tangan kirinya menghalau tempias air hujan, tangan kanannya membawa sekantong tas kresek hitam.

                “Hai,” sapanya, bahkan tanpa merasa berdosa setelah sebelumnya tidak membalas pesan-pesanku yang banyak sekali itu.

                “Ngapain, sih? Kan udah dibilang jangan.”

“Mau sampai kapan di sini sendiri? Enggak takut?”

“Bentar lagi juga reda,”

“Sok tahu. Hahaha. Masih deres gini,”

“Lagian ngapain nyusulin?”

“Enggak boleh?”

“Bukan enggak boleh, aku cuma nggak mau ngrepotin.”

“Siapa yang repot?”

“Bukannya kamu masih sibuk kerja?”

“Barusan selesai meeting, enggak sibuk.”
“Selesai dari meeting atau sengaja diselesaiin biar bisa bolos ke sini?”

“Hahaha. Kita tunggu hujannya biar agak terang ya, nanti kamu pakai jas hujannya. Aku anterin pulang,”
“Enggak usah lah, kamu kan bawa mobil. Aku bisa pulang sendiri.”

“Ya sudah, enggak, aku tungguin aja di sini sampai lumayan terang.”

“Lihat, jaketmu jadi basah, kan?” aku menunjuk jaketnya. Dia menoleh, menatapku. Tidak menjawab. Cuma nyengir.
“Kamu tadi udah makan?” ia bertanya.
“Udah, kamu yang belum ya?”

“Laper, mau makan bakso, nggak?”
“Emang ada yang jual bakso? Di deket sini?” Aku celingukan mencari gerobak bakso. Tidak ada.

“Kita cari di luar,”
“Ya udah, ayo. Aku ambil motor dulu.”
“Hmm, enggak usah.”
“Kok enggak usah?”

“Kita naik mobil.”
“Kan aku bawa motor?”

“Masih ada Pak Satpam, kan? Nanti aku bilang.”
“Kenapa aku enggak bawa motor aja biar sekalian pulang?”

“Kenapa?”

“Kok malah kenapa?”

“Kenapa enggak mau naik mobil?  Takut sama aku?”

“Ya enggak,”

“Ya terus?”
“Ya sudah, ayo.”

Dia tertawa, sial. Kemudian berlari menuju pos satpam, menitipkan motorku. Aku cuma bisa menggeleng dari kejauhan.

Setelah keperluannya selesai dari pos satpam, dia kembali menghampiriku. Melepas jaket jeansnya, mengulungkannya di depanku.

“Pakai jaketku buat penutup kepala. Biar enggak basah,” Aku ingin menolak. Tapi sebelum sempat aku mengatakan apa-apa, dia sudah dulu berlari lebih dulu menuju mobilnya. Menutupi kepalanya dengan kedua tangan.

“Ayo!” ia berseru.

Aku mengangguk, berlari menyusulnya.

Dibukakannya pintu mobilnya untukku, lalu aku duduk di sebelah kursi kemudinya. Memakai shit belt. Setelahnya, kuperhatikan dia yang tengah fokus memegang kemudi.

Kaosnya yang basah, badannya yang terlihat kedinginan, dan ekspresi wajahnya yang tidak menunjukkan keberatan sama sekali dengan apa yang dilakukannya malam ini.

Diam-diam, dalam pengamatanku yang seperti itu, aku bergumam lirih dalam hati.
Kalau ada seseorang didatangkan untuk membayar lunas seluruh patah hati, aku cuma mau orang ini.




Selasa, 28 Juli 2020

Saklar


                Lampu tidurku menyala remang tepat pukul 00.00. Hari ini, adalah titik pergantian hari kemarin. Mataku masih mengerjap sesekali, kutarik selimut rapat-rapat, suhu udara yang nyaris membuatku hiportemia di pagi buta, dan insomnia. Paket sempurna.
                Ada yang mengetuk-ngetuk kepalaku  hari ini. Seluruh cerita yang kapasitasnya melebihi daya sanggupku menampung, orang-orang bercerita yang kurekam di  memori, wajah-wajah yang menangis, teriakan dan jeritan penuh luka. Diam-diam, menjalar memenuhi rongga dada.
                Aku kadang membenci bagian sensitif dari rasa empatiku terhadap orang-orang tetapi lupa bagaimana cara diriku sendiri menampung kesedihan. Aku bisa begitu peduli dengan orang-orang sementara kerapkali abai pada diri sendiri.
                Ditengah mataku yang terus berusaha memejam dan sesekali terbuka. Kulirik ponsel yang lama kuletakkan di atas meja, layarnya berkedap kedip. Tidak ada nada dering di ponselku, itu berarti tanda panggilan masuk. Aku bangkit meraihnya, membaca nama kontak yang tertera di layarnya.
                “Halo,” serak suara seseorang di seberang sana.
                “Ya, halo.”
                “Kenapa belum tidur?”
                “Kenapa tahu aku belum tidur?”
                “Jawab dulu pertanyaanku,”
                “Kamu sudah tahu kenapa,”
                Dia sedikit tertawa, “Aku tahu kebiasaanmu, makanya aku menelpon.”
                “Ada apa?”
                “Besok Mama ulang tahun,”
                Aku diam sebentar, “Sekarang sudah ganti hari, apakah maksudnya hari ini?”
                “Bukan, besok. Satu hari lagi.”
                “Lalu bagaimana?”
                “Mau ikut makan malam denganku?”
                “Apa ini berarti undangan?”
                “Iya, boleh diterima?”
                “Aku pikirkan dulu,”
                “Kamu hanya harus datang, Mama pasti senang.”
                “Apakah aku harus dandan yang cantik?”
                “Tidak perlu, kamu sudah cantik.”
                “Aku tidak suka digombali,”
                “Aku tidak sedang menggombal.”
                “Apa aku harus pakai pakaian yang membuatku terlihat feminin?”
            “Pakai apa saja, senyamanmu. Ingat, kamu hanya perlu datang. Itu sudah membuatku senang.”
                “Aku tidak janji, aku usahakan,”
                “Aku tahu kamu pasti datang,”
                “Kenapa yakin sekali?”
                “Aku cuma sedang menghibur diri sendiri,”
                “Yasudah, kamu tidak tidur?”
                “Sebentar lagi, kamu tidur lah. Jangan banyak pikiran.”
                “Kamu menambah satu lagi daftar pikiranku. Menyebalkan sekali.”
                “Hahaha. Sudah, ya? Tidur.”
                Sambungan terputus. Aku menghela napas. Sebenarnya aku tidak benar-benar bisa memprediksi apa yang akan terjadi setelah ini. Dibuatnya aku kebingungan menerka-nerka perasaanku. Ia tak melakukan banyak konfrontasi, tidak banyak melempar kata-kata, tapi sekali waktu sikapnya membuatku habis kata.
                Kadang, di tengah badai yang sewaktu-waktu memporak porandakan isi kepalaku, aku hanya butuh mendengar seseorang berkata ‘Tidak apa-apa, nanti pasti terlewat juga,’. Dia tidak pernah mengatakan hal yang semacam itu, tetapi mendengarkannya bicara tentang sesuatu yang tidak terduga adalah pengecualian. Termasuk apa yang baru disampaikannya tadi. Sial.
                Aku bangkit. Meraih saklar di dinding kamar. Menyalakan tombolnya. Lampu kamarku menyala. Tepat ketika kembali kesadaaranku berpikir, aku tercenung, apa hidup itu seperti saklar lampu ya? Yang kadang menyala. Dan redup. Sesukanya.
DISKON Lampu LED Tumblr Hias Bulat Lampu Anggur Natal Taman Cafe ...

source: tumblr.

Kamis, 14 Mei 2020

19:12

19:12

Sudah berapa tahun? Jujur, aku tidak peduli, juga tidak mau menghitung. Alasan apa yang membuat seseorang meletakkan sebuah nama dihatinya bertahun-tahun, sementara dalam dunianya, dia sudah menemukan segala-galanya. Tempat dimana seharusnya ia pulang. Menemukan apa yang dia cari. Apa itu rumah. Seharusnya, itu sudah cukup.
Kalau ia bisa bertemu dengan seseorang yang lebih baik, bukankah itu cukup? Atau dalam hal ini, baik buruk itu cuma kata sifat? Jangan-jangan benar kata penulis cerita ‘Sarapan Pagi Penuh Dusta’ itu, bahwa kebaikan tidak sebanding lurus dengan rasa suka. Aku ikut teorinya. Tetapi Kawan, percayalah, membuktikannya lewat praktik ternyata jauh lebih sulit ketimbang menuliskannya lewat kata-kata.
Andai waktu bisa diulang dan jarum jam bisa diputar rotasi ke arah kiri, aku memilih tidak mengenalnya sama sekali. Dia tidak perlu datang ke duniaku, tidak perlu melakukan apa-apa yang cuma sebentar sementara aku terus mengingatnya berulang-ulang, tidak perlu mengurai cerita sepanjang ini. Menyebalkan sekali.
Tetapi, memangnya siapa yang berhak mengatur pertemuan dan perpisahan? Kalau daun yang jatuh saja punya momentum, apalagi takdir manusia yang dikaruniai akal, diberi waktu, dan mendapat perhitungan?
“Apa yang kamu cari dari aku?” kutanya.
“Kamu terlalu skeptis, ayolah. Nggak semua hal butuh penjelasan.”
“Aku nggak mau bikin orang lain repot, termasuk kamu.” aku menuang affogato di gelas es krimku. Mengambil sendok kecil, menyuapkannya masuk ke mulutku.
Matcha Lattenya masih penuh, aku yakin ia tidak berselera menyentuh minumannya, dengan seseorang duduk di depannya, menginterogasi.
“Aku bahkan nggak ngerti yang kamu maksud repot itu yang bagaimana? Minta bantuanku saja kamu hampir nggak pernah.” Ia berkata sinis.
Aku tertawa,
“Duniaku enggak semenyenangkan yang kamu kira.” Aku mencomot potato stick, mencocolnya dengan saus mayo pedas yang tadi kupesan. Dia memperhatikanku, menunggu apa yang akan kuucapkan selanjutnya.
“Dengar ya, aku cuma nggak mau kamu repot-repot memasuki duniaku yang rumit itu, memikirkan banyak hal yang seharusnya enggak perlu kamu pikirkan, ikut terbawa alur dalam ceritaku, yang aku yakin saat membaca chapter pertamanya saja kamu mungkin akan mundur duluan, melambaikan tangan. Memilih menyerah. Aku cuma mau kamu ngerti, nggak minta apa-apa. Jadi tolong, berhentilah.”
Ia mengepalkan tangannya di atas meja, dadanya naik turun, mungkin memendam amarah.  Aku menelan ludah.
“Berhenti memikirkan apa pun tentang aku, tentang seseorang yang kamu kira istimewa, yang selalu kamu cari-cari ada apa dia di dalamnya. I told you. Im just me. Aku cuma orang biasa. Aku nggak hebat. Kalau kamu berpikir untuk pergi, my pleasure.  I don’t mind. Please, just go away.”
“Aku nggak bisa lupain kamu, kalau itu yang kamu minta.”
“Kenapa? Kamu  terlihat sudah bahagia,”
“Apa parameternya?”
“Seorang perempuan yang baik, yang selalu ada di sebelahmu, yang sanggup melakukan apa saja, demi orang yang dicintainya. Seharusnya kamu beruntung, kamu beruntung sekali.”
“Kamu nggak bisa menakar keberuntungan seseorang hanya dengan melihat dari sisi luar. Selama ini, aku memaksakan kebahagiaanku di depan orang-orang, mati-matian membuktikan pada diriku sendiri kalau aku bisa melupakan seseorang yang nggak pernah sadar bahwa dia bisa jadi sebab kesedihan orang lain karena pengabaiannya.
 Aku bisa melakukannya bertahun-bertahun, menutupi semuanya dengan rapi. Tapi sejauh apa pun aku berusaha pergi, ada bayang-bayang seseorang yang terus menerus mengikuti. Sampai akhirnya aku sadar, aku menyerah, aku cuma sedang sibuk menipu diriku sendiri. ”
“Seharusnya, kamu nggak perlu kenal aku ya?” Aku tertawa.
“Kenal sama kamu itu bikin repot, ternyata kamu benar. Kamu memang merepotkan.” Dia berusaha tertawa, meraih gelas minumannya.
“Bisa tolong sudahi?”
“Apa maksudmu?”
“I love you, but im letting go,” aku tersenyum.
Dia menatapku, kebingungan. “Jangan kegeeran, itu judul lagu. Pernah dengar?”
“Pernah, kenapa?”
“Ya nggak apa-apa, bagus.”
“Kamu ini nggak jelas,”
“Kan dari dulu,”
Dia tertawa.
“Sudah ya? Then, please just come back on your journey. Without me. Kamu harus bahagia,”

Dia menatapku, menghela napas, lama sekali. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa setelah itu. Berat untuk bicara terus terang, tetapi aku hanya dapat mengatakan apa yang seharusnya kukatakan. Dia baik, baik sekali. Setidaknya, dia pernah begitu tulus menyukai seseorang seperti aku. Yang dalam kamus hidupnya mungkin adalah bagian terumit yang pernah ia temui. Sisi yang tidak bisa sepenuhnya dia pahami, tetapi setidaknya dia pernah sekuat tenaga berusaha. Sudah kubilang di awal, tidak pernah mudah memasuki duniaku, tetapi aku tahu dia sudah berusaha semampu yang dia bisa. Meski akhirnya ia memilih menyerah, mengira bahwa ia gagal. Namun yang terjadi sebenarnya adalah sebaliknya, ia menang. Aku yang kalah dengan diriku sendiri.  Sebab bagian terbaik dari memiliki perasaan terhadap  seseorang adalah melepaskan. Jadi kupikir dia bisa mengerti. Kupikir dia bisa merelakan.

Dalam banyak hal, kami berbeda, seharusnya ia paham itu sejak awal. Tapi ia tak mau dengar.  Sekarang, kalau dia berkesempatan membaca seluruh cerita ini, aku cuma ingin dia bahagia.

“Thank you for having me. Now, please let me go. See
you in another story!”







Sabtu, 21 Maret 2020

Masif

Izinkan saya menuangkan sebuah kebingungan. Oleh semuanya yang serba tiba-tiba.  Termasuk kamu, yang secara tidak sengaja mengetuk pintu hati saya, mengubah rotasi saya dengan begitu semena-mena. Tidak ada pertanyaan lain yang bisa saya lontarkan untuk diri saya sendiri, selain “Apakah benar kamu sedang jatuh hati?”
Buat saya pertanyaan itu ambigu. Perasaan buat saya bukanlah suatu hal gamblang yang mudah dijelaskan. Saya pernah menyimpan sebuah nama, menguncinya rapat-rapat, sekian lama, di dalam hati sana. Sampai saya pikir saya tidak akan lagi menemukan kemungkinan-kemungkinan yang lain. Dia satu-satunya, tidak satu pun bisa mengubah, dia tidak terganti. Tetapi saya lupa, ternyata setiap manusia punya batas kapan ia akan selesai dengan dirinya sendiri. Saya punya benteng yang lebih dari sekadar cukup untuk dikatakan sangat kokoh, tetapi apa yang abadi dari perasaan manusia? 
Titik ketika saya merasa saya harus berhenti untuk menggenggam perasaan itu, kamu datang dengan segala kemustahilan yang susah payah bisa saya cerna, terlalu rumit untuk dijabarkan. Akhirnya, saya cuma bisa
memilih mengikuti arus, membiarkan skenario berjalan dengan ritme yang saya tidak mau terlalu ambil peduli bagaimana semestinya nanti harus berakhir.
Saya tidak tahu, juga tidak bisa menebak-nebak, adakah orang asing seperti kamu memiliki misi ajaib sehingga harus masuk secara tiba-tiba ke dalam dunia saya yang sedemikian sempit? Saya enggan bertanya lebih jauh, sebab kadang-kadang saya paham bahwa jawaban yang ingin saya temui adalah buah dari pemikiran saya sendiri.
Orang-orang bertanya, seistimewa apa kamu sehingga bisa meluluhkan hati saya yang batu itu?
Mereka, termasuk saya, kadang lupa. Ada begitu banyak hal yang bisa dirayu dengan hal-hal sederhana. Saya bahkan tidak bisa menjelaskan kenapa saya bisa sereceh itu, tetapi memangnya siapa mau peduli? Saya tak pernah punya cukup penjelaskan kenapa saya harus menyukai seseorang. Namun, sampai bagian ini saya bertanya-tanya pada diri saya sendiri. Kenapa harus kamu?
Seseorang dengan sisi misterius jauh dari yang sebelumnya pernah saya prediksi. Orang yang tidak bertahun-tahun saya kenal, tetapi begitu mudahnya memasuki pintu hati saya, tanpa perlu banyak melakukan hal-hal hebat lainnya. Kamu keren karena bisa melakukan itu, harus saya akui. Namun, batas antara perasaan dan akal sering berbanding terbalik.
Kamu adalah segala yang masif. Penuh imaji. Sulit terjangkau. Tak bisa ditebak, dingin, dan beku. 
Duniamu adalah hal-hal serba asing bagi saya. Tidak terjemah. Namun ajaibnya, dari segala keterasingan itu saya mampu belajar. Menembus batas-batas harapan dan titik kesadaran. Menantang diri sendiri. Menguji banyak adrenalin. Melampaui diri saya sebelumnya. Apakah saya bisa?
Sesuatu yang saya tak pernah butuh jawaban lain selain; kamu datang memberi saya banyak pelajaran. Sedikit atau banyak. Buat saya itu cukup. Saya tumbuh. Setidaknya, dari diri saya sebelumnya yang hanya mau berhenti pada satu nama.

Saya tidak bilang kamu seistimewa itu sampai saya harus menuliskanmu dengan sederet kalimat panjang seperti ini. Tetapi terimakasih sudah datang. Saya jadi kenal warna lain di bumi selain cuma abu-abu: warna favorite saya sebelumnya. 

Setelahnya, terserah bagaimana semesta mau menakdirkan apa.


Rabu, 08 Januari 2020

Labuh


     “Sinta, dia lamaran hari ini. Aku ikut bahagia.”

 

                Aku menatap notif pesan masuk itu dilayar ponselku. Meliriknya sesaat di sela-sela pekerjaanku menatap layar komputer. Menghela napas. Bagaimana mungkin? Bagaimana  mungkin kamu bisa bahagia melihat orang yang kamu cintai bersama orang lain? Seseorang yang tinggal di hatimu selama bertahun-tahun? Yang dengannya kamu rela menyerahkan seluruh hatimu, kamu korbankan banyak waktu untuk menunggunya, bersetia dengan sesuatu yang bahkan tidak pernah disetujui dengan takdir semesta?

                Aku ingat bagaimana binar matanya saat ia bercerita tentang orang yang dia suka. Ingat bagaimana kemudian cerita-cerita itu mengalir, harapan itu bertumbuh, dan entah bagaimana lagi aku menyebutnya. Aku mengerti benar perasaannya sebab tidak pernah mudah menjadi seseorang dengan hati setertutup itu. Menghindar dari setiap kali yang berusaha datang hanya demi menunggu satu orang. Gila. Tapi perasaan manusia tidak pernah bersepakat dengan logika. Kau boleh tidak setuju dengan aku. Aku tidak peduli.

                Juga, ingat saat bagaimana  hari itu aku menemuinya setelah berbulan-bulan tidak bertemu. Dia mengenalkanku dengan seseorang. Laki-laki pertama yang berhasil meruntuhkan tembok raksaksa di hatinya selama ini. Aku takjub. Dia yang setertutup itu, yang bahkan tidak pernah antusias bercerita tentang orang lain kecuali satu nama yang menyita perhatiannya, hari itu terlihat begitu bahagia.

                Satu hal yang kemudian membuatku berujar, kepada laki-laki yang dia kenalkan.

                “Mas, hebat sekali kamu bisa melelehkan hatinya yang beku itu. Apa rahasianya?”

                Laki-laki itu tertawa,

 “Apa yang membuatmu menyukainya?” kutanya,

                Sahabatku subjek dalam cerita ini, merona pipinya saat kutanyakan hal itu.

                “Karena dia orang yang bisa mengerti aku, dia satu-satunya orang yang paling ingin kuhindari, tetapi semakin aku menghindarinya, dia membuatku terus menerus berlari menujunya.”

                “Kamu nggak salah pilih orang kalau begitu,” aku tersenyum melirik seseorang di sebelahku. Dia tersipu.

                Kemudian, aku mengamatinya. Menyimak obrolan mereka. Dua orang asing yang sebelumnya tak saling kenal. Bertemu dalam satu waktu, merasa satu frekuensi, memutuskan bersama. Lihat, bagaimana begitu mudahnya Tuhan membolak-balikkan hati manusia?

                Aku tersenyum. Ikut merasa lega karena ternyata takdir mempertemukannya dengan seseorang yang lebih baik. Kini, hatinya telah berlabuh, dia tidak lagi perlu menunggu, ada seseorang yang siap membagi dunianya bersamanya, menyimak cerita-ceritanya, menjadi yang selalu ada setiap kali dia butuh. Dan yang terpenting, seseorang yang selalu menganggapnya ada, mengerti dirinya. Kupikir, itu sudah jauh lebih dari cukup

                Sekarang, giliranku mempertanyakan diriku sendiri. Kapan? Kapan aku akan berhenti mencari sesuatu yang seharusnya memang tidak ada? Dan kapan yang lain. Segala pertanyaan yang tidak bisa habis kulontarkan.

                Tetapi, apakah semua orang punya hati yang sama? Apakah semua orang memang ditakdirkan jatuh berulang-ulang pada orang yang sama sebelum pada akhirnya mereka menemukan satu yang membuatnya tidak lagi ingin mencari siapa-siapa? Apakah sebuah kesalahan bagi mereka yang masih terperangkap masa lalu, tidak peduli sekeras apa pun mereka mencoba berlari, hanya demi melindungi hatinya agar tidak lagi tersakiti? Kenapa rekontruksi batin manusia rumit sekali.
image
                                                                            pict form here
 
 
 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger