Rabu, 30 Oktober 2013

Sepulang Gereja



Sudah tidak terhitung lagi, ini kali ke berapa aku melakukan ritual yang sama. Sudah berminggu-minggu, sejak kedatanganmu ke kota ini. Selepas gerejaku sore tadi, aku terburu-buru hendak menemuimu. Di sebuah desa kecil tempat kau mengajari anak-anak banyak hal. Membaca dan menulis, mendongeng dan bercerita. Apa saja.
Seperti biasa, aku menunggumu di depan pintu pagar bangunan itu. Bangunan yang tidak terlalu besar tapi banyak menyimpan nilai-nilai kesederhanaan. Disanalah sebagian besar waktumu kauhabiskan, yang ajaibnya meski tugas kuliahmu padat seharian tapi demi anak-anak itu, kamu rela meluangkan waktu.
Barulah saat anak-anak itu berhamburan keluar dan tugasmu sudah usai, kamu akan berjalan anggun menghampiriku. Kerudung biru laut yang menempel di kepalamu terlihat begitu teduh dan menenangkan, digerak-gerakkan angin. Membuat wajah teduhmu semakin terlihat cantik. Menatapmu dari jarak beberapa meter dari tempatku berdiri, aku cuma bisa tersenyum.
"Udah lama nunggunya ya?" Kamu bertanya. Dengan senyum sumringah dan wajah teduh sempurna. Ya Tuhan, bahkan memandangimu sekilas saja mulutku sudah terbata-bata.
"L-umayan." aku semakin salah tingkah.
Kamu melirik jam tangan di tangan kananmu, sekilas. "Pulang sekarang?"
Aku mengangguk. Lalu tanpa diberi perintah kita sudah sama-sama melangkah. Begitulah, selama perjalanan pulang yang sering terjadi hanyalah lengang. Aku sedikit tanya basa-basi, kamu menjawab normal sewajarnya, begitu sebaliknya.
Dan langkah kita akan sama-sama terhenti persis di ujung jalan.Seperti biasa, menunggu bus kota. Sekali dua kali kamu menghela napas pendek, tidak juga datang.
"Bis nya lama ya?" kamu nyengir menatapku. Memperlihatkan gigi kelincimu yang putih dan berjejer rapi.
Aku tertawa pendek, memasang muka "sabar saja!" dan kamu bukannya mengangguk justru menggeleng pelan.
"Sebentar lagi maghrib," sambil tersenyum.
Aku ber'oh' pelan sambil menyeka dahiku yang sedikit berkeringat.
Sudah lima belas menit lalu bus kota tak kunjung tiba. Membuatmu resah dan berkali-kali melirik arloji. Kapan bus nya datang?
"Kalau maghrib masih lama, aku pasti nggak akan secemas ini."sekali lagi kamu tersenyum, meski aku tahu kamu sudah hampir putus asa menunggu.
Aku paham maksudmu, jelas saja. Kalau sampai lepas maghrib nantii kamu belum sampai rumah, bagaimana mungkin kamu meninggalkan sembahyang rutinmu itu?
"Mau aku antar, sekarang?" ragu-ragu aku bertanya. Alis hitam tebalmu terangkat. Seolah bertanya, "kemana?"
"Di dekat sini ada masjid." aku menunjuk salah satu gang dimana masjid itu didirikan. Kamu beberapa detik lamanya diam, menimbang-nimbang.
"Oke, aku sholat disana. Biar aku pergi kesana sendiri, ya!" kamu menatapku, tersenyum lagi.
Aku dengan cepat menggeleng. "Aku akan mengantarkanmu kesana!"
Setelahnya aku bisa mendengar intonasi suaramu meninggi. "Kamu tetap disini. Nggak masalah aku menunggu lama, rumahku nggak terlalu jauh dari sini. Tapi kamu? Rumahmu jauh. Kamu akan pulang larut kalau sampai kamu ketinggalan bis."
Kamu lupa kalau aku keras kepala. Aku dengan cepat menggeleng tegas bahkan sebelum kalimatmu barusan usai. Bagaimana mungkin aku akan membirkanmu sendirian menunggu bus malam-malam begini seorang diri? Kamu perempuan, dan aku-laki-laki-yang saat ini sedang bersamamu, bertanggung jawab menjagamu, atas hal apa pun itu.
"Nggak masalah. Bahkan aku akan menunggu bis itu datang sampai besok kalau perlu. Asal aku bisa pulang bersamamu." mataku menatapmu tajam. Samar-samar, aku lihat pipimu berubah warna. Bersemu merah. Aku terkekeh sendirian melihatmu salah tingkah.
Kemudian begitulah, sampai akhirnya aku untuk yang kedua kalinya-hari ini-menunggumu di depan sebuah bangunan. Bukan bangunan sederhana seperti tempatmu mengajari anak-anak, tapi bangunan berkubah tempatmu mengeja nama Tuhan.
"Makasih ya, udah nungguin." kamu tersenyum tulus, bibirmu melengkung senyum lagi.
Aku mengangguk, sama-sama.
"Ar?" kamu menyebut namaku, aku menoleh.
"Maafkan aku untuk hal-hal yang nggak bisa kulakukan kepadamu, sama seperti kamu melakukannya untukku." suaramu serak, menggigit bibir. Getir. Aku jelas mengerti kemana arah pembicaraanmu.
Akhirnya aku cuma bisa tersenyum, tidak apa-apa.
Dan kamu, demi melihat senyum itu, berhenti menggigit bibir. Senyummu kembali hadir.
"Al," mungkin suaraku terdengar lebih kecil dari desau angin, kamu tidak mendengar.
"Al, Aliyah?" kuulangi sekali lagi, dan tanpa menunggu enterupsi selanjutnya kamu sudah menoleh. Mimik mukamu seolah bertanya, "ada apa?"
"Gimana kalau kita lari? Lomba ya?" wajahku sumringah, kamu antusias.
Dan selanjutnya yang terjadi kita sudah berlari, secepat mungkin. Menuju tempat kita tadi menunggu bus. Kamu kelelahan, berkali-kali ngos-ngosan. Tapi beberapa detik berikutnya wajahmu kembali sumringah. Berjingkrak-jingkrak pelan. "Horee! aku yang menang. Kamu kalah!" seperti anak kecil, intonasimu saat menyebut kalimat itu terdengar menyenangkan.
Dan aku cuma bisa ketawa. Berikutnya disusul tawa milikmu. Tentu saja, aku cuma mengalah. Aku membiarkanmu menang, dan aku bisa melihatmu bertingkah seriang itu.
Dua menit setelah percakapan seru tentang lomba lari itu selesai, persis saat kamu mulai lelah untuk ketawa lagi, apa yang sejak tadi kita tunggu berjalan mendekat. Masih beberapa meter lagi. Itu bus yang kita tunggu-tunggu.
Matamu membulat senang, menunjuk bus itu. "Bisnya datang!" lalu nyengir lebar. Aku demi melihat wajah riangmu balas tersenyum.
"Nggak terlalu lama akhirnya datang juga." kamu berujar senang, "Alhamdulillah."
"Puji Tuhan, lomba lari tadi ternyata ada untungnya juga!" aku bergurau, dan mendadak tawamu yang mulai reda kembali berguncang lagi.
****
Rabu, 30 Oktober 2013
22.15 WIB
Langit Senja.
Yogyakarta.
 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger