Sabtu, 16 Agustus 2014

Jika

Dengarkan aku baik-baik Jim.

Kau tidak bisa memilih takdir mana yang harus kau jalani, atau hidup yang seperti apa yang ingin kaumiliki. Tidak bisa. Tidak akan pernah bisa.

Tapi kau, jelas bisa memilih sesuatu yang selalu bisa menjadi milikmu. Tentang banyak hal. Bukan hanya sekadar sedih atau bahagia, tertawa atau menangis, jatuh atau berdiri.Tetapi tentang sesuatu yang lebih sederhana. Sesederhana kebebasan dirimu sendiri untuk berbahagia atas semua hal yang terjadi dalam hidupmu. Kebebasan yang merubah sedu sedanmu menjadi tawa lepas sepanjang hari. Kebebasan yang lebih hidup, dan membuatmu mengerti  bahwa kebebasan itu adalah milikmu atas pilihanmu sendiri.

Kau selalu bisa memilih warna-warni yang kau lukis dalam kanvas hidupmu. Hanya saja, tidak semua warna menjadi sebab kenapa kau berbahagia. Jadi dengarkan aku, bahwa apa-apa yang bukan menjadi sebab kebahagiaanmu, itu bukan urusanmu. Hidupmu adalah hidupmu. Bahagiamu adalah bahagiamu. Sesederhana itu kau membuat hidupmu menjadi tak lagi abu-abu.

Tetaplah berdiri Jim, meski semua orang mengatakan bahwa hidupmu terlalu monoton dan biasa-biasa saja. Tetaplah berdiri, meski seluruh tekanan mencipta atmosfer sesak dalam tiap langkah yang kau pijak. Tetaplah berdiri, meski seluruh semesta berkonspirasi untuk mengujimu dengan badai bertubi-tubi.

Karena setelah itu semua, setelah semua badai yang berhasil kau arungi, selalu ada pelangi.

Dan,

Jika dunia ini merecokimu dengan segala sedih yang ia beri, maka ingatlah ini baik-baik, kamu tidak pernah 
sendiri.



15/08/14
23:35
Langit Senja

Yogyakarta

Minggu, 03 Agustus 2014

Di Balik Akasia

Ilustrasi/Kompasiana (kfk.kompas.com/Ib Putra Adnyana)

Ia berdiri di balik akasia besar di tepi jalan. Matahari memantulkan foton di kepalanya, 
sehingga rambutnya yang gondrong menutupi telinga itu terlihat menyala-nyala. Kemejanya yang kebesaran tersembul sebagian dari balik batang pohon, melambai-lambai tertiup angin. Dari balik punggungnya, aku mengamatinya sedang memperhatikan sesuatu.

Ia sedang menatap lurus-lurus pada beberapa bocah kecil yang sedang berlarian di tepi kolam. Sesekali aku melihat bahunya berguncang naik turun. Atau saat ia mengambil kerikil kecil di sekitarnya lalu melemparnya berulang-ulang ke sembarang tempat, begitu saja.
Ia tidak tahu bahwa aku mengamatinya saat ia mengisap tar dan nikotin. Asapnya menyebar ke segala penjuru. Menyelinap dari balik sisi batang akasia berupa kepulan asap pekat dan wangi mentol.

Ia tahu tali converse bitu tua di kedua kakinya lepas, bahkan mungkin sengaja ia yang melepasnya, tapi ia tidak tahu sulur talinya yang tergerai menjadi dua bagian itu dapat diamati dari balik batang pohon itu sewaktu-waktu, termasuk oleh aku.

Ia tidak sadar bahwa kuamati gestur tubuhnya sejak tadi. Kini, tubuhnya yang jangkung itu perlahan-lahan ditarik gravitasi, punggungnya yang bersender dibatang pohon itu perlahan-lahan roboh meluncur ke bawah, membuatnya berada pada posisi duduk, kakinya yang sebelumnya berdiri dibiarkannya lurus sejajar dengan badannya.

Ia masih tidak sadar aku mengamatinya. Tapi aku mengerti tatapannya belum beralih pada anak-anak yang masih bermain di sekitar kolam. Ia tidak sadar aku mengamatinya sedang serius memperhatikan sesuatu. Tapi aku lebih dari paham bahwa ia sedang mengamati sesuatu yang nilainya lebih dari sekadar bocah dan permainan.

Ia kembali melempar sebuah kerikil kecil. Selagi tangannya yang lain bergerak cekatan di saku celananya. Korek api dan sebungkus rokok mentolnya keluar. Menggantikan satu batang rokok yang sudah lenyap diisap paru-parunya.

Ia pengolah emosi yang baik, aku tahu. Bahkan saat dilihatnya anak-anak itu tertawa-tawa saling berkejaran, dua sudut di bibirnya ikut terangkat. Sesuatu yang bahkan hampir tidak pernah dilakukannya di hadapan orang-orang.

Ia memiliki rahang tegas dan struktur wajah keras. Semua orang yang melihatnya akan berpikir bahwa ia menyeramkan dan sarkas. Tapi tidak saat mereka mempunyai kesempatan untuk menyaksikan bagaimana cara ia tertawa, atau bagaimana saat melihat ekspresinya yang susah payah dijabarkan kata-kata. Penuh emosi dan ledakan, mistis tetapi melankolis.

Ia mengira semua orang akan menilainya manusia super yang tangguh. Tapi ia tidak sempat memprediksi bahwa siapa pun yang melihat kondisinya saat ini akan mengerti bahwa ia sebenarnya rapuh.

Ia bernama Jim, yang saat kutanya, “Kenapa tali sepatumu selalu diurai?”

Ia hanya menjawab, “Supaya aku tidak takut jatuh.”

Sebuah fiksi
24/07/2014
11:45 WIB
Langit Senja
Yogyakarta

Tags: Array


Jumat, 01 Agustus 2014

No Limit

Malam ini, adalah kata-kata yang retak
Delusi yang hampir sampai tapi tak pernah selesai
Malam ini, lidahku kelu lagi
Semua kata-kata hilang, faringku meradang
Malam ini, adalah bising rudal tanpa senapan
Memberangus hati tapi tak mati-mati
Malam ini, adalah aku yang punya nama
Tapi tidak semua menganggapku manusia
-Yogyakarta, 2 Agustus 2014. 1:30 WIB-


Teruntuk Kamu yang MahaHidup dan Menghidupi, yang membuat saya ada dan menjadikan saya keberadaan yang tidak pernah disia-siakan. Saya pernah membaca ini dalam sebuah tulisan, "Tuhan memberikan cintaNya untukmu lewat tangan-tangan lain." Dan malam ini, saya meyakini kalimat itu benar..
***
Sebelumnya, aku tidak pernah serumit ini. Bising suara ini sudah terlalu biasa dan aku sudah terbiasa menghadapinya. Hanya saja, jika tak ditambah dengan insomnia mungkin keadaannya akan berbeda. Aku sering mengatakan ke sejumlah orang bahwa aku spesies nocturnal, yang terjaga saat semua orang sedang terpejam pun sebaliknya. Aku sering kesulitan menemukan seseorang dengan jam tidur yang sama, minimal bisa kuajak berdiskusi barang sebentar soal beberapa hal untuk menghilangkan bosan. Hei, terjaga sendirian saat semua orang disekelilingmu sudah terlelap itu membosankan kan?
Tapi, malam ini, harus kuakui Tuhan MahaAsik. Seseorang tiba-tiba muncul dengan leluconnya yang konyol dan menghujaniku bertubi-tubi dengan lawakan. Tanpa kuminta, tanpa kujelaskan apa-apa.
Membuat seluruh bising itu lenyap tergantikan oleh tawa, membuatku berpikir bahwa mungkin Tuhan memang sengaja membuatnya insomnia. Ya, mungkin saja.
***
"Thanks God, for sending me someone who can make me laugh. Even, when he don't know that i was need a jokes."
-Chintaro-
2/08/14
2:00 WIB
Langit Senja
Yogyakarta
 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger