Jumat, 15 April 2016

Lima Milyar Sekian Juta Milisekon

Bagaimana bisa aku memikirkanmu siang dan malam?
               7x24 jam? Sinting.
                Belum jika diurai dengan satuan waktu secara matematis. Tiga puluh delapan bulan.
                Kalikan empat, kalikan dua belas, kalikan tiga, kalikan enam puluh, kalikan enam puluh lagi, kalikan enam puluh lagi. Tambahkan dua bulan yang tersisa.
                Maka angka fantastis yang akan kau dapat adalah: 5.515.776.000 milisekon.
                Aku sudah jadi milyader dunia kalau saja itu nominal uang.
***
                Dunia ini kompleks. Keteraturan itu absurd. Perasaan adalah definisi paling tidak rasional. Sekalipun dijabarkan dalam jutaan alinea, diberi label teori dari A sampai Z.
                Sekarang pukul 03.00 pagi di tempatmu.
                Wajahmu pasti baru saja terbilas air wudhu. Kebiasaanmu, rutinitas yang nyaris alpa engkau tinggalkan di sepertiga malam.  Aku membayangkan hidung, kening, dan dagumu membenam ditelapak bumi. Memanjatkan doa-doa yang diterbangkan sampai ke langit.  Mengadu dan berceloteh pada Tuhan lewat ritual yang engkau sebut-sebut sebagai penghambaan paling romantis antara manusia dan Tuhannya.  Sujud.
                Sekarang pukul 03.15 pagi di tempatmu.
Lima belas menit setelah rutinitasmu usai. Lembar kitab itu kuyakin sedang kaubaca dengan khusuknya, dengan alunan suara paling metafora.  Aku membayangkan nyaring suaramu bahkan meski sekali pun belum pernah kudengar kaubernyanyi.
 Dan tahukah engkau bahwa dibalik ketidakpahaman tentang apa yang sebenarnya kau lakukan, aku masih berusaha untuk mengerti?
Aku mengerti ada sekat-sekat yang tidak bisa kulanggar dan wajib kupatuhi. Suka atau tidak suka, terpaksa atau sukarela. Aku berada diantara dua sekat yang sama-sama tidak ingin kupilih. Meski salah satunya benar, karena sejatinya aku tidak pernah ingin dikekang.
Namun terbebas dari dua himpitan sekat itu bagiku sama sulitnya dengan menggapai kejora ditengah konstelasi bintang seluruh jagat raya. Terasa musykil dan terdengar mustahil. Tapi aku serius soal pengandaian itu. Aku tidak sedang bercanda, hal ini terlalu serius untuk diberi label main-main.
**
Tiga minggu lalu Aisyah jatuh sakit. A-i-s-y-a-h. Perempuan bermata teduh itu, aku curiga ada surga kecil di matanya. Surga yang hanya mampu dimiliki oleh seseorang dengan rutinitas sama sepertimu. Jujur, aku benci harus mengatakan ini. Namun sungguh kuakui, aku iri.
  Aku iri dengannya yang tanpa harus melakukan apa-apa bisa membuatmu jatuh cinta. Sesederhana itu, sesederhana karena dia adalah Asiyah. Tanpa harus menjadi siapa-siapa, tanpa perlu menjadi sempurna.  
“Bagaimana keadaannya?”
Katamu, kondisinya sudah membaik. Dia hanya butuh istirahat. Terlalu banyak aktivitas membuat kondisi fisiknya terkuras.
“Jadi, sebenarnya dia sakit apa?”
“Dokter bilang anemia, tapi dia sudah diperbolehkan pulang hari ini, tidak perlu rawat inap. Kamu tidak perlu khawatir.”
Tidak perlu khawatir katamu?
Padahal  raut cemasmu saat membawanya ke rumah sakit karena dia pingsan di tengah acara kampus tadi siang, persis seolah dia sedang mengidap kanker stadium akhir.
Aku cuma mengangguk dan tersenyum getir.
Hebat. Kekuatan magis apa yang bisa mempengaruhi seorang laki-laki super idealis sepertimu-yang pantang melanggar satu kewajibannya sekali pun-tapi siang ini dengan ringannya meninggalkan acara yang berbulan-bulan dia rancang demi mengantarkan seseorang ke rumah sakit meski sebenarnya itu bisa diwakilkan?  
Asiyah, kalau aku diberi kesempatan besar untuk bertanya padamu meski cuma sekali.
Bagaimana rasanya dikhawatirkan oleh seseorang yang benar kaucintai?
***
“Jangan lupa berdoa untuk kesembuhannya,” senyummu ditengah terik matahari pukul dua siang. Tiga puluh menit sebelum akhirnya aku kembali ke acara kampus. Melanjutkan tugasku sebagai pangurus.
“Doa apa yang harus kubaca?”
“Apa pun, yang kaubisa.”
“Apa kamu juga akan mendokannya?” aku bertanya, setengah menggoda. Tertawa kecil.
“Tentu saja. Ada pahala berlipat ganda bagi mereka yang mendoakan saudaranya yang sedang sakit.”
 “Karena itu?”
“Apanya?”
“Karena itu kamu berdoa untuk kesembuhannya?”
Kamu tertawa dan menggeleng, “aku tetap akan mendoakannya meskipun tidak mendapat apa-apa.”
“Jadi begitu ya?”
Dahimu berkerut, memandangiku dengan tanda tanya yang berlarut-larut.
“Kenapa?”
Aku menggeleng. “jadi, agar juga bisa kaudoakan, apa aku harus sakit dulu?”
Kali ini kamu benar-benar tertawa. Menggeleng dengan ekspresi “apa-apaan kamu ini” yang secara terang-terangan kaulempar tepat di bola mataku.
Aku mengibaskan tangan, mencoba bergurau. “Lupakan. Itu cuma bualan. Oh ya, soal jalannya seminar nanti, kamu tidak perlu khawatir. Aku akan bilang bahwa Kapel acara kita sedang terlibat urusan penting. Tugasmu aku ambil alih, biar Asiyah nanti aku cari siapa yang mau menggantikan. Aku pulang duluan,”
Kamu tersenyum dan mengangguk, mengucapkan terimakasih sebelum aku pergi.
***
Sekarang pukul 03.00 pagi untuk yang ke sekian kalinya di tempatmu.
Rutinitasmu masih tetap sama.
Namun kini aku mengerti keteraturan yang kaulakukan tidak akan pernah berjalan sama lagi.
Waktu berjalan dan semua peristiwa bergerak teratur mengikuti alur.
Kamu , tidak terkecuali.
A-i-s-y-a-h.  Kubayangkan saat ini dia tengah berada di belakang shafmu. Membaca kata ‘aamiin’ di penghujung alfatihah yang kaubaca.
Ah! Betapa beruntungnya.
***
Aku tahu sebongkah perasaan dan definisi ingin memiliki itu berbeda arti. Aku tidak lagi ingin melanggar batas kewarasanku sendiri. Sehingga engkau tidak perlu bilang bahwa aku ini waras, sebab aku mewaraskan diriku sendiri dengan tidak menggilakan kamu. Aku menyukaimu tanpa syarat, tanpa istilah yang dibuat-buat. Bahkan tanpa peduli beda ruang dan hal tabu yang bernama keyakinan.
***
                Pada 174.182.4000 milisekon aku menyerah.
                Tahu kenapa? Karena terlambat kusadari bahwa hanya di mata Aisyah lah engkau bisa menemukan surga.
                Sebab aku bukan dia yang bisa mengikuti gerak sujudmu dari belakang.  
Aku hanya bisa berdoa untukmu dengan caraku sendiri, di tempat yang berbeda dengan ruang ibadahmu.  Rasanya, cinta memang tidak pernah sesederhana itu.


               
 pict from here

16/04/16
2:05 pagi
SIF

Selasa, 05 April 2016

Aku Tidak Serumit yang Kamu Pikirkan

Aku ini tipe perempuan yang tidak pernah berdamai dengan keteraturan. Jam tidurku saja berantakan. Apalagi soal kehidupan taratur yang mengharuskanku untuk bangun pagi, bebersih, memasak dan mencuci.
Aku melakukan semuanya semauku, sebebasku. Aku suka ngopi dan tidur pagi-pagi. Aku beraktivitas saat semua manusia sedang sibuk bermimpi. Aku tidak suka memasak, tidak rajin bebersih dan rutinitas mencuciku bisa dihitung menggunakan jari.
Aku suka jalan-jalan dan sendirian. Aku menyukai banyak hal yang boleh jadi dibenci banyak orang. Bisa saja, kamu salah satunya.
Dan kalau pada akhirnya kamu disuruh memilih, masihkah kamu mau dengan perempuan sepertiku?
Kalau jawabanmu iya.
Selamat.
Berarti kamu adalah laki-laki paling berlapang dada sedunia.
Dan kalau benar kamu memilihku atas dasar mencintai tanpa alasan, aku mau meminta satu hal ini padamu, boleh kan?
Bangunkan aku sholat tahajud.
Jadi aku tidak akan minum kopi lagi agar bisa tidur lebih awal dan bangun di jam normal.
Sehingga dengan begitu aku bisa merubah semua kebiasaan-kebiasaanku yang sebelumnya kaubenci itu.
Kalau aku nggak ngopi, kalau aku bangun pagi, aku bisa teratur bebersih memasak dan mencuci.
Mudah saja kan?
Aku memang tidak serumit yang kamu pikirkan.
2:00 a.m
Kota Kembang
SIF

Akan Datang Seseorang dalam Hidupmu

Nanti, akan datang seseorang dalam hidupmu. Mengetuk pintu hatimu yang semula kaututup rapat-rapat, mengucap selamat datang dan meminta izin untuk tinggal.
Sekuat apa pun kau menolak, sekeras apa pun kau menyanggah, secerdik apa pun kau menyembunyikan kunci, daya magisnya tetap akan berhasil membuat sisi kebekuanmu luruh.
Sehingga tanpa terpaksa kau memberinya izin, menyanggupi permintaannya tanpa syarat.
Dia yang datang dihidupmu tanpa pernah kau duga-duga sebelumnya. Seseorang yang mengingatkanmu tentang kelembutan hati seorang Ibu, kasih sayang seorang ayah, dan rasa nyaman ketika kau berada di rumah.
Dengannya, rasanya kamu sanggup menghadapi dunia tanpa rasa takut. Meski seluruh dunia mencela dan kamu merasa tidak memiliki apa-apa, namun bersamanya kamu telah merasa cukup.
Dia akan datang di waktu yang tepat. Di saat kamu tidak lagi ingin mencari dan memilih ditemukan.
Nanti, jika tiba waktu dimana kamu ditemukan olehnya. Maka ketahuilah, saat itu semesta sedang membayar lunas luka hatimu dengan bahagia yang berlipat ganda.
1:42
pada dini hari yang sunyi
Kota Kembang
SIF

Minggu, 03 April 2016

Sepucuk Doa Mbah Sar

 Sore itu, aku sedang duduk di meja makan. Hal sepele yang biasanya kulakukan seorang diri di rumah jika tidak ada kerjaan. Aku hanya duduk, mengawang memikirkan apa saja yang terlintas di kepala. Tanpa berbuat apa-apa.
                Lalu tiba-tiba, dari arah dapur sesosok perempuan menghampiriku. Senyumnya mengembang.
                “Den,” sapanya.
                Aku tersenyum, mengangguk. Memberinya isyarat agar ikut duduk.
                Maka seperti biasanya, mengalirlah percakapan diantara kami. Dia dengan kisah nostalgia masa mudanya, dan aku lebih banyak diam mendengarkan.  Kudengarkan kisah masa lalunya tentang romansa masa muda.
                “Dulu Den, saya kalau kemana-mana sama pacar saya cuma naik sepeda. Itu pun kami jarang sekali berpergian berdua. Jarang bertemu dan komunikasi mboten segampang sakniki.”
                Aku nyengir, mengangguk kecil. Membiarkannya melanjutkan ceritanya.
                “Ah! Dulu semuanya masih terlalu berpedoman sama norma. Anak gadis mboten elok kalau pergi-pergi berdua apalagi sama yang bukan makhromnya. Orangtua jaman dulu terlalu ketat mengatur anak-anaknya soal itu, Den. Kalau mau serius ya langsung nikah. Mboten enten istilah main-main atau pacaran kayak sekarang.”
                Sebenarnya moodku hari itu sedang tidak kondusif membicarakan apa pun, termasuk soal ini.  Bicara soal komitmen bagiku adalah sesuatu yang absurd. Terlalu riskan untuk kutelaah, berat sekali untuk kumengerti.
                Tapi aku tidak punya pilihan lain selain terus mendengarkan, demi kode etik. Seru sebenarnya melihat bola matanya yang berbinar tiap kali cerita itu mengalir dari bibirnya yang mulai renta. Sampai akhirnya aku menyadari satu hal.
                Benar. Tidak biasanya dia bercerita dan mengajakku bicara tentang perasaan. Baru kali ini, dan aku mulai menyadari apa itu artinya. Mungkin, dia ingin menasehatiku lewat cara yang lain. Aku tahu bagaimana mengertinya perempuan itu tentang keras kepalanya aku selama ini. Aku juga tahu perempuan itu sebenarnya mengerti bagaimana bekunya hatiku lebih dari siapa pun.
                “Den,”
                Dia kembali menyapaku setelah sebelumnya aku hanya bungkam.
                Kula pesen kalih njenengan, pisan niki mawon kulo ngendika. Kalau besok njenengan suka sama laki-laki, pilih satu mawon yang terbaik. Cukup kalih setunggal tiyang mawon. Ampun ganti-ganti, nggih Den.”
                Aku diam, mencerna kalimatnya dalam-dalam.
                Nggih Mbah, “ kataku mengangguk. Meyakinkan dengan menatapnya sungguh-sungguh.
***
                Percakapan itu berlangsung beberapa hari sebelum aku meninggalkan rumah. Sebelum akhirnya malam itu aku meminta diri untuk pergi. Malam saat beliau sembunyi dibelakang rumah karena tidak tega kupamiti. Aku tidak tahu kenapa langkahku terasa berat malam itu. Separuh hatiku bahagia karena mimpiku menjadi anak rantau akhirnya terealisasi juga, tapi berat membayangkan bagaimana hidupku nanti di kota orang tanpa Mbah Sar.
                Demi Tuhan, sepanjang hidupku aku tidak akan pernah lupa. Bagaimana pengabdiannya selama ini untuk keluarga kami-untuk diriku sendiri terutama. Mbah Sar yang setiap hari setia bangun pagi, memasak, mencuci, menyiapkan segala keperluan, perlengkapan dan makan untukku selama di rumah.
                Mbah Sar yang mengerti benar bagaimana kondisiku lebih dari siapa pun orang di rumah itu. Aku berhutang budi banyak hal kepadanya. Bahkan jika harus kubayar dengan sisa umurku untuk membuatnya bahagia, kurasa itu tidak akan pernah cukup.
                Sudah enam bulan lebih, aku tidak bertemu dengan sosoknya lagi.  Aku ingin menangis, memutar balik waktu. Tapi tidak bisa, aku tidak punya kendali soal itu.
                Aku ingin bertemu dengannya dalam keadaan sukses. Sehingga mimpiku untuk memberangkatkannya naik haji bisa terealisasi. Sehingga pencapain-pencapaianku bisa mengukir senyumnya, jawaban dari doa-doanya yang selama ini beliau panjatkan untukku.
                Den, kula mboten mandek doake njenengan. Mugi-mugi sesuk jenengan dadi tiyang sukses, bahagia uripe, lan mugi ampun lali kalih kula.”
                 Aaamiin.
                 Aamiin.
                Aamiin Ya Allah
                Bahagia selalu di sana mbah.
                Menualah dengan penuh suka cita di sisi keluargamu.
                Tunggu anak asuhmu yang bandel dan suka bikin onar ini jadi orang sukses.

                Insya Allah, lima tahun lagi. Mbah Sar naik haji.



 pict from here

Jumat, 01 April 2016

Dear 3.am

Aku ini nocturnal.

Kamu tidur, aku bangun.

Kamu bangun, aku baru tidur.

Gitu terus berhari-hari. Rutinitas yang seolah sudah mendarah daging.

Aku bukan nggak berusaha tidur tepat waktu. Nyatanya tidak hanya sekali, di bawah jam 12 aku mematikan ponsel, lampu, dan komputer jinjing lalu memutuskan tidur.

Dua jam berbaring di tempat tidur dengan mata terpejam tapi pikiran kemana-mana. Bisa jadi ini yang disebut insomnia.

Jadi aku tidak sepenuhnya tidur sebenarnya meski memejam lama. Maka lebih banyak misiku untuk tidur lebih awal itu gagal total.

Di atas jam dua belas, aku lebih sering beranjak dari tempat tidur. Mengulang aktivitas malamku lagi.

Kupikir lebih baik begini. Karena serius, merem lama tapi nggak tidur-tidur juga itu bikin capek, nguras tenaga.

Lebih baik tetap terjaga sambil nunggu wangsit ngantuk itu datang sendiri.

Ngapain aja?

Ya nggak ngapa-ngapain.

Lebih sering corat-coret, ngutak-atik sosmed, atau keseloan lain yang awam dilakukan orang-orang. Bedanya mereka lebih banyak melakukan itu saat siang, aku malam.

Kapan insyaf jadi kalong?

Nggak tahu.

Belum dapat ilham.

Memang enak?

Wah enggak. Kamu bersyukur saja kalau masih bisa tidur nyenyak dan teratur.

Apa kabar badan kamu?

Semacam mendzolimi diri sendiri sebenarnya. Tapi nggak apa-apa. Badanku sudah kebal. Sudah terbiasa.

Pengen nggak berhenti dari rutinitas begadang saban hari?

Jangan ditanya. Aku setuju benar dengan Bang Rhoma. Begadang boleh saja, asal ada perlunya. Yang berlebihan memang nggak baik.

2/04/16
1:44 am














Rabu, 23 Maret 2016

Tanda Tanya yang Selalu Bergerak Konstan

Aku sedang ingin menerka segala hal tentang kamu. Tanda tanya yang selalu bergerak konstan. Tanpa bisa kudeskripsikan.
Tidak tahu karena pasal apa, kamu begitu saja datang. Mengetuk duniaku. Masuk ke dalamnya, menjadi bagian penting dalam skenario milikku.
Dari awal, ingin rasanya kuhindari segalamu. Aku enggan membuka duniaku pada siapa pun. Kamu tahu sejak dulu, kepalaku bahkan lebih keras dari batu, sikapku lebih dingin dari gunung es di kutub, atau apa pun itu namanya-yang jelas aku berani bertaruh-bahwa untuk menaklukan itu semua, kamu tidak akan pernah sanggup.
Tapi hidup bukan pertaruhan soal mana yang jelas dan transparan.
Nyatanya, kamu masih tetap berdiri di sana hingga sekarang. Mengulurkan tangan, meski setengah mati aku menolaknya habis-habisan.
Aku malas bercerita apa pun soal masa lalu. Atau sisi lain dari diriku yang tidak pernah kuceritakan pada siapa pun. Termasuk kamu.
Tapi ajaibnya, kamu mengerti dengan sendirinya tanpa harus kuceritakan banyak hal. Kamu adalah satu dari sebagian kecil yang mengerti. Yang paham dari sekian banyak yang mengabaikan. Dan terimakasih sudah begitu peduli dengan repot-repot mengarungi seluk beluk dan riweh hidupku.
Aku harus bilang, bahwa aku tidak punya kekuatan besar untuk memaksamu agar tetap berdiri di tempat yang sama seperti sekarang kamu berada.
Namun, boleh kan aku bilang jujur untuk satu hal ini?
Aku takut kamu menghilang.
Jadi, jangan pergi.

12/08/15
Langit Senja
Yogyakarta


pict from tumblr

Minggu, 20 Maret 2016

Aku Iri

Aku iri; pada tebal buku yang kaubaca dan kausimak tiap harinya dengan antusiasme luar biasa.
Aku iri; pada secangkir kopi yang berhasil menetralkan pusing kepalamu bahkan saat kau menyeduhnya tanpa gula.
Aku iri; pada segenggam layar selebar lima inci yang selalu menjadi pusat perhatianmu tiap lima menit sekali.
Aku iri; pada banyak hal. Yang bisa membuatmu tersenyum dengan mudah. Sedang aku harus melakukannya dengan susah payah.

 

Kamu Pasti Pernah Jatuh Cinta

Kamu pasti pernah jatuh cinta. Apa pun alasannya atau bahkan tanpa alasan sekali pun. Lalu menerka dan membayangkan wajah seseorang yang tiba-tiba menjadi sangat adiktif terhadap sel syaraf neuronmu, memutarnya berulang-ulang, sampai kamu mengingat di luar kepala apa-apa yang bisa jadi sudah dilupakan oleh banyak orang.
Kamu pasti pernah merasa tertekan dan tersudut di suatu keadaan. Bimbang dengan halusimu sendiri, mengkhawatirkan hal-hal yang sebenarnya tak perlu dikhawatirkan sama sekali, merasa gundah gulana setiap waktu dan hal lainnya yang sangat menguras waktu dan energimu.
Aku tidak paham jatuh cinta itu disebabkan oleh senyawa kimia jenis apa. Tapi yang jelas ketika merasakannya-kamu tahu-efeknya cukup luar biasa. Semacam psikotropika yang secara mekanik bekerja untuk membuat debar dadamu bergerak tak teratur. Bahkan lebih berbahaya lagi; bagai amonium yang dengan mudahnya membungkam seluruh tubuhmu hanya dalam hitungan detik.
Bagaimana jika kukatakan ada banyak cara agar setidaknya-jatuh cintamu-menjadi tak sebercanda itu? Lalu kamu mulai bertanya padaku “bagaimana?”
Baik, dengarkan aku baik-baik. Kamu duduk dan simaklah, mungkin tulisan ini akan sedikit membosankan bagimu. Tapi kau tahu, cara ini lumayan jitu.
1. Hatimu bukan robot. Dia tidak bisa dikendalikan. Tapi kamu bisa mengendalikan hatimu sendiri. Ketika rasa itu datang, sambut saja dengan sewajarnya. Sebab sesuatu yang katanya berlebihan akan berakhir tidak menyenangkan, kan?
2. Kamu bisa jatuh cinta dengan siapa pun, tapi kamu tidak bisa memilih kepada siapa hatimu akan berlabuh. Sehingga ketika kamu berpikir keras tentang kemustahilan yang membuatmu terus menerus mempertanyakan ‘kenapa bisa dia’? Maka jawabannya sederhana: itu sudah hukum semesta.
3. Kadang cinta hanya sesederhana ketika kamu menyimpan perasaan untuk seseorang. Sesederhana ketika kamu menyimpan rahasia terhadap dirimu sendiri. Karena terdeteksi atau tak terdeteksi sama sekali; cinta tetaplah cinta. Tidak akan berbeda definisinya meski hanya seinci.
4. Hatimu bukan magnet. Bukan benda dengan daya kemagnetan yang secara fungsional memiliki keterikatan dengan arah kutub yang berbeda. Utara dan Selatan. Hatimu tidak dirancang untuk bekerja seperti itu. Hatimu bukan kutub utara atau selatan, dan hati yang kaujatuh cintai bukan pula kutub selatan atau utara. Tidak ada kesepakatan untuk keduanya saling menyatu. Sehingga dalam hal ini, yang bisa memberi jawaban dari semua pertanyaan paling rahasia hanyalah waktu.
5. Bisa jatuh cinta dan mencintai itu artinya kamu diberkati. Belajar melepaskan dan mengikhlaskan itu berarti kamu memiliki kesempatan untuk bahagia dengan semua pilihan yang kamu miliki, meski berbeda opsi.



Jatuh cintalah, rasakan sakit, manis, dan, getirnya di waktu yang sama. Agar kau tahu esensi rasanya jadi manusia. Asal jangan lupa, hatimu pantas bahagia dengan siapa saja. Bukan harus terus menerus terjebak pada satu titik yang sama.
Kota Kembang, 15/03/16
2:41
SIF

Selasa, 16 Februari 2016

Kamu Indah

Hai,
Bagaiamana rasanya ketika terbangun dari tidur, pada jendelamu kautemukan sepotong senja mengembara?
Bahwa langitnya indah, lalu kamu dibuat takjub terkesiama. Dan ia membuatmu mengerti; apa itu proyeksi.
Kamu pernahkah mendengar satu kejujuran kecil saja ,yang mungkin belum pernah kaudengar sebelumnya?
Bahwa kamu, bahkan lebih indah dari pantulan warna-warna memesona itu, lebih indah dari spektrum-spektrum warna pada pelangi.
Kamu jauh lebih membuatku takjub berkali-kali lipat, karena seluruhnya dirimu menakjubkan melebihi dari yang sanggup aku bayangkan.
Lihatlah, ketika senja dengan warnanya bisa lenyap dimakan almanak setiap petangnya.
 Tapi warna pada pesona wujudmu, tidak.  Masih nampak.
Ia masih menyeruak muncul, rapi berkeliaran dan kurekam dalam memori.
Dan lihatlah ketika selepas hujan, jembatan warna-warni pada semesta yang sering kausebut pelangi mengangkasa dengan begitu indahnya.
Lalu pada detik berikutnya, begitu matahari muncul dari balik mega-mega, keindahan itu menguap.
Tapi seseorang istimewa pada semesta yang sering kusebut kamu, tidak. Masih nampak.
Ia masih mengendap kuat, kokoh bersemayam dan kuabadikan dalam sepotong hati.
Maka, tidakkah kautahu bahwa dirimu jauh lebih indah dari apa yang sebelumnya kamu tahu?
Tidakkah kamu mengerti, bahwa pada sebagian hati kamu adalah alasan bagi jiwa yang kuat untuk tetap tersenyum setiap hari?
Mungkin bagimu, hidupmu biasa-biasa saja. Tapi bagi orang lain kamulah kehidupannya.
Jadi mengertilah, kamu indah.

Senin, 25 Januari 2016

Janji yang Belum Terealisasi

Welcome,

Saya sudah berhenti menulis apa pun di blog ini sejak beberapa bulan yang lalu. Karena tiiba-tiba, saya merasa berada di titik dimana lebih baik saya berhenti menuliskan apa saja. Saya seperti kehilangan hasrat untuk menulis tentang apa pun setahun belakangan ini, entah itu fiksi atau pengalaman pribadi.

Naif kalau saya bilang saya tidak lagi menggemari hobi menulis. Karena bagi saya, menulis itu bagian hidup saya. Hanya saja, entahlah. Saya tidak tahu harus bagaimana memulainya. Meski kadang membaca ulang postingan-postingan di blog ini membuat dada saya terasa sesak.

Lihatlah, betapa dulu saya sering sekali mengisi blog ini setidaknya seminggu tiga kali. Bahkan pernah memposting banyak cerita dalam waktu berdekatan secara berulang-ulang, rutinitas yang seolah tanpa beban. Tapi sekarang, saya seperti kehilangan kata-kata, menggigit jari, mengolok diri sendiri, "kenapa sekarang jadi menurun drastis seperti ini?"

 Tapi, saya tidak boleh egois. Masih banyak janji saya yang belum terpenuhi. Menuliskan nama-nama orang yang telah berjasa atas karya saya dalam selembar kertas di halaman sebuah buku yang terjilid rapi. Membuat orang-orang tersenyum begitu membaca nama mereka tertulis di buku saya. Well, impian yang sebenarnya sederhana. Namun merealisasikannya tentu membutuhkan banyak usaha.


Jadi, hari ini setidaknya kepada diri saya sendiri saya berjanji akan lebih banyak menulis. Lebih banyak lagi merangkai kata. Lebih banyak menyisihkan waktu demi impian yang sejak dulu hanya akan menjadi 'ingin' jika saya tidak pernah memulainya. Saya tidak lagi peduli apakah kelak tulisan saya akan di baca atau terabaikan begitu saja. Karena saya menulis untuk diri saya sendiri. Dan itu sudah lebih dari cukup.

So, here im.

Setelah ini, akan lebih banyak cerita yang terposting.

Terimakasih untuk kalian yang masih dengan sedia membaca blog saya barang sekali dua kali.

Sampai jumpa kembali di dunia fiksi.

Sinta IF
25 Januari '15
Yogyakarta
 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger