Kamis, 14 Mei 2020

19:12

19:12

Sudah berapa tahun? Jujur, aku tidak peduli, juga tidak mau menghitung. Alasan apa yang membuat seseorang meletakkan sebuah nama dihatinya bertahun-tahun, sementara dalam dunianya, dia sudah menemukan segala-galanya. Tempat dimana seharusnya ia pulang. Menemukan apa yang dia cari. Apa itu rumah. Seharusnya, itu sudah cukup.
Kalau ia bisa bertemu dengan seseorang yang lebih baik, bukankah itu cukup? Atau dalam hal ini, baik buruk itu cuma kata sifat? Jangan-jangan benar kata penulis cerita ‘Sarapan Pagi Penuh Dusta’ itu, bahwa kebaikan tidak sebanding lurus dengan rasa suka. Aku ikut teorinya. Tetapi Kawan, percayalah, membuktikannya lewat praktik ternyata jauh lebih sulit ketimbang menuliskannya lewat kata-kata.
Andai waktu bisa diulang dan jarum jam bisa diputar rotasi ke arah kiri, aku memilih tidak mengenalnya sama sekali. Dia tidak perlu datang ke duniaku, tidak perlu melakukan apa-apa yang cuma sebentar sementara aku terus mengingatnya berulang-ulang, tidak perlu mengurai cerita sepanjang ini. Menyebalkan sekali.
Tetapi, memangnya siapa yang berhak mengatur pertemuan dan perpisahan? Kalau daun yang jatuh saja punya momentum, apalagi takdir manusia yang dikaruniai akal, diberi waktu, dan mendapat perhitungan?
“Apa yang kamu cari dari aku?” kutanya.
“Kamu terlalu skeptis, ayolah. Nggak semua hal butuh penjelasan.”
“Aku nggak mau bikin orang lain repot, termasuk kamu.” aku menuang affogato di gelas es krimku. Mengambil sendok kecil, menyuapkannya masuk ke mulutku.
Matcha Lattenya masih penuh, aku yakin ia tidak berselera menyentuh minumannya, dengan seseorang duduk di depannya, menginterogasi.
“Aku bahkan nggak ngerti yang kamu maksud repot itu yang bagaimana? Minta bantuanku saja kamu hampir nggak pernah.” Ia berkata sinis.
Aku tertawa,
“Duniaku enggak semenyenangkan yang kamu kira.” Aku mencomot potato stick, mencocolnya dengan saus mayo pedas yang tadi kupesan. Dia memperhatikanku, menunggu apa yang akan kuucapkan selanjutnya.
“Dengar ya, aku cuma nggak mau kamu repot-repot memasuki duniaku yang rumit itu, memikirkan banyak hal yang seharusnya enggak perlu kamu pikirkan, ikut terbawa alur dalam ceritaku, yang aku yakin saat membaca chapter pertamanya saja kamu mungkin akan mundur duluan, melambaikan tangan. Memilih menyerah. Aku cuma mau kamu ngerti, nggak minta apa-apa. Jadi tolong, berhentilah.”
Ia mengepalkan tangannya di atas meja, dadanya naik turun, mungkin memendam amarah.  Aku menelan ludah.
“Berhenti memikirkan apa pun tentang aku, tentang seseorang yang kamu kira istimewa, yang selalu kamu cari-cari ada apa dia di dalamnya. I told you. Im just me. Aku cuma orang biasa. Aku nggak hebat. Kalau kamu berpikir untuk pergi, my pleasure.  I don’t mind. Please, just go away.”
“Aku nggak bisa lupain kamu, kalau itu yang kamu minta.”
“Kenapa? Kamu  terlihat sudah bahagia,”
“Apa parameternya?”
“Seorang perempuan yang baik, yang selalu ada di sebelahmu, yang sanggup melakukan apa saja, demi orang yang dicintainya. Seharusnya kamu beruntung, kamu beruntung sekali.”
“Kamu nggak bisa menakar keberuntungan seseorang hanya dengan melihat dari sisi luar. Selama ini, aku memaksakan kebahagiaanku di depan orang-orang, mati-matian membuktikan pada diriku sendiri kalau aku bisa melupakan seseorang yang nggak pernah sadar bahwa dia bisa jadi sebab kesedihan orang lain karena pengabaiannya.
 Aku bisa melakukannya bertahun-bertahun, menutupi semuanya dengan rapi. Tapi sejauh apa pun aku berusaha pergi, ada bayang-bayang seseorang yang terus menerus mengikuti. Sampai akhirnya aku sadar, aku menyerah, aku cuma sedang sibuk menipu diriku sendiri. ”
“Seharusnya, kamu nggak perlu kenal aku ya?” Aku tertawa.
“Kenal sama kamu itu bikin repot, ternyata kamu benar. Kamu memang merepotkan.” Dia berusaha tertawa, meraih gelas minumannya.
“Bisa tolong sudahi?”
“Apa maksudmu?”
“I love you, but im letting go,” aku tersenyum.
Dia menatapku, kebingungan. “Jangan kegeeran, itu judul lagu. Pernah dengar?”
“Pernah, kenapa?”
“Ya nggak apa-apa, bagus.”
“Kamu ini nggak jelas,”
“Kan dari dulu,”
Dia tertawa.
“Sudah ya? Then, please just come back on your journey. Without me. Kamu harus bahagia,”

Dia menatapku, menghela napas, lama sekali. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa setelah itu. Berat untuk bicara terus terang, tetapi aku hanya dapat mengatakan apa yang seharusnya kukatakan. Dia baik, baik sekali. Setidaknya, dia pernah begitu tulus menyukai seseorang seperti aku. Yang dalam kamus hidupnya mungkin adalah bagian terumit yang pernah ia temui. Sisi yang tidak bisa sepenuhnya dia pahami, tetapi setidaknya dia pernah sekuat tenaga berusaha. Sudah kubilang di awal, tidak pernah mudah memasuki duniaku, tetapi aku tahu dia sudah berusaha semampu yang dia bisa. Meski akhirnya ia memilih menyerah, mengira bahwa ia gagal. Namun yang terjadi sebenarnya adalah sebaliknya, ia menang. Aku yang kalah dengan diriku sendiri.  Sebab bagian terbaik dari memiliki perasaan terhadap  seseorang adalah melepaskan. Jadi kupikir dia bisa mengerti. Kupikir dia bisa merelakan.

Dalam banyak hal, kami berbeda, seharusnya ia paham itu sejak awal. Tapi ia tak mau dengar.  Sekarang, kalau dia berkesempatan membaca seluruh cerita ini, aku cuma ingin dia bahagia.

“Thank you for having me. Now, please let me go. See
you in another story!”







 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger