Sabtu, 29 April 2017

Cinta Adalah Segelas Air Putih

           Dia ada di depan meja saya, membolak-balik halaman buku setebal kamus bahasa inggris versi lima milyar yang dulu sering saya baca saat masih duduk di bangku sekolah dasar, mimik mukanya serius sekali. Saya tahu, saat sedang dalam situasi seperti ini dunia bagai miliknya sendiri.
Ada membran tak kasat mata yang tidak bisa ditembus oleh siapa pun saat ia sedang tenggelam dalam buku-buku. Seolah kami-makhluk hidup yang berada disekitarnya-adalah patung yang cuma punya kemampuan bernafas dan tidak punya kepentingan lain termasuk mengamatinya meski diam-diam.
“Oke, halaman dua ratus lima puluh enam. Selesai.” Serta merta, ia menutup bukunya. Membuyarkan lamunan saya yang sebelumnya tertuju pada segelas air putih yang volumenya masih tetap penuh, tidak berkurang sedikitpun sejak ia memesannya satu jam yang lalu.
“Sudah selesai?” saya bertanya. Memasang posisi duduk serileks mungkin.
Dia menggeleng, “Belum, masih kurang seperempat. Sekarang giliranmu.”
Saya tahu, itu adalah alarm tanda ia mempersilakan saya untuk memasuki dunianya yang perlahan mulai terbuka.
“Dengarkan aku baik-baik,” ujar saya serius. Menatap matanya yang tetap memandangi saya lurus-lurus.
“Sudah kulakukan sebelum kamu memintaku,” ia mengedikkan bahu.
Terkekeh saya mendengar jawabannya. Dia tipikal individualis yang fleksibel. Ada saat dimana ia tidak ingin membagi dunianya pada siapa pun, tapi di sisi lain ia terbuka, meski saya yakin tidak banyak orang yang bisa berbagi dunia bersamanya.
“Apa yang sedang kamu cari sebenarnya?” saya bertanya, serius.
Ia meletakkan tangannya ke atas meja, bertopang dagu. Matanya masih tetap menelusuri mata saya dengan seksama. Seolah itu adalah harga yang harus ia bayar lunas pada saya setelah menunggunya selama satu jam penuh tanpa obrolan, demi memberinya waktu menikmati buku yang barusan ia baca.
“Berhentilah, aku tahu kamu lelah.”
Ia tersenyum. Segala rasa khawatir saya tiba-tiba menguap.
“Mau sampai kapan?” saya bertanya lagi.
Sekali lagi, ia tersenyum. Sebelum tangannya beralih meraih gelas berisi air putih, menghabiskan isinya sampai tandas dalam satu kali teguk. Saya mengamatinya sambil menelan ludah.
“Sampai aku berhasil berdamai dengan diriku sendiri,” ujarnya tenang. Tanpa beban.
“Sebut, bilang padaku, apa harga yang harus kubayar demi bisa membuatmu berdamai dengan diri sendiri?”
“Sesuatu yang tidak akan pernah bisa kamu hitung dengan angka-angka.”
Saya menatapnya tidak mengerti. Sungguh, saya ingin menjadi matanya barang lima menit. Melihat apa yang terlintas dipikirannya saat dia menatap saya dengan pandangan yang tidak bisa saya deskribsikan dengan kata-kata. Tajam tetapi meluluhkan. Tenang tetapi di satu sisi membuat gelisah dalam waktu bersamaan.
“Ada begitu banyak pilihan di luar sana, kalau kamu tidak bisa memilih mana yang terbaik untukmu. Setidaknya, beranilah memilih salah satu. Hidup ini berisi banyak pilihan, tidak semua hal yang kaupilih adalah suatu hal yang pasti benar, memang. Tapi itu tetap lebih baik daripada kamu menghabiskan waktu meyakini bahwa pilihan itu sudah pasti salah, bahkan sebelum kamu mencobanya.”
“Jadi, menurutmu aku harus bagaimana?”
“Buka hatimu untuk orang lain,”
Ia tertawa, hambar. “Sayangnya, aku selalu merasa tidak pernah memiliki kesempatan untuk memilih jika dihadapkan dengan hal klasik yang disebut jatuh cinta,”
“Bukankah selalu ada kesempatan untuk memilih yang lebih baik? Lebih segala-galanya?”
“Dengarkan aku baik-baik,” ganti ia yang menatapku serius. Mengunci pandanganku dengan sekali tatap.
“Di dunia ini, sebaik apa pun seseorang, sesempurna apa pun dia. Tidak semuanya bisa mengetuk pintu hati kita. Ada hal-hal yang tidak bisa dijangkau oleh nalar manusia, yang tidak bisa dilogika dengan hanya standar duniawi dan indrawi jika menyangkut soal hati. Maka jangan pernah tanyakan kenapa setiap dari kita tidak memiliki alasan setiap kali ditanya ‘kenapa kita mencintai seseorang’. Itu rumit. Tidak bisa dijelaskan.”
“Apa makna cinta bagimu?” saya menantangnya. Mengadu mata saya dengan matanya, berharap ia takluk. Supaya pembenaran atas kekeras-kepalaannya selama ini meluruh.
“Cinta itu...” ia menggumam. Matanya berputar teatrikal. Berpikir dan menimbang sebelum ia memutuskan untuk menjawab. Saya tahu, dia bukan orang yang sembarangan dalam memutuskan sesuatu. Semua yang meluncur dari mulutnya adalah hasil dari proses penyaringan jangka panjang di dalam sel abu.
“Cinta itu seperti segelas air putih yang barusan kuminum,” katanya, menunjuk gelas kosong di depannya.
“Aku bisa saja memesan kopi, menikmati setiap inci pahitnya dalam beberapa kali teguk. Karena bagaimana pun, membaca buku ditemani secangkir kopi tetap jauh lebih menyenangkan daripada segelas air putih.”
“Tapi aku memilih memesan segelas air putih malam ini. Karena aku harus minum, bukan karena aku ingin atau terpaksa. Bukan karena aku lebih suka air tawar daripada air kopi. Bagiku, begitulah cara cinta bekerja.” Lanjutnya.
“Aku harus minum air putih karena aku tidak punya pilihan lain. Lambungku bermasalah, sekali saja kuteguk kafein, asam lambungku akan naik dua kali lipat. Kenapa tidak memesan teh, susu, atau minuman lainnya? Kamu bertanya. Jawabanku sepele saja, karena aku tidak suka. Diantara banyak pilihan itu, kopi adalah favoriteku. Tapi hidup bukan soal pertaruhan mana yang paling kusuka dan mana yang paling kubenci. Karena pada akhirnya aku tahu aku harus memilih mana yang benar-benar kubutuh, karena aku mengerti ada keharusan dalam diriku yang tidak bisa ditawar dan digantikan dengan hal lain. Serumit itu memang, tapi begitulah kira-kira analoginya.”
Saya seketika mematung. Semua kalimat-kalimat bijak yang hendak saya lontarkan di depannya mendadak musnah sudah. Saya ingin mencercanya dengan berbagai kompleksitas pertanyaan atas jalan pikirannya yang sukar saya mengerti. Tapi seluruh penjelasannya sudah cukup membuat saya paham tanpa perlu banyak penjelasan. Maka saya memilih berhenti. Membiarkannya melanjutkan kembali membaca seperempat sisa halaman buku ditangannya. Tidak berniat mengusik dunianya lagi.

Malang, 21 April 2017
02:34 WIB

Fiksi


0 komentar:

 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger