Ada membran tak kasat mata yang tidak bisa ditembus oleh
siapa pun saat ia sedang tenggelam dalam buku-buku. Seolah kami-makhluk hidup
yang berada disekitarnya-adalah patung yang cuma punya kemampuan bernafas dan
tidak punya kepentingan lain termasuk mengamatinya meski diam-diam.
“Oke, halaman dua ratus lima puluh enam. Selesai.” Serta
merta, ia menutup bukunya. Membuyarkan lamunan saya yang sebelumnya tertuju
pada segelas air putih yang volumenya masih tetap penuh, tidak berkurang
sedikitpun sejak ia memesannya satu jam yang lalu.
“Sudah selesai?” saya bertanya. Memasang posisi duduk
serileks mungkin.
Dia menggeleng, “Belum, masih kurang seperempat. Sekarang
giliranmu.”
Saya tahu, itu adalah alarm tanda ia mempersilakan saya
untuk memasuki dunianya yang perlahan mulai terbuka.
“Dengarkan aku baik-baik,” ujar saya serius. Menatap matanya
yang tetap memandangi saya lurus-lurus.
“Sudah kulakukan sebelum kamu memintaku,” ia mengedikkan
bahu.
Terkekeh saya mendengar jawabannya. Dia tipikal individualis
yang fleksibel. Ada saat dimana ia tidak ingin membagi dunianya pada siapa pun,
tapi di sisi lain ia terbuka, meski saya yakin tidak banyak orang yang bisa
berbagi dunia bersamanya.
“Apa yang sedang kamu cari sebenarnya?” saya bertanya,
serius.
Ia meletakkan tangannya ke atas meja, bertopang dagu.
Matanya masih tetap menelusuri mata saya dengan seksama. Seolah itu adalah
harga yang harus ia bayar lunas pada saya setelah menunggunya selama satu jam
penuh tanpa obrolan, demi memberinya waktu menikmati buku yang barusan ia baca.
“Berhentilah, aku tahu kamu lelah.”
Ia tersenyum. Segala rasa khawatir saya tiba-tiba menguap.
“Mau sampai kapan?” saya bertanya lagi.
Sekali lagi, ia tersenyum. Sebelum tangannya beralih meraih
gelas berisi air putih, menghabiskan isinya sampai tandas dalam satu kali
teguk. Saya mengamatinya sambil menelan ludah.
“Sampai aku berhasil berdamai dengan diriku sendiri,”
ujarnya tenang. Tanpa beban.
“Sebut, bilang padaku, apa harga yang harus kubayar demi
bisa membuatmu berdamai dengan diri sendiri?”
“Sesuatu yang tidak akan pernah bisa kamu hitung dengan
angka-angka.”
Saya
menatapnya tidak mengerti. Sungguh, saya ingin menjadi matanya barang lima
menit. Melihat apa yang terlintas dipikirannya saat dia menatap saya dengan
pandangan yang tidak bisa saya deskribsikan dengan kata-kata. Tajam tetapi
meluluhkan. Tenang tetapi di satu sisi membuat gelisah dalam waktu bersamaan.
“Ada begitu banyak pilihan di luar sana, kalau kamu tidak
bisa memilih mana yang terbaik untukmu. Setidaknya, beranilah memilih salah
satu. Hidup ini berisi banyak pilihan, tidak semua hal yang kaupilih adalah
suatu hal yang pasti benar, memang. Tapi itu tetap lebih baik daripada kamu
menghabiskan waktu meyakini bahwa pilihan itu sudah pasti salah, bahkan sebelum
kamu mencobanya.”
“Jadi, menurutmu aku harus bagaimana?”
“Buka hatimu untuk orang lain,”
Ia tertawa, hambar. “Sayangnya, aku selalu merasa tidak
pernah memiliki kesempatan untuk memilih jika dihadapkan dengan hal klasik yang
disebut jatuh cinta,”
“Bukankah selalu ada kesempatan untuk memilih yang lebih
baik? Lebih segala-galanya?”
“Dengarkan aku baik-baik,” ganti ia yang menatapku serius.
Mengunci pandanganku dengan sekali tatap.
“Di dunia ini, sebaik apa pun seseorang, sesempurna apa pun
dia. Tidak semuanya bisa mengetuk pintu hati kita. Ada hal-hal yang tidak bisa
dijangkau oleh nalar manusia, yang tidak bisa dilogika dengan hanya standar
duniawi dan indrawi jika menyangkut soal hati. Maka jangan pernah tanyakan
kenapa setiap dari kita tidak memiliki alasan setiap kali ditanya ‘kenapa kita
mencintai seseorang’. Itu rumit. Tidak bisa dijelaskan.”
“Apa makna cinta bagimu?” saya menantangnya. Mengadu mata
saya dengan matanya, berharap ia takluk. Supaya pembenaran atas
kekeras-kepalaannya selama ini meluruh.
“Cinta itu...” ia menggumam. Matanya berputar teatrikal.
Berpikir dan menimbang sebelum ia memutuskan untuk menjawab. Saya tahu, dia
bukan orang yang sembarangan dalam memutuskan sesuatu. Semua yang meluncur dari
mulutnya adalah hasil dari proses penyaringan jangka panjang di dalam sel abu.
“Cinta itu seperti segelas air putih yang barusan kuminum,”
katanya, menunjuk gelas kosong di depannya.
“Aku bisa saja memesan kopi, menikmati setiap inci pahitnya
dalam beberapa kali teguk. Karena bagaimana pun, membaca buku ditemani
secangkir kopi tetap jauh lebih menyenangkan daripada segelas air putih.”
“Tapi aku memilih memesan segelas air putih malam ini. Karena
aku harus minum, bukan karena aku ingin atau terpaksa. Bukan karena aku lebih
suka air tawar daripada air kopi. Bagiku, begitulah cara cinta bekerja.” Lanjutnya.
“Aku harus minum air putih karena aku tidak punya pilihan
lain. Lambungku bermasalah, sekali saja kuteguk kafein, asam lambungku akan
naik dua kali lipat. Kenapa tidak memesan teh, susu, atau minuman lainnya? Kamu
bertanya. Jawabanku sepele saja, karena aku tidak suka. Diantara banyak pilihan
itu, kopi adalah favoriteku. Tapi
hidup bukan soal pertaruhan mana yang paling kusuka dan mana yang paling
kubenci. Karena pada akhirnya aku tahu aku harus memilih mana yang benar-benar
kubutuh, karena aku mengerti ada keharusan dalam diriku yang tidak bisa ditawar
dan digantikan dengan hal lain. Serumit itu memang, tapi begitulah kira-kira
analoginya.”
Saya seketika mematung. Semua kalimat-kalimat bijak yang
hendak saya lontarkan di depannya mendadak musnah sudah. Saya ingin mencercanya
dengan berbagai kompleksitas pertanyaan atas jalan pikirannya yang sukar saya
mengerti. Tapi seluruh penjelasannya sudah cukup membuat saya paham tanpa perlu
banyak penjelasan. Maka saya memilih berhenti. Membiarkannya melanjutkan
kembali membaca seperempat sisa halaman buku ditangannya. Tidak berniat
mengusik dunianya lagi.
Malang,
21 April 2017
02:34
WIB
Fiksi
0 komentar:
Posting Komentar