Sabtu, 29 April 2017

Cinta Adalah Segelas Air Putih

           Dia ada di depan meja saya, membolak-balik halaman buku setebal kamus bahasa inggris versi lima milyar yang dulu sering saya baca saat masih duduk di bangku sekolah dasar, mimik mukanya serius sekali. Saya tahu, saat sedang dalam situasi seperti ini dunia bagai miliknya sendiri.
Ada membran tak kasat mata yang tidak bisa ditembus oleh siapa pun saat ia sedang tenggelam dalam buku-buku. Seolah kami-makhluk hidup yang berada disekitarnya-adalah patung yang cuma punya kemampuan bernafas dan tidak punya kepentingan lain termasuk mengamatinya meski diam-diam.
“Oke, halaman dua ratus lima puluh enam. Selesai.” Serta merta, ia menutup bukunya. Membuyarkan lamunan saya yang sebelumnya tertuju pada segelas air putih yang volumenya masih tetap penuh, tidak berkurang sedikitpun sejak ia memesannya satu jam yang lalu.
“Sudah selesai?” saya bertanya. Memasang posisi duduk serileks mungkin.
Dia menggeleng, “Belum, masih kurang seperempat. Sekarang giliranmu.”
Saya tahu, itu adalah alarm tanda ia mempersilakan saya untuk memasuki dunianya yang perlahan mulai terbuka.
“Dengarkan aku baik-baik,” ujar saya serius. Menatap matanya yang tetap memandangi saya lurus-lurus.
“Sudah kulakukan sebelum kamu memintaku,” ia mengedikkan bahu.
Terkekeh saya mendengar jawabannya. Dia tipikal individualis yang fleksibel. Ada saat dimana ia tidak ingin membagi dunianya pada siapa pun, tapi di sisi lain ia terbuka, meski saya yakin tidak banyak orang yang bisa berbagi dunia bersamanya.
“Apa yang sedang kamu cari sebenarnya?” saya bertanya, serius.
Ia meletakkan tangannya ke atas meja, bertopang dagu. Matanya masih tetap menelusuri mata saya dengan seksama. Seolah itu adalah harga yang harus ia bayar lunas pada saya setelah menunggunya selama satu jam penuh tanpa obrolan, demi memberinya waktu menikmati buku yang barusan ia baca.
“Berhentilah, aku tahu kamu lelah.”
Ia tersenyum. Segala rasa khawatir saya tiba-tiba menguap.
“Mau sampai kapan?” saya bertanya lagi.
Sekali lagi, ia tersenyum. Sebelum tangannya beralih meraih gelas berisi air putih, menghabiskan isinya sampai tandas dalam satu kali teguk. Saya mengamatinya sambil menelan ludah.
“Sampai aku berhasil berdamai dengan diriku sendiri,” ujarnya tenang. Tanpa beban.
“Sebut, bilang padaku, apa harga yang harus kubayar demi bisa membuatmu berdamai dengan diri sendiri?”
“Sesuatu yang tidak akan pernah bisa kamu hitung dengan angka-angka.”
Saya menatapnya tidak mengerti. Sungguh, saya ingin menjadi matanya barang lima menit. Melihat apa yang terlintas dipikirannya saat dia menatap saya dengan pandangan yang tidak bisa saya deskribsikan dengan kata-kata. Tajam tetapi meluluhkan. Tenang tetapi di satu sisi membuat gelisah dalam waktu bersamaan.
“Ada begitu banyak pilihan di luar sana, kalau kamu tidak bisa memilih mana yang terbaik untukmu. Setidaknya, beranilah memilih salah satu. Hidup ini berisi banyak pilihan, tidak semua hal yang kaupilih adalah suatu hal yang pasti benar, memang. Tapi itu tetap lebih baik daripada kamu menghabiskan waktu meyakini bahwa pilihan itu sudah pasti salah, bahkan sebelum kamu mencobanya.”
“Jadi, menurutmu aku harus bagaimana?”
“Buka hatimu untuk orang lain,”
Ia tertawa, hambar. “Sayangnya, aku selalu merasa tidak pernah memiliki kesempatan untuk memilih jika dihadapkan dengan hal klasik yang disebut jatuh cinta,”
“Bukankah selalu ada kesempatan untuk memilih yang lebih baik? Lebih segala-galanya?”
“Dengarkan aku baik-baik,” ganti ia yang menatapku serius. Mengunci pandanganku dengan sekali tatap.
“Di dunia ini, sebaik apa pun seseorang, sesempurna apa pun dia. Tidak semuanya bisa mengetuk pintu hati kita. Ada hal-hal yang tidak bisa dijangkau oleh nalar manusia, yang tidak bisa dilogika dengan hanya standar duniawi dan indrawi jika menyangkut soal hati. Maka jangan pernah tanyakan kenapa setiap dari kita tidak memiliki alasan setiap kali ditanya ‘kenapa kita mencintai seseorang’. Itu rumit. Tidak bisa dijelaskan.”
“Apa makna cinta bagimu?” saya menantangnya. Mengadu mata saya dengan matanya, berharap ia takluk. Supaya pembenaran atas kekeras-kepalaannya selama ini meluruh.
“Cinta itu...” ia menggumam. Matanya berputar teatrikal. Berpikir dan menimbang sebelum ia memutuskan untuk menjawab. Saya tahu, dia bukan orang yang sembarangan dalam memutuskan sesuatu. Semua yang meluncur dari mulutnya adalah hasil dari proses penyaringan jangka panjang di dalam sel abu.
“Cinta itu seperti segelas air putih yang barusan kuminum,” katanya, menunjuk gelas kosong di depannya.
“Aku bisa saja memesan kopi, menikmati setiap inci pahitnya dalam beberapa kali teguk. Karena bagaimana pun, membaca buku ditemani secangkir kopi tetap jauh lebih menyenangkan daripada segelas air putih.”
“Tapi aku memilih memesan segelas air putih malam ini. Karena aku harus minum, bukan karena aku ingin atau terpaksa. Bukan karena aku lebih suka air tawar daripada air kopi. Bagiku, begitulah cara cinta bekerja.” Lanjutnya.
“Aku harus minum air putih karena aku tidak punya pilihan lain. Lambungku bermasalah, sekali saja kuteguk kafein, asam lambungku akan naik dua kali lipat. Kenapa tidak memesan teh, susu, atau minuman lainnya? Kamu bertanya. Jawabanku sepele saja, karena aku tidak suka. Diantara banyak pilihan itu, kopi adalah favoriteku. Tapi hidup bukan soal pertaruhan mana yang paling kusuka dan mana yang paling kubenci. Karena pada akhirnya aku tahu aku harus memilih mana yang benar-benar kubutuh, karena aku mengerti ada keharusan dalam diriku yang tidak bisa ditawar dan digantikan dengan hal lain. Serumit itu memang, tapi begitulah kira-kira analoginya.”
Saya seketika mematung. Semua kalimat-kalimat bijak yang hendak saya lontarkan di depannya mendadak musnah sudah. Saya ingin mencercanya dengan berbagai kompleksitas pertanyaan atas jalan pikirannya yang sukar saya mengerti. Tapi seluruh penjelasannya sudah cukup membuat saya paham tanpa perlu banyak penjelasan. Maka saya memilih berhenti. Membiarkannya melanjutkan kembali membaca seperempat sisa halaman buku ditangannya. Tidak berniat mengusik dunianya lagi.

Malang, 21 April 2017
02:34 WIB

Fiksi


Kamis, 27 April 2017

Tentang Nessa

Sore itu, ponselku berdering. Tertera panggilan di layarnya, ‘Nessa’. Ada sebersit senyum yang kemudian digantikan dengan rasa bimbang sesaat setelah aku menyadari apa itu artinya. Setelah bertahun-tahun menghilang, berusaha lenyap dari muka bumi, hanya untuk sebuah pertaruhan super tolol yang disebut ‘melupakan’ lalu sekarang tanpa sadar aku terseyum selebar ini demi melihat namanya muncul di layar ponselku? Gila.
Aku baru saja menyelesaikan meetingku di lantai dua puluh gedung pencakar langit tempatku bekerja, dengan sisa-sisa tenaga yang barusan kugunakan total untuk fokus dengan presentasi. Sebelum kemudian panggilan darinya, dan semua perasaan sialan yang muncul berbarengan dengan huruf-huruf pembentuk namanya itu, mengacaukan semuanya.
Lima menit. Dan setelahnya kewarasanku hilang. Aku mengorbankan sedikitnya seribu dua ratus hari lebih hanya untuk pergi, menghilang dan lenyap dari hadapannya bak di telan bumi. Lalu semuanya terlihat seperti lelucon karena bahkan untuk menjawab telepon darinya aku hanya butuh waktu kurang dari lima detik.
Aku diam sebentar ketika mendengar suaranya diujung sana, menahan napas berat.
“Halo, Bray. Ini elo kan?” suara perempuan yang sejak dulu selalu kukagumi jenis suaranya itu hari ini memanggil namaku setelah empat tahun kami tidak bertemu.
Aku diam. Tiga detik.
“Ya. Ada apa Nes?”
Cerdik. Aku bisa mengendalikan diriku dengan baik. Kututupi semua getar perasaan itu dengan nada suara senormal mungkin, meski setengah mati aku menahan diri untuk tidak berjingkrak lalu menghujaninya dengan kalimat murahan seperti “Nes, gue kangen banget sama elo!” detik dan saat itu juga.
“Sorry, gue lagi nggak sempet buat basa-basi nanyain gimana kabar lo segala macem,” ujarnya dengan suara tergesa-gesa, “gue lagi butuh banget pertolongan dari lo. Mau bantuin gue?”
Aku mencelos. Kalimatnya yang pertama berhasil membuat wajahku kebas. Perempuan ini tidak berubah sejak dulu untuk urusan ‘anti basa-basi’ bahkan setelah empat tahun lalu kami tidak saling berkomunikasi.
“Selagi gue bisa. Lo butuh bantuan apa?”
“Mobil gue mogok. Hujan deres banget di Senayan. Gue nggak bawa payung kalau mau turun manggil tukang bengkel. Jadi, please Bray lo ke sini. Bantuin gue. Gue tau kantor lo di daerah sini.”
Refleks, kulirik arloji di pergelangan tanganku. Setengah enam lebih empat. Beralih menatap kaca jendela, di luar hujan lebat. Bayangan Nesa yang sedang terjebak di balik kemudi mobil seorang diri di tengah hujan deras mengusikku. Tanpa pikir panjang aku segera turun ke lantai dasar menggunakan lift menuju loby.
“Lo dimana? Tungguin gue. Sepuluh menit lagi gue ke sana.”
***
Sebuah sedan silver terparkir di samping ruas jalan utama arah Senayan. Instingku mengatakan pengemudi di balik kaca jendela mobil tembus pandang itu adalah Nessa. Dan benar, karena tiba-tiba saja teleponku kembali berdering sesaat setelah aku melintasi sedan itu sambil membuka kaca jendela mobil.
“Mobil gue yang barusan lo lewatin.”
Aku berhenti. Serta merta menutup telepon itu sambil bergegas turun menuju bagasi, mengambil payung sebelum akhirnya menghampiri Nessa, mengetuk kaca jendela mobilnya.
Pintu kaca jendela mobil itu perlahan terbuka. Aku tahu jika situasinya lebih baik, pasti saat ini aku sedang berkesempatan melihat Nessa tersenyum sebagai salam perjumpaan setelah empat tahun lalu kami tidak bersua. Tapi bahkan dalam situasi seperti ini pun, dengan hanya menatap wajah Nessa tanpa sebersit senyum di wajahnya aku sudah kehabisan kata-kata.
“God Bless!”
Nesa keluar dari mobilnya dengan perlindungan payung di tanganku. Lihatlah, perempuan di sampingku ini karismatik. Tubuhnya semampai dengan masih ditambah sepatu hak tinggi sekitar lima centi. Mengenakan blouse warna putih lengkap dengan blezzer cokelat muda. Rambut cepol yang tertata rapi, dan rahang wajahnya yang mengingatkanku dengan aktor ternama Hollywood: Angelina Jolie.
“Apanya yang trouble?” tanyaku, berusaha mengalihkan perhatian.
“Gue nggak ngerti mesin. Coba lo cek dulu deh mesinnya. Gue curiga akinya bermasalah.”
Aku mengangguk. Beranjak menuju bagian depan mobil.
“Eh,” aku berhenti. Mendadak teringat sesuatu. “lo nggak mau nunggu di mobil aja?”
Aku menatap Nessa yang sejak tadi masih berdiri di sampingku. Sibuk menghalau tempias air hujan dengan tangannya.
“Nggak.” Ujarnya sambil menggelengkan kepala.
“Nanti baju kantor lo basah,” bujukku.
Nessa menggeleng lagi, lebih kuat.
“Nanti make up lo luntur.” Aku terkekeh, mencoba bergurau.
Tapi Nessa justru menggeleng lebih kuat dari sebelumnya bahkan ditambah dengan melotot.
Aku menelan ludah.
Aku mengenalnya lebih lama dari siapa pun, maksudku dari semua laki-laki yang pernah mengenalnya semasa SMA. Percuma saja membujuknya dengan kalimat beragam rupa, perempuan di sampingku ini keras kepala.
“Buruan lo cek deh!”
Aku menurut, segera membuka kap depan mobil. Beruntung, karena Nesa memanggil orang yang tepat untuk masalah teknisi seperti ini. Aku sedikit banyak mengerti tentang mesin dan otomotif. Tiga setengah tahun aku menyelesaikan studyku di bidang teknik elektro, memamah habis setiap jurnal ilmiah tentang mesin dan elektronika.
Nessa. Adalah salah satu dari alasan paling kuat yang membuatku mati-matian menyelesaikan studyku dalam waktu singkat. Alasan yang memicuku setiap hari untuk mendapat nilai terbaik di semua mata kuliah yang kupelajari. Hingga puncaknya, aku pergi ke Jerman. Meraih beasiswa, melanjutkan program masterku di sana.
“Mana sini, biar gue pegangin,”
Aku menurut, membiarkan Nessa mengambil alih payung ditanganku. Setidaknya aku butuh sepuluh menit mengoreksi bagian mesin yang bermasalah.
“Kabel radiator lo bermasalah. Jarang nyervis lo ya?”
Nesa meringis, mengangguk kecil. Oh God, lihat! Gigi kelinci yang berderet rapi itu, menyembul dari balik senyumnya yang tipis. Manis. Aku menatapnya tiga detik-tanpa sadar-sebelum akhirnya dia menepuk pundakku. Aku refleks terlonjak, mukaku kebas.
“Gimana? Lo bisa?”
Ini masalah kecil sebenarya, aku bisa menggunakan obeng dan peralatan seadanya yang kubawa dibagasi mobil .
Tapi bertemu dengannya lagi setelah empat tahun berlalu dalam waktu kurang dari tiga puluh menit, kurasa bukan sesuatu yang menyenangkan. Maka aku terpaksa berbohong, memutar otak supaya aku bisa memperpanjang pertemuan kami. Aku bilang padanya bahwa aku tidak membawa peralatan yang kubutuhkan untuk memperbaiki kabel radiotarnya.
“Kalau lo mau, lo bisa gue anter pulang. Biar mobil lo ntar gue yang ngurus. Gue usahain besok pagi lo udah bisa make.”
“Are you serious? Nggak ada cara lain?”
Aku dengan polos menggeleng. Nessa mencebikkan bibir bawahnya-tanda ia sedikit kecewa. Tapi sesaat kemudian kulihat dia mengangguk, “Yaudah, gue pulang bareng elo ya?”
Aku bersorak dalam hati, mengangguk mengiyakan.
“Terus mobil gue?”
“Nanti gue telpon orang kantor supaya bawa teknisi ke sini.”
Nessa sepakat. Untuk kemudian masuk ke dalam mobilku, duduk di sebelah kemudi. Dari kaca jendela mobil, kuamati wajahnya baik-baik, sebelum aku menutup pintu. Seandainya perempuan dua puluh lima tahun itu paham situasi, maka ia akan mengerti bahwa menyetir mobil dengan dia duduk di sebelahku, bukan perkara mudah sama sekali.
“Bray,”
Aku menoleh sekilas untuk kemudian kembali berkonsentrasi penuh terhadap jalan raya,
“Kenapa Nes?”
“Apa kabar?”
Sumpah Demi Tuhan, pertanyaannya barusan seperti menampar-nampar syaraf kepalaku. Aku sama sekali tidak menduga dia akan bertanya soal kabar.
“Gue? Gue baik. Lo sendiri?”
Nessa mengangguk, “Gue juga sama.”
“Ngomong-ngomong, gimana lo bisa tahu kantor gue di daerah sini?” aku bertanya, teringat percakapan kami di telepon.
Nessa tertawa, “Hahaha, gue tahu dari akun media sosial lo.”
Aku refleks menelan ludah, menoleh ke arahnya lagi. Nessa sedang tertawa renyah, menghadap ke arah depan lurus-lurus, kepalanya tidak menoleh ke arahku, sedikit pun.
“Akun media sosial gue yang mana?”
“Semuanya. Mulai dari facebook lo, instagram, sampai twitter.”
“Are you kidding me?”
“Ngapain gue bercanda?”
“Then, kenapa lo nggak nge-follow gue?”
“Because being stalker is more insteresting, Brotha!“
“Sejak kapan?”
“Empat tahun lalu.”
Aku mematung.
“Empat tahun lalu sejak lo memutuskan untuk lanjut s2 ke Jerman. Dan setelah itu, kita nggak pernah saling komunikasi. Meskipun gue masih nyimpen nomor telepon lo, yang ternyata sampai sekarang masih aktif. Haha, gila setia banget lo ya. Satu tahun lagi udah mirip kredit cicilan motor tuh!”
Tawa renyahnya kudengar lagi. Aku masih tidak habis pikir. Apakah ini Nessa? Perempuan yang sudah kukagumi jauh hari sejak aku masih berseragam putih abu-abu? Apakah ini dia, perempuan yang dulu sering kubonceng saat berangkat sekolah menggunakan motor vespa? Apakah dia masih perempuan yang sama, yang pernah kukenal dengan sangat baik selama tiga tahun kami duduk di bangku SMA sembilan tahun lalu?
“Nes?”
“Ya?” kali ini, dia menoleh.
Kami bersitatap, diantara kemacetan yang memaksaku harus menghentikan laju mobilku sementara waktu.
“Kenapa baru sekarang?”
“’Maksud lo?”
“Kenapa baru sekarang lo menghubungi gue?”
“Menurut lo apa gue masih harus menghubungi seseorang yang waktu dia pergi, dia nggak pamit sama gue sama sekali? Gue kira lo menghindar. Jadi buat apa?”
Soalnya kalau gue pamit sama lo, gue mungkin nggak akan pernah jadi pergi Nes...
Pernyataan itu hanya bertahan di kepala. Enggan meluncur keluar dari mulutku.
Lalu, percakapan-percakapan setelah itu mengalir dengan sendirinya. Dari sana, kutemukan fakta bahwa perempuan di sebelahku ini adalah seorang manager di salah satu perusahaan terkemuka di Jakarta. Aku mendengarkan seluruh ceritanya dengan takzim. Membiarkannya berbicara soal apa pun. Meski lebih banyak soal masa lalu.
“Gue banyak belajar tentang etos kerja keras dari elo Bray. Waktu kita sama-sama SMA dulu, gue yang biasanya datang telat, terpaksa harus mengikuti jadwal berangkat sekolah lo yang selalu on time. Lo dateng pagi-pagi banget, jemput gue di depan rumah pake Vespa. Sumpah, itu kendaraan yang menurut gue lebih keren dari kendaraan mewah manapun.” Ujarnya. Matanya menatap ke depan lurus-lurus, seolah ia sedang menyaksikan reka adegan nostalgia masa putih abu kami pada sebuah layar yang ia ciptakan sendiri.
“Sampai akhirnya gue terbiasa disiplin. Gue rajin berangkat pagi, meski lo nggak setiap hari jemput gue di rumah. Ranking lo selalu bagus di kelas. Selalu menempati posisi tiga besar di sekolah. Hal yang membuat gue terpacu untuk terus giat belajar. Lo ini jenius, tapi gue tahu kadang lo punya bakat idiot. “
Nessa tertawa.
“Kayak waktu lo nembak si Dea, temen sekelas kita dulu waktu kelas satu, cuma buat membuktikan sama mereka kalau lo nggak maho. Haha, sinting! Padahal gue tahu lo cuma main-main, nggak suka sama dia beneran.”
Mukaku memerah. Dia masih ingat rupanya.
“Jadi kalau hari ini lo menempati posisi lo yang sekarang. Waktu hari itu gue denger kabar kalau lo dapet beasiswa S2 ke Jerman. Gue sama sekali nggak heran. Kerja keras lo, ketekunan lo belajar, membayar lunas semuanya. You deserve it!”
Kemacetan perlahan berkurang, aku menarik porsneling, mulai menjalankan kemudi mobilku. Percakapan ini benar-benar menyeretku pada masa lalu.
“Lo juga Nes. You grow up so fast! Cewek yang dulunya badung, sering bolos, jago nyontek dan di sekolah selalu bikin onar itu sekarang jadi manager perusahaan besar. There is nothing impossible, and you belive it!”
“Gue masih inget mimpi lo. Jadi wanita karir, pakai rok selutut, baju kantoran, duduk di depan komputer dengan meja dan kursi besar. Di ruangan pribadi lo sendiri. Di atas gedung nomor sekian puluh yang punya kaca jendela simetris, yang dari sana lo bisa melihat kota Jakarta dari atas gedung seperti New York versi Indonesia dengan skala yang lebih kecil. Itu fantastis!”
Nessa menoleh, cepolan rambutnya terlepas. Kini membentuk simpul rambut hitam panjang yang tergerai dan sedikit bergelombang. Aku menatapnya terkesima.
Ah! Dari dulu sampai sekarang lo masih tetap sempurna di mata gue.
“To be honest, gue mau ngucapin makasih banyak sama lo. Mungkin kalau waktu itu kita nggak sekelas, kalau gue nggak ketemu sama lo, gue nggak akan jadi gue yang sekarang,”
“It’s too much Nes!” aku menggeleng, “Lo bisa jadi diri lo yang sekarang karena lo punya tekad yang kuat untuk berubah. Sama sekali bukan karena gue.”
“Lo pernah bilang, semua orang bisa berubah asal dia mau. Jadi, makasih untuk pernah bilang itu. Makasih untuk pernah datang, ngajarin gue banyak hal. Gue berhutang banyak sama lo.”
Usiaku dua puluh enam. Lebih dari cukup untuk mengutarakan perasaan pada perempuan yang kucintai seperti layaknya laki-laki sejati. Maka sore ini, nyaliku seperti diuji. Benar kata mereka, laki-laki sepertiku mungkin bisa bicara cinta dengan mulus tanpa cacat pada seribu perempuan. Tapi pada satu yang benar-benar membuatnya jatuh cinta dengan amat sangat, rasanya akan amat sangat sulit.
Keringat dingin mengalir deras di pelipisku, telapak tanganku ikut basah. mulutku baru saja akan membuka dan memulai semuanya. Tapi sia-sia, dayaku seperti menipis. Mulutku terkatup lagi. Melihat ada sesuatu yang ganjil di hadapannya, Nesa menatapku menyelidik.
“Bray, lo kenapa? Sakit?”
Aku menggeleng. Mati-matian membuat lengkung senyum supaya ia percaya semuanya baik-baik saja.
“Nes,” bergetar, aku memanggilnya. Masih dalam keadaan menyetir.
Dia menatapku dan bertanya dengan tatapan, “ada apa?”
“Gue tau ini terkesan terburu-buru setelah pertemuan kita empat tahun lalu, tapi izinkan gue memohon sesuatu. Apakah, apakah lo bersedia jadi istri gue Nes? Apakah lo mau jadi seseorang yang nantinya akan duduk di sebelah gue, berangkat dan pulang kerja naik mobil gue setiap hari, seperti waktu kita berangat dan pulang sekolah sama-sama naik vespa dulu?”
Tanpa kuduga, reaksinya justru malah tertawa. Tawa yang bukan tawa seperti ketika anak perempuan mendapat boneka baru dari ayahnya, tapi tawa yang lain. Tawa yang di dalamnya ada rasa getir.
“Kenapa baru sekarang?” tanyanya.
“Karena gue tidak ingin menunggu selama empat tahun berikutnya, atau empat tahun yang lain.” Kujawab.
“Brian,” ia memanggil namaku tanpa memenggalnya.
“Elo itu tampan, pinter, bisa diandalin, idola gue sejak jaman SMA. Nggak nyangka orang yang gue suka bertahun-tahun itu akhirnya ngomong di depan gue. Dan nggak tanggung-tanggung, minta gue buat jadi istrinya, bukan cuma sekedar pacar atau temen biasa seperti yang selalu lo bilang selama ini. Haha, bangunin gue tolong kalau ini cuma mimpi.”
“Lo suka sama gue?”
Faringku terasa seperti dicekik, refleks menoleh ke arahnya. Menatapnya dengan pandangan “mana mungkin?”
Nessa tersenyum, “Iya, sebelum ada seseorang yang berani menyatakannya lebih dulu. Dia mungkin nggak sesempurna elo di mata gue. Tapi seenggaknya, dia menghargai bahwa gue ada, dia nggak membiarkan gue menghabiskan waktu percuma untuk menunggu sesuatu yang nggak pasti. ”
“Bray, lo mungkin ngajarin gue banyak hal. Tapi sayangnya, lo nggak pernah ngajarin gue cara menunggu seseorang tanpa kepastian.”
“Hari ini, maafkan gue harus mengatakan ini. Tapi izinkan gue datang sebagai teman baik. Bulan depan gue merit, dateng ya!”
Nessa menepuk pelan bahuku, mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.
Amplop merah muda dengan nama Nesa dan seseorang di sebelahnya.
Airlangga Haryanto
Rivalku yang sejak dulu sudah berjuang mati-matian demi merebut hatinya sejak jaman SMA.
Hari ini atas nama perasaan yang bertahun-tahun menghantuiku tanpa pernah berani kuungkapkan. Aku menyebut diriku sendiri sebagai pecundang.
Selamat Nes, hari ini persaingan itu berakhir sudah. Aku kalah.
****
Malang, 11 Maret 2017
22:05 WIB
PS: draft tulisan lama yang baru sempat dilanjutkan setelah sekian lama vakum.
 Image result for girl tumblr drawing\
pict by tumblr


Jika Boleh

Jika boleh, aku ingin menukar waktumu
Menumpas habis bentang jarak
Menghapus semua spasi
Tanpa sisa

Biar kau luruh
melebur
Menjadi kata
Meski hanya satu alenia

Kediri, 30/01/17
0:25 WIB
Image result for time tumblr 
pict by tumblr
 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger