Senin, 26 Oktober 2020

Surat dari Dermaga

           Kepada, pengelana dengan ransel warna cokelat tua. Pemilik senyum sengahat matahari pukul sepuluh pagi, apa kabar hari ini?   

Kukabarkan kepadamu melalui sebuah surat. Bahwa ada seorang perempuan yang kemarin berkunjung kemari. Kulihat dia berjalan sendirian menujuku, menepi diantara hingar bingar manusia yang tengah berlalu lalang. Aku memerhatikannya sedang menatap nanar ke arah deburan ombak, sambil sesekali melempar kerikil kecil ke dasar laut. Benda yang dia bawa di kantong hitam kecil, yang ia kalungkan di tubuhnya yang terlihat sangat ringkih.

Sesekali aku menatapnya sesenggukan. Sebagai dermaga tempat berlabuh kapal-kapal yang datang dan pulang, aku ingin sekali menyewakan tubuhku sebagai tempatnya meneduh. Aku ingin tiba-tiba menjadi rumah baginya, menawarkan atap yang dilengkapi dengan jendela, sehingga dengan begitu, ada ruang lebih nyaman baginya untuk menumpahkan air mata.

Tetapi aku cuma bisa menyimaknya dari kejauhan, mendengarkan ceritanya yang lirih itu, yang dikabarkan angin pagi kepadaku. Sungguh, aku tidak habis mengerti dengan jalan pikirannya yang terlalu rumit dimengerti. Ia berulangkali menyebut namamu, mengejanya dengan penekanan yang susah payah ia lafalkan dengan kata-kata.

Kau tahu apa tidak? Barangkali, di bumi ini memang ada bebarapa orang yang sanggup meredam habis perasaannya sendiri. Perempuan itu salah satunya, dia bagian dari mereka. Ada sekat-sekat yang sekuat tenaga dia tentang, ada perbedaan-perbedaan cukup besar antara dia dan kau, seseorang yang ia kira adalah dunianya, keajaiban yang membuatnya sedikit berkompromi dari keterasingan yang pernah membuatnya begitu sakit.

Baginya, kau tidak lebih dari kata-kata yang melebur bersama dengan mimpi-mimpinya yang ia ingat setelah bangun dari tidur. Dalam dunianya, kau tidak lebih dari seseorang yang sangat ingin ia hindari sebab ia terlalu takut terjebak oleh perasaannya sendiri. Terkadang, demi melindungi dirinya dari patah hati, seseorang rela menimbun habis harapannya sendiri.

Tidak ada kata-kata yang sanggup kuutarakan banyak padamu, sebab ia lebih banyak menyimpan ceritanya sebagai rahasia. Perempuan itu, yang dari matanya menyiratkan sesuatu yang tidak habis kutebak perasaannya seperti apa. Dia penuh tanda tanya. Dia terlihat tidak peduli. Dia begitu apatis, entah bagimu.

  Baju putihnya berkibar-kibar ditiup angin, anak-anak rambutnya bersemburat acak tidak dihiraukannya. Kali ini, kering sudah air matanya, angin menyampaikan padaku bahwa perasaannya sedikit lebih baik. Tidak ada seorang pun bisa membuatnya sakit selama dia tidak mengharapkan apa pun dari manusia. Dia terlalu tangguh untuk sekadar meratapi setiap kepergian. Baginya hidup adalah adrenalin terbesar. Sementara kau adalah salah satu bagian dari hidupnya yang membuat dia merasa tertantang. 

Dia lebih berani, lebih tangguh, lebih kuat dari yang sanggup kamu bayangkan sebelumnya.

Dia tidak pernah mengharapkan apa pun dari seseorang. Tidak waktunya, tidak dunianya.

Dia cuma selalu butuh dirinya sendiri dan rasa sepi.




 source: tumblr

 

 

Kamis, 22 Oktober 2020

Hujan Pukul 22.00


Aku sedang ke toko buku, sendirian. Pulangnya, tidak bisa kuterobos hujan karena aku tidak bawa mantel. Berdiri menunggu di depan gedung pertokoan. Hawa dingin di luar. Hujan malam itu, deras sekali. Waktu sudah menunjuk pukul 10 malam, bukan aku tidak berani pulang. Aku berani saja sebenarnya. Tapi mengendarai sepeda motor malam hari dengan hujan sederas ini , kupikir bukan pilihan cukup baik. Jadi aku memutuskan menunggu sampai hujan mereda.

                Sambil memainkan ponsel, aku iseng membuat story. Merekam video hujan di depanku.

                Satu balasan pesan masuk.
“Kamu dimana?”
“Di Gramedia, kenapa?”

“Gramedia mana?”

“Gramedia Basuki Rahmat,”

“Sendiri? Ngapain di situ?”

“Beli buku. Kejebak hujan. Hahaha.”

“Jas hujannya kemana?”

“Lupa dibawa. Hehe.”

“Ya sudah, aku kesana.”

“Ngapain?”

“Aku anterin jas hujan,”

“Jangan, bentar lagi juga reda,”

“Ini udah malam, sudah tunggu di situ.”
“Enggak usah,”
“Eh ini udah reda, aku mau pulang.”
“Jangan ke sini..”
“Enggak usah dibawain jas hujan, beneran enggak usah, makasih sebelumnya..”

Percuma,  pesan-pesan yang kubombardir itu tidak terbaca, cuma centang dua.

                Hujan masih belum berhenti, malah makin deras resonansi. Sepuluh menit kemudian, sebuah mobil hitam terparkir tidak jauh dari tempatku berdiri. Pemiliknya berhenti, membuka pintu mobil. Sesosok yang tidak asing keluar dari sana, memakai jaket jeans dan topi. Dia berlari menerobos hujan. Tangan kirinya menghalau tempias air hujan, tangan kanannya membawa sekantong tas kresek hitam.

                “Hai,” sapanya, bahkan tanpa merasa berdosa setelah sebelumnya tidak membalas pesan-pesanku yang banyak sekali itu.

                “Ngapain, sih? Kan udah dibilang jangan.”

“Mau sampai kapan di sini sendiri? Enggak takut?”

“Bentar lagi juga reda,”

“Sok tahu. Hahaha. Masih deres gini,”

“Lagian ngapain nyusulin?”

“Enggak boleh?”

“Bukan enggak boleh, aku cuma nggak mau ngrepotin.”

“Siapa yang repot?”

“Bukannya kamu masih sibuk kerja?”

“Barusan selesai meeting, enggak sibuk.”
“Selesai dari meeting atau sengaja diselesaiin biar bisa bolos ke sini?”

“Hahaha. Kita tunggu hujannya biar agak terang ya, nanti kamu pakai jas hujannya. Aku anterin pulang,”
“Enggak usah lah, kamu kan bawa mobil. Aku bisa pulang sendiri.”

“Ya sudah, enggak, aku tungguin aja di sini sampai lumayan terang.”

“Lihat, jaketmu jadi basah, kan?” aku menunjuk jaketnya. Dia menoleh, menatapku. Tidak menjawab. Cuma nyengir.
“Kamu tadi udah makan?” ia bertanya.
“Udah, kamu yang belum ya?”

“Laper, mau makan bakso, nggak?”
“Emang ada yang jual bakso? Di deket sini?” Aku celingukan mencari gerobak bakso. Tidak ada.

“Kita cari di luar,”
“Ya udah, ayo. Aku ambil motor dulu.”
“Hmm, enggak usah.”
“Kok enggak usah?”

“Kita naik mobil.”
“Kan aku bawa motor?”

“Masih ada Pak Satpam, kan? Nanti aku bilang.”
“Kenapa aku enggak bawa motor aja biar sekalian pulang?”

“Kenapa?”

“Kok malah kenapa?”

“Kenapa enggak mau naik mobil?  Takut sama aku?”

“Ya enggak,”

“Ya terus?”
“Ya sudah, ayo.”

Dia tertawa, sial. Kemudian berlari menuju pos satpam, menitipkan motorku. Aku cuma bisa menggeleng dari kejauhan.

Setelah keperluannya selesai dari pos satpam, dia kembali menghampiriku. Melepas jaket jeansnya, mengulungkannya di depanku.

“Pakai jaketku buat penutup kepala. Biar enggak basah,” Aku ingin menolak. Tapi sebelum sempat aku mengatakan apa-apa, dia sudah dulu berlari lebih dulu menuju mobilnya. Menutupi kepalanya dengan kedua tangan.

“Ayo!” ia berseru.

Aku mengangguk, berlari menyusulnya.

Dibukakannya pintu mobilnya untukku, lalu aku duduk di sebelah kursi kemudinya. Memakai shit belt. Setelahnya, kuperhatikan dia yang tengah fokus memegang kemudi.

Kaosnya yang basah, badannya yang terlihat kedinginan, dan ekspresi wajahnya yang tidak menunjukkan keberatan sama sekali dengan apa yang dilakukannya malam ini.

Diam-diam, dalam pengamatanku yang seperti itu, aku bergumam lirih dalam hati.
Kalau ada seseorang didatangkan untuk membayar lunas seluruh patah hati, aku cuma mau orang ini.




Selasa, 28 Juli 2020

Saklar


                Lampu tidurku menyala remang tepat pukul 00.00. Hari ini, adalah titik pergantian hari kemarin. Mataku masih mengerjap sesekali, kutarik selimut rapat-rapat, suhu udara yang nyaris membuatku hiportemia di pagi buta, dan insomnia. Paket sempurna.
                Ada yang mengetuk-ngetuk kepalaku  hari ini. Seluruh cerita yang kapasitasnya melebihi daya sanggupku menampung, orang-orang bercerita yang kurekam di  memori, wajah-wajah yang menangis, teriakan dan jeritan penuh luka. Diam-diam, menjalar memenuhi rongga dada.
                Aku kadang membenci bagian sensitif dari rasa empatiku terhadap orang-orang tetapi lupa bagaimana cara diriku sendiri menampung kesedihan. Aku bisa begitu peduli dengan orang-orang sementara kerapkali abai pada diri sendiri.
                Ditengah mataku yang terus berusaha memejam dan sesekali terbuka. Kulirik ponsel yang lama kuletakkan di atas meja, layarnya berkedap kedip. Tidak ada nada dering di ponselku, itu berarti tanda panggilan masuk. Aku bangkit meraihnya, membaca nama kontak yang tertera di layarnya.
                “Halo,” serak suara seseorang di seberang sana.
                “Ya, halo.”
                “Kenapa belum tidur?”
                “Kenapa tahu aku belum tidur?”
                “Jawab dulu pertanyaanku,”
                “Kamu sudah tahu kenapa,”
                Dia sedikit tertawa, “Aku tahu kebiasaanmu, makanya aku menelpon.”
                “Ada apa?”
                “Besok Mama ulang tahun,”
                Aku diam sebentar, “Sekarang sudah ganti hari, apakah maksudnya hari ini?”
                “Bukan, besok. Satu hari lagi.”
                “Lalu bagaimana?”
                “Mau ikut makan malam denganku?”
                “Apa ini berarti undangan?”
                “Iya, boleh diterima?”
                “Aku pikirkan dulu,”
                “Kamu hanya harus datang, Mama pasti senang.”
                “Apakah aku harus dandan yang cantik?”
                “Tidak perlu, kamu sudah cantik.”
                “Aku tidak suka digombali,”
                “Aku tidak sedang menggombal.”
                “Apa aku harus pakai pakaian yang membuatku terlihat feminin?”
            “Pakai apa saja, senyamanmu. Ingat, kamu hanya perlu datang. Itu sudah membuatku senang.”
                “Aku tidak janji, aku usahakan,”
                “Aku tahu kamu pasti datang,”
                “Kenapa yakin sekali?”
                “Aku cuma sedang menghibur diri sendiri,”
                “Yasudah, kamu tidak tidur?”
                “Sebentar lagi, kamu tidur lah. Jangan banyak pikiran.”
                “Kamu menambah satu lagi daftar pikiranku. Menyebalkan sekali.”
                “Hahaha. Sudah, ya? Tidur.”
                Sambungan terputus. Aku menghela napas. Sebenarnya aku tidak benar-benar bisa memprediksi apa yang akan terjadi setelah ini. Dibuatnya aku kebingungan menerka-nerka perasaanku. Ia tak melakukan banyak konfrontasi, tidak banyak melempar kata-kata, tapi sekali waktu sikapnya membuatku habis kata.
                Kadang, di tengah badai yang sewaktu-waktu memporak porandakan isi kepalaku, aku hanya butuh mendengar seseorang berkata ‘Tidak apa-apa, nanti pasti terlewat juga,’. Dia tidak pernah mengatakan hal yang semacam itu, tetapi mendengarkannya bicara tentang sesuatu yang tidak terduga adalah pengecualian. Termasuk apa yang baru disampaikannya tadi. Sial.
                Aku bangkit. Meraih saklar di dinding kamar. Menyalakan tombolnya. Lampu kamarku menyala. Tepat ketika kembali kesadaaranku berpikir, aku tercenung, apa hidup itu seperti saklar lampu ya? Yang kadang menyala. Dan redup. Sesukanya.
DISKON Lampu LED Tumblr Hias Bulat Lampu Anggur Natal Taman Cafe ...

source: tumblr.

Kamis, 14 Mei 2020

19:12

19:12

Sudah berapa tahun? Jujur, aku tidak peduli, juga tidak mau menghitung. Alasan apa yang membuat seseorang meletakkan sebuah nama dihatinya bertahun-tahun, sementara dalam dunianya, dia sudah menemukan segala-galanya. Tempat dimana seharusnya ia pulang. Menemukan apa yang dia cari. Apa itu rumah. Seharusnya, itu sudah cukup.
Kalau ia bisa bertemu dengan seseorang yang lebih baik, bukankah itu cukup? Atau dalam hal ini, baik buruk itu cuma kata sifat? Jangan-jangan benar kata penulis cerita ‘Sarapan Pagi Penuh Dusta’ itu, bahwa kebaikan tidak sebanding lurus dengan rasa suka. Aku ikut teorinya. Tetapi Kawan, percayalah, membuktikannya lewat praktik ternyata jauh lebih sulit ketimbang menuliskannya lewat kata-kata.
Andai waktu bisa diulang dan jarum jam bisa diputar rotasi ke arah kiri, aku memilih tidak mengenalnya sama sekali. Dia tidak perlu datang ke duniaku, tidak perlu melakukan apa-apa yang cuma sebentar sementara aku terus mengingatnya berulang-ulang, tidak perlu mengurai cerita sepanjang ini. Menyebalkan sekali.
Tetapi, memangnya siapa yang berhak mengatur pertemuan dan perpisahan? Kalau daun yang jatuh saja punya momentum, apalagi takdir manusia yang dikaruniai akal, diberi waktu, dan mendapat perhitungan?
“Apa yang kamu cari dari aku?” kutanya.
“Kamu terlalu skeptis, ayolah. Nggak semua hal butuh penjelasan.”
“Aku nggak mau bikin orang lain repot, termasuk kamu.” aku menuang affogato di gelas es krimku. Mengambil sendok kecil, menyuapkannya masuk ke mulutku.
Matcha Lattenya masih penuh, aku yakin ia tidak berselera menyentuh minumannya, dengan seseorang duduk di depannya, menginterogasi.
“Aku bahkan nggak ngerti yang kamu maksud repot itu yang bagaimana? Minta bantuanku saja kamu hampir nggak pernah.” Ia berkata sinis.
Aku tertawa,
“Duniaku enggak semenyenangkan yang kamu kira.” Aku mencomot potato stick, mencocolnya dengan saus mayo pedas yang tadi kupesan. Dia memperhatikanku, menunggu apa yang akan kuucapkan selanjutnya.
“Dengar ya, aku cuma nggak mau kamu repot-repot memasuki duniaku yang rumit itu, memikirkan banyak hal yang seharusnya enggak perlu kamu pikirkan, ikut terbawa alur dalam ceritaku, yang aku yakin saat membaca chapter pertamanya saja kamu mungkin akan mundur duluan, melambaikan tangan. Memilih menyerah. Aku cuma mau kamu ngerti, nggak minta apa-apa. Jadi tolong, berhentilah.”
Ia mengepalkan tangannya di atas meja, dadanya naik turun, mungkin memendam amarah.  Aku menelan ludah.
“Berhenti memikirkan apa pun tentang aku, tentang seseorang yang kamu kira istimewa, yang selalu kamu cari-cari ada apa dia di dalamnya. I told you. Im just me. Aku cuma orang biasa. Aku nggak hebat. Kalau kamu berpikir untuk pergi, my pleasure.  I don’t mind. Please, just go away.”
“Aku nggak bisa lupain kamu, kalau itu yang kamu minta.”
“Kenapa? Kamu  terlihat sudah bahagia,”
“Apa parameternya?”
“Seorang perempuan yang baik, yang selalu ada di sebelahmu, yang sanggup melakukan apa saja, demi orang yang dicintainya. Seharusnya kamu beruntung, kamu beruntung sekali.”
“Kamu nggak bisa menakar keberuntungan seseorang hanya dengan melihat dari sisi luar. Selama ini, aku memaksakan kebahagiaanku di depan orang-orang, mati-matian membuktikan pada diriku sendiri kalau aku bisa melupakan seseorang yang nggak pernah sadar bahwa dia bisa jadi sebab kesedihan orang lain karena pengabaiannya.
 Aku bisa melakukannya bertahun-bertahun, menutupi semuanya dengan rapi. Tapi sejauh apa pun aku berusaha pergi, ada bayang-bayang seseorang yang terus menerus mengikuti. Sampai akhirnya aku sadar, aku menyerah, aku cuma sedang sibuk menipu diriku sendiri. ”
“Seharusnya, kamu nggak perlu kenal aku ya?” Aku tertawa.
“Kenal sama kamu itu bikin repot, ternyata kamu benar. Kamu memang merepotkan.” Dia berusaha tertawa, meraih gelas minumannya.
“Bisa tolong sudahi?”
“Apa maksudmu?”
“I love you, but im letting go,” aku tersenyum.
Dia menatapku, kebingungan. “Jangan kegeeran, itu judul lagu. Pernah dengar?”
“Pernah, kenapa?”
“Ya nggak apa-apa, bagus.”
“Kamu ini nggak jelas,”
“Kan dari dulu,”
Dia tertawa.
“Sudah ya? Then, please just come back on your journey. Without me. Kamu harus bahagia,”

Dia menatapku, menghela napas, lama sekali. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa setelah itu. Berat untuk bicara terus terang, tetapi aku hanya dapat mengatakan apa yang seharusnya kukatakan. Dia baik, baik sekali. Setidaknya, dia pernah begitu tulus menyukai seseorang seperti aku. Yang dalam kamus hidupnya mungkin adalah bagian terumit yang pernah ia temui. Sisi yang tidak bisa sepenuhnya dia pahami, tetapi setidaknya dia pernah sekuat tenaga berusaha. Sudah kubilang di awal, tidak pernah mudah memasuki duniaku, tetapi aku tahu dia sudah berusaha semampu yang dia bisa. Meski akhirnya ia memilih menyerah, mengira bahwa ia gagal. Namun yang terjadi sebenarnya adalah sebaliknya, ia menang. Aku yang kalah dengan diriku sendiri.  Sebab bagian terbaik dari memiliki perasaan terhadap  seseorang adalah melepaskan. Jadi kupikir dia bisa mengerti. Kupikir dia bisa merelakan.

Dalam banyak hal, kami berbeda, seharusnya ia paham itu sejak awal. Tapi ia tak mau dengar.  Sekarang, kalau dia berkesempatan membaca seluruh cerita ini, aku cuma ingin dia bahagia.

“Thank you for having me. Now, please let me go. See
you in another story!”







Sabtu, 21 Maret 2020

Masif

Izinkan saya menuangkan sebuah kebingungan. Oleh semuanya yang serba tiba-tiba.  Termasuk kamu, yang secara tidak sengaja mengetuk pintu hati saya, mengubah rotasi saya dengan begitu semena-mena. Tidak ada pertanyaan lain yang bisa saya lontarkan untuk diri saya sendiri, selain “Apakah benar kamu sedang jatuh hati?”
Buat saya pertanyaan itu ambigu. Perasaan buat saya bukanlah suatu hal gamblang yang mudah dijelaskan. Saya pernah menyimpan sebuah nama, menguncinya rapat-rapat, sekian lama, di dalam hati sana. Sampai saya pikir saya tidak akan lagi menemukan kemungkinan-kemungkinan yang lain. Dia satu-satunya, tidak satu pun bisa mengubah, dia tidak terganti. Tetapi saya lupa, ternyata setiap manusia punya batas kapan ia akan selesai dengan dirinya sendiri. Saya punya benteng yang lebih dari sekadar cukup untuk dikatakan sangat kokoh, tetapi apa yang abadi dari perasaan manusia? 
Titik ketika saya merasa saya harus berhenti untuk menggenggam perasaan itu, kamu datang dengan segala kemustahilan yang susah payah bisa saya cerna, terlalu rumit untuk dijabarkan. Akhirnya, saya cuma bisa
memilih mengikuti arus, membiarkan skenario berjalan dengan ritme yang saya tidak mau terlalu ambil peduli bagaimana semestinya nanti harus berakhir.
Saya tidak tahu, juga tidak bisa menebak-nebak, adakah orang asing seperti kamu memiliki misi ajaib sehingga harus masuk secara tiba-tiba ke dalam dunia saya yang sedemikian sempit? Saya enggan bertanya lebih jauh, sebab kadang-kadang saya paham bahwa jawaban yang ingin saya temui adalah buah dari pemikiran saya sendiri.
Orang-orang bertanya, seistimewa apa kamu sehingga bisa meluluhkan hati saya yang batu itu?
Mereka, termasuk saya, kadang lupa. Ada begitu banyak hal yang bisa dirayu dengan hal-hal sederhana. Saya bahkan tidak bisa menjelaskan kenapa saya bisa sereceh itu, tetapi memangnya siapa mau peduli? Saya tak pernah punya cukup penjelaskan kenapa saya harus menyukai seseorang. Namun, sampai bagian ini saya bertanya-tanya pada diri saya sendiri. Kenapa harus kamu?
Seseorang dengan sisi misterius jauh dari yang sebelumnya pernah saya prediksi. Orang yang tidak bertahun-tahun saya kenal, tetapi begitu mudahnya memasuki pintu hati saya, tanpa perlu banyak melakukan hal-hal hebat lainnya. Kamu keren karena bisa melakukan itu, harus saya akui. Namun, batas antara perasaan dan akal sering berbanding terbalik.
Kamu adalah segala yang masif. Penuh imaji. Sulit terjangkau. Tak bisa ditebak, dingin, dan beku. 
Duniamu adalah hal-hal serba asing bagi saya. Tidak terjemah. Namun ajaibnya, dari segala keterasingan itu saya mampu belajar. Menembus batas-batas harapan dan titik kesadaran. Menantang diri sendiri. Menguji banyak adrenalin. Melampaui diri saya sebelumnya. Apakah saya bisa?
Sesuatu yang saya tak pernah butuh jawaban lain selain; kamu datang memberi saya banyak pelajaran. Sedikit atau banyak. Buat saya itu cukup. Saya tumbuh. Setidaknya, dari diri saya sebelumnya yang hanya mau berhenti pada satu nama.

Saya tidak bilang kamu seistimewa itu sampai saya harus menuliskanmu dengan sederet kalimat panjang seperti ini. Tetapi terimakasih sudah datang. Saya jadi kenal warna lain di bumi selain cuma abu-abu: warna favorite saya sebelumnya. 

Setelahnya, terserah bagaimana semesta mau menakdirkan apa.


Rabu, 08 Januari 2020

Labuh


     “Sinta, dia lamaran hari ini. Aku ikut bahagia.”

 

                Aku menatap notif pesan masuk itu dilayar ponselku. Meliriknya sesaat di sela-sela pekerjaanku menatap layar komputer. Menghela napas. Bagaimana mungkin? Bagaimana  mungkin kamu bisa bahagia melihat orang yang kamu cintai bersama orang lain? Seseorang yang tinggal di hatimu selama bertahun-tahun? Yang dengannya kamu rela menyerahkan seluruh hatimu, kamu korbankan banyak waktu untuk menunggunya, bersetia dengan sesuatu yang bahkan tidak pernah disetujui dengan takdir semesta?

                Aku ingat bagaimana binar matanya saat ia bercerita tentang orang yang dia suka. Ingat bagaimana kemudian cerita-cerita itu mengalir, harapan itu bertumbuh, dan entah bagaimana lagi aku menyebutnya. Aku mengerti benar perasaannya sebab tidak pernah mudah menjadi seseorang dengan hati setertutup itu. Menghindar dari setiap kali yang berusaha datang hanya demi menunggu satu orang. Gila. Tapi perasaan manusia tidak pernah bersepakat dengan logika. Kau boleh tidak setuju dengan aku. Aku tidak peduli.

                Juga, ingat saat bagaimana  hari itu aku menemuinya setelah berbulan-bulan tidak bertemu. Dia mengenalkanku dengan seseorang. Laki-laki pertama yang berhasil meruntuhkan tembok raksaksa di hatinya selama ini. Aku takjub. Dia yang setertutup itu, yang bahkan tidak pernah antusias bercerita tentang orang lain kecuali satu nama yang menyita perhatiannya, hari itu terlihat begitu bahagia.

                Satu hal yang kemudian membuatku berujar, kepada laki-laki yang dia kenalkan.

                “Mas, hebat sekali kamu bisa melelehkan hatinya yang beku itu. Apa rahasianya?”

                Laki-laki itu tertawa,

 “Apa yang membuatmu menyukainya?” kutanya,

                Sahabatku subjek dalam cerita ini, merona pipinya saat kutanyakan hal itu.

                “Karena dia orang yang bisa mengerti aku, dia satu-satunya orang yang paling ingin kuhindari, tetapi semakin aku menghindarinya, dia membuatku terus menerus berlari menujunya.”

                “Kamu nggak salah pilih orang kalau begitu,” aku tersenyum melirik seseorang di sebelahku. Dia tersipu.

                Kemudian, aku mengamatinya. Menyimak obrolan mereka. Dua orang asing yang sebelumnya tak saling kenal. Bertemu dalam satu waktu, merasa satu frekuensi, memutuskan bersama. Lihat, bagaimana begitu mudahnya Tuhan membolak-balikkan hati manusia?

                Aku tersenyum. Ikut merasa lega karena ternyata takdir mempertemukannya dengan seseorang yang lebih baik. Kini, hatinya telah berlabuh, dia tidak lagi perlu menunggu, ada seseorang yang siap membagi dunianya bersamanya, menyimak cerita-ceritanya, menjadi yang selalu ada setiap kali dia butuh. Dan yang terpenting, seseorang yang selalu menganggapnya ada, mengerti dirinya. Kupikir, itu sudah jauh lebih dari cukup

                Sekarang, giliranku mempertanyakan diriku sendiri. Kapan? Kapan aku akan berhenti mencari sesuatu yang seharusnya memang tidak ada? Dan kapan yang lain. Segala pertanyaan yang tidak bisa habis kulontarkan.

                Tetapi, apakah semua orang punya hati yang sama? Apakah semua orang memang ditakdirkan jatuh berulang-ulang pada orang yang sama sebelum pada akhirnya mereka menemukan satu yang membuatnya tidak lagi ingin mencari siapa-siapa? Apakah sebuah kesalahan bagi mereka yang masih terperangkap masa lalu, tidak peduli sekeras apa pun mereka mencoba berlari, hanya demi melindungi hatinya agar tidak lagi tersakiti? Kenapa rekontruksi batin manusia rumit sekali.
image
                                                                            pict form here
 
 
 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger