Aku sedang ke toko buku, sendirian. Pulangnya, tidak bisa
kuterobos hujan karena aku tidak bawa mantel. Berdiri menunggu di depan gedung
pertokoan. Hawa dingin di luar. Hujan malam itu, deras sekali. Waktu sudah
menunjuk pukul 10 malam, bukan aku tidak berani pulang. Aku berani saja
sebenarnya. Tapi mengendarai sepeda motor malam hari dengan hujan sederas ini ,
kupikir bukan pilihan cukup baik. Jadi aku memutuskan menunggu sampai hujan
mereda.
Sambil memainkan ponsel, aku
iseng membuat story. Merekam video hujan di depanku.
Satu
balasan pesan masuk.
“Kamu dimana?”
“Di Gramedia, kenapa?”
“Gramedia mana?”
“Gramedia Basuki Rahmat,”
“Sendiri? Ngapain di situ?”
“Beli buku. Kejebak hujan. Hahaha.”
“Jas hujannya kemana?”
“Lupa dibawa. Hehe.”
“Ya sudah, aku kesana.”
“Ngapain?”
“Aku anterin jas hujan,”
“Jangan, bentar lagi juga reda,”
“Ini udah malam, sudah tunggu di situ.”
“Enggak usah,”
“Eh ini udah reda, aku mau pulang.”
“Jangan ke sini..”
“Enggak usah dibawain jas hujan, beneran enggak usah, makasih sebelumnya..”
Percuma, pesan-pesan
yang kubombardir itu tidak terbaca, cuma centang dua.
Hujan
masih belum berhenti, malah makin deras resonansi. Sepuluh menit kemudian,
sebuah mobil hitam terparkir tidak jauh dari tempatku berdiri. Pemiliknya
berhenti, membuka pintu mobil. Sesosok yang tidak asing keluar dari sana,
memakai jaket jeans dan topi. Dia berlari menerobos hujan. Tangan kirinya
menghalau tempias air hujan, tangan kanannya membawa sekantong tas kresek hitam.
“Hai,”
sapanya, bahkan tanpa merasa berdosa setelah sebelumnya tidak membalas
pesan-pesanku yang banyak sekali itu.
“Ngapain,
sih? Kan udah dibilang jangan.”
“Mau sampai kapan di sini sendiri? Enggak takut?”
“Bentar lagi juga reda,”
“Sok tahu. Hahaha. Masih deres gini,”
“Lagian ngapain nyusulin?”
“Enggak boleh?”
“Bukan enggak boleh, aku cuma nggak mau ngrepotin.”
“Siapa yang repot?”
“Bukannya kamu masih sibuk kerja?”
“Barusan selesai meeting, enggak sibuk.”
“Selesai dari meeting atau sengaja diselesaiin biar bisa bolos ke sini?”
“Hahaha. Kita tunggu hujannya biar agak terang ya, nanti
kamu pakai jas hujannya. Aku anterin pulang,”
“Enggak usah lah, kamu kan bawa mobil. Aku bisa pulang sendiri.”
“Ya sudah, enggak, aku tungguin aja di sini sampai lumayan
terang.”
“Lihat, jaketmu jadi basah, kan?” aku menunjuk jaketnya. Dia
menoleh, menatapku. Tidak menjawab. Cuma nyengir.
“Kamu tadi udah makan?” ia bertanya.
“Udah, kamu yang belum ya?”
“Laper, mau makan bakso, nggak?”
“Emang ada yang jual bakso? Di deket sini?” Aku celingukan mencari gerobak
bakso. Tidak ada.
“Kita cari di luar,”
“Ya udah, ayo. Aku ambil motor dulu.”
“Hmm, enggak usah.”
“Kok enggak usah?”
“Kita naik mobil.”
“Kan aku bawa motor?”
“Masih ada Pak Satpam, kan? Nanti aku bilang.”
“Kenapa aku enggak bawa motor aja biar sekalian pulang?”
“Kenapa?”
“Kok malah kenapa?”
“Kenapa enggak mau naik mobil? Takut sama aku?”
“Ya enggak,”
“Ya terus?”
“Ya sudah, ayo.”
Dia tertawa, sial. Kemudian berlari menuju pos satpam,
menitipkan motorku. Aku cuma bisa menggeleng dari kejauhan.
Setelah keperluannya selesai dari pos satpam, dia kembali
menghampiriku. Melepas jaket jeansnya, mengulungkannya di depanku.
“Pakai jaketku buat penutup kepala. Biar enggak basah,” Aku
ingin menolak. Tapi sebelum sempat aku mengatakan apa-apa, dia sudah dulu berlari
lebih dulu menuju mobilnya. Menutupi kepalanya dengan kedua tangan.
“Ayo!” ia berseru.
Aku mengangguk, berlari menyusulnya.
Dibukakannya pintu mobilnya untukku, lalu aku duduk di sebelah
kursi kemudinya. Memakai shit belt. Setelahnya, kuperhatikan dia yang tengah
fokus memegang kemudi.
Kaosnya yang basah, badannya yang terlihat kedinginan, dan
ekspresi wajahnya yang tidak menunjukkan keberatan sama sekali dengan apa yang
dilakukannya malam ini.
Diam-diam, dalam pengamatanku yang seperti itu, aku
bergumam lirih dalam hati.
Kalau ada seseorang didatangkan untuk membayar lunas seluruh patah hati, aku
cuma mau orang ini.
0 komentar:
Posting Komentar