Rabu, 28 Juli 2021

Bukan Fairy Tale

 

Dulu aku menutup telingaku rapat-rapat kalau harus mendengar hal-hal tentang pernikahan, memilih menghindar dari topik itu ketika terlibat obrolan dengan teman-temanku, kalian yang dulu pernah mengajakku membahas hal itu mungkin mengerti. Aku lebih sering mengalihkan ke topik yang lain, atau justru tidak menanggapi. Maaf untuk skeptisku itu. Aku punya alasan tapi kamu tidak perlu tahu kenapa.

Sekarang, biar kubayar skeptisku yang dulu dengan tulisan ini, ya.

“Wedding dream kamu?” hal-hal semacam itu, aku hampir tidak punya jawabannya.

“Menikah itu apa sih? Kenapa orang-orang harus menikah? Harus berpasangan? Berkeluarga?”

Pertanyaan yang sering kulontarkan untuk diriku sendiri. Kalau jawabannya karena “ibadah”, aku tidak bisa lebih setuju dari itu, tetapi adakah jawaban lain yang lebih terdengar manusiawi? Jawaban yang menunjukkan sisi humanisme seseorang kenapa mereka harus mengikat komitmen mereka pada pernikahan? Yang lebih jujur karena keinginan diri mereka sendiri? Bukan karena tuntutan? Bukan soal batas usia? Bukan karena paksaan? Lebih karena mereka menemukan sebuah tujuan untuk hidupnya, untuk dunianya, dan kalau mereka percaya tentang kehidupan setelah di dunia, itu berarti juga untuk akhiratnya. Untuk apa saja yang membuat kita memanusiakan diri kita sendiri, bukan demi memenuhi banyak ekspektasi.

Karena kupikir, saat seseorang sudah menemukan alasan yang dia butuhkan untuk dirinya sendiri, saat mereka sudah selesai mencari jawaban itu untuk dirinya,mereka akan menemukan waktunya. Tolok ukur itu tidak bisa dipukul rata ke semua orang, karena kebutuhan setiap orang berbeda-beda, bukan? Juga waktunya tidak akan sama.

Jadi, tolong berhenti menanyakan sesuatu kepada seseorang yang belum menemukan alasan itu untuk dirinya sendiri. Kepada seseorang yang bahkan tidak tahu kapan dia akan selesai dengan dirinya.

Lagipula, Kawan, apakah kamu percaya negeri dongeng?

Fairytale itu bohong, Cinderella dan pangerannya itu tidak ada. Tidak nyata.

Dunia kita pararel, bergerak dinamis, roda kehidupan berputar, hidup bukan cuma berisi warna terang, Hidup bukan cuma soal bahagia, bukan yang indah-indah saja. Kupikir “pernikahan” begitu juga. Kendati sering kujumpai potret keluarga bahagia di sosal media, tapi bukan kah segala hal yang diletakkan di etalase kaca adalah yang paling layak buat ditampilkan? Di balik itu, siapa tahu? Aku bukan bilang bahagia mereka palsu, hanya dibalik bahagia yang mereka tampilkan itu, kita tidak pernah tahu sisi yang terjadi dibaliknya. Pasti banyak kompromi di sana.

Jadi berhenti membayangkan kehidupan setelah menikah itu cuma berisi tentang keindahan saja. Itu cuma ada di negeri dongeng. Itu cuma fairylate. Karena semakin kita berekspektasi tentang menikah itu cuma tentang bahagia, kupikir kita tidak akan pernah cukup bahagia menjalaninya.

Sementara itu, terkhusus diriku sendiri, juga kawan-kawan di luar sana yang saat ini belum menemukan alasan kenapa mereka harus menikah, apa pun itu. Aku cuma mau bilang, bahagiakan dulu dirimu, sehingga nanti, saat kita sudah menemukan alasannya, kita tidak lagi punya ekspektasi untuk dibahagiakan siapa-siapa. Karena bahagia kita tanggung jawab diri kita sendiri, bukan tanggung jawab siapa pun. Termasuk pasangan kita nanti.

Bahwa menikah itu tentang komitmen dan kompromi, menikah menambah masalah itu pasti. Masalah dua kepala, dua keluarga. Bedanya, masalah yang ada ditanggung berdua. Bedanya kepada siapa kita membagi masalah itu. Kalau kepada orang yang tepat, kita bisa berkompromi menyelesaikan banyak hal berdua. Dan semoga kalian beruntung menemukannya.

Katanya, menemukan pasangan bukan mencari soal siapa yang paling sempurna, kan?

Kalau begitu, temukan seseorang yang seburuk apa pun masa lalunya masih bisa kamu terima, temukan seseorang yang semua sifat dan karakternya masih bisa kamu tolerir, yang marah-marahnya masih bisa membuatmu legowo, yang kata-katanya masih kamu izinkan masuk ke telingamu meski semenyakitkan apa pun itu, temukan seseorang yang kekurangannya masih bersedia kamu lengkapi, yang kelebihannya membuatmu terpacu untuk mejadi lebih baik lagi, temukan seseorang yang meski dalam keadaan paling buruk pun masih sanggup membuatmu bertahan untuk tidak meninggalkannya pergi.

Karena selamanya itu terlalu lama. Karena yang sempurna itu tidak ada.

Karena kalau masih sanggup memilih apa yang bisa kita perjuangkan untuk diri kita sendiri, kenapa harus memenuhi standar bahagia dan penilaian orang lain?

 


pict from here


Minggu, 18 April 2021

Namanya Abi, Abimanyu

 



Sore kemarin, aku duduk diantara kerumunan pengunjung yang mulai ramai berdatangan. Di sebuah kafe, di jalan Jakarta. Malam Minggu, mungkin adalah hari dimana umumnya dirayakan oleh beberapa orang.  Bersama pasangan mungkin, atau teman, keluarga, siapa saja. Aku adalah pengecualian, aku sedang tidak merayakan apa-apa. Aku hanya sedang ingin duduk menyendiri, di bangku paling ujung. Di sini ramai, sengaja memilih sudut paling sepi, keberadaanku tidak akan terdeteksi, siapa peduli?

                Di depanku, ada laptop dengan layarnya yang menunjukkan lembar kerja Microsoft Word. Aku deadline malam ini. Dua artikel lagi setelah delapan sebelumnya sudah selesai kukerjakan sedari sore. Ornamen kafe itu, setiap sudutnya, mengingatkan aku kepada salah satu tempat paling menyenangkan di Jogja; Malioboro. Ada dream catcher yang biasanya terjual di rak asesoris dan oleh-oleh di samping ruas kanan dan kiri sisi Malioboro, lukisan beruansa batik, dan lampu berukiran khas Jogja terpajang di beberapa spot bagian dindingnya.

                Di sela-sela pekerjaanku mengerjakan tulisan, aku tidak bisa mengelak kalau sore itu, aku sedang tidak baik-baik saja.  Kendati sering perasaan itu muncul, dan kerapkali kuabaikan. Ada sesuatu yang memang tidak bisa kita bicarakan, tidak bisa kita jelaskan alasan dibaliknya, dan bagi sebagian orang, berterus terang pada diri sendiri itu bukan hal mudah dilakukan. Aku tidak pernah ingin menangis di depan banyak orang, dilihat oleh siapa pun. Pantang bagiku menangis di depan orang lain, tetapi rasanya menjadi manusia kupikir tidak ada salahnya. Menangis itu manusiawi. Seharusnya.

“Mbak, kenapa menangis? Maaf saya enggak bisa nawarin tissue buat ngelap air matanya, tapi kalau Mbaknya mau cerita, saya punya dua telinga buat dengerin.”

Aku mendongak, buru-buru menghapus air mataku, menatap heran seseorang dengan penampilan casual yang tengah duduk di seberang kursiku. Entah sejak kapan dia ada di situ. Memakai kaos putih polos, jaket jeans hitam, dan kacamata bertengger di hidungnya.

“Maaf Mas, apakah barusan saya lagi dengerin suara buaya?”

Dia tertawa.
“Saya nggak perlu dihibur,”

“Tapi saya juga nggak berniat menghibur kok, saya cuma menawarkan telinga kalau kamu mau cerita.”

“Saya ini, sama orang yang sudah saya kenal lama saja mikir dua kali kalau mau cerita masalah saya, kenapa berharap cerita sama orang yang bahkan saya enggak tahu namanya siapa?”

“Kalau begitu, boleh kenalan dulu? Nama saya Abi, Abimanyu.”

Dia mengulurkan tangannya, aku menatapnya sesaat, menimbang sesuatu sebelum mengulurkan tanganku, balas menjabat tangannya demi kode etik.

“Kiara,”

“Nama yang bagus,”
“Memang tahu artinya?”

“Sinar mentari pertama dalam bahasa Korea, tapi lebih umum diartikan bercahaya. Benar?”

“Ya,”

 “Tapi kalau kamu menangis, nanti cahanya jadi redup.”

“Jadi apakah maksudnya saya nggak boleh nangis?”

“Boleh. Tapi nanti senyum lagi, ya?”

“Masnya ngapain ke sini?”

“Datang, duduk, menulis. Sama seperti kamu.”

“Maksudnya, ngapain ke sini? Nyamperin meja saya?”

“Boleh saya panggil nama? Kamu menarik perhatian saya, Kiara. Sejak awal kamu datang ke sini, duduk di meja paling ujung, menulis sendirian. Apa yang kamu lakukan itu sama persis dengan apa yang saya kerjakan, bedanya, saya fokus mengetik. Sementara kamu kadang-kadang berhenti, menatap sekitarmu, melamunkan sesuatu yang entah apa. Dan terakhir sebelum saya memutuskan mendatangi kamu ke sini, saya melihat kamu menangis. Ada sesuatu yang berat sedang terjadi, ya?”

“Kalau pun ada, saya juga nggak akan perlu repot-repot menceritakannya, Mas. Tapi sebelumnya terima kasih sudah bertanya.”

Anytime, boleh tetap merasa baik-baik saja. Tapi dengar ini, kamu nggak harus menjadi kuat sendirian.”

Aku mengangguk, sibuk mengelap sisa tangisanku dengan telapak tangan, tidak tahu harus berkomentar apa.  Aku hanya-aku hanya sedang malas mendengarkan apa pun, hal-hal yang semacam itu, malas sekali.

“Maaf tadi namanya siapa?”

“Abi,”

“Sedang mengerjakan sesuatu juga di sini?”

“Iya, kalau Kiara nggak keberatan, boleh enggak saya bawa laptop saya ke sini? Saya bisa temenin kamu ngobrol, atau kalau kamu minta saya diam selama kamu mengerjakan pekerjaanmu, saya enggak akan mengganggu, fokus sama pekerjaan saya, enggak akan mengajak kamu mengobrol.”

Aku tidak punya banyak tenaga untuk menolak, jadi kujawab, “Boleh,”

“Saya ke sana dulu ya,” Laki-laki berperawakan kurus tinggi itu menunjuk mejanya, yang terletak satu garis diagonal dengan mejaku. Hanya berbeda sudut. Mejaku di sudut utara, dia di sebelah selatan.

Dia kisaran usia 27 tahun atau 28 entah lah, aku tidak pandai memprediksi usia seseorang. Tetapi wajahnya terlihat jauh lebih muda dari usianya, wajah yang innocent, seperti anak kecil. Yang saat dia tiba-tiba duduk di depanku lalu bertanya kenapa aku menangis? Aku seperti tidak sedang berhadapan dengan orang asing. Pembawaannya tenang dan menyenangkan,  sesuatu yang menarikmu untuk membuka diri, menurunkan sedikit benteng pertahananmu, di depan seseorang yang bahkan sebelumnya tidak pernah kamu temui.

Tersenyum, dia meletakkan laptopnya di mejaku. Duduk di seberang bangkuku, menyiapkan beberapa dokumen yang dia keluarkan dari dalam tas punggungnya, sebuah bolpoint, dan charger laptop. Saat dia menarik kabel charger laptopnya itu, sebuah benda ikut tertarik ke atas. Aku sekilas melihatnya, name tag identitas seseorang. Itu bukan hanya sekadar identitas, itu simbol profesi.

“Mas Abi, jurnalis?”

Dia tertawa lalu menggeleng, buru-buru memasukkan name tagnya ke dalam tasnya yang tidak sengaja ditariknya keluar itu, “Bukan, Kiara. Saya ini cuma kuli tinta.”

                “Begitu ya insting seorang jurnalis? Sibuk mengamati situasi? Sampai-sampai tahu kalau ada seorang perempuan menangis di pojok sebuah kafe yang padahal dikerumuni banyak orang di sekitarnya?”

                Berhenti dari aktifitasnya menyiapkan barang-barangnya di atas meja, dia menatapku. Memberi jeda sebelum akhirnya menjawab, “Saya senang mengamati, memang. Itu bagian dari pekerjaan. Tetapi tidak semua hal saya perhatikan, kalau perempuan yang saya lihat sedang menangis tadi bukan kamu, saya tidak yakin apakah saya akan punya keberanian untuk berhadapan dengan kamu saat ini.”

                “Seharusnya kamu ini beralih profesi jadi pawang buaya saja, Mas Abi, daripada jurnalis.”

                Abimanyu, nama laki-laki itu, tertawa, “Kamu ini, kenapa senang sekali memberi label laki-laki dengan kata buaya?”

                Aku mengedikkan bahu, malas berkomentar.

                “Saya temani kamu mengobrol, atau diminta diam?”

                “Diam saja,”

                “Oke, lanjutkan pekerjaanmu. Nanti kalau sudah selesai, dan merasa perlu seseorang untuk diajak ngobrol, beri tahu saya, ya.”

                Aku mengangguk,kembali fokus pada layar laptop di depanku. Sesekali, aku mengamati dia yang juga tengah fokus melanjutkan pekerjaannya. Dari samping wajahnya terlihat serius sekali, lensa kacamatanya tebal, itu pasti karena dia hobi membaca, oh atau kalau tidak, dia mungkin suka membaca sambil tiduran. Atau kalau tidak, mungkin dia tidak suka makan wortel, atau? Kenapa aku jadi memikirkan hal-hal receh semacam ini? Kenapa aku jadi lupa kalau sepuluh menit sebelumnya aku sedang menangisi sesuatu?  Menyebalkan sekali.

               

                 


 pict from tumblr


Fiksi

Mlg, 18/04/2021

15.15 WIB


               

 

 

Kamis, 18 Februari 2021

Seseorang yang Memintaku Menjadi Bandara

Katamu, hidup cuma peralihan, ya Han? Antara sedih ke senang, senang ke sedih, tangis ke tawa, tawa ke tangis, begitu seterusnya. Siklus yang terjadi berulang-ulang. Tidak ada  waktu yang kekal, benar kata Sapardi dulu. Yang fana adalah waktu, kita abadi.

Kamu menyukai kota yang asing, sebuah tempat dimana tidak ada yang mengenalimu seorang pun. Karena apa yang diharapkan dari dikenal banyak orang? Apa yang perlu dicari dari validisi? Karena bukan kah pada akhirnya setiap orang harus belajar hidup sendiri-sendiri?

            Di bandara pagi itu, kujumpai kamu dengan senyum paling merekah sepanjang aku mengingatnya. Dengan tas ransel warna hijau army di punggungmu, topi baseball broken white di kepalamu, dan convers hitam yang warnanya sudah memudar. Tentu saja, dengan tali sepatu yang kamu urai seenaknya.

            “Setelah ini, ke kota mana lagi?” Aku bertanya, menyambutmu dengan senyum tak kalah lebar.

            Dan kamu menggeleng, mengedikkan bahumu, “tidak tahu, biar jadi kejutan.”

            “Mau sarapan apa?”

            Jawabanmu mengantarkan kita sekarang di sini, di salah satu kedai nasi uduk favoritemu. Yang ramai benar di datangi pembeli sejak pukul lima pagi, kita datang dua jam setelah kedai  itu dibuka, tentu saja setelah tiga puluh menit perjalanan meninggalkan bandara, dengan aku yang fokus menyetir, kamu duduk di sebelah kemudiku. Menceritakan perjalanan yang kamu lalui selama satu pekan terakhir.

            “Bu, nasi uduknya dua, ya. Yang satu porsinya setengah, tanpa kerupuk. Sama es tehnya dua,”

            Seperti biasa, kamu yang dengan lantang memesan, aku memilih bangku paling ujung. Di dekat jalan raya, yang dari sana kamu bisa melihat kendaraan berlalu lalang, bonus hamparan sawah di seberangnya.

            “Gimana, capek?”

            Kamu duduk di depanku, “Nggak ada hal yang bikin capek kalau kita senang melakukanya,”

            Aku tersenyum.

            “Boleh kutanya sesuatu?” tanyamu.

            “Boleh, apa?”

            “Kalau misalnya ini bukan hari minggu, hari liburmu, apakah kamu punya alasan untuk nggak  menjemputku di bandara?”

            Aku tertawa, “Apa-apan kamu ini,”

            “Kan aku cuma tanya, Nat.”

             “Mana aku punya alasan buat nggak menjemputmu? Pernah sekali, pun?”

            Kamu menggeleng, “Kenapa nggak pernah absen?”

            “Karena aku senang melakukannya,”

            “Walaupun kamu sedang banyak pekerjaan?”

            “Lalu kenapa?”

            “Memangnya enggak capek?”

            “Nggak ada hal yang bikin capek kalau kita senang melakukanya. Itu katamu, lupa?”

            Kini, giliran kamu yang tertawa. Renyah. Dan aku menyukainya. Selalu.

            Dua porsi nasi uduk dan es teh itu terhidang di meja kita. Porsimu setengah, tanpa kerupuk. Kamu menyantapnya setelah sebelumnya menepuk punggung tanganku, ”doa dulu, ya?”

            “Hana,”

            “Ya?”

            “Kalau bukan aku yang menjemputmu pagi ini di bandara, kamu mau minta dijemput siapa?”

            “Sendiri, kenapa harus minta dijemput?”

            “Tapi kenapa mau dijemput aku?”

            Kamu berhenti mengunyah, menatapku dengan tatapan seolah ingin mencari tahu jawabanmu dari sana. Tapi sepertinya gagal, ya? Karena setelah itu kamu cuma menggeleng.

            Aku tertawa, lucu sekali. Kenapa aku harus menanyakan sesuatu pada seseorang yang  bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan itu untuk dirinya sendiri? Untuk perasaannya?

            “Nata,”

            “Ya?”

            “Kenapa kamu di sini?”

            “Maksudnya? Kan daritadi aku sama kamu,”

            “Maksudku, kenapa yang duduk di depanku sekarang ini dalah kamu. Kenapa bukan orang lain?”

            “Karena cuma aku orang yang kamu persilakan duduk,”

            “Ya sudah, sekarang kamu tahu jawabannya.”

            Kamu lebih senang membuat aku menebak-nebak, Han. Memintaku menjadi bandara, tempatmu datang dan pulang, untuk kemudian pergi lagi, ke suatu tempat yang tidak bisa aku prediksi. Aku adalah bandara yang mengantarmu sebelum pesawat-pesawat itu membawamu terbang tinggi. Juga tempat yang kamu pijaki pertama kali, ketika pesawat itu membawamu kembali. Maaf, biar kuralat. Kamu tidak pernah memintanya, aku sendiri yang melakukan itu tanpa terpaksa.

Juga katamu, kita semua belajar dari hal-hal yang kita benci. Sesuatu yang kita tidak ingin terlibat di dalamnya, tidak ingin menyentuh rasa sakitnya, tidak ingin berkompromi dengan konsekuensi yang akhirnya kita lalui. Kita selalu belajar dari hal-hal yang tidak kita suka, sesuatu yang justru membawa kita terlibat, merasakan, dan membaur bersama semua hal yang kita benci itu. Han, apakah pelajaran untukmu belum selesai? Sampai hari itu datang, sampai waktu itu tiba, mungkin aku tetap akan menjadi bandara. Menunggu hingga kamu selesai, dan kamu telah berhasil berdamai.


pict from here


Malang
19.02.21
19.12

Selasa, 16 Februari 2021

Setitik Perjalanan

 

               1202 2021


Pagi-pagi sekali, ponselku berdering. Panggilan pertama yang lebih pagi dari alarmku hari itu.

Aku mengangkat panggilannya, begitu membaca nama kontak yang tertera.
                “Halo, Assalamualaikum,” ujarku dengan nada suara berat.
                “Halooo waalaikumsalam. Selamat ulang tahun,  anak cantik, semoga..... ” dan doa-doa lain dipanjatkan setelahnya.
                Aku tersenyum, aku bahkan lupa dan enggan mengingat hari itu selain hari imlek. Tetapi,  bersemangat sekali mengaminkan doa-doanya.

                “Aamiin.Terima kasih Buk,”

                 Panggilan itu selesai. Aku membuka notif WhatsApp yang tidak akan terbaca kalau tidak kubuka. Beberapa pesan masuk, yang tidak langsung kubuka satu per satu. Aku tidak ingin menspesialkan hari apa pun, termasuk hari lahirku sendiri. Juga tidak berambisi merayakannya. Tetapi, sebelumnya, aku berterima kasih untuk teman-teman yang memberiku doa. Terima kasih banyak.

                Pagi-pagi sekali, aku berkemas. Aku berencana pergi ke suatu kota kecil di Jawa timur, kota dengan ikon bernama SLG (Simpang Lima Gumul) hari itu, dengan naik kereta. Jadi aku ke stasiun, menanyakan apakah tiket go show hari itu masih tersisa? Habis. Kenapa aku tidak memesan jauh-jauh hari sebelumnya menggunakan aplikasi? Aku tidak akan bilang kalau kebetulan sistem jaringan aplikasi di ponselku bermasalah, karena bukankah tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini? Jadi kupikir hari itu memang aku tidak ditakdirkan pergi ke sana naik kereta. Mungkin aku tetap di takdikan pergi ke sana, tetapi bukan naik sepeda, ya, naik sepeda motor.

                Kupikir akan seru sekali kalau hari itu aku bisa touring ke luar kota sendirian, pertama kali dalam hidupku, melakukan sesuatu yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Maksudnya, naik sepeda motor sendirian keluar kota. Karena biasanya aku naik kereta atau bis antar kota kalau sedang pergi sendiri, kalau pun naik motor, biasanya dengan kawanku.

Aku tidak berencana naik motor sebelumnya, tapi dalam perjalanan sepulang dari stasiun, ide itu tiba-tiba terlintas begitu saja dikepalaku. Ide spontan itu bisa kubilang cukup nekat, karena jarak Malang-Kediri yang lumayan jauh jika ditempuh menggunakan sepeda motor dan aku juga tidak pandai membaca peta.

                Sepanjang perjalanan, aku menikmati waktuku di jalan sendirian. Melihat pemandangan serba hijau di sepanjang jalan Batu dan Pujon. Aku berkali-kali melewati jalan itu, tapi tetap tidak berhenti takjub  dan berdecak kagum saat melewatinya. Gunung yang terbentang dengan begitu luas dan indah, pohon-pohon hijau yang masih asri, sungai yang deras mengalir dan menyejukkan.

Jalan Pujon yang berkelok-kelok adalah salah satu jalan yang membuat aku trauma, kecelakaan yang terjadi tahun 2017 lalu, yang membuat aku dan Bapak jatuh tergelincir dari sepeda, begitu membekas di kepala.

                Aku melewati titik lokasi kecelakaan dengan jantung berdebar, sebuah tikungan tajam di  atas tanjakan jalan beraspal. Tidak jauh dari sana, berdiri sebuah pukesmas tempat kami dulu di rawat. Bersyukur karena masih banyak orang-orang baik hari itu yang menolong kami.

                Aku masih ingat kata-kata Bapak hari itu, “Padahal di jalan tadi sepi, tapi waktu kita jatuh, orang-orang tiba-tiba berdatangan, bantuin kita sampai bisa ditangani di sini (baca: pukesmas). Itu bukan kebetulan, bisa jadi itu karena doa orang yang pernah kita tolong, Allah tolong kita juga dari perantara orang lain di saat kita membutuhkan pertolonganNya. Jangan pernah bosan berbuat baik, karena akhirnya kebaikan  itu akan kembali ke kita.”

                Aku tidak berhenti mengucap syukur selama aku berkendara. Betapa baiknya Tuhan memberi aku kesempatan untuk  menghirup udara sampai usiaku yang sekarang. Betapa baiknya Ia, sebab diberiNya aku kesempatan menjelajah setitik dari bumi ciptaanNya yang begitu luas. Hari itu, di hari lahirku, aku tidak ingin meminta apa pun. Aku cuma ingin bilang terima kasih. “Ya Allah, terima kasih banyak.”

                Aku tidak menghubungi siapa pun hari itu, kalau aku mau touring ke Kediri. Satu-satunya yang kuberi kabar adalah seorang sahabatku yang tinggal di sana, Mega. Ia awalnya mengira aku tak jadi datang karena kehabisan tiket kereta. Ia tidak tahu kalau saat aku menghubunginya, aku sudah tiba di Pare. Sebuah kota kecil yang masih satu kabupaten dengan Kediri.

                “Meggg, tiket keretanya habis. Tapi.. aku tetap jadi berangkat ke sana. Naik motor. Ini udah sampai Pare. Hahaha.”

                “Hah? Sumpah? Ya Allah nekat banget temen guaaaa.”

                “Kalau nggak nekat kan namanya bukan temanmu,”

                Tentu saja dia kaget. Sebagai saksi hidup yang paham benar aku hobi kesasar, mana dia mengira aku akan benar-benar pergi ke sana naik motor? Dan sendirian? Hahaha.

                Butuh kurang lebih 4 jam sampai aku tiba dan bertemu dengan Mega. Tentu itu sudah termasuk waktu berhenti istirahat di jalan, dan nyasar sana-sani. Tetapi tidak berkurang rasa senang, tetap kunikmati. Karena selama perjalanan itu, aku bertemu dengan orang-orang baru, berinteraksi dengan warga lokal, mereka semua baik sekali dan menyenangkan.

                Kota Kediri yang tidak terlalu bising, rumah Mega yang terletak di pedesaan yang masih asri,keluarganya yang sangat hangat menyambut kedatanganku (walapaun Ibu Mega sempat  terheran-heran, tidak menyangka kalau aku betulan datang ke rumahnya hari itu), pemandangan di halaman rumahnya yang kusukai, yang saat aku di sana, bisa kulihat pemandangan sawah terbentang luas. Udara yang masih sejuk, jauh dari hiruk pikuk kota.

                Hari itu rasanya sudah cukup. Aku tidak meminta apa-apa, tidak ingin mengharapkan apa pun dari orang lain, bahkan untuk sepotong kata selamat. Aku bersyukur, untuk seluruh perjalanan yang kulalui, untuk teman-teman baik disekelilingku, untuk orang-orang yang kusayangi, untuk orang-orang yang menyayangiku, untuk begitu banyak kesempatan, untuk banyak hal yang bisa kujadikan pelajaran.

Ya Allah, terima kasih banyak. Aku mencintaiMu.”





             

                 


               

                 


               

               PS: Thank you, Mbak-mbak fotografer! Haha.


Malang, 16 februari 2021


18.59

               

               

 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger