Kamis, 18 Februari 2021

Seseorang yang Memintaku Menjadi Bandara

Katamu, hidup cuma peralihan, ya Han? Antara sedih ke senang, senang ke sedih, tangis ke tawa, tawa ke tangis, begitu seterusnya. Siklus yang terjadi berulang-ulang. Tidak ada  waktu yang kekal, benar kata Sapardi dulu. Yang fana adalah waktu, kita abadi.

Kamu menyukai kota yang asing, sebuah tempat dimana tidak ada yang mengenalimu seorang pun. Karena apa yang diharapkan dari dikenal banyak orang? Apa yang perlu dicari dari validisi? Karena bukan kah pada akhirnya setiap orang harus belajar hidup sendiri-sendiri?

            Di bandara pagi itu, kujumpai kamu dengan senyum paling merekah sepanjang aku mengingatnya. Dengan tas ransel warna hijau army di punggungmu, topi baseball broken white di kepalamu, dan convers hitam yang warnanya sudah memudar. Tentu saja, dengan tali sepatu yang kamu urai seenaknya.

            “Setelah ini, ke kota mana lagi?” Aku bertanya, menyambutmu dengan senyum tak kalah lebar.

            Dan kamu menggeleng, mengedikkan bahumu, “tidak tahu, biar jadi kejutan.”

            “Mau sarapan apa?”

            Jawabanmu mengantarkan kita sekarang di sini, di salah satu kedai nasi uduk favoritemu. Yang ramai benar di datangi pembeli sejak pukul lima pagi, kita datang dua jam setelah kedai  itu dibuka, tentu saja setelah tiga puluh menit perjalanan meninggalkan bandara, dengan aku yang fokus menyetir, kamu duduk di sebelah kemudiku. Menceritakan perjalanan yang kamu lalui selama satu pekan terakhir.

            “Bu, nasi uduknya dua, ya. Yang satu porsinya setengah, tanpa kerupuk. Sama es tehnya dua,”

            Seperti biasa, kamu yang dengan lantang memesan, aku memilih bangku paling ujung. Di dekat jalan raya, yang dari sana kamu bisa melihat kendaraan berlalu lalang, bonus hamparan sawah di seberangnya.

            “Gimana, capek?”

            Kamu duduk di depanku, “Nggak ada hal yang bikin capek kalau kita senang melakukanya,”

            Aku tersenyum.

            “Boleh kutanya sesuatu?” tanyamu.

            “Boleh, apa?”

            “Kalau misalnya ini bukan hari minggu, hari liburmu, apakah kamu punya alasan untuk nggak  menjemputku di bandara?”

            Aku tertawa, “Apa-apan kamu ini,”

            “Kan aku cuma tanya, Nat.”

             “Mana aku punya alasan buat nggak menjemputmu? Pernah sekali, pun?”

            Kamu menggeleng, “Kenapa nggak pernah absen?”

            “Karena aku senang melakukannya,”

            “Walaupun kamu sedang banyak pekerjaan?”

            “Lalu kenapa?”

            “Memangnya enggak capek?”

            “Nggak ada hal yang bikin capek kalau kita senang melakukanya. Itu katamu, lupa?”

            Kini, giliran kamu yang tertawa. Renyah. Dan aku menyukainya. Selalu.

            Dua porsi nasi uduk dan es teh itu terhidang di meja kita. Porsimu setengah, tanpa kerupuk. Kamu menyantapnya setelah sebelumnya menepuk punggung tanganku, ”doa dulu, ya?”

            “Hana,”

            “Ya?”

            “Kalau bukan aku yang menjemputmu pagi ini di bandara, kamu mau minta dijemput siapa?”

            “Sendiri, kenapa harus minta dijemput?”

            “Tapi kenapa mau dijemput aku?”

            Kamu berhenti mengunyah, menatapku dengan tatapan seolah ingin mencari tahu jawabanmu dari sana. Tapi sepertinya gagal, ya? Karena setelah itu kamu cuma menggeleng.

            Aku tertawa, lucu sekali. Kenapa aku harus menanyakan sesuatu pada seseorang yang  bahkan tidak bisa menjawab pertanyaan itu untuk dirinya sendiri? Untuk perasaannya?

            “Nata,”

            “Ya?”

            “Kenapa kamu di sini?”

            “Maksudnya? Kan daritadi aku sama kamu,”

            “Maksudku, kenapa yang duduk di depanku sekarang ini dalah kamu. Kenapa bukan orang lain?”

            “Karena cuma aku orang yang kamu persilakan duduk,”

            “Ya sudah, sekarang kamu tahu jawabannya.”

            Kamu lebih senang membuat aku menebak-nebak, Han. Memintaku menjadi bandara, tempatmu datang dan pulang, untuk kemudian pergi lagi, ke suatu tempat yang tidak bisa aku prediksi. Aku adalah bandara yang mengantarmu sebelum pesawat-pesawat itu membawamu terbang tinggi. Juga tempat yang kamu pijaki pertama kali, ketika pesawat itu membawamu kembali. Maaf, biar kuralat. Kamu tidak pernah memintanya, aku sendiri yang melakukan itu tanpa terpaksa.

Juga katamu, kita semua belajar dari hal-hal yang kita benci. Sesuatu yang kita tidak ingin terlibat di dalamnya, tidak ingin menyentuh rasa sakitnya, tidak ingin berkompromi dengan konsekuensi yang akhirnya kita lalui. Kita selalu belajar dari hal-hal yang tidak kita suka, sesuatu yang justru membawa kita terlibat, merasakan, dan membaur bersama semua hal yang kita benci itu. Han, apakah pelajaran untukmu belum selesai? Sampai hari itu datang, sampai waktu itu tiba, mungkin aku tetap akan menjadi bandara. Menunggu hingga kamu selesai, dan kamu telah berhasil berdamai.


pict from here


Malang
19.02.21
19.12

0 komentar:

 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger