Rabu, 08 Januari 2020

Labuh


     “Sinta, dia lamaran hari ini. Aku ikut bahagia.”

 

                Aku menatap notif pesan masuk itu dilayar ponselku. Meliriknya sesaat di sela-sela pekerjaanku menatap layar komputer. Menghela napas. Bagaimana mungkin? Bagaimana  mungkin kamu bisa bahagia melihat orang yang kamu cintai bersama orang lain? Seseorang yang tinggal di hatimu selama bertahun-tahun? Yang dengannya kamu rela menyerahkan seluruh hatimu, kamu korbankan banyak waktu untuk menunggunya, bersetia dengan sesuatu yang bahkan tidak pernah disetujui dengan takdir semesta?

                Aku ingat bagaimana binar matanya saat ia bercerita tentang orang yang dia suka. Ingat bagaimana kemudian cerita-cerita itu mengalir, harapan itu bertumbuh, dan entah bagaimana lagi aku menyebutnya. Aku mengerti benar perasaannya sebab tidak pernah mudah menjadi seseorang dengan hati setertutup itu. Menghindar dari setiap kali yang berusaha datang hanya demi menunggu satu orang. Gila. Tapi perasaan manusia tidak pernah bersepakat dengan logika. Kau boleh tidak setuju dengan aku. Aku tidak peduli.

                Juga, ingat saat bagaimana  hari itu aku menemuinya setelah berbulan-bulan tidak bertemu. Dia mengenalkanku dengan seseorang. Laki-laki pertama yang berhasil meruntuhkan tembok raksaksa di hatinya selama ini. Aku takjub. Dia yang setertutup itu, yang bahkan tidak pernah antusias bercerita tentang orang lain kecuali satu nama yang menyita perhatiannya, hari itu terlihat begitu bahagia.

                Satu hal yang kemudian membuatku berujar, kepada laki-laki yang dia kenalkan.

                “Mas, hebat sekali kamu bisa melelehkan hatinya yang beku itu. Apa rahasianya?”

                Laki-laki itu tertawa,

 “Apa yang membuatmu menyukainya?” kutanya,

                Sahabatku subjek dalam cerita ini, merona pipinya saat kutanyakan hal itu.

                “Karena dia orang yang bisa mengerti aku, dia satu-satunya orang yang paling ingin kuhindari, tetapi semakin aku menghindarinya, dia membuatku terus menerus berlari menujunya.”

                “Kamu nggak salah pilih orang kalau begitu,” aku tersenyum melirik seseorang di sebelahku. Dia tersipu.

                Kemudian, aku mengamatinya. Menyimak obrolan mereka. Dua orang asing yang sebelumnya tak saling kenal. Bertemu dalam satu waktu, merasa satu frekuensi, memutuskan bersama. Lihat, bagaimana begitu mudahnya Tuhan membolak-balikkan hati manusia?

                Aku tersenyum. Ikut merasa lega karena ternyata takdir mempertemukannya dengan seseorang yang lebih baik. Kini, hatinya telah berlabuh, dia tidak lagi perlu menunggu, ada seseorang yang siap membagi dunianya bersamanya, menyimak cerita-ceritanya, menjadi yang selalu ada setiap kali dia butuh. Dan yang terpenting, seseorang yang selalu menganggapnya ada, mengerti dirinya. Kupikir, itu sudah jauh lebih dari cukup

                Sekarang, giliranku mempertanyakan diriku sendiri. Kapan? Kapan aku akan berhenti mencari sesuatu yang seharusnya memang tidak ada? Dan kapan yang lain. Segala pertanyaan yang tidak bisa habis kulontarkan.

                Tetapi, apakah semua orang punya hati yang sama? Apakah semua orang memang ditakdirkan jatuh berulang-ulang pada orang yang sama sebelum pada akhirnya mereka menemukan satu yang membuatnya tidak lagi ingin mencari siapa-siapa? Apakah sebuah kesalahan bagi mereka yang masih terperangkap masa lalu, tidak peduli sekeras apa pun mereka mencoba berlari, hanya demi melindungi hatinya agar tidak lagi tersakiti? Kenapa rekontruksi batin manusia rumit sekali.
image
                                                                            pict form here
 
 
 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger