Sabtu, 26 Januari 2013

Halo

Halo Jogja!
Halo Indonesia!
Halo kalian semua!
Saya sedang senang sekaligus terharu*jingkrak-jingkrak*
Bagaimana tidak sodara-sodara, tulisan saya yang berjudul sketsa dan satu hari yang lalau saya posting di blog ini, ternyata tidak seamburadul yang saya kira.
Puji syukur,tulisan saya tersebut menjadi HL di situs kompasiana.
Saya baru menyadarinya kemarin sore setelah pulang dari latihan pleton inti. Ketika saya membuka layar laptop saya, dan membuka akun saya di situs kompasiana. Ternyata oh ternyata, tulisan saya berubah. Semula yang tak saya beri ilustrasi (baca: gambar) menjadi ada ilustrasinya. Dan itu menunjukan tulisan saya dijadikan HL.Seketika itu, saya lalu jingkrak-jingkarak. Senang bukan main.
Ya Tuhan, akhirnya tulisan saya jadi HL juga. Saya berlebihan? Tentu saja. Bagaimana tidak? Setelah sekian lama menulis di situs itu, akhirnya untuk pertama kalinya tulisan saya jadi HL. *jingkrak-jingkraklagi*
Saya sungguh senang, apa yang lebih menyenangkan untuk penulis amatiran seperti saya ini, selain karyanya bisa diapresiasi oleh orang lain dan syukur-syukur bisa menginpirasi?
Sudahlah, saya bahkan tidak pernah berharap sedikit pun tulisan sketsa saya, akan menjadi HL. Saya juga tidak menyangka, celoteh saya tentang masa empat tahun silam itu bisa diapresiasi.
Saya tidak bermaksud menyombongkan diri. Sungguh. Apa yang bisa saya sombongkan dari tulisan-tulisan saya yang masih amatiran ini?.
Saya juga sedang belajar. Menulis dan menulis. Entah apa pekerjaaan saya kelak, entah mau jadi apa saya esok, saya tidak peduli. Yang jelas saya tidak akan berhenti menulis dan menulis Bahkan jika sendainya tulisan saya tak diapresiasi pun, saya tetap akan menulis Itu dunia saya. :)
Saya tidak mempedulikan tulisan saya menjadi HL atau di puji banyak orang. Karena bagi saya, ada kebahagiaan tersendiri ketika saya menulis.
-----
Rey, celotehku tentangmu empat tahun yang lalu menjadi HL pertamaku.
Aku sungguh tidak menyangka Rey.
Bagaimana mungkin?
Bukankah itu hanya cerita konyol saat kita SD?
Ah Rey, sudahlah.
Ini juga berkatmu.
Terimakasih, sudah mempersilakan aku masuk dalam duniamu.
Lalu aku bisa menulis, mereka-reka lagi tentang sosokmu.
Empat tahun yang lalu.
 45 menit sebelum persiapan lomba tonti
Dan aku masih sibuk memainkan jemari
Tak apa, kali ini saja sebelum aku mandi
Lalu berkemas diri
Doakan aku sukses hari ini
Hihihihihihi
Langit Senja :D




Jumat, 25 Januari 2013

Sketsa


Aku hanya ingin bercerita, tapi suaraku seakan tersekat di udara. Bercerita tentangmu, khususnya. Rey. Kamu pria polos dengan senyum simpul. Aku masih mengingat detail semuanya, empat tahun yang lalu.
Saat aku dan kamu masih menjadi anak-anak polos dan lugu. Saat semua hal menyedihkan tentang dunia, kita abaikan dan malah asyik bergelut dengan permainan. Apa yang salah dari bocah ingusan seperti kita Rey? Kita hanya saling tertawa dan berbuat onar apa saja, semau yang kita suka bukan?
Apa yang salah Rey ketika aku sering meninju bahumu dan menjahilimu tiap kali kita bertemu? Kau justru akan balas mengejekku, lalu kita akan beradu argumen, saling mengolok dan menjatuhkan. Tapi sungguh, aku menakmati semua permainan bodoh yang kulakukan bersamamu. Lagipula, saat itu kita masih kecil Rey, masih polos. Belum tahu soal politik, awam dengan kata hukum, dan filosofi hidup lainnya yang sama sekali belum kita pahami.
Rey, sudahlah. Aku enggan bercerita lagi kepadamu. Sungguh, ini hanya soal kenangan, bukan perasaan. Tapi bolehkah bila saat ini aku bercerita kepadamu tentang perasaan? Reym apa kau mau mendengarkan?
----------
Empat tahun yang lalu.
Kamu tiba-tiba datang Rey. Mulai menjamah ruang duniaku. Menjadi salah tokoh dalam skenario takdir milikku.
Rey, saat kau datang, semuanya berubah. Sahabatku Rey. Iya, semenjak mengenalmu, dunianya menjadi penuh warna. Seakan-akan tiap detik kupu-kupu melayang di dalam perutnya. Seakan-akan semua rasi bintang terpampang jelas di bening matanya. Itu semua karenamu Rey, dia jatuh cinta. Sungguh sangat jatuh cinta. Kepadamu.
Rey, semenjak aku mengetahui satu rahasia kecil dalam hatinya bahwa dia menyukaimu, semenjak itu pula duniaku berubah.Sahabat mana yang tak turut bahagia bila sahabatnya sedang jatuh cinta? Lalu aku mulai sering melakukan hal-hal bodoh. Aku sering menjahili sahabatku, sekaligus menjahilimu. Aku sering menggodanya dengan kata-kata konyol. Menyebut namamu dengan sengaja di depannya. Lalu dia pasti akan tertawa Rey, pipinya akan merona.
Aku jadi lebih sering mengejekmu, memberimu kode-kode dengan isyarat yang sama. Hanya agar kau tertarik dengan semua celotehku lalu kau juga balas menyukainya. Lalu kau pasti akan melotot kearahku, melayangkan tinju ke bahuku yang selalu saja hanya pura-pura kaulakukan agar aku tak lagi mengganggumu.
Rey, dengarlah. Saat itu, aku tak benar-benar berniat mengganggumu. Aku hanya ingin menunjukan padamu, bahwa sahabatku menyukaimu. Itu saja, Rey.
---------
Empat tahun silam.
Rey harusnya kau tahu, sahabatku itu benar-benar menyukaimu waktu itu. Percayalah, rasa sukanya tulus. Aku mengenalnya dekat Rey, dan bagaimana mungkin aku tak peka bila dia benar-benar jatuh cinta?
Rey, dulu aku sering membuat hal-hal konyol. Aku sering memanggil namamu dengan nama sahabatku. Begitu sebaliknya.
Rey, dulu aku sering mencipta hal-hal gila. Aku sering mencari momen-momen yang tepat untukmu dan sahabatku. Aku terlalu sering berusaha membuat momen yang tepat, agar kalian bisa merasa dekat, agar sahabatku senang, dan kau balas menyukainya.
Tapi kau selalu marah Rey bila aku melakukan semua itu padamu. Kau pasti akan memarahiku, mengomel dan balas mengejek semaumu. Aku masih bisa terima Rey. Tapi ketika emosimu memuncak dan kau melampiaskannya dengan mencemooh sahabatku, aku tidak bisa terima. Aku akan marah padamu, lalu pasti akan melanyangkan tinju ke bahumu.
Sudahlah Rey, jika kuceritakan segalanya saat itu, kau mungkin tak kan percaya. Lagipula, apa yang bisa kaupercayai dari seseorang sepertiku? Yang selalu membuatmu merasa jengkel tiap hari karena tingkah gilaku, yang selalu membuat bahumu sakit selama dua hari lebih karena tinju kepalan tanganku dibahumu?
Rey, mungkin ketika kau membaca ini, kau masih belum mengerti. Ini soal realita Rey, bukan kata-kata yang hanya penuh dengan reka.
-------
Empat tahun silam.
Rey, aku enggan menjelaskan segalanya. Nyatanya, setiap momen yang kucipta bersamamu berhasil menyita tiap lembar memory yang kupunya.
Aku seperti orang linglung Rey. Seperti orang gila yang tak menyadari relalita perasaannya sendiri. Aku terjebak dalam permainan bodohku sendiri Rey. Hatiku benar-benar tersekat, pikiranku berkabut, aku sekarat.
Mungkinkan disebabkan olehmu? Mungkinkah jebakan itu datang dari tiap frekuensi yang sering kucipta bersamamu melalui olok-olokan dan kegilaan?
Rey, dengarlah. Aku lelah, aku bosan mereka perasaanku sendiri. Aku hanya tahu tiga hal kecil saat perasaan asing itu mulai tumbuh; sahabatku menyukaimu, kamu adalah orang yang disukainya, dan aku adalah sahabatnya yang ingin membantunya untuk dekat denganmu.
--------
Empat tahun silam.
Rey, jika setiap orang bebas memilih, aku akan banyak melakukan pilihan dalam hidupku. Tapi sayangnya, Tuhan tak mengijinkan. Aku bahkan tak pernah meminta satu hal kecil ini pada Tuhan; jatuh cinta kepadamu. Sungguh Rey. Aku tidak pernah memintanya. Tapi nyatanya, aku memang hanya manusia, bisakah jika harus malawan arus perasaan mahadahsyat yang disebut cinta? Rey, sudahlah. Mataku mulai berembun. Aku mengingatmu (lagi).
---------
Empat tahun yang lalu.
Lihatlah Rey, ketika perasaan suka sahabatku kepadamu hampir berada di titik puncak. Dan aku enggan berbuat apa-apa lagi. Aku mulai lelah dengan tingkah bodoku sendiri. Aku takut, jika tingkah bodohku justru akan membuat perasaan aneh itu muncul lagi dan aku terjebak didalamnya.
Rey, bagaimana mungkin aku tak terjebak? Aku bahkan tak mengerti perasaan aneh yang selalu mengusikku berhari-hari, aku bahkan tak mengenali perasaanku sendiri. Aku asing dengan duniaku sendiri, aku asing Rey.
Rey kautahu? Semenjak perasaan itu datang, dan mulai meracuni tiap denyut peredaran darah, aku jadi merasa bersalah.
Harusnya aku tak membiarkan diriku mengidap perasaan asing itu Rey. Bagaimana mungkin aku menyakiti sahabatku sendiri? Kau dunianya, dan bagaimana mungkin aku merampasnya? Aku tahu aku mungkin bukan orang yang baik, tapi aku tak kan membiarkan diriku menghianati sahabatku sendiri. Apa kau masih belum jelas sampai disini Rey?
------
Empat tahun silam.
Aku sudah tahu beberapa hal yang selalu berusaha kausembunyikan. Sudahlah Rey, nyatanya aku bisa dengan mudah menebak kode dan isyarat rahasiamu. Seperti kode yang pernah kaukatakan diujung telephone waktu itu "aku suka 'layangan' ". Aku tahu itu Rey, tapi aku berusaha tak peduli. Aku urung bercerita tentang itu pada sahabatku. Aku tak mau mengobrak-abrik hatinya yang halus dan bisa retak kapan saja bila ia tersakiti. Aku tak mau itu terjadi Rey.
-------
Empat tahun silam.
Rey, saat ini aku bukan gadis kecil lagi seperti yang kau lihat empat tahun yang lalu. Aku sekarang sudah jauh lebih paham dan dewasa, bahwa cinta memang tak pernah bisa dipaksakan Rey. Aku terlalu egois, selalu saja mengatur-atur perasaanmu. Menuntutmu untuk jatuh cinta pada sahabatku. Apa hakku untuk memaksamu menyukai seseorang yang memang tak kausukai?
------
Tiga tahun yang lalu.
Ketahuilah Rey, jika saat itu kau benar-benar mengatakan semuanya. Aku bahkan bisa saja mengabaikannya. Sekali lagi Rey, sahabatku lebih penting darimu. Biar aku saja yang tahu tentang perasaan idiot ini. Biar aku saja Rey.
Rey, kau pasti sudah paham semuanya. Meskipun aku masih tak percaya dan sulit berlogika
Rey, apa pun yang terjadi dulu, saat ini dan entah kapan akan terulang lagi. Percayalah, aku masih mengingatmu. Sebagai puzzle-puzzle berserakan yang masih kurapikan ulang, sebagai sketsa-sketsa tanpa rupa yang masih kusimpan rapi dalam saku kepala.
-----
Rey, sudahlah masa itu sudah berlalu. Untuk apa kausesali. Barangkali kau malah lupa sama sekali, dan aku justru sibuk mengingatnya setengah mati.
Rey jangan khawatir, sahabatku sudah mendapatkan penggantimu. Jangan tanyakan denganku Rey, aku lebih suka menikmati kesendirianku sendiri.
Rey, sudahlah aku enggan berkata lagi padamu dengan banyak metafora. Kau sudah tahu segalanya lewat tatapanku di pintu keluar gedung wisuda; tempatmu dan tempatku terakhir kali menghabiskan masa olok-olokan dan kegilaan.
Kau sudah tahu segalanya Rey. Bahagialah dengan duniamu yang sekarang. Anggap saja aku sahabatmu. Posisimu sama Rey dengan sahabat-sahabatku saat ini. Tapi saat selanjutnya, aku tak bisa memprediksi.
Rey, maaf aku terlalu banyak bercerita. Kau boleh tertawa usai membaca kisah ini, (bila kau membacanya). Sungguh Rey, aku hanya sedang merefleksi jiwaku. Aku hanya ingin mengganti masa empat tahun silam dengan satu lembar tulisan tak bernyawa ini. Sesederhana itu Rey.
----
Aku menyelami setiap waktu dan kegilaan yang kucipta bersamamu
Lalu tanpa sadar, jiwaku sendiri yang menjadi gila
Aku linglung setengah mati dengan perasaanku sendiri
Aku menyelami setiap detik dan frekuensi yang kulalui bersamamu
Lewat candaan dan pertengkaran kecil
Lalu tanpa sebab, jiwaku sekarat
Aku mati rasa, asing segalanya
Karenamukah?
Tanda tanya
? 
Diantara bau menyengat paracetamol,
Diantara banyak tumpukan diktat-diktat yang menyekat.
Diantara kegalauan yang tak bersebab,
Aku masih bisa menulis tentang sosokmu
Mengorek semua remahan masa lalu.
Sesederhana itu.
17.13 WIB25-01-2013
Langit Senja :)

Untuk siapa pun yang membaca, khususnya sahabat-sahabatku, anggap saja ini dongeng seribu satu kisah. Jangan iba dan menganggap ini cerita duka. Aku justru lega sudah menuliskan semuanya. Meskipun mataku mulai berembun, dan suaraku tercekat di udara. Disaat seperti ini, pantaskah aku merindukanmu? Pantaskah aku memikirkanmu lagi? :)
Aku hanya ingin berkata satu hal kecil . "Aku rindu kamu." Itu saja, cukup. Ini untukmu Rey, dalam samaran yang masih kubuat maya.

Sabtu, 12 Januari 2013

Aku, Kamu dan Pohon Pinus

Hari itu saya ulang tahun. Ini pucket bunga buat saya, katanya di koridor sekolah waktu itu. Saya menatapnya sejenak, sedikit ragu saya berkata, “Buat gua?”. Dia lalu mengangguk, tersenyum simpul.
“Tapi gua nggak suka bunga. Maaf.”
Saya tahu dia kecewa, bahkan teramat sangat. Wajahnya berubah murung seketika. Lagipula saya memang tak suka bunga, bunga membuat hidung saya terasa gatal dan bersin-bersin bila mencium aromanya.
“Eh, tapi kalau lu kasih gua coklat gua mau!” Saya cepat merespon raut wajahnya, berusaha membuat keadaan senormal mungkin.
“Tapi gua nggak bawa coklat, adanya permen karet. Lu mau?” Dia tampak ragu-ragu menjawab perkataan saya.
Saya melonjak-lonjak riang di depannya, dia tertawa. “Mau-mau!” Tanpa basa-basi saya lalu merampas beberapa bungkus permen karet yang barusaja ia keluarkan dari saku celananya. Saya tertawa riang, “Hahaha, thanks ya!”
Dia juga ikut tertawa, menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu mengacak-acak rambut saya. “Padahal gua cuma kasih lu permen karet. Kayak gua ngasih lu berlian aja!”
“Hahaha, daripada lu ngasih gua bunga? Bisa berabe gua hahahaha!” Saya menepis tangannya yang masih usil mengacak-acak rambut saya.
Membuka satu bungkus permen karet. Lalu memasukkannya ke mulut saya dengan lahapnya.
***
Saya tak pernah meminta banyak hal darinya. Bahkan hanya untuk sekadar memintanya menemani saya pergi pun, tak pernah. Saya tak tega bila harus melihatnya murung seharian karena kekasihnya sibuk mengomelinya.
Pacarnya akan marah besar jika seharian dia tak memberi kabar dan ternyata pergi bersama perempuan lain sekalipun itu sahabatnya. Saya teramat tak tega.
Dulu memang dia sering mengajak saya pergi bersama, wajar saja dia sahabat baik saya. Tapi semenjak dia berkata pada saya bahwa dia sudah punya kekasih, saya selalu mengelak bila diajaknya pergi sekalipun dengan kekasihnya.
Mungkin bagi saya, dia tetaplah sahabat baik saya, pun dia sebaliknya. Tapi bagi kekasihnya? Saya tak ingin melukai perasaannya. Saya tidak ingin membuatnya berpikiran yang bukan-bukan. Saya tidak ingin dia salah paham lalu melampiaskan kekecewaannya pada sahabat saya. Itu saja.
***
Saya menghirup aroma pinus dalam-dalam. Disini udara sejuk, saya suka mengahabiskan waktu saya disini. Di jalan setapak tempat saya dan sahabat saya biasa bersepeda (tapi itu dulu). Di kanan-kiri jalan penuh rimbun pohon pinus, saya selalu terkesima. Dulu dia sering mengabadikan gambar saya di tempat ini. Sekarang? Sudahlah, toh dia sudah bersenang-senang dengan kekasihnya disana.
Lalu sore itu entah ada angin apa, tiba-tiba dia datang dengan sepeda fixinya. Dia berteriak memanggil nama saya dan tangannya melambai dari kejauhan. Saya yang sedang asyik menikmati pemandangan di tepi jalan menoleh. Melambaikan tangan.
Dia menyandarkan sepedanya di dekat sepeda saya. Lalu beranjak duduk di samping saya.
Hening.
Kami masih sibuk dengan pikiran masing-masing, sebelum akhirnya dia membuka suara dan berkata.
“Apa kabar?” Suaranya terdengar begitu ramah, saya terperangah.
“Baik, lu sendiri?”
“Baik,” Dia mengangguk.
Hening.
Entahlah, ini terlalu absurd untuk dijelaskan. Semenjak dia punya kekasih baru dan kami lama tak lagi bersua, akankah harus secanggung ini ketika hendak berbicara? Bukankah dia sahabat saya?
“Pacar lu, apa kabar?” Saya berusaha membuat senyum simpul semanis mungkin.
“Pacar gua? Maksud lu? Ratna?”
Saya mengangguk siapa lagi?
Heh,” dia tertawa kecut, “Gua udah putus sama dia.”
Saya terkaget-kaget mendengar pengakuannya. Bukankah katanya dia sangat mencintai kekasihnya?
“Iya, gua putus. Lu jangan bengong gitu dong!”
“Kenapa?”
“Karna kita udah nggak cocok.”
Saya hanya mengangguk, enggan menanggapi lebih lanjut. Itu sama sekali bukan urusan saya.
Seketika saya paham, kenapa tiba-tiba dia datang mengahmpiri saya disini. Semata-mata hanya karena dia telah bebas dari kekasihnya. Segampang itukah?
“Gua mau ngomong sama lu, sebenernya gua suka sama lu.” dia berkata dengan begitu ringannya. Saya muak, tersenyum kecut, acuh tak acuh menjawab perkataannya. “Bulshit,”
Kalau dia memang menyukai saya, kenapa dulu dia tak pernah mengatakannya ? Apa maksudnya ketika dia justru memilih  pergi dengan kekasih barunya dan tak lagi bercerita kabar pada saya, sahabat sekaligus orang yang katanya dia suka?
“Na?”
Saya menoleh,
“Maafin gua.”
“Nggak ada yang perlu dimaafin. lu nggak salah apa-apa.”
“Harusnya gua bilang sama lu dari dulu.”
Saya lagi-lagi menggeleng, “Nggak perlu.”
“Gua pacaran sama Ratna supaya gua bisa lupa sama perasaan gua sendiri. Dan sebenernya yang gua suka itu elu bukan dia, asal lu tau,”
Hening.
“Na?”
“Ya?” Saya masih menatap rerimbunan pinus di depan saya.
“Maafin gua.”
“Santai aja!” Saya menoleh, lalu menepuk-nepuk bahunya. “Lu tetap sahabat gua!”
Dia mengangguk, bola matanya meredup. “Sahabat?”
“Ya, apalagi?” Saya tersenyum.
Ketika melihat senyum sumringah di wajah saya, redup matanya mulai menyala. Dia tak lagi terlihat murung. Lalu dengan keyakinan penuh dia berkata, “Iya, lu sahabat gua!”
Dan dia lalu tertawa tanpa paksa. Saya hanya bisa tertawa kecil. Menatapnya diam-diam. Lalu kembali mengarahkan pandangan saya pada hamparan pohon pinus. Sebegini sakitnya kah perasaan?
Maaf, bukan aku tak mencintaimu. kau sahabat baikku dan bagaimana mungkin aku tak cinta? Aku sedang menunjukkan rasa cinta kepadamu dengan caraku yang berbeda. Dengan tetap menagasihimu sebagaimana biasanya. Sahabat. Itu saja cukup. Aku tak ingin lebih. Sekali lagi, kamu sahabatku, dan aku mencintaimu. :’)
PS: ini hanya fiksi sodara-sodara. Kalian pernah mengalami hal yang sama dengan cerita ini? Kalau ada, ini bisa disebut ‘based on the true story.’ wkwkwk. Read and commented? Thanks :)
7012013 22.26
 Langit Senja :)

Sumber Foto disini :)


 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger