Minggu, 18 April 2021

Namanya Abi, Abimanyu

 



Sore kemarin, aku duduk diantara kerumunan pengunjung yang mulai ramai berdatangan. Di sebuah kafe, di jalan Jakarta. Malam Minggu, mungkin adalah hari dimana umumnya dirayakan oleh beberapa orang.  Bersama pasangan mungkin, atau teman, keluarga, siapa saja. Aku adalah pengecualian, aku sedang tidak merayakan apa-apa. Aku hanya sedang ingin duduk menyendiri, di bangku paling ujung. Di sini ramai, sengaja memilih sudut paling sepi, keberadaanku tidak akan terdeteksi, siapa peduli?

                Di depanku, ada laptop dengan layarnya yang menunjukkan lembar kerja Microsoft Word. Aku deadline malam ini. Dua artikel lagi setelah delapan sebelumnya sudah selesai kukerjakan sedari sore. Ornamen kafe itu, setiap sudutnya, mengingatkan aku kepada salah satu tempat paling menyenangkan di Jogja; Malioboro. Ada dream catcher yang biasanya terjual di rak asesoris dan oleh-oleh di samping ruas kanan dan kiri sisi Malioboro, lukisan beruansa batik, dan lampu berukiran khas Jogja terpajang di beberapa spot bagian dindingnya.

                Di sela-sela pekerjaanku mengerjakan tulisan, aku tidak bisa mengelak kalau sore itu, aku sedang tidak baik-baik saja.  Kendati sering perasaan itu muncul, dan kerapkali kuabaikan. Ada sesuatu yang memang tidak bisa kita bicarakan, tidak bisa kita jelaskan alasan dibaliknya, dan bagi sebagian orang, berterus terang pada diri sendiri itu bukan hal mudah dilakukan. Aku tidak pernah ingin menangis di depan banyak orang, dilihat oleh siapa pun. Pantang bagiku menangis di depan orang lain, tetapi rasanya menjadi manusia kupikir tidak ada salahnya. Menangis itu manusiawi. Seharusnya.

“Mbak, kenapa menangis? Maaf saya enggak bisa nawarin tissue buat ngelap air matanya, tapi kalau Mbaknya mau cerita, saya punya dua telinga buat dengerin.”

Aku mendongak, buru-buru menghapus air mataku, menatap heran seseorang dengan penampilan casual yang tengah duduk di seberang kursiku. Entah sejak kapan dia ada di situ. Memakai kaos putih polos, jaket jeans hitam, dan kacamata bertengger di hidungnya.

“Maaf Mas, apakah barusan saya lagi dengerin suara buaya?”

Dia tertawa.
“Saya nggak perlu dihibur,”

“Tapi saya juga nggak berniat menghibur kok, saya cuma menawarkan telinga kalau kamu mau cerita.”

“Saya ini, sama orang yang sudah saya kenal lama saja mikir dua kali kalau mau cerita masalah saya, kenapa berharap cerita sama orang yang bahkan saya enggak tahu namanya siapa?”

“Kalau begitu, boleh kenalan dulu? Nama saya Abi, Abimanyu.”

Dia mengulurkan tangannya, aku menatapnya sesaat, menimbang sesuatu sebelum mengulurkan tanganku, balas menjabat tangannya demi kode etik.

“Kiara,”

“Nama yang bagus,”
“Memang tahu artinya?”

“Sinar mentari pertama dalam bahasa Korea, tapi lebih umum diartikan bercahaya. Benar?”

“Ya,”

 “Tapi kalau kamu menangis, nanti cahanya jadi redup.”

“Jadi apakah maksudnya saya nggak boleh nangis?”

“Boleh. Tapi nanti senyum lagi, ya?”

“Masnya ngapain ke sini?”

“Datang, duduk, menulis. Sama seperti kamu.”

“Maksudnya, ngapain ke sini? Nyamperin meja saya?”

“Boleh saya panggil nama? Kamu menarik perhatian saya, Kiara. Sejak awal kamu datang ke sini, duduk di meja paling ujung, menulis sendirian. Apa yang kamu lakukan itu sama persis dengan apa yang saya kerjakan, bedanya, saya fokus mengetik. Sementara kamu kadang-kadang berhenti, menatap sekitarmu, melamunkan sesuatu yang entah apa. Dan terakhir sebelum saya memutuskan mendatangi kamu ke sini, saya melihat kamu menangis. Ada sesuatu yang berat sedang terjadi, ya?”

“Kalau pun ada, saya juga nggak akan perlu repot-repot menceritakannya, Mas. Tapi sebelumnya terima kasih sudah bertanya.”

Anytime, boleh tetap merasa baik-baik saja. Tapi dengar ini, kamu nggak harus menjadi kuat sendirian.”

Aku mengangguk, sibuk mengelap sisa tangisanku dengan telapak tangan, tidak tahu harus berkomentar apa.  Aku hanya-aku hanya sedang malas mendengarkan apa pun, hal-hal yang semacam itu, malas sekali.

“Maaf tadi namanya siapa?”

“Abi,”

“Sedang mengerjakan sesuatu juga di sini?”

“Iya, kalau Kiara nggak keberatan, boleh enggak saya bawa laptop saya ke sini? Saya bisa temenin kamu ngobrol, atau kalau kamu minta saya diam selama kamu mengerjakan pekerjaanmu, saya enggak akan mengganggu, fokus sama pekerjaan saya, enggak akan mengajak kamu mengobrol.”

Aku tidak punya banyak tenaga untuk menolak, jadi kujawab, “Boleh,”

“Saya ke sana dulu ya,” Laki-laki berperawakan kurus tinggi itu menunjuk mejanya, yang terletak satu garis diagonal dengan mejaku. Hanya berbeda sudut. Mejaku di sudut utara, dia di sebelah selatan.

Dia kisaran usia 27 tahun atau 28 entah lah, aku tidak pandai memprediksi usia seseorang. Tetapi wajahnya terlihat jauh lebih muda dari usianya, wajah yang innocent, seperti anak kecil. Yang saat dia tiba-tiba duduk di depanku lalu bertanya kenapa aku menangis? Aku seperti tidak sedang berhadapan dengan orang asing. Pembawaannya tenang dan menyenangkan,  sesuatu yang menarikmu untuk membuka diri, menurunkan sedikit benteng pertahananmu, di depan seseorang yang bahkan sebelumnya tidak pernah kamu temui.

Tersenyum, dia meletakkan laptopnya di mejaku. Duduk di seberang bangkuku, menyiapkan beberapa dokumen yang dia keluarkan dari dalam tas punggungnya, sebuah bolpoint, dan charger laptop. Saat dia menarik kabel charger laptopnya itu, sebuah benda ikut tertarik ke atas. Aku sekilas melihatnya, name tag identitas seseorang. Itu bukan hanya sekadar identitas, itu simbol profesi.

“Mas Abi, jurnalis?”

Dia tertawa lalu menggeleng, buru-buru memasukkan name tagnya ke dalam tasnya yang tidak sengaja ditariknya keluar itu, “Bukan, Kiara. Saya ini cuma kuli tinta.”

                “Begitu ya insting seorang jurnalis? Sibuk mengamati situasi? Sampai-sampai tahu kalau ada seorang perempuan menangis di pojok sebuah kafe yang padahal dikerumuni banyak orang di sekitarnya?”

                Berhenti dari aktifitasnya menyiapkan barang-barangnya di atas meja, dia menatapku. Memberi jeda sebelum akhirnya menjawab, “Saya senang mengamati, memang. Itu bagian dari pekerjaan. Tetapi tidak semua hal saya perhatikan, kalau perempuan yang saya lihat sedang menangis tadi bukan kamu, saya tidak yakin apakah saya akan punya keberanian untuk berhadapan dengan kamu saat ini.”

                “Seharusnya kamu ini beralih profesi jadi pawang buaya saja, Mas Abi, daripada jurnalis.”

                Abimanyu, nama laki-laki itu, tertawa, “Kamu ini, kenapa senang sekali memberi label laki-laki dengan kata buaya?”

                Aku mengedikkan bahu, malas berkomentar.

                “Saya temani kamu mengobrol, atau diminta diam?”

                “Diam saja,”

                “Oke, lanjutkan pekerjaanmu. Nanti kalau sudah selesai, dan merasa perlu seseorang untuk diajak ngobrol, beri tahu saya, ya.”

                Aku mengangguk,kembali fokus pada layar laptop di depanku. Sesekali, aku mengamati dia yang juga tengah fokus melanjutkan pekerjaannya. Dari samping wajahnya terlihat serius sekali, lensa kacamatanya tebal, itu pasti karena dia hobi membaca, oh atau kalau tidak, dia mungkin suka membaca sambil tiduran. Atau kalau tidak, mungkin dia tidak suka makan wortel, atau? Kenapa aku jadi memikirkan hal-hal receh semacam ini? Kenapa aku jadi lupa kalau sepuluh menit sebelumnya aku sedang menangisi sesuatu?  Menyebalkan sekali.

               

                 


 pict from tumblr


Fiksi

Mlg, 18/04/2021

15.15 WIB


               

 

 

 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger