Jumat, 15 November 2013

Di Kolong Jembatan


Sebuah naskah, untuk siapa pun pahlawanku.

Meskipun kita belum bisa menyamai jasa para pahlawan
Setidaknya kita masih bisa menginspirasi dan mencerahkan
-Chintaro-


Seperti biasa, siang ini aku kembali harus sibuk dengan debu, polusi, terik matahari juga kemacetan jalanan kota. Berjalan dari kendaraan satu ke kendaraan lain, bermodalkan gitar tua dan satu kantong plastik bekas, aku siap menjual suara. Harus kuakui memang, suaraku jauh dari kata merdu. Fals disana-sini, tapi toh aku sedang tidak mengikuti ajang kontes menyanyi, aku hanya sedang bekerja, biar dapur kami tetap mengepul dan hari ini aku dan keluargaku bisa nyaman tidur.
            Lihatlah, ketika anak-anak sebaya kami tengah sibuk bermain dan tertawa sepanjang hari, belajar di sekolah, menggunakan seragam lengkap, bersepatu, menenteng tas dipundak. Aku sungguh sangat ingin seperti mereka, nasib anak-anak yang beruntung. Sayangnya, aku tidak seberuntung itu, yang aku tahu hanya sibuk bekerja membantu perekonomian keluarga. Pendapatan bapak yang hanya menjadi pemulung tidaklah banyak, terlebih lagi ibuku yang hanya menjadi buruh cuci. Masih ditambah lagi dengan biaya kebutuhan adikku yang tahun ini memasuki tahun pertamanya di taman kanak-kanak.
            Maka demi adikku, aku rela putus sekolah. Hanya tamat kelas satu sekolah menengah pertama. Tidak apa-apa, aku masih bisa belajar meski tanpa duduk di bangku sekolah formal. Aku masih bisa membaca dari buku-buku bekas yang kubeli dari tukang rongsok di tengkulak bapak. Terlebih, aku masih bisa belajar banyak hal bersama teman-temanku yang lain-yang nasibnya juga sama tidak beruntungnya dengan aku-hal yang sepatutnya harus kusyukuri karena setidaknya kami masih memiliki seseorang yang peduli, seseorang yang bagiku sudah seperti malaikat kami.
            Namanya Galih. Entah kami harus menyebutnya dengan nama apa, relawan? guru? Atau malaikatkah? Yang jelas, jika ada istilah manusia berhati malaikat dalam kamus besar bahasa Indonesia, aku sudah pasti akan menggunakan kata itu untuk merujuk sosoknya.
            Dia pemuda berusia sekitar dua puluh satu, prediksiku. Seorang mahasiswa salah satu universitas negeri di kotaku, kota metropolitan. Jakarta. Kota dimana banyak senyum-senyum mengembang juga tangis-tangis yang meradang. Sangat kontras jika melihat gedung-gedung pencakar langit di kota ini disandingkan dengan rumah tinggal kami; kolong jembatan dipinggir kali. Miris.
            Kami semua memanggilnya Kak Galih. Biasanya dan seperti itulah rutinitasnya, dia akan datang ke ‘rumah’ kami setiap hari Jumat dan Minggu sore. Sesekali dia datang bersama teman-temannya yang lain. Membawa banyak buku-buku bacaan, papan tulis mini, juga tak jarang sembako untuk keluarga kami dan makanan ringan. Mengajari kami banyak hal. Dan ajaibnya tidak peduli meski tugas kuliahnya menumpuk, demi memberikan kami ilmu, dia masih meluangkan waktu.
Dan lagi, setiap minggu dia tak pernah alpa membawa gitar. Mengajari kami cara bermusik yang baik, sekaligus sebagai hiburan bagi kami setelah seminggu melepas peluh.
            Kami memulai “kelas jelajah dunia”-nama yang dia gunakan untuk kelas itu- tepat pukul empat sore. Selepas kami pulang dari mengadu nasib di jalanan.
            Berhubung sekarang hari Jumat dan sebentar lagi pukul empat, maka aku memutuskan pulang. Jadwal yang sengaja aku ubah lebih awal dari biasanya.
            Disana, mereka sudah duduk takzim diatas tikar. Menyimak penuh antusias ke arah Kak Galih yang berdiri di depan. Mereka sebagian besar anak-anak sebayaku, sebagian lagi sepadan dengan adik kelasku dan ada beberapa yang setingkat dengan kakak kelasku. Semua belajar menjadi satu. Kami belajar bersama, tidak memedulikan usia.
            Begitu aku tahu kelas sudah dimulai, maka aku segera menghambur, mengambil tempat diantara mereka.
            “Baru pulang Rud?” Kak Galih bertanya, aku mengangguk. Mengiyakan.
            “Kesini!” wajahnya yang selalu tulus itu tersenyum, tangannya melambai ke arahku.
            Aku menurut, beranjak ke arahnya.
            “Ini ada kertas, kamu isi ya. Tulis apa cita-cita kamu disana, apa pun yang ingin kamu tulis, tulis! Mengerti?’
            Aku mengangguk, meski separuh otakku bersikeras menyatakan protes tidak terima. Cita-cita? Aku bahkan asing mendengar kata itu. Bagiamana pula mau menuliskannya?
            Aku menyikut Reno, salah satu temanku yang tengah asyik menuliskan sederetan cita-citanya di atas kertas. Sekilas melirik selembar kertas ditanganku, masih kosong. Aku menghela napas. Reno menoleh.
“Kenapa Rud?” tangannya masih asyik menulis.
“Gua bingung No mau nulis apa. Gua nggak ngerti sama cita-cita gua, boro-boro No gua ngerti, denger namanya aja gua asing.” Aku berkata lesu.
Reno menghentikan gerakan tangannya, menatapku ganjil. Lalu tertawa, menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ckck, Rudi, Rudi! Lu kan bisa nulis apa pun semau lu. Lu pengen punya rumah mewah, sedan gede, pesawat, helikopter, kapal pesiar atau apa pun! Gitu aja masak lu nggak ngerti?” kali ini dia nyengir, mengacak-acak rambutnya yang semakin terlihat gimbal, jarang keramas.
“Itu termasuk cita-cita ya No?” aku bertanya ragu, Reno dengan cepat mengangguk sebelum bergelut dengan kertas ditangannya lagi.
            Aku butuh waktu lima belas menit untuk berpikir, sampai akhirnya dikepalaku terlintas kata yang menurutku spektakuler. Karena setidaknya, dulu ketika aku masih sekolah, aku sering mendengar kata itu. Paling sering di mata pelajaran kewarganegaaran tak jarang juga di mata pelajaran sejarah.
            Ragu-ragu aku menuliskannya, karena sejujurnya aku masih belum yakin apakah kata ini bisa disebut sebagai cita-cita atau tidak.
            Aku ingin jadi pahlawan. Yang membela tanah airku dari penjajah. Dan berperang gagah di medan perang.
            Aku tersenyum membaca tulisanku sendiri. Pertama karena setidaknya kertasku tidak lagi kosong. Kedua karena aku sadar benar, kalimatku barusan terdengar konyol.
            Kak Galih menyuruh kami segera mengumpulkan kertas itu. Kami menurut, ditangannya sudah ada berlembar-lembar kertas berisi cita-cita kami.
“Kalian tahu cita-cita apa yang paling mulia?” matanya tajam menatap kami satu persatu..
“Semua cita-cita itu mulia, adik-adik. Kalian tahu kenapa?” Dia memberi jeda pada kalimatnya. Semua serius mendengarkan, tidak sabar menunggu jawaban
“Karena cita-cita itu sendiri adalah harapan indah yang selalu ingin diwujudkan. Sesulit apa pun cita-cita kalian, kalau kalian mau berusaha keras untuk menjadikannya kenyataan, maka tidak ada yang mustahil. Jarak antara mimpi dan cita-cita kalian, hanya seperjuta mili saja.”
Kami semua fokus mendengar kalimatnya. “Dan lagi, apa pun pekerjaan kalian kelak, apa jabatan kalian besok itu bukan yang terpenting. Yang terpenting adalah apa yang kalian kerjakan bisa bermanfaat untuk orang lain, orang-orang di sekitar kalian. Membantu banyak orang, berbagi kebahagiaan. Itu sudah lebih dari cukup.” Lantas Kak Galih tersenyum. Wajahnya yang selalu tulus kepada kami terlihat berseri-seri.
Selembar kertas terjatuh dari tangannya, Kak Galih mengambil kertas itu kemudian mengamatinya beberapa detik. Setelahnya aku bisa melihat ekpresinya berubah, sulit ditebak.
“Ah ya! Dan kamu Rudi!” Kak Galih menatapku. Membaca isi kertas itu keras-keras.
“Cita-citamu ingin jadi pahlawan?”
            Sontak semua temanku tertawa, aku nyengir menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Kak Galih menatapku dengan senyum jumawa.
            “Rudi, seorang pahlawan itu nggak harus selalu ikut perang di medan perang, nggak harus selalu mengusir penjajah, Dik. Nggak harus bawa senjata, pakai baju tentara. Banyak pahlawan-pahlawan di sekitar kita yang tanpa kita sadari, perannya sangat luar biasa. Kalian lihat ibu kalian, ayah kalian. Mereka setiap hari bekerja keras, banting tulang. Tanpa peduli meski hujan deras, meski mereka sedang sakit. Semua itu demi kalian.”
Aku mencerna kalimat itu dalam-dalam. Kemudian refleks kuedarkan pandanganku ke penjuru kolong yang merangkap rumah bagi beberapa kepala keluarga. Ibu dan Bapak ada diantaranya. Pertama, mataku terfokus pada Ibu yang sedang menggendong Tina-adikku satu-satunya. Tangannya yang lain membantu Bapak memilah-milah sampah hasil keringatnya hari ini. Ada getir yang diam-diam menyelinap di dadaku. Kak Galih benar. Mereka berdua adalah pahlawan. Setidaknya untuk diriku sendiri dan adikku.
Kak Galih mengehentikan kalimatnya sejenak. Memperbaiki letak kacamatanya. Matanya menyusuri setiap fokus pandangan mata kami.
“Nah dengar, jadilah anak-anak yang baik. Jadilah pahlawan untuk orang-orang di sekitar kalian. Kalian harus punya mimpi, punya cita-cita. Tidak ada yang mustahil selama bumi ini masih berputar. Kalian yang akan mengubah nasib kalian sendiri. Kalian sendiri yang akan menentukan masa depan kalian.” Kak Galih berhenti sejenak, melirik arloji di tangannya.
“Kalian paham adik-adik?” senyumnya kembali hadir. Kami semua seperti terhipnotis mendengar seluruh kalimat-kalimatnya.
Bengong, terpaku, berapi-api, jadi satu.
Begitulah, sore ini kami menghabiskan waktu dengan bercerita tentang masa depan, semangatku dan teman-teman seketika berkobar-kobar mendengar seluruh kalimat dan nasehat yang dia berikan.
Sungguh, jika Kak Galih tadi bilang bahwa pahlawan itu berarti melakukan hal yang bisa bermanfaat untuk orang lain. Maka bagiku, dia juga adalah pahlawan. Dia tulus meluangkan waktunya demi kami. Membagi ilmu, mengajari kami banyak hal, memotivasi kami tanpa pamrih. Bagiku dan teman-teman, kehadirannya dua kali seminggu di ‘rumah’ kami sudah lebih dari cukup.
Kehadirannya membuat kami sedikit berkompromi dengan masa depan, meskipun dalam keterbatasan. Dia merengkuh aku, teman-temanku juga orang-orang yang tinggal di kolong jembatan ini tanpa pamrih. Membebaskan kami dari jeratan kebodohan, dengan apa-apa yang ia ajarkan.
Sungguh dia orang yang baik. Manusia berhati malaikat, orang yang masih mau peduli dengan nasib orang-orang seperti kami. Karena sejujurnya, rasa kepeduliaan mengalahkan apa yang tidak bisa kami miliki. Dan kepeduliannya melengkapi apa yang selama ini sudah kami punya.
“Nah kita ketemu lagi hari Minggu ya! Sekarang kakak mau pulang dulu. Sebentar lagi hujan.”
Kak Galih tersenyum sekali lagi pada kami. Lalu kakinya melangkah, menyusuri setiap tempat di lorong ‘rumah’. Meminta izin pulang pada penghuni lainnya, termasuk orang tua kami. Mereka menyambut izinnya dengan ramah, seperti biasa berkali-kali bilang terimakasih. Atas sembako yang dia bawa dan ilmu yang dia ajarkan untuk anak-anak mereka.
Lihatlah, dia berjalan di jalan tanjakan menuju jalan raya. Berlari-lari kecil, sambil tangannya melambai pada kami. Tidak peduli karena ternyata hujan lebih dulu turun dari prediksinya saat ia menengok arloji. Hujan membungkus tubuhnya yang jangkung itu dengan titik air, jaket jeansnya basah.
Tapi sekali lagi, dia manusia berhati malaikat. Dan seorang malaikat tidak pernah takut dengan air hujan.
Jumat, 8 November 2013
20:32 WIB
Yogyakarta
Langit Senja.

Sabtu, 09 November 2013

Omong Kosong

Lupakan soal korupsi dan tipu daya yang membabi buta
Sekarang bukan saatnya kita bersuara
Yang katanya minta keadilan
Kesejahteraan
Kemakmuran
Kebahagiaan
Omong kosong!
Ini waktu bukan mengintimidasi
Mari beranjak dan jangan sesali
Melangkah dan bertempur di arah yang hakiki
Lupakan soal porakporanda dan kemiskinan yang merajalela
Sekarang bukan saatnya kita memelas dan bermuram durja
Yang katanya minta perubahan
Kekayaan
Kehormatan
Jabatan
Omong kosong!
Ini waktu bukan mengekang
Majulah dan terus berjuang
Ini bukan soal jabatan apalagi uang
Negeri kita kaya loh jinawi
Akar-akarnya kamakmuran dari surgawi
Benderanya sang saka merah putih
Sisa bukti dari jiwa-jiwa yang gigih
Berkibar gagah tanda kemerdekaan
Bak fenomena nyata perjuangan
Indonesia kita bukan hanya sekedar peta; tanpa makna
Tapi soal hidup dan mati atas tiap peluh yang mendera
Ini kali waktu untuk maju
Berdiri di depan kobarkan api kejayaan
Hentikan omong kosong
Segera bangkit dan berdirilah
Demi jiwa dan tumpah darah
Di negerimu; Indonesia
Sabtu 12 Oktober 22.31 WIB
Langit Senja
Yogyakarta
 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger