Selasa, 30 Desember 2014

Kamu Bisa Bertanya Dua Tahun Lagi


“Sudah berapa lama?”
“Tujuh ratus tiga puluh hari yang lalu.”
“Terlalu sebentar kedengarannya.”
“Baik, enam puluh juta sekian ratus ribu detik?”
            “Itu terdengar lebih baik.”
             Ia, laki-laki itu tersenyum. Perlahan merobohkan diri, duduk di sebelahku. Udara dan terik membuat anak rambutnya bergerak tak teratur, berkilau di tempa cahaya matahari pukul dua. Aku meliriknya sekilas, lima detik, sebelum dia menyadarinya dan aku akhirnya membuang muka.
“Tidak tanya hal lain?”
“Semacam apa menurutmu?”
“Tidak ingin tahu bagaimana kabarku?”
Aku mendengus. Menggumam lirih tanpa suara, menyumpah-nyumpah. Setelah bertahun-tahun ia menghilang lalu menurutnya sekarang aku tak perlu canggung untuk menanyainya ‘apa kabar’? Bodoh.
“Untuk apa? Kamu terlihat lebih baik sekarang.” Jawabku basa-basi, mengedikkan bahu.
“Begitu ya?” ujarnya setengah tertawa, “baik kalau kamu tidak ingin bertanya. Kamu, apa kabar? Baik-baik saja?”
Aku tidak punya pilihan lain selain menjawab, ‘iya,’ dan anggukan kecil.
Meski sorot matanya tak lagi sama saat diamatinya aku menganggukkan kepala.
“Kamu membenciku?”
Aku tertegun. Spontan mengharahkan wajah ke arahnya. Dia masih menatapku dengan sorot muka yang tidak kumengerti.  Ada gestur lembut saat dia menatapku dengan binar mata bersahabat. Aku dibuat luruh, sarkatisku mencair.
“Kenapa bertanya begitu?”
“Who knows?”
Aku ingin berteriak ditelinganya keras- keras. Memakinya dengan kata ‘Bodoh!” berkali-kali. Dia sama sekali tidak perlu bertanya apa pun, termasuk menginterogasiku apakah aku membencinya atau tidak. Terlalu retoris.
Karena dia sudah lebih dulu tahu bahwa bagiku membencinya adalah sesuatu yang mustahil. Sesuatu yang tidak mungkin bisa kulakukan, tanpa alasan.
“Bagaimana kuliahmu di sana?” aku mengganti pertanyaan basinya dengan topik yang lain. Mencairkan suasana.
So far so good. Kamu sendiri yang bilang kan? Aku terlihat lebih baik sekarang.”
“Tinggal di sana pasti menyenangkan ya?”
Dia mengedikkan bahu, tersenyum kecil. “Tidak jauh beda dengan di sini.”
“Begitu ya? Kupikir lebih menyenangkan di sana...”
             Ia, laki-laki itu tersenyum. Ada hela napas berat yang mati-matian ia tahan untuk dihembuskan. Sedang aku di sebelahnya sudah lebih dulu membisu. Urung melanjutkan kalimatku.
              “Aku minta maaf karena tidak berusaha menghubungimu,”
               “Terlalu berlebihan,” aku berusaha tertawa, menyorot satir wajah bersalahnya.“lagipula kenapa harus menghubungiku? Ada hal lain yang lebih penting untuk kaulakukan bukan?”
               Dia menatapku canggung, merenung.“Aku bisa menjelaskan kenapa aku tidak memberimu kabar waktu itu,”
                “Tidak perlu.” Aku menggeleng, tersenyum menatapnya jumawa, “pukul berapa sekarang?”
“Tiga lebih satu, kenapa?”
Aku berdiri sebagai jawaban atas tanyanya berusan.  
“Mau pergi kemana?”
“Kamu bisa bertanya dua tahun lagi, dan saat itu aku akan meminta maaf kepadamu karena aku tidak berusaha menghubungimu setalah ini.”
Kata-kataku terdengar seperti petir di siang bolong. Dalam hati aku bersorak. Ini sama sekali bukan pembalasan, hanya soal bagaimana seharusnya aku bersikap normal.
Dua tahun lalu, ia pergi, tanpa permisi.
Untuk kemudian datang lagi, dengan skala waktu yang tidak pernah terprediksi.
Dua tahun lalu, aku menunggunya dengan debar yang sama.
            Untuk kemudian mengerti bahwa menunggu seseorang yang tidak berniat datang adalah kesia-sian paling bodoh sedunia.
             Maka kali ini, dengan alasan yang tidak pernah dia katakan atas kepergiannya, aku melakukan hal yang sama. Meski berat, meski tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

             Jika dia bisa memilih datang dan pergi pada saat kapan pun yang dia mau? Lalu kenapa aku harus memilih tetap tinggal, dan menunggu?

PS; Didedikasikan kepada mereka yang tetap berjuang untuk menunggu sesuatu yang tidak akan pernah datang. Kepada mereka yang terlalu polos untuk memahami bahwa dunia ini tidak melulu berisi keajaiban, Hei! Ayo bangkit dari dudukmu, berkelanalah. Ada sesuatu yang lebih menarik di luar sana, yang tidak akan kamu dapatkan jika kamu masih duduk di sana dan berdiam diri saja, toh percuma, tak ada yang akan menghampiri, Pergilah, kamu bebas menentukan kebebasan, cari bahagiamu sendiri. Menunggu adalah kesia-siaan paling bodoh, kecuali untuk hal-hal yang memang sepatutnya diperjuangkan dan hal-hal lainnya yang sudah pasti datang dengan segala bentuk kepastian.


30/12/2014
22:055 WIB
Langit senja
Yogyakarta

 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger