Selasa, 30 Desember 2014

Kamu Bisa Bertanya Dua Tahun Lagi


“Sudah berapa lama?”
“Tujuh ratus tiga puluh hari yang lalu.”
“Terlalu sebentar kedengarannya.”
“Baik, enam puluh juta sekian ratus ribu detik?”
            “Itu terdengar lebih baik.”
             Ia, laki-laki itu tersenyum. Perlahan merobohkan diri, duduk di sebelahku. Udara dan terik membuat anak rambutnya bergerak tak teratur, berkilau di tempa cahaya matahari pukul dua. Aku meliriknya sekilas, lima detik, sebelum dia menyadarinya dan aku akhirnya membuang muka.
“Tidak tanya hal lain?”
“Semacam apa menurutmu?”
“Tidak ingin tahu bagaimana kabarku?”
Aku mendengus. Menggumam lirih tanpa suara, menyumpah-nyumpah. Setelah bertahun-tahun ia menghilang lalu menurutnya sekarang aku tak perlu canggung untuk menanyainya ‘apa kabar’? Bodoh.
“Untuk apa? Kamu terlihat lebih baik sekarang.” Jawabku basa-basi, mengedikkan bahu.
“Begitu ya?” ujarnya setengah tertawa, “baik kalau kamu tidak ingin bertanya. Kamu, apa kabar? Baik-baik saja?”
Aku tidak punya pilihan lain selain menjawab, ‘iya,’ dan anggukan kecil.
Meski sorot matanya tak lagi sama saat diamatinya aku menganggukkan kepala.
“Kamu membenciku?”
Aku tertegun. Spontan mengharahkan wajah ke arahnya. Dia masih menatapku dengan sorot muka yang tidak kumengerti.  Ada gestur lembut saat dia menatapku dengan binar mata bersahabat. Aku dibuat luruh, sarkatisku mencair.
“Kenapa bertanya begitu?”
“Who knows?”
Aku ingin berteriak ditelinganya keras- keras. Memakinya dengan kata ‘Bodoh!” berkali-kali. Dia sama sekali tidak perlu bertanya apa pun, termasuk menginterogasiku apakah aku membencinya atau tidak. Terlalu retoris.
Karena dia sudah lebih dulu tahu bahwa bagiku membencinya adalah sesuatu yang mustahil. Sesuatu yang tidak mungkin bisa kulakukan, tanpa alasan.
“Bagaimana kuliahmu di sana?” aku mengganti pertanyaan basinya dengan topik yang lain. Mencairkan suasana.
So far so good. Kamu sendiri yang bilang kan? Aku terlihat lebih baik sekarang.”
“Tinggal di sana pasti menyenangkan ya?”
Dia mengedikkan bahu, tersenyum kecil. “Tidak jauh beda dengan di sini.”
“Begitu ya? Kupikir lebih menyenangkan di sana...”
             Ia, laki-laki itu tersenyum. Ada hela napas berat yang mati-matian ia tahan untuk dihembuskan. Sedang aku di sebelahnya sudah lebih dulu membisu. Urung melanjutkan kalimatku.
              “Aku minta maaf karena tidak berusaha menghubungimu,”
               “Terlalu berlebihan,” aku berusaha tertawa, menyorot satir wajah bersalahnya.“lagipula kenapa harus menghubungiku? Ada hal lain yang lebih penting untuk kaulakukan bukan?”
               Dia menatapku canggung, merenung.“Aku bisa menjelaskan kenapa aku tidak memberimu kabar waktu itu,”
                “Tidak perlu.” Aku menggeleng, tersenyum menatapnya jumawa, “pukul berapa sekarang?”
“Tiga lebih satu, kenapa?”
Aku berdiri sebagai jawaban atas tanyanya berusan.  
“Mau pergi kemana?”
“Kamu bisa bertanya dua tahun lagi, dan saat itu aku akan meminta maaf kepadamu karena aku tidak berusaha menghubungimu setalah ini.”
Kata-kataku terdengar seperti petir di siang bolong. Dalam hati aku bersorak. Ini sama sekali bukan pembalasan, hanya soal bagaimana seharusnya aku bersikap normal.
Dua tahun lalu, ia pergi, tanpa permisi.
Untuk kemudian datang lagi, dengan skala waktu yang tidak pernah terprediksi.
Dua tahun lalu, aku menunggunya dengan debar yang sama.
            Untuk kemudian mengerti bahwa menunggu seseorang yang tidak berniat datang adalah kesia-sian paling bodoh sedunia.
             Maka kali ini, dengan alasan yang tidak pernah dia katakan atas kepergiannya, aku melakukan hal yang sama. Meski berat, meski tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

             Jika dia bisa memilih datang dan pergi pada saat kapan pun yang dia mau? Lalu kenapa aku harus memilih tetap tinggal, dan menunggu?

PS; Didedikasikan kepada mereka yang tetap berjuang untuk menunggu sesuatu yang tidak akan pernah datang. Kepada mereka yang terlalu polos untuk memahami bahwa dunia ini tidak melulu berisi keajaiban, Hei! Ayo bangkit dari dudukmu, berkelanalah. Ada sesuatu yang lebih menarik di luar sana, yang tidak akan kamu dapatkan jika kamu masih duduk di sana dan berdiam diri saja, toh percuma, tak ada yang akan menghampiri, Pergilah, kamu bebas menentukan kebebasan, cari bahagiamu sendiri. Menunggu adalah kesia-siaan paling bodoh, kecuali untuk hal-hal yang memang sepatutnya diperjuangkan dan hal-hal lainnya yang sudah pasti datang dengan segala bentuk kepastian.


30/12/2014
22:055 WIB
Langit senja
Yogyakarta

Sabtu, 22 November 2014

Emp(a)ty

Biasanya aku apatis. Mati rasa pada segala macam ekspresi baik sedih atau bahagia. Tapi aku suka tertawa, terutama saat mendengar lelucon konyol dan menggelitik dari orang-orang disekelilingku. Ceritakan padaku sebuah cerita lucu, maka sudah cukup kau bisa dengar gelak tawaku. Asal, jangan suruh aku bercerita secara lisan tentang kisah sedih atau bahagia, karena saat itulah aku pasti kehabisan kata-kata. Aku susah mencerna. Bingung menyampaikan ekspresi. Kalaupun bibirku mampu merangkai banyak kata menjadi kerangka cerita yang kususun utuh, belum tentu mereka bisa mengerti maksud kalimatku secara menyeluruh. Satu dua berhasil, delapan dari sepuluh diantaranya sudah pasti gagal.

Jadi, aku memang bukan pencerita yang baik. Aku pernah sekilas membaca judul buku, dengan nama yang sama persis dengan salah satu sindrom. Sayangnya, memoriku tak cukup kuat untuk mengingat. Tapi aku tahu intinya, sindrom itu membuatmu selalu kesulitan menyampaiakan sesuatu, bahkan sekalipun bibirmu dijahit kamu tetap akan lebih unggul menyampaikan isi kepalamu,

Mungkin itulah sebabnya aku menulis. Dengan menulis aku menjadi lebih waras, Dengan menulis mereka bisa dengan mudah menangkap maksduku lewat kata-kata meski tanpa suara. Ya, barangkali karena itu.

Dan lagi, menurut sejarah yang kuingat. Belum pernah sekalipun, aku menunjukkan eskpresi atas respon yang kudapat selepas mendengar beberapa curhatan teman, cerita duka atau bahagia mereka, dengan ekspresi normal. saat mendengar curhatan sedih misalnya, biasanya aku hanya akan memandangi orang di depanku dengan sorot mata datar, anggukan kepala kecil, sesekali gerak telapak tanganku menepuk pelan bahu si empunya cerita sekadar memberi empati meski hanya sebatas itu saja aku sanggup memberi. Bukan aku tak bisa merasa, atau tak peka. Aku hanya, yah begitulah, susah dijelaskan. Lagipula aku juga tak mau berpusing-pusing ria untuk dimaklumi. Peduli apa?
Tapi lucunya, saat mereka berpikir aku tak memberi respon yang baik, tanpa sekalipun pernah mencoba menebak apa yang sesungguhnya terasa di dalam hati, aku justru merasakan sesak yang bertubi-tubi, Cerita yang kudengar dari telingaku menjalar serupa listrik pararel hingga menembus pori-pori. Aku merasakannya, aku bisa mengerti bagaimana rasanya. Aku hanya tak bisa menunjukkan ekspresi di depan orang lain sebagaimana mereka berekspresi lewat dirinya sendiri.

Tapi sore ini, saat kulihat tubuh tinggi milik seseorang berjalan diantara lorong penuh desinfektan dan aspirin yang menyengat, saat sosoknya kemudian menghambur bersama sosok-sosok yang lain, semua sisi kebekuanku luruh. Menyeretku untuk ikut membenamkan diri, memeluk tubuh tinggi itu diantara tangan-tangan lain yang mendekapnya dengan erat.
Guncang bahunya, dan isaknya yang tertahan dengan cepat menjalar ke seluruh organ. Aku memeluknya lebih erat. Lalu tanpa sadar, butir air itu, tanpa pernah kuduga sebelumnya, mengalir begitu saja. Respon pertama yang terasa begitu ganjil karena baru kali ini aku bisa menangis melihat orang lain menangis.

Lebih dari itu, tak hanya sekadar tepukan di bahu tanpa kata-kata seperti biasa, aku membisikinya dengan kalimat supermelankolis yang belum pernah kuucapkan kepada siapa pun sebelumnya sambil terisak air mata.

"Jangan nangis, kamu kuat. Kamu pasti kuat."

Lalu seperti itu. Lorong koridor berlantai putih menjadi saksi bahwa petang tadi sesuatu yang mengharukan terjadi. Sesuatu yang bisa menyesakkan hati siapa pun yang melihatnya, termasuk aku. Oleh indraku sendiri, juga hatiku.

Aku melihatmu berjalan
di lorong koridor berbau desinfektan
dari kejauhan matamu menerawang
kosong tanpa binar keceriaan
Aku tahu dibalik matamu air mata tersimpan
Tapi demi menyambut kami di ruang tunggu, kau menyembunyikannya mati-matian
Kamu mungkin sekuat itu
Hanya saja mungkin tidak
Saat melihat luruh kristal bening itu
jatuh dari matamu
Tangan-tangan terentang
Kamu menggapainya dengan sisa-sisa kekuatan
Direngkuhnya kamu dengan segala tangis yang tiba-tiba menjalar
Merasakan bagaimana sesak dadamu saat sesenggukan
Jangan kawan, jangan.
Kamu kuat, kamu tak sendirian
selalu ada pelangi setelah turun hujan
Tuhan menyayangimu
dan pertolonganNya selalu datang tepat waktu

pict from tumblr

Hujan
pada ruang sepi, dini hari
02:00 WIB
22/11/14
Langit Senja
Yogyakarta


Rabu, 19 November 2014

Temui Aku di Kafe

Aku menulis ini sambil sesekali membayangkan kamu saat sedang tersenyum dan tertawa lepas menertawakan lelucon yang sebenarnya tidak pernah kamu mengerti. Begitulah kamu, selalu tertawa tanpa tahu apa sebabnya.

Dan malam ini, pada kepulan asap rokok yang kesekian kali, aku berani bertaruh bahwa benar aku merindukanmu. Lebih daripada aku merindukan hujan di bulan Oktober. Lebih dari apa yang sanggup kamu bayangkan, karena aku memang tak pernah bilang.

Rin, aku menyukai caramu tertawa. Tawa yang polos dan seperti anak kecil. Terlepas dari semua perihal 'dewasa' yang dikatakan orang-orang di luar sana, yang kadang membuat mereka berpikir bahwa kamu tak waras dan nyaris sinting.

Rin, apanya yang salah darimu? Kenapa semua orang menilaimu sinting dan bodoh? Padahal, kamu hanya gadis biasa. Hanya seseorang yang juga ingin mencari bahagia dengan caranya sendiri. Kamu suka berdandan, memakai baju-baju bagus dan berkelas, duduk berlama-lama di kafe bersama teman-temanmu, menghabiskan waktu untuk membahas bedak, lipstik atau kosmetik, bercerita soal bagaimana hari-harimu-yang ajaibnya selalu terdengar menyenangkan itu-juga siapa artis idola yang kausuka. Sederhana. 

Aku tidak tahu Rin, tidak pernah tahu kenapa persepsi orang-orang bisa sebegitu menyebalkan. Tapi aku mengenal siapa kamu, aku mengerti benar siapa kamu yang sebenarnya. Jadi, aku memilih untuk tidak menghindar. Aku justru ingin mendekat, mengulurkan tangan, membantumu berdiri. Omong kosong walau seandainya saat itu kamu berdalih dan mengatakan bahwa kamu sedang baik-baik saja.

Aku tidak peduli saat semua orang tertegun karena melihatmu tengah mengisap putung rokok. Tidak peduli saat mereka mengataimu jalang lantaran kamu sedang duduk manis di bar sambil memegang botol minuman. Aku tidak peduli Rin, tidak pernah peduli.

Aku hanya peduli saat sore itu kamu tiba-tiba datang, duduk dengan tiba-tiba di depan mejaku. Di luar hujan, dan minum secangkir cokelat panas di  kafe kecil pinggir jalan selalu menyenangkan. Kamu tanpa perlu berbasa-basi meraih bungkus rokok di depanku, membukanya dengan mata menyipit lalu berkata, "Bagi satu ya! Mau beli di luar hujan."
Dan saat itu tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain hanya tersenyum.
Aku diam-diam mengamatimu yang begitu lincah memainkan kepulan asap rokok menjadi bulatan-bulatan kecil. Meski dalam hati sebenarnya aku bergidik ngeri, membayangkan seorang gadis berbibir tipis dan semanis kamu ternyata adalah pecandu tar dan nikotin.

Hingga sore itu, percakapan tentang sebungkus rokok dan secangkir cokelat panas menjadi awal perkenalanku dengan seorang gadis yang ternyata bernama Rinai. Rinai yang berarti hujan, dan betapa semesta begitu lucu karena pada saat hujan pula ia mempertemukan aku dengan kamu.

"Udah lama ngerokok?"
"Nggak inget. Sejak gue SMA sih." Jawabmu tak acuh,  "kenapa? Lo keberatan  gue mintain rokok lo? Eh, sorry jadinya gue malah minta dua."
 Aku buru-buru mengggeleng, "Ambil sesuka hati lo mau butuh berapa banyak. Gue nggak keberatan."
Dan kamu tertawa, menyipitkan mata, mengisap putung rokokmu yang masih tersisa.
"Lo ini manusia paling aneh yang pernah gue temui."
Aku mengeryit.
"Iya. Lo nggak kenal gue, tapi berbaik hati mau ngasih gue rokok. Biasanya, kalau gue minta ke orang lain, yang ada gue malah digampar. Lucu kan?" Lalu kamu tertawa, melihatnya aku juga ikut tertawa, antara merasa bodoh dan salah tingkah. Kamu tidak tahu Rin, melihatmu pertama kali saja sudah cukup mampu melumpuhkan segala penolakanku. Di depanmu aku seperti tidak berdaya, seolah kamu punya keajaiban besar yang mampu mengubahku menjadi robot dalam seketika,

Lalu sore itu, kamu menutup seluruh cerita dengan bilang bahwa kamu harus segera pulang. Hujan di luar sudah mulai reda. Dan entah mengapa, saat berjabat tangan denganmu dan melihatmu melangkah meninggalkan kursi di depanku, ada perasaan aneh yang tiba-tiba membuatku ngilu.

 Rinai... sejak saat itu, sejak saat aku melihat punggungmu perlahan-lahan menghilang dari pandangan, aku selalu duduk di bangku yang sama di kafe itu tiap musim hujan. Kadang dua kali seminggu, kadang tiga kali, tak jarang empat kali. Hanya demi sebuah harapan untuk dapat bertemu seorang gadis yang tiba-tiba muncul di depanku lalu membuka bungkus rokokku tanpa perlu merasa berdosa. Melihat seorang gadis yang dimatanya ada kesenduan yang terlihat nyata, tapi pandai bercerita banyak hal tentang sesuatu yang menyenangkan sampai aku dibuat tertawa.

Aku memandangi kepulan asap rokok yang barusan kuhembuskan dengan napas panjang. Ada ngilu yang tiba-tiba menjalar menuju paru-paru. Selamat Rin, kamu sukses membuatku merana setelah pertemuan singkat kita setahun belakangan.

Dan untukmu, yang setelah membaca kisah ini kemudian mengingat  bahwa aku adalah seseorang yang kaumintai dua putung rokok di kedai kopi pinggir jalan waktu itu, maukah kamu datang lagi? Duduk di depanku sambil menceritakan hal-hal lucu, aku tak keberatan kamu mau minta berapa banyak putung rokok dari bungkus rokok yang kubawa, aku tidak akan keberatan. Sungguh.

Rin, hari ini aku menyaksikan rintik hujan serupa namamu. Dan merasakan partikelnya sedingin udara di pagi buta, dingin yang mampu menggigilkan seluruh pori-pori, rasa yang sama saat setahun lalu aku menyaksikanmu berlalu dari hadapanku.

Rin, apa kabar?
Apa kamu sudah berhenti merokok sekarang?
Semoga kabarmu baik, semoga rutinitas merokokmu sudah berkurang.
Aku belum pernah bilang ini sebelumnya, tapi.. kamu cantik. Dan aku selalu percaya bahwa kamu adalah gadis yang baik.
Temui aku di kafe yang sama pukul tiga.
Aku ada di sana.


pict from tumblr
Sebuah fiksi
Lnagit Senja
Yogyakarta
12/10/14
setelah satu bulan lalu tersembunyi dalam daftar draft



Sabtu, 25 Oktober 2014

Selamat Ulang Tahun As Syafa Nada Amatullah

Haloo Syaf.

Selamat ulang tahun, ya.
Semoga semakin segalanya yang baik-baik.
Tambah disayang dan menyayangi teman-teman.
Sukses UN 2015 beserta SNMPTN dan jajarannya.
By the way, keep spirit on writing ya! Siapa bilang tulisanmu tidak indah untuk dibaca? ( fyi: i read your bios in your blog) Hei! You wrong! Tulisanmu baca-able!
Semoga mimpimu yang pernah kita share bareng dulu jadi kenyataan ya. Jadi penulis Syaf! Kamu bisa!

Satu lagi,
Sukses untuk proyekmu yang itu.

Udah, Segitu dulu aja ya. Maaf juga ngucapinnya telat dan cuma bisa via blog.

Sekali lagi.
Selamat bertambah usia, semoga segala harap lekas dikonspirasikan semesta agar menjadi nyata.

Anyone please open Syafa's blog. She's so talented. Be there!

26/10/14
Langit Senja
Yogyakarta

Jumat, 24 Oktober 2014

RIP Gayatri

Saya baru mengenal sosoknya setahun belakangan. Yang tidak sengaja saya simak liputannya dalam sebuah talkshow yang dihadirinya dan menempatkannya sebagai pembicara di Kick Andy Show.

Dari awal, begitu mengetahui dia adalah Puteri Ambon, saya langsung tersenyum lebar. Itu berarti dia berasal dari satu provinsi yang sama dengan saya. Pertama melihatnya, saya menebak dia adalah seorang perempuan dewasa dengan kisaran umur di atas dua puluh tahun, mengingat penampilan dan gaya bicaranya yang begitu berwibawa seolah-olah dirinya adalah mahasiswi lulusan fakultas hukum setingkat pengacara. Tapi begitu acara tiba pada sang pembawa acara menanyakan berapa usianya, saya sontak melongo. Tidak percaya. Menggeleng-geleng. Mana mungkin? Perempuan dengan tutur bahasa luar biasa tingkat tinggi dan punya pemikiran sedewasa itu ternyata masih remaja belia berumur belasan tahun. Enam belas atau tujuh belas, jika saya tak salah ingat.

Dia gadis yang sangat luar biasa. Tidak hanya dalam bidang bahasa tapi juga praktek ilmu sosial lainnya. Terbukti dari keikutsertaannya sebagai aktivis sekaligus pelopor berdirinya beberapa komunitas sosial budaya di kotanya. Dia bisa mengaplikasikan ilmunya dengan optimal di usianya yang masih sangat muda. Bahkan, dalam salah satu cerita disebutkan dia pernah menjadi ketua termuda sepanjang organisasi yang diikutinya itu berdiri, membawahi beberapa anggota yang berusia jauh di atasnya. Masih banyak, masih banyak lagi. Dan tidak perlu saya sebutkan lagi di sini apa saja kelebihan yang dia miliki, karena saya yakin, sejarah sudah mencatatnya dengan baik. Lebih daripada pengetahuan mengenai sosoknya yang saya miliki.

Saya mengagumi semangatnya yang luar biasa dalam belajar bahasa. Ilmu yang seringkali dipandang sebelah mata untuk sebagian orang yang lebih mendewakan angka dan teori di atas segalanya termasuk literasi. Saya mengagumi kemandiriannya untuk belajar, empat belas bahasa (meski beberapa sumber menyebutnya 11) bukanlah hal mudah untuk dipelajari secara otodidak. Tapi dia berhasil membuktikan bahwa tekad dan semangat bisa mengalahkan apa pun yang tadinya terlihat nihil dan mustahil menjadi mungkin.

Dia bukan berasal dari keluarga mampu hingga bisa membiayainya untuk mengikuti bimbingan belajar di sana-sini. Tapi semua itu tidak menghalanginya untuk terus meraih mimpi dan berprestasi. Kerja kerasnya terbayar lunas saat namanya mulai mendunia dengan dinobatkan sebagai Duta Anak Asean 2012-2013 sebagai delegasi tunggal pertama dari Maluku untuk mewakili Indonesa.

Sebagai anak yang terlahir dari tanah Maluku, saya mengaku bangga. Kemudian memimpikan suatu saat nanti saya harus bisa seperti Gayatri. Saya harus bisa menguasai bahasa asing. Dan fakta ini membuat saya menyadari bahwa Gayatri telah menginspirasi. Mungkin tidak hanya bagi saya, tapi juga jutaan orang lainnya.

Dan hari ini, Indonesia dikejutkan dengan berita duka bahwa Putri Ambon terbaik itu telah tutup usia. Saya tidak habis pikir, kenapa Tuhan begitu cepat memanggil orang-orang baik? Tapi seberapa banyak pun pikiran yang terlintas di pikiran saya, jawabannya hanya ada dua: Tuhan Maha Tahu, Tuhan Maha Berkehendak.

Saya hanya bisa berharap semoga akan ada Gayatri-Gayatri lainnya yang akan mengharumkan nama Indonesia khususnya dalam bidang bahasa. Semoga Tuhan menerima semua amal perbuatannya dan membayar kebaikan-kebaikan yang telah dia lakukan dengan beribu kali kebaikan. Setidaknya, Gayatri sudah menyumbangkan namanya dalam catatan sejarah. Setidaknya gadis berbakat itu telah mewariskan inspirasi dan motivasi ke banyak orang untuk mengejar impian dan menembus batas keterbatasan. .

Selamat jalan, kawan.

Kami ucapkan terimakasih

Indonesia mencintaimu


I've got this photo from Kick Andy Show's fanspage
24/10/14
Langit senja
Yogyakarta

Sabtu, 16 Agustus 2014

Jika

Dengarkan aku baik-baik Jim.

Kau tidak bisa memilih takdir mana yang harus kau jalani, atau hidup yang seperti apa yang ingin kaumiliki. Tidak bisa. Tidak akan pernah bisa.

Tapi kau, jelas bisa memilih sesuatu yang selalu bisa menjadi milikmu. Tentang banyak hal. Bukan hanya sekadar sedih atau bahagia, tertawa atau menangis, jatuh atau berdiri.Tetapi tentang sesuatu yang lebih sederhana. Sesederhana kebebasan dirimu sendiri untuk berbahagia atas semua hal yang terjadi dalam hidupmu. Kebebasan yang merubah sedu sedanmu menjadi tawa lepas sepanjang hari. Kebebasan yang lebih hidup, dan membuatmu mengerti  bahwa kebebasan itu adalah milikmu atas pilihanmu sendiri.

Kau selalu bisa memilih warna-warni yang kau lukis dalam kanvas hidupmu. Hanya saja, tidak semua warna menjadi sebab kenapa kau berbahagia. Jadi dengarkan aku, bahwa apa-apa yang bukan menjadi sebab kebahagiaanmu, itu bukan urusanmu. Hidupmu adalah hidupmu. Bahagiamu adalah bahagiamu. Sesederhana itu kau membuat hidupmu menjadi tak lagi abu-abu.

Tetaplah berdiri Jim, meski semua orang mengatakan bahwa hidupmu terlalu monoton dan biasa-biasa saja. Tetaplah berdiri, meski seluruh tekanan mencipta atmosfer sesak dalam tiap langkah yang kau pijak. Tetaplah berdiri, meski seluruh semesta berkonspirasi untuk mengujimu dengan badai bertubi-tubi.

Karena setelah itu semua, setelah semua badai yang berhasil kau arungi, selalu ada pelangi.

Dan,

Jika dunia ini merecokimu dengan segala sedih yang ia beri, maka ingatlah ini baik-baik, kamu tidak pernah 
sendiri.



15/08/14
23:35
Langit Senja

Yogyakarta

Minggu, 03 Agustus 2014

Di Balik Akasia

Ilustrasi/Kompasiana (kfk.kompas.com/Ib Putra Adnyana)

Ia berdiri di balik akasia besar di tepi jalan. Matahari memantulkan foton di kepalanya, 
sehingga rambutnya yang gondrong menutupi telinga itu terlihat menyala-nyala. Kemejanya yang kebesaran tersembul sebagian dari balik batang pohon, melambai-lambai tertiup angin. Dari balik punggungnya, aku mengamatinya sedang memperhatikan sesuatu.

Ia sedang menatap lurus-lurus pada beberapa bocah kecil yang sedang berlarian di tepi kolam. Sesekali aku melihat bahunya berguncang naik turun. Atau saat ia mengambil kerikil kecil di sekitarnya lalu melemparnya berulang-ulang ke sembarang tempat, begitu saja.
Ia tidak tahu bahwa aku mengamatinya saat ia mengisap tar dan nikotin. Asapnya menyebar ke segala penjuru. Menyelinap dari balik sisi batang akasia berupa kepulan asap pekat dan wangi mentol.

Ia tahu tali converse bitu tua di kedua kakinya lepas, bahkan mungkin sengaja ia yang melepasnya, tapi ia tidak tahu sulur talinya yang tergerai menjadi dua bagian itu dapat diamati dari balik batang pohon itu sewaktu-waktu, termasuk oleh aku.

Ia tidak sadar bahwa kuamati gestur tubuhnya sejak tadi. Kini, tubuhnya yang jangkung itu perlahan-lahan ditarik gravitasi, punggungnya yang bersender dibatang pohon itu perlahan-lahan roboh meluncur ke bawah, membuatnya berada pada posisi duduk, kakinya yang sebelumnya berdiri dibiarkannya lurus sejajar dengan badannya.

Ia masih tidak sadar aku mengamatinya. Tapi aku mengerti tatapannya belum beralih pada anak-anak yang masih bermain di sekitar kolam. Ia tidak sadar aku mengamatinya sedang serius memperhatikan sesuatu. Tapi aku lebih dari paham bahwa ia sedang mengamati sesuatu yang nilainya lebih dari sekadar bocah dan permainan.

Ia kembali melempar sebuah kerikil kecil. Selagi tangannya yang lain bergerak cekatan di saku celananya. Korek api dan sebungkus rokok mentolnya keluar. Menggantikan satu batang rokok yang sudah lenyap diisap paru-parunya.

Ia pengolah emosi yang baik, aku tahu. Bahkan saat dilihatnya anak-anak itu tertawa-tawa saling berkejaran, dua sudut di bibirnya ikut terangkat. Sesuatu yang bahkan hampir tidak pernah dilakukannya di hadapan orang-orang.

Ia memiliki rahang tegas dan struktur wajah keras. Semua orang yang melihatnya akan berpikir bahwa ia menyeramkan dan sarkas. Tapi tidak saat mereka mempunyai kesempatan untuk menyaksikan bagaimana cara ia tertawa, atau bagaimana saat melihat ekspresinya yang susah payah dijabarkan kata-kata. Penuh emosi dan ledakan, mistis tetapi melankolis.

Ia mengira semua orang akan menilainya manusia super yang tangguh. Tapi ia tidak sempat memprediksi bahwa siapa pun yang melihat kondisinya saat ini akan mengerti bahwa ia sebenarnya rapuh.

Ia bernama Jim, yang saat kutanya, “Kenapa tali sepatumu selalu diurai?”

Ia hanya menjawab, “Supaya aku tidak takut jatuh.”

Sebuah fiksi
24/07/2014
11:45 WIB
Langit Senja
Yogyakarta

Tags: Array


Jumat, 01 Agustus 2014

No Limit

Malam ini, adalah kata-kata yang retak
Delusi yang hampir sampai tapi tak pernah selesai
Malam ini, lidahku kelu lagi
Semua kata-kata hilang, faringku meradang
Malam ini, adalah bising rudal tanpa senapan
Memberangus hati tapi tak mati-mati
Malam ini, adalah aku yang punya nama
Tapi tidak semua menganggapku manusia
-Yogyakarta, 2 Agustus 2014. 1:30 WIB-


Teruntuk Kamu yang MahaHidup dan Menghidupi, yang membuat saya ada dan menjadikan saya keberadaan yang tidak pernah disia-siakan. Saya pernah membaca ini dalam sebuah tulisan, "Tuhan memberikan cintaNya untukmu lewat tangan-tangan lain." Dan malam ini, saya meyakini kalimat itu benar..
***
Sebelumnya, aku tidak pernah serumit ini. Bising suara ini sudah terlalu biasa dan aku sudah terbiasa menghadapinya. Hanya saja, jika tak ditambah dengan insomnia mungkin keadaannya akan berbeda. Aku sering mengatakan ke sejumlah orang bahwa aku spesies nocturnal, yang terjaga saat semua orang sedang terpejam pun sebaliknya. Aku sering kesulitan menemukan seseorang dengan jam tidur yang sama, minimal bisa kuajak berdiskusi barang sebentar soal beberapa hal untuk menghilangkan bosan. Hei, terjaga sendirian saat semua orang disekelilingmu sudah terlelap itu membosankan kan?
Tapi, malam ini, harus kuakui Tuhan MahaAsik. Seseorang tiba-tiba muncul dengan leluconnya yang konyol dan menghujaniku bertubi-tubi dengan lawakan. Tanpa kuminta, tanpa kujelaskan apa-apa.
Membuat seluruh bising itu lenyap tergantikan oleh tawa, membuatku berpikir bahwa mungkin Tuhan memang sengaja membuatnya insomnia. Ya, mungkin saja.
***
"Thanks God, for sending me someone who can make me laugh. Even, when he don't know that i was need a jokes."
-Chintaro-
2/08/14
2:00 WIB
Langit Senja
Yogyakarta

Sabtu, 12 Juli 2014

Umi, Ajari Ana Shalat

           Seorang bocah kecil terduduk di samping ibunya yang tengah bersimpuh di atas sajadah. Dari bibir ibunya, tak henti dzikir mengalir. Bocah kecil itu menyimak ibunya dengan takzim. Sedang di sekitar mereka, langit menghitam, bom diletuskan, rudal dan senapan ditembakkan.
           Lalu ketika ibunya berdiri dan hendak memulai shalatnya pada takbir pertama, bocah kecil itu menarik lengannya. Berkata dengan mata berbinar-binar, “Umi, ajari ana shalat.”
Ibunya tersenyum, mengusap kepalanya dengan lembut. “Nanti umi pasti akan mengajarimu.”
          “Kapan Umi?”
          “Setelah umi selesai shalat."
           Bocah kecil itu terdiam, memandang uminya dengan tatapan memohon.
          “Nanti sayang, sekarang kamu duduklah disamping umi baik-baik, jangan takut. Ada Allah dan Umi yang akan menjagamu.”
           Serangan itu semakin mendekat tanpa bisa dicegah. Suara ledakan itu semakin menjadi tanpa bisa diprediksi. Bocah kecil itu ketakutan, semakin merapatkan dirinya ke tubuh ibunya.
           Dan tibalah saat itu. Persis ketika bocah kecil itu sedang memeluk lutut karena takut, persis ketika ibunya barusaja tiba di gerakan sujud, persis ketika sepersekian detik lagi bom itu akan meluncur ke arah mereka, seseorang menyambar tubuh bocah kecil itu dengan sekali gerakan cepat. Orang itu membawanya berlari, menyelamatkannya.
          Dalam gendongannya, bocah kecil itu menangis dan meronta. Lihatlah, ibunya di sana mungkin tidak menyadari apa yang terjadi. Lihatlah, bahkan ditengah seruan-seruan untuk berlari atas dentuman yang mengancam nyawanya, ibunya tetap bergeming, masih khusyuk melanjutkan shalatnya.          Dan, sebelum ia benar-benar menyadari apa yang terjadi, tepat pada sujudnya di rakaat kedua. Syahid menjemputnya.
 ***
          Malam itu, diantara serangan oleh tangan kekuasaan rezim yang mendustakan kemanusiaan, di bawah langit yang dirundung oleh asap pekat dan mesiu, untuk pertama kalinya, ia, bocah kecil itu, belajar shalat. Menyalatkan jasad ibunya sendiri. Shalat jenazah.
Sebuah fiksi
bukan dalam event apa pun.
11/07/2014
14:00 WIB
Langit Senja
Yogyakarta

Rabu, 02 Juli 2014

Jika

"Jika ikhlas itu berarti tetap menulis, meski dalam tes sidik jari jiwaku menolak kecerdasan berbahasa, maka biarkan aku tetap merangkai frasa, karena hanya dengan menulis aku merasa segalanya baik-baik saja."
2/07/2014
Langit Senja
Yogyakarta
Senja sebelum buka puasa

Minggu, 22 Juni 2014

Di Surga Nanti

1. Mereka bilang surga itu indah, tempat di mana seluruh semesta mengabulkan keinginan kita.

2. Apa pun itu, Tuhan pasti kasih, kita minta ini, Tuhan tinggal bilang 'Kun Fayakun' langsung jadi.

3. Mereka bilang, di surga itu enak. Ada sungai-sungai yang mengalir dari madu dan susu.

4. Mengalahkan segala macam jenis minuman yang pernah diminum oleh para saudagar dan kaum borju.

5. Mereka bilang, di surga nanti tidak perlu takut hujan, badai, banjir bahkan tsunami.

6. Karena di sana musim tidak pernah berganti, semua makhluk terlindungi, Tuhan sudah janji.

7. Kalau di surga memang seindah dan seenak itu, aku juga mau.

8. Dan kalau benar di surga nanti semua yang kita mau dikabulkan sama Tuhan.

9. Kira-kira boleh tidak aku minta satu hal ini?

10. Aku minta Tuhan supaya Ia menghadirkan seseorang untukku di surga nanti meski di dunia ia tidak bisa kumiliki. Boleh?
22/06/2014
Langit Senja
Yogyakarta
18.30 WIB

Jumat, 13 Juni 2014

Mana Pilihan yang Lebih Baik?

1. Pertama, aku ingin mengucapkan terimakasih pada Tuhan karena telah mempertemukan aku dengan kamu. "Tuhan, terimakasih."

2.Lalu untuk selang waktu kemudian, sepertinya aku harus mulai berpikir rasional. Mencerna kedatanganmu sebagai kebahagiaan atau ujian?

3.Karena kata orang bijak, bisa saja Tuhan mempertemukanmu dengan orang lain, bukan karena takdir atau kebetulan tapi agar kamu mengambil pelajaran.

4.Dan saat ini, beritahu aku alasan logis kenapa aku seharusnya menangis?

5.Atau alasan lain, yaitu kenapa aku seharusnya tersenyum dan berbahagia?

6.Tapi coba  pahami satu statement ini. Aku tidak bisa memilih satu dari keduanya.

7. Mana pilihan yang lebih baik? Tersenyum karena kita adalah teman baik? Atau menangis karena kita tidak bisa lebih dari itu?

8. Dan karenanya aku tahu, Tuhan mengahdirkanmu sebagai mediaku untuk belajar.

9. Seperti belajar mengikhlaskan orang yang kita cintai pergi, sekali pun ia sangat ingin kita miliki.
13/06/2014
18.30 WIB




Senin, 26 Mei 2014

Na (bagian 2)



Mata Na yang hitam pekat itu mengerjap sekali. Mendongak menatap langit. Lalu bola matanya beralih menatapku, mengehela napas pelan.
            “Gerhana,” ucapnya lirih.
            Aku yang tidak mengerti kemana arah kalimatnya memasang wajah kebingungan, siap melemparnya dengan pertanyaan berikutnya.
            “Namaku,” ia mengangguk, memberiku penjelasan lebih dulu.
            Seperti ada belut-belut listrik yang mengaktivasi seluruh indraku. Seketika itu juga tubuhku beku. Tercengang, unbelieveable dan entah apa lagi. Aku merasa bukan lagi manusia dari planet bumi yang ada di depanku kini, barangkali ia memang alien dari palnet lain. Atau makhluk muliseluler dari sebuah UFO yang kebetulan mendarat di bumi.
            Apa pun itu, aku tidak pernah membayangkan bahwa Na adalah Gerhana.
            “Namamu? Namamu benar-benar Gerhana?”
            Na tersenyum, sialnya lagi ia bersikap seolah tidak peduli dengan keterkejutanku barusan, reaksi dari kalimatnya. Ia justru santai mengangkat bahu, kali ini membidik kepulan asap rokok yang di latari temaram lampu tiang.
            “Aku memang lahir saat gerhana, nggak perlu seterkejut itu.” Tangannya berhenti sejenak dari tombol kamera, “kamu ini masuk spesies teoritis.”
            Na tertawa. Aku tidak mengerti apa maksudnya, jadi aku diam saja.
            “Sebagian orang lebih sering dikendalikan oleh teori, jadi wajar saja kalau kamu tidak percaya. Teori mengatakan bahwa gerhana merupakan salah satu fenomena alam dimana terjadi kegelapan pada matahari atau bulan, baik total maupun sebagian.” Na meraih gelas kopinya, menjeda kalimatnya dengan satu tegukan.
            “Jadi orang-orang akan berpikir, mustahil sekali di zaman modern seperti sekarang ini lambang kegelapan dijadikan sebagai nama. Begitu kan?”
            Na tertawa lagi. Lebih lepas. Ditambah dengan ekspresi supertololku, aku kembali sukses dibuatnya menjadi orang paling bodoh semuka bumi.
Tapi Na, jelas bukan kegelapan. Tawanya yang lepas, senyumnya yang sumringah, outfitnya yang ceria. Na hidup. Cerah. Sama sekali tidak gelap. Tega sekali kedua orang tuanya memberinya nama Gerhana.
“Jangan bilang setelah Gerhana, ada embel-embel matahari, bulan bahkan lengkap dengan cincin, total, dan sebagian di belakang namamu,” aku bergurau.
“Matahari,”
Aku nyaris tersedak. Wajah Na sama sekali tidak terlihat sedang bergurau saat mengatakan itu. Ia justru nyengir lebar, membuat lambang victory dengan telunjuk dan jari tengahnya. Aku terperangah.
“Gerhana Matahari? Hei! Orang tuamu tega sekali memberimu nama Gerhana, Matahari pula.”
Tangan Na ganti sibuk merapikan topi rajutnya yang sebagian menutupi poninya yang membelah samping.
“Apa salahnya orang tuaku memberiku nama Gerhana? Memang kenyataannya aku lahir saat gerhana matahari.”
“Tapi menjadi sangat kontras dengan artifiusalnya. Meski harus kuakui, namamu sebenarnya unik.”
“Kamu memperdebatkan artinya?”
“Ya, Gerhana berarti gelap. Ditambah gerhana matahari, lebih gelap lagi.”
“Lalu bagaimana pendapatmu dengan nama Marah Laut yang diberikan oleh seorang penyair kepada salah satu anak laki-lakinya? Bisa kamu jelaskan interpretasi sebagian orang yang bisa saja mengartikan bahwa penyair itu mengharapkan anaknya, si pemilik nama itu kelak akan tumbuh menjadi pribadi yang sering marah-marah? Kemarahan yang dahsyat seperti laut.” Na mengangkat bahu, tertawa kacil menjelang kalimatnya yang terakhir.
“Kuberi tahu, banyak sekali orang-orang yang terlanjur keliru menterjemahkan suatu simbol, cerita, peristiwa dari suatu fenomena. Mereka hanya melihat dari sisi mana simbol, cerita atau peristiwa itu berasal. Dan seperti yang kubilang tadi, semua hanya berdasarkan teori. Tidak benar-benar mengkaji isinya secara detail. Luarnya terlihat nyata padahal di dalamnya fatamorgana. Kosong. Tidak terbukti. Nol besar.”
Aku seluruhnya dibuat bungkam. Lihatlah, Na di depanku ini sedang berfilosofi. Padahal aku hanya bertanya masalah sepele, hanya soal kenapa orang tuanya tega sekali memberinya nama Gerhana. Ia menjawabnya sudah seperti seorang mahasiswa semester akhir yang sedang mengikuti sidang skripsi.
“Kamu mahasiswa filsafat?” ragu-ragu aku bertanya, memotong sejenak sambungan kalimat Na.
Na tersenyum lebar, menekan salah satu tombol pada kameranya. Matanya sibuk kembali dengan lensa. Menggeleng.
“Aku belum selesai menjelaskan.” Lanjutnya.
Mengangguk kupersilakan ia berpikir sejenak. Membiarkan Na mencerna kalimatnya lebih dulu sebelum disampaikan kepadaku.
“Soal nama tadi, lupakan saja. Yang gelap belum berarti gelap. Yang terang belum tentu terang. Simple.”
“Tapi menjadi rumit dengan relevansi kehidupan zaman modern seperti saat ini kan, Na?”
“Benar, seperti Marah Laut tadi. Kamu menebak pemilik nama itu nantinya akan tumbuh jadi seorang emosianal yang meledak-ledak, iya kan? Hanya karena ada kata Marah dinamanya.”
Aku mengangguk, cengengesan. Tadinya juga kupukir begitu.
“Padahal anak penyair itu bisa jadi lahir bertepatan dengan fenomena gelombang dahsyat memuntahkan lautan. Saat laut menjadi marah, saat gelombang menjadi ganas. Who knows.”
Aku sekarang mengerti, meski kalimat Na masih saja sulit kupahami. Aku menatap Na, lebih intens. Kuraih kamarenya yang saat ini bebas diletakkannya di selesar tikar.
“Kamu lupa mengambil gambarmu sendiri. Mau kufoto?”
Na tidak menjawab, sudah siap dengan  pose senyum tiga jarinya. Tangannya membentuk simbol victory. Aku cekatan menekan tombol kamera. Cheers! Gambarnya berhasil terbidik pada hitungan ketiga.
“Jadi semua inti kalimatmu adalah, semua hanya soal interpretasi. Bagaiamana kejadian sesungguhnya memaparkan, bukan soal teori dan apa yang dikatakan orang lain. Iya kan?”
Tersenyum lebar aku menatap Na sambil mengulurkan hasil bidikanku di kameranya. Na tersenyum, mengambil alih kameranya. Memotret lagi. Aku tidak tahu sudah berapa foto yang  berhasil diabadikannya. Tapi sepertinya lebih dari gabungan jumlah semua jari tangan dan kaki kami.
Aku melambaikan tangan pada bapak peracik kopi, memesan satu gelas kopi hitam berisi arang. Kalian tahu kan? Gelas kopiku sudah tumpah. (remember?)
“Na, kamu belum bercerita soal kenapa kamu bisa ada di sini dan kenapa kamu datang sendiri. Aku sudah memesan kopi lagi, siap mendengar interviemu. Kamu sendiri yang bilang aku cocok jadi wartawan,” aku tersenyum penuh kemenangan.
Na di depanku menghentikan gerakannya membidik lalu lalang motor melintasi gang. Melirik jam tangan hitam metalik di pergelangan tangannya.
“Tidak sekarang.” Cekatan ia membereskan kameranya ke dalam tas mungil di gantungan lehernya,
“Aku harus pulang. Mungkin lain kali  kalau aku ketemu sama kamu lagi,”
Na sudah berdiri, melenggang cepat menghampiri bapak peracik kopi. Mengulurkan sejumlah uang.
Bersamaan dengan itu, aku terbengong-bengong di tempatku, tidak kuasa mengucap sepatah kata pun. Tidak lama setelahnya, bapak peracik kopi itu datang, menyerahkan segelas kopi arang pesananku.
Kutatap siluet tubuh Na yang berjalan santai melintasi trotoar di pembatas pagar. Tidak sempat menanyakan nomor ponsel, kartu nama atau sebuah deadline untuk pertemuan kami selanjutnya. Sekarang, Na benar-benar sukses membuatku menjadi orang paling bodoh sedunia. Bukan pada saat ia tertawa, tapi dalam kepergiannya.
***


Senin, 26 Mei 2014
23.45 WIB
Langit Senja
Yogyakarta

Minggu, 25 Mei 2014

Na (bagian 1)



Na.Nama perempuan itu Na.
Barangkali bumi memang berisi dengan banyak misteri, sesuatu yang sulit dijabar nalar, atau gerak waktu dan tragedi yang tidak bisa dicerna otak manusia, karena faktanya sekeras apa pun kita berekspektasi bumi berdalih memaparkan sesuatu yang lain. Hal-hal yang tidak bisa kita duga, penuh ledakan dan kejutan.
            Seperti malam itu.
            Aku yakin, selain rambutnya yang keriting dan gaya fashionnya yang tidak tercantum dalam mode apa pun, ia sama saja dengan perempuan lainnya. Tubuhnya proporsional untuk perempuan seusianya. Hanya saja, sedikit kutekankan di sini, aku tidak tahu ia berada dalam kisaran seorang remaja usia 17 tahun, atau seorang mahasiswi yang hampir kelar skripsi. Wajahnya terlalu innocent untuk kusebut mahasiswa, tetapi kaca mata tebalnya, analitiknya dan segala aspek yang kuamati darinya belakangan membuatku sangsi kalau ia masih tercantum sebagai siswa berseragam putih abu-abu.
            Tetapi berapa pun usianya, nama perempuan itu tetaplah Na.
            Ia berjalan sendirian melintasi trotoar di samping pagar pembatas jalan. Membawa tas ranselnya di pundak, bercorak tentara, lengkap dengan tas mungil lain yang ia gantung dilehernya-prediksiku di dalamnya ada kamera. Bawahan celana jeans belel menjadi sangat kontras dengan baju kurungnya yang berwarna kuning, yang dipadukan dengan scraf cokelat tua. Dan rambutnya itu, yang keriting panjang sampai punggung dibiarkan terurai begitu saja, dibagian kepalanya dibalut dengan topi rajut warna merah muda.
            Aku sedang menyeduh kopiku ketika kulihat ia berjalan menuju angkringan tempatku sekarang. Berdiri sebentar menunggu giliran untuk memesan, sampai akhirnya samar-samar kudengar konversasi singkatnya dengan seorang bapak setengah baya peracik kopi.
            “Kopi josnya satu Pak.”
            Na lalu menunjuk sebuah sudut di selasar tikar tempat lesehan, bapak peracik kopi itu mengerti, mengangguk kecil.
            Ia memilih tempat yang masih memiliki sisa ruang diantara banyak orang yang duduk menikmati kopi dan menu makanan khas angkringan di tikar itu. Mereka datang membentuk kelompok-kelompok, sepasang kekasih, sekelompok anak muda, atau beberapa kumpulan dari jenis kalangan yang berbeda. Tetapi seperti tidak ada sekat, semua kalangan menjadi satu, menambah suasana malam yang temaram menjadi lebih hangat.
Dan ia, yang datang seorang diri malam itu, di warung kopi pinggir jalan yang ramai dipenuhi oleh banyak orang yang tengah menikmati suasana Jogja yang melankolis, berhasil membuatku bertanya-tanya.
            Eh, tapi aku juga datang sendiri. Membuat tanyaku berubah pulih menjadi sesuatu yang biasa. Ia datang sendiri ke kedai kopi, aku juga datang sendiri. Normal. Tetapi aku laki-laki dan ia perempuan. Itu jelas berbeda. Aku memikirkan banyak hal saat menyendiri, pria memiliki banyak sisi irasional untuk dipahami dalam ketersendiriannya. Dan ia perempuan, aku berpikir akan jauh lebih menyenangkan kalau saja ia datang kemari bersama sekelompok teman perempuannya. Menceritakan artis idola, membahas bedak, lipstik, atau kosmetik, curhat tentang kekasihnya atau laki-laki tampan yang tidak sengaja ditemuinya di pusat perbelanjaan, toko buku, atau mungkin restaurant. Sesimple itu bukan?
            Kopi pesanan Na datang. Pada bapak peracik kopi itu, ia tersenyum kecil dan lirih mengucapkan terimakasih. Sekilas, kulirik ia saat menyeduh kopi. Posisinya berada horisontal dengan posisiku.
            Namun sayangnya, tepat ketika lirikan ekor mataku masih mengunci, ia menghentikan kegiatannya menyeduh kopi. Begitu saja, menoleh menatapku. Aku yang gugup, seperti pencuri yang tertangkap kamera cctv, seketika refleks terlonjak. Menimbulkan gerakan cepat, berakibat pada gelas kopi di depan lututku yang sontak terguling, menumpahkan isi di dalamnya. Membuat sebagian tikar dan celana jeans di bagian lututku basah.
            Aku kikuk setengah mati. Tertawa kecil ketika kemudian ia menatapku dengan sorot kebingungan. Tidak lama, sebelum akhirnya sorot itu berubah menjadi tawa kecil. Aku sedang akan meraih gelas kopiku dan membereskan tikar yang saat ini basah tersiram air kopi, ketika kusadari ia perlahan mendekat.
            “Eh.. sorry.” Ia sudah di depanku. Membuat canggungku bertambah dua kali lipat.
            Aku tertawa, mengusir canggung, “Kenapa malah kamu yang bilang sorry?”
            “Aku bikin kamu kaget ya?” tangannya cekatan mengevakuasi gelas kopi itu, sebelum aku melakukannya lebih dulu.
            Aku tidak menjawab. Diam dalam keterpanaan yang luar biasa. Lihatlah, perempuan di depanku ini manis. Di balik kacamatanya, ada lensa hitam pekat memesona. Wajahnya bulat telur dengan alis hitam lebat yang memanjang. Hidung mungil meski tidak terlalu mancung dengan tulang pipi yang menawan. Dan yang membuatku lebih terkesima adalah dua lesung pipitnya yang mencekung sempurna bahkan hanya dengan sedikit tarikan bibir.
            Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ranselnya. Mengulurkan satu box tissue.
            “Bersihkan noda kopinya pakai ini.”
            Aku mengangguk, tersenyum kecil.
            Ia membantu membersihakan bagian tikar yang terkena siraman kopi.
            “Nah, selesai! Kalau kamu nggak keberatan, kamu bisa pindah tempat duduk disana.” ia tersenyum lebar, menunjuk salah satu spot lesehan. Berdiri dan berjalan menghampiri tempatnya semula. Aku dibelakangnya mengikuti.
***
            “Jadi namamu Na?”
            Ia menggangguk. “Dan namamu Bagas?”
            “Ya. Bagas dan bukan Ba atau Gas.” Aku bergurau, “hanya Na saja?”
            “Anggap saja begitu.” Ia mengangkat bahu.
            “Kalau begitu, berarti namamu adalah yang paling singkat sepanjang yang kuingat.”
            Ia justru tertawa, mengabaikan kalimatku. Tangannya beralih pada tas mungil di gantungan lehernya, mengeluarkan sesuatu di dalamnya. Sebuah kamera mirrorles.
            “Mau kufoto?” tangannya sudah lebih dulu handal memainkan fokus dan membidik wajahku sebelum aku berpose.
            “Hei curang! Kamu mengambil gambarku tanpa izin!” aku pura-pura marah, melotot ke arahnya. Ia sekali lagi tertawa, mengabaikan kalimatku.
            “Aku sudah minta izin tadi, kan?”
            “Hanya meminta dan belum tentu diberi .”
            “Itu karena posemu jelek, coba kalau posemu bagus. Kamu nggak mungkin keberatan.” Ia nyengir kuda memamerkan hasil jepretannya.
            Aku mengalah, menimpali kalimatnya dengan tawa.
            “Eh, aku belum selesai menginterogasimu tadi. Namamu sungguh benar-benar hanya Na?”
            Sayangnya lagi-lagi Na cuma mengangguk, menerjunkan diri membidik gambar di sekitar kami. Entah kucing kampung yang kebetulan lewat di gang kecil depan lesehan ini, tukang becak yang melintas, lampu tiang yang meredup, atau bahkan gelas kopi di depannya. Dan aku yakin, tawarannya untuk mengambil gambarku tadi adalah semacam permintaan izin agar ia bisa memotret lebih banyak obyek tanpa merasa tidak enak hati karena ia sedang mengobrol bersamaku. Karena setelah itu, ia tidak membidikkan kameranya ke wajahku lagi.
            “Memangnya kenapa? Ada yang aneh sama namaku?”
            Aku menggeleng. Sepertinya tidak akan berhasil dengan topik yang satu ini. Aku beralih ke topik lain.
            “Kamu asli Jogja?”
            Na menggeleng, melihat hasil jepretannya yang terakhir.
            “Cuma pendatang baru.”
            Aku melafalkan kata ‘oh’ sambil menangguk-anggukan kepala, “Sering ke sini juga?”
            Na akhirnya menoleh, fokus pada kalimatku. “Lumayan.”
            “Kenapa cuma datang sendiri? Eh, maksudku, ngumpul minum kopi disini bareng temen-temen jauh lebih asik.”
            Ia tidak menjawab, justru menodongakkan kepalanya ke arahku. Menatap tajam. Maksudnya adalah, “Kamu juga datang sendiri kan?”
            Menepuk jidat aku tertawa, “Lagi pengin sendiri aja.”
            Na kembali sibuk dengan kameranya. Kali ini pada gerobak angkringan berpenerangan lampu petromaks, kesibukan bapak peracik kopi menyiapkan bergelas-gelas pesanan, atau kumpulan beberapa orang yang tengah asik terlibat dalam obrolan seru. Mereka membicarakan apa saja, perbedaan status sosial tidak lagi penting. Angkringan seperti mempunyai magnet tersendiri untuk menyatukan semua kalangan di tempat itu. Semua orang membaur jadi satu.
            “Cita-citamu jadi wartawan?”
            Eh, apa tadi dia bilang? Wartawan? Aku jelas saja menggeleng.
            “Tapi kamu cocok jadi wartawan, pintar menginterogasi orang.” Ia tertawa pendek. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, cengengesan.
            “Begini sepertinya kamu memang penasaran kenapa aku bisa ada di sini? Kenapa namaku Na? Atau kenapa aku datang sendiri?”
            Aku merapatkan jaket, melipat lengan. Antusias. Bersiap mendengarkan sambungan kalimatnya.
            “Kalau begitu baik. Sepertinya aku memang nggak punya pilihan lain. Daripada setelah ini aku nggak bisa jamin kamu nggak bakal pingsan karena penasaran.” Ia tertawa lagi melihat tampang seriusku, tawa yang renyah. Tawa yang berhasil membuatku menjadi orang paling bodoh sedunia.
            “Gimana sudah siap mendengarkan?”
***

             


                                                                                                                                 Minggu. 25 Mei 2014

                                                                                                                                          Langit Senja

                                                                                                                                        Yogyakarta


 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger