Na.Nama perempuan itu
Na.
Barangkali bumi memang
berisi dengan banyak misteri, sesuatu yang sulit dijabar nalar, atau gerak
waktu dan tragedi yang tidak bisa dicerna otak manusia, karena faktanya sekeras
apa pun kita berekspektasi bumi berdalih memaparkan sesuatu yang lain. Hal-hal
yang tidak bisa kita duga, penuh ledakan dan kejutan.
Seperti
malam itu.
Aku
yakin, selain rambutnya yang keriting dan gaya fashionnya yang tidak tercantum
dalam mode apa pun, ia sama saja dengan perempuan lainnya. Tubuhnya
proporsional untuk perempuan seusianya. Hanya saja, sedikit kutekankan di sini,
aku tidak tahu ia berada dalam kisaran seorang remaja usia 17 tahun, atau
seorang mahasiswi yang hampir kelar skripsi. Wajahnya terlalu innocent untuk
kusebut mahasiswa, tetapi kaca mata tebalnya, analitiknya dan segala aspek yang
kuamati darinya belakangan membuatku sangsi kalau ia masih tercantum sebagai
siswa berseragam putih abu-abu.
Tetapi
berapa pun usianya, nama perempuan itu tetaplah Na.
Ia
berjalan sendirian melintasi trotoar di samping pagar pembatas jalan. Membawa
tas ranselnya di pundak, bercorak tentara, lengkap dengan tas mungil lain yang
ia gantung dilehernya-prediksiku di dalamnya ada kamera. Bawahan celana jeans
belel menjadi sangat kontras dengan baju kurungnya yang berwarna kuning, yang dipadukan
dengan scraf cokelat tua. Dan rambutnya itu, yang keriting panjang sampai
punggung dibiarkan terurai begitu saja, dibagian kepalanya dibalut dengan topi
rajut warna merah muda.
Aku
sedang menyeduh kopiku ketika kulihat ia berjalan menuju angkringan tempatku
sekarang. Berdiri sebentar menunggu giliran untuk memesan, sampai akhirnya
samar-samar kudengar konversasi singkatnya dengan seorang bapak setengah baya
peracik kopi.
“Kopi
josnya satu Pak.”
Na
lalu menunjuk sebuah sudut di selasar tikar tempat lesehan, bapak peracik kopi
itu mengerti, mengangguk kecil.
Ia
memilih tempat yang masih memiliki sisa ruang diantara banyak orang yang duduk
menikmati kopi dan menu makanan khas angkringan di tikar itu. Mereka datang
membentuk kelompok-kelompok, sepasang kekasih, sekelompok anak muda, atau
beberapa kumpulan dari jenis kalangan yang berbeda. Tetapi seperti tidak ada
sekat, semua kalangan menjadi satu, menambah suasana malam yang temaram menjadi
lebih hangat.
Dan ia, yang datang
seorang diri malam itu, di warung kopi pinggir jalan yang ramai dipenuhi oleh
banyak orang yang tengah menikmati suasana Jogja yang melankolis, berhasil
membuatku bertanya-tanya.
Eh,
tapi aku juga datang sendiri. Membuat tanyaku berubah pulih menjadi sesuatu
yang biasa. Ia datang sendiri ke kedai kopi, aku juga datang sendiri. Normal.
Tetapi aku laki-laki dan ia perempuan. Itu jelas berbeda. Aku memikirkan banyak
hal saat menyendiri, pria memiliki banyak sisi irasional untuk dipahami dalam ketersendiriannya. Dan ia perempuan, aku berpikir akan jauh lebih menyenangkan kalau saja ia
datang kemari bersama sekelompok teman perempuannya. Menceritakan artis idola,
membahas bedak, lipstik, atau kosmetik, curhat tentang kekasihnya atau
laki-laki tampan yang tidak sengaja ditemuinya di pusat perbelanjaan, toko
buku, atau mungkin restaurant. Sesimple itu bukan?
Kopi
pesanan Na datang. Pada bapak peracik kopi itu, ia tersenyum kecil dan lirih
mengucapkan terimakasih. Sekilas, kulirik ia saat menyeduh kopi. Posisinya
berada horisontal dengan posisiku.
Namun
sayangnya, tepat ketika lirikan ekor mataku masih mengunci, ia menghentikan
kegiatannya menyeduh kopi. Begitu saja, menoleh menatapku. Aku yang gugup, seperti
pencuri yang tertangkap kamera cctv, seketika refleks terlonjak. Menimbulkan
gerakan cepat, berakibat pada gelas kopi di depan lututku yang sontak
terguling, menumpahkan isi di dalamnya. Membuat sebagian tikar dan celana jeans
di bagian lututku basah.
Aku
kikuk setengah mati. Tertawa kecil ketika kemudian ia menatapku dengan sorot
kebingungan. Tidak lama, sebelum akhirnya sorot itu berubah menjadi tawa kecil.
Aku sedang akan meraih gelas kopiku dan membereskan tikar yang saat ini basah
tersiram air kopi, ketika kusadari ia perlahan mendekat.
“Eh..
sorry.” Ia sudah di depanku. Membuat canggungku bertambah dua kali lipat.
Aku
tertawa, mengusir canggung, “Kenapa malah kamu yang bilang sorry?”
“Aku
bikin kamu kaget ya?” tangannya cekatan mengevakuasi gelas kopi itu, sebelum
aku melakukannya lebih dulu.
Aku
tidak menjawab. Diam dalam keterpanaan yang luar biasa. Lihatlah, perempuan di
depanku ini manis. Di balik kacamatanya, ada lensa hitam pekat memesona. Wajahnya
bulat telur dengan alis hitam lebat yang memanjang. Hidung mungil meski tidak terlalu mancung dengan tulang
pipi yang menawan. Dan yang membuatku lebih terkesima adalah dua lesung
pipitnya yang mencekung sempurna bahkan hanya dengan sedikit tarikan bibir.
Ia
mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ranselnya. Mengulurkan satu box tissue.
“Bersihkan
noda kopinya pakai ini.”
Aku
mengangguk, tersenyum kecil.
Ia
membantu membersihakan bagian tikar yang terkena siraman kopi.
“Nah,
selesai! Kalau kamu nggak keberatan, kamu bisa pindah tempat duduk disana.” ia
tersenyum lebar, menunjuk salah satu spot lesehan. Berdiri dan berjalan
menghampiri tempatnya semula. Aku dibelakangnya mengikuti.
***
“Jadi
namamu Na?”
Ia
menggangguk. “Dan namamu Bagas?”
“Ya.
Bagas dan bukan Ba atau Gas.” Aku bergurau, “hanya Na saja?”
“Anggap
saja begitu.” Ia mengangkat bahu.
“Kalau
begitu, berarti namamu adalah yang paling singkat sepanjang yang kuingat.”
Ia
justru tertawa, mengabaikan kalimatku. Tangannya beralih pada tas mungil di
gantungan lehernya, mengeluarkan sesuatu di dalamnya. Sebuah kamera mirrorles.
“Mau
kufoto?” tangannya sudah lebih dulu handal memainkan fokus dan membidik wajahku
sebelum aku berpose.
“Hei
curang! Kamu mengambil gambarku tanpa izin!” aku pura-pura marah, melotot ke
arahnya. Ia sekali lagi tertawa, mengabaikan kalimatku.
“Aku
sudah minta izin tadi, kan?”
“Hanya
meminta dan belum tentu diberi .”
“Itu
karena posemu jelek, coba kalau posemu bagus. Kamu nggak mungkin keberatan.” Ia
nyengir kuda memamerkan hasil jepretannya.
Aku
mengalah, menimpali kalimatnya dengan tawa.
“Eh,
aku belum selesai menginterogasimu tadi. Namamu sungguh benar-benar hanya Na?”
Sayangnya
lagi-lagi Na cuma mengangguk, menerjunkan diri membidik gambar di sekitar kami.
Entah kucing kampung yang kebetulan lewat di gang kecil depan lesehan ini,
tukang becak yang melintas, lampu tiang yang meredup, atau bahkan gelas kopi di
depannya. Dan aku yakin, tawarannya untuk mengambil gambarku tadi adalah
semacam permintaan izin agar ia bisa memotret lebih banyak obyek tanpa merasa
tidak enak hati karena ia sedang mengobrol bersamaku. Karena setelah itu, ia
tidak membidikkan kameranya ke wajahku lagi.
“Memangnya
kenapa? Ada yang aneh sama namaku?”
Aku
menggeleng. Sepertinya tidak akan berhasil dengan topik yang satu ini. Aku
beralih ke topik lain.
“Kamu
asli Jogja?”
Na
menggeleng, melihat hasil jepretannya yang terakhir.
“Cuma
pendatang baru.”
Aku
melafalkan kata ‘oh’ sambil menangguk-anggukan kepala, “Sering ke sini juga?”
Na
akhirnya menoleh, fokus pada kalimatku. “Lumayan.”
“Kenapa
cuma datang sendiri? Eh, maksudku, ngumpul minum kopi disini bareng temen-temen
jauh lebih asik.”
Ia
tidak menjawab, justru menodongakkan kepalanya ke arahku. Menatap tajam.
Maksudnya adalah, “Kamu juga datang sendiri kan?”
Menepuk
jidat aku tertawa, “Lagi pengin sendiri aja.”
Na
kembali sibuk dengan kameranya. Kali ini pada gerobak angkringan berpenerangan
lampu petromaks, kesibukan bapak peracik kopi menyiapkan bergelas-gelas
pesanan, atau kumpulan beberapa orang yang tengah asik terlibat dalam obrolan
seru. Mereka membicarakan apa saja, perbedaan status sosial tidak lagi penting.
Angkringan seperti mempunyai magnet tersendiri untuk menyatukan semua kalangan
di tempat itu. Semua orang membaur jadi satu.
“Cita-citamu
jadi wartawan?”
Eh,
apa tadi dia bilang? Wartawan? Aku jelas saja menggeleng.
“Tapi
kamu cocok jadi wartawan, pintar menginterogasi orang.” Ia tertawa pendek. Aku
menggaruk kepala yang tidak gatal, cengengesan.
“Begini
sepertinya kamu memang penasaran kenapa aku bisa ada di sini? Kenapa namaku Na?
Atau kenapa aku datang sendiri?”
Aku
merapatkan jaket, melipat lengan. Antusias. Bersiap mendengarkan sambungan
kalimatnya.
“Kalau
begitu baik. Sepertinya aku memang nggak punya pilihan lain. Daripada setelah
ini aku nggak bisa jamin kamu nggak bakal pingsan karena penasaran.” Ia tertawa lagi
melihat tampang seriusku, tawa yang renyah. Tawa yang berhasil membuatku
menjadi orang paling bodoh sedunia.
“Gimana
sudah siap mendengarkan?”
***
Minggu. 25 Mei 2014
Langit Senja
Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar