Minggu, 25 Mei 2014

Na (bagian 1)



Na.Nama perempuan itu Na.
Barangkali bumi memang berisi dengan banyak misteri, sesuatu yang sulit dijabar nalar, atau gerak waktu dan tragedi yang tidak bisa dicerna otak manusia, karena faktanya sekeras apa pun kita berekspektasi bumi berdalih memaparkan sesuatu yang lain. Hal-hal yang tidak bisa kita duga, penuh ledakan dan kejutan.
            Seperti malam itu.
            Aku yakin, selain rambutnya yang keriting dan gaya fashionnya yang tidak tercantum dalam mode apa pun, ia sama saja dengan perempuan lainnya. Tubuhnya proporsional untuk perempuan seusianya. Hanya saja, sedikit kutekankan di sini, aku tidak tahu ia berada dalam kisaran seorang remaja usia 17 tahun, atau seorang mahasiswi yang hampir kelar skripsi. Wajahnya terlalu innocent untuk kusebut mahasiswa, tetapi kaca mata tebalnya, analitiknya dan segala aspek yang kuamati darinya belakangan membuatku sangsi kalau ia masih tercantum sebagai siswa berseragam putih abu-abu.
            Tetapi berapa pun usianya, nama perempuan itu tetaplah Na.
            Ia berjalan sendirian melintasi trotoar di samping pagar pembatas jalan. Membawa tas ranselnya di pundak, bercorak tentara, lengkap dengan tas mungil lain yang ia gantung dilehernya-prediksiku di dalamnya ada kamera. Bawahan celana jeans belel menjadi sangat kontras dengan baju kurungnya yang berwarna kuning, yang dipadukan dengan scraf cokelat tua. Dan rambutnya itu, yang keriting panjang sampai punggung dibiarkan terurai begitu saja, dibagian kepalanya dibalut dengan topi rajut warna merah muda.
            Aku sedang menyeduh kopiku ketika kulihat ia berjalan menuju angkringan tempatku sekarang. Berdiri sebentar menunggu giliran untuk memesan, sampai akhirnya samar-samar kudengar konversasi singkatnya dengan seorang bapak setengah baya peracik kopi.
            “Kopi josnya satu Pak.”
            Na lalu menunjuk sebuah sudut di selasar tikar tempat lesehan, bapak peracik kopi itu mengerti, mengangguk kecil.
            Ia memilih tempat yang masih memiliki sisa ruang diantara banyak orang yang duduk menikmati kopi dan menu makanan khas angkringan di tikar itu. Mereka datang membentuk kelompok-kelompok, sepasang kekasih, sekelompok anak muda, atau beberapa kumpulan dari jenis kalangan yang berbeda. Tetapi seperti tidak ada sekat, semua kalangan menjadi satu, menambah suasana malam yang temaram menjadi lebih hangat.
Dan ia, yang datang seorang diri malam itu, di warung kopi pinggir jalan yang ramai dipenuhi oleh banyak orang yang tengah menikmati suasana Jogja yang melankolis, berhasil membuatku bertanya-tanya.
            Eh, tapi aku juga datang sendiri. Membuat tanyaku berubah pulih menjadi sesuatu yang biasa. Ia datang sendiri ke kedai kopi, aku juga datang sendiri. Normal. Tetapi aku laki-laki dan ia perempuan. Itu jelas berbeda. Aku memikirkan banyak hal saat menyendiri, pria memiliki banyak sisi irasional untuk dipahami dalam ketersendiriannya. Dan ia perempuan, aku berpikir akan jauh lebih menyenangkan kalau saja ia datang kemari bersama sekelompok teman perempuannya. Menceritakan artis idola, membahas bedak, lipstik, atau kosmetik, curhat tentang kekasihnya atau laki-laki tampan yang tidak sengaja ditemuinya di pusat perbelanjaan, toko buku, atau mungkin restaurant. Sesimple itu bukan?
            Kopi pesanan Na datang. Pada bapak peracik kopi itu, ia tersenyum kecil dan lirih mengucapkan terimakasih. Sekilas, kulirik ia saat menyeduh kopi. Posisinya berada horisontal dengan posisiku.
            Namun sayangnya, tepat ketika lirikan ekor mataku masih mengunci, ia menghentikan kegiatannya menyeduh kopi. Begitu saja, menoleh menatapku. Aku yang gugup, seperti pencuri yang tertangkap kamera cctv, seketika refleks terlonjak. Menimbulkan gerakan cepat, berakibat pada gelas kopi di depan lututku yang sontak terguling, menumpahkan isi di dalamnya. Membuat sebagian tikar dan celana jeans di bagian lututku basah.
            Aku kikuk setengah mati. Tertawa kecil ketika kemudian ia menatapku dengan sorot kebingungan. Tidak lama, sebelum akhirnya sorot itu berubah menjadi tawa kecil. Aku sedang akan meraih gelas kopiku dan membereskan tikar yang saat ini basah tersiram air kopi, ketika kusadari ia perlahan mendekat.
            “Eh.. sorry.” Ia sudah di depanku. Membuat canggungku bertambah dua kali lipat.
            Aku tertawa, mengusir canggung, “Kenapa malah kamu yang bilang sorry?”
            “Aku bikin kamu kaget ya?” tangannya cekatan mengevakuasi gelas kopi itu, sebelum aku melakukannya lebih dulu.
            Aku tidak menjawab. Diam dalam keterpanaan yang luar biasa. Lihatlah, perempuan di depanku ini manis. Di balik kacamatanya, ada lensa hitam pekat memesona. Wajahnya bulat telur dengan alis hitam lebat yang memanjang. Hidung mungil meski tidak terlalu mancung dengan tulang pipi yang menawan. Dan yang membuatku lebih terkesima adalah dua lesung pipitnya yang mencekung sempurna bahkan hanya dengan sedikit tarikan bibir.
            Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ranselnya. Mengulurkan satu box tissue.
            “Bersihkan noda kopinya pakai ini.”
            Aku mengangguk, tersenyum kecil.
            Ia membantu membersihakan bagian tikar yang terkena siraman kopi.
            “Nah, selesai! Kalau kamu nggak keberatan, kamu bisa pindah tempat duduk disana.” ia tersenyum lebar, menunjuk salah satu spot lesehan. Berdiri dan berjalan menghampiri tempatnya semula. Aku dibelakangnya mengikuti.
***
            “Jadi namamu Na?”
            Ia menggangguk. “Dan namamu Bagas?”
            “Ya. Bagas dan bukan Ba atau Gas.” Aku bergurau, “hanya Na saja?”
            “Anggap saja begitu.” Ia mengangkat bahu.
            “Kalau begitu, berarti namamu adalah yang paling singkat sepanjang yang kuingat.”
            Ia justru tertawa, mengabaikan kalimatku. Tangannya beralih pada tas mungil di gantungan lehernya, mengeluarkan sesuatu di dalamnya. Sebuah kamera mirrorles.
            “Mau kufoto?” tangannya sudah lebih dulu handal memainkan fokus dan membidik wajahku sebelum aku berpose.
            “Hei curang! Kamu mengambil gambarku tanpa izin!” aku pura-pura marah, melotot ke arahnya. Ia sekali lagi tertawa, mengabaikan kalimatku.
            “Aku sudah minta izin tadi, kan?”
            “Hanya meminta dan belum tentu diberi .”
            “Itu karena posemu jelek, coba kalau posemu bagus. Kamu nggak mungkin keberatan.” Ia nyengir kuda memamerkan hasil jepretannya.
            Aku mengalah, menimpali kalimatnya dengan tawa.
            “Eh, aku belum selesai menginterogasimu tadi. Namamu sungguh benar-benar hanya Na?”
            Sayangnya lagi-lagi Na cuma mengangguk, menerjunkan diri membidik gambar di sekitar kami. Entah kucing kampung yang kebetulan lewat di gang kecil depan lesehan ini, tukang becak yang melintas, lampu tiang yang meredup, atau bahkan gelas kopi di depannya. Dan aku yakin, tawarannya untuk mengambil gambarku tadi adalah semacam permintaan izin agar ia bisa memotret lebih banyak obyek tanpa merasa tidak enak hati karena ia sedang mengobrol bersamaku. Karena setelah itu, ia tidak membidikkan kameranya ke wajahku lagi.
            “Memangnya kenapa? Ada yang aneh sama namaku?”
            Aku menggeleng. Sepertinya tidak akan berhasil dengan topik yang satu ini. Aku beralih ke topik lain.
            “Kamu asli Jogja?”
            Na menggeleng, melihat hasil jepretannya yang terakhir.
            “Cuma pendatang baru.”
            Aku melafalkan kata ‘oh’ sambil menangguk-anggukan kepala, “Sering ke sini juga?”
            Na akhirnya menoleh, fokus pada kalimatku. “Lumayan.”
            “Kenapa cuma datang sendiri? Eh, maksudku, ngumpul minum kopi disini bareng temen-temen jauh lebih asik.”
            Ia tidak menjawab, justru menodongakkan kepalanya ke arahku. Menatap tajam. Maksudnya adalah, “Kamu juga datang sendiri kan?”
            Menepuk jidat aku tertawa, “Lagi pengin sendiri aja.”
            Na kembali sibuk dengan kameranya. Kali ini pada gerobak angkringan berpenerangan lampu petromaks, kesibukan bapak peracik kopi menyiapkan bergelas-gelas pesanan, atau kumpulan beberapa orang yang tengah asik terlibat dalam obrolan seru. Mereka membicarakan apa saja, perbedaan status sosial tidak lagi penting. Angkringan seperti mempunyai magnet tersendiri untuk menyatukan semua kalangan di tempat itu. Semua orang membaur jadi satu.
            “Cita-citamu jadi wartawan?”
            Eh, apa tadi dia bilang? Wartawan? Aku jelas saja menggeleng.
            “Tapi kamu cocok jadi wartawan, pintar menginterogasi orang.” Ia tertawa pendek. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, cengengesan.
            “Begini sepertinya kamu memang penasaran kenapa aku bisa ada di sini? Kenapa namaku Na? Atau kenapa aku datang sendiri?”
            Aku merapatkan jaket, melipat lengan. Antusias. Bersiap mendengarkan sambungan kalimatnya.
            “Kalau begitu baik. Sepertinya aku memang nggak punya pilihan lain. Daripada setelah ini aku nggak bisa jamin kamu nggak bakal pingsan karena penasaran.” Ia tertawa lagi melihat tampang seriusku, tawa yang renyah. Tawa yang berhasil membuatku menjadi orang paling bodoh sedunia.
            “Gimana sudah siap mendengarkan?”
***

             


                                                                                                                                 Minggu. 25 Mei 2014

                                                                                                                                          Langit Senja

                                                                                                                                        Yogyakarta


0 komentar:

 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger