Saya tidak tahu apa itu artinya kesempatan. Apa?
Omong Kosong? Maaf jika saya mengatakannya demikian. Silakan marah dan
mengumpat jika kalian tidak sependapat. Saya hanya sedang merasakan bagaimana
rasanya terbuang, terasing dan tersisihkan. Ini sesuatu yang sejak lama saya
impikan bertahun-tahun. Sepuluh tahun lalu.Tentang kesempatan hadir dan
kembali. Kesempatan bertemu dan bersama lagi. Ini sungguh menyesakkan.
Bertahun-tahun lamanya saya menunggu. Kapan waktu
itu tiba. Saat dimana saya bisa bersama-sama lagi dengan wajah-wajah yang-Demi
Tuhan-sangat saya kangeni. Wajah-wajah yang dulunya polos dihiasi dengan gelak
tawa ciri khas anak-anak, dan kini sudah bermetamorfosa menjadi remaja seperti
saya. Yang dulu kepada mereka sering saya habiskan sebagian besar waktu;
menjelajahi petak-petak sawah sampai ke pedalaman hutan kemudian petualangan
itu berlanjut dengan mencari tumbuhan langka di dalamnya, mencari ikan di
sungai, memanjat pohon kersen, bermain petak umpet selepas mengaji di mushola,
bermain kasti di kebun belakang sekolah yang luas dan ditanami banyak pohon
trambesi, atau bersama-sama berkunjung dari satu rumah ke rumah lainnya saat
lebaran. Sesuatu yang langka, bahkan nyaris tidak pernah saya lakukan saat saya
sudah tinggal di Yogya.
Tinggal di kampung halaman, di rumah yang
terletak di pinggir jalan kecil beraspal, yang selalu dilewati banyak kendaraan
karena jalan itu adalah jalan utama yang menghubungkan kampung itu menuju kota-kota
kecil di provinsi kami. Menjadi anak perempuan yang disebut-sebut sebagai anak
paling nakal oleh seluruh warga kampung. Anak paling bandel yang setiap hari
selalu membuat keributan. Saat itu, saya kecil masih belum paham soal apa itu
teman. Terlalu asyik dengan keributan dan kenakalan yang saya ciptakan sendiri.
Saya seperti autis, terlalu hiperaktif, dan menganggap orang-orang di sekitar
saya adalah orang asing. Tidak peduli jika implikasinya adalah orang-orang
tidak suka lalu akan membenci saya. Untuk seorang anak berumur 6 tahun, adakah
pikiran sekritis itu terbesit dalam kepalanya?
Hingga karunia itu datang. Sore itu, di halaman
belakang rumah saya yang memiliki ruas jalan di sampingnya, saya berdiri. Di
kepala saya, sudah terlintas ide cemerlang untuk membuat Ibu dan beberapa
karyawannya yang sedang bekerja kelimpungan. Saya sudah berniat memasang
amunisi untuk mengganggu aktivitas mereka di gudang, merusak barang apa saja,
membuat keributan apa pun, menghentikan aktivitas mereka, asal saya bisa
mengalihkan kebosanan. Tidak ada hal lain yang saya inginkan; selain mereka
berhenti bekerja lalu ikut bergabung menemani saya bermain.
Maka saat itu, persis ketika saya mulai merengek
meminta Ibu agar menghentikan pekerjaannya, persis ketika Ibu setengah mati
membujuk saya agar saya berhenti berulah, datanglah dua anak itu. Seorang anak
perempuan dan laki-laki berkisar 7 tahun, berjalan di ruas jalan kecil persis
di samping kanan tempat saya berdiri. Kaki-kaki mereka dibalut dengan sepatu
boots mini. Saya masih ingat warnanya. Biru dan Merah.
Seketika itu juga, seperti melihat malaikat
penolong, mata Ibu berbinar-binar. Dicekalnya tangan saya agar berhenti meronta
menarik bajunya, lalu dalam sekejap waktu yang tidak sempat saya sadari, Ibu
berteriak memanggil kedua anak itu.
"Hai Umah, Amri! Sini!"
Kedua anak itu menoleh. Bersamaan dengan gerakan
tangan saya yang kontan berhenti menarik baju Ibu. Detik yang sama ketika
akhirnya saya juga menoleh dan terpaku. Seperti kebiasaan saya sebelumnya,
tidak banyak menunjukkan reaksi terhadap orang yang baru saya temui. Sesuatu
yang sejak kecil menjadi kelemahan saya; antipasi luar biasa terhadap orang
asing.
Saya menatap mereka. Dua bocah itu. Anak kecil
yang kisaran umurnya mungkin hanya berjarak satu tahun lebih tua dari saya. Dan
sepatunya, sepatu boots mini itu berhasil menyita habis perhatian saya.
Mengalihkan saya dari ide gila mengganggu pekerjaan Ibu.
"Iya Bu, ada apa?" tanya seorang anak
perempuan yang tadi Ibu menyebutnya dengan nama 'Umah'.
"Kalian mau kemana?"
Kedua anak itu saling pandang, memberi isyarat
satu sama lain, "Mau ke ladang Bu, nengok saudara yang sedang bekerja di
sana."
Ibu mengangguk, lantas beralih menatapku yang
kini memandangi mereka berdua dengan sorot mata ingin tahu. "Sinta mau ikut?
Ikut ya? Main sama Mbak Umah sama Amri. Mau?"
Awalnya saya menggeleng kuat-kuat, masih
memandangi kedua anak itu dengan tatapan mengintimidasi. Interogasi tak
langsung lewat tatapan mata. Tetapi ketika kemudian saya lihat mereka
tersenyum, gelengan kepala saya terhenti. Sesuatu yang hingga kini selalu saya
percayai; mata seseorang selalu bisa menyingkap hal-hal yang tersembunyi. Dan
melihat mata mereka berdua, yang berbinar seolah meyakinkan saya, saya percaya
bahwa mereka anak yang baik. Saya bisa melihat auranya. Tenang dan bersahabat.
Dua kata yang mati-matian saya cari keberadaannya sewaktu saya masih anak-anak.
"Ikut ya?" Ibu mengulang pertanyaannya,
kemudian dipandanginya lagi dua anak itu, tersenyum, "Sinta ikut main sama
kalian nggak apa-apa kan?"
Mereka berdua mengangguk, saling membuat
keputusan kolektif tanpa musyawarah.
Saya masih memandangi mereka, yang kemudian juga
balas menatap saya sambil tersenyum.
"Ayo ikut!"
Dan mendengar kalimat itu, saya tidak perlu
berpikir dua kali, langsung mengangguk kuat-kuat.
"Kalau gitu, tunggu disini, Ibu ambilkan
sepatu boots kamu dulu."
Ibu datang tak lama kemudian dengan membawa
sepasang boots mini warna hijau milik saya. Ditentengnya boots itu dengan sorot
mata bahagia-saya jelas tahu apa sebabnya-kepergian saya bisa membuatnya tenang
melanjutkan pekerjaan. Karena itu artinya, tidak akan ada yang merecoki
pekerjaannya.
"Kami pergi dulu Bu." Umah, anak
perempuan bersepatu boots biru itu meminta izin.
Ibuku mengangguk, tesenyum bilang,
"Hati-hati."
Saya yang masih belum kenal betul dengan dua anak
yang kini berjalan bersisian bersama saya, kagok berjalan dengan langkah
patah-patah. Beberapa langkah jaraknya dari tempat semula saya menoleh, menatap
ibu dengan pandangan ragu. Namun kemudian saat saya lihat Ibu mengangguk, saya
menoleh lagi, menghela napas lega, merasa semua akan baik-baik saja.
Sore itu, di temaram sinar yang samar-samar
menjadi latar, tiga orang anak manusia berjalan di atas setapak jalan kecil.
Tiga pasang kaki dengan tiga warna sepatu boots yang berbeda. Biru, Merah, dan
Hijau.
Sore itu, untuk pertama kalinya, saya-anak
perempuan paling nakal di seluruh kampung, mulai belajar berinteraksi dengan
makhluk yang bisa ia sebut sebagai teman. Untuk pertama kalinya juga, setelah
hening yang sebelumnya begitu lama melingkupi keberadaan kami bertiga, saya
bersuara. "Eh, kita mau kemana?"
"Berpetualang, menjelajah. Kamu pasti
suka!" Itu suara anak laki-laki kecil di sebelah kiri saya. Amri.
"Benar?" saya menatapnya dengan kilat
mata yang bercahaya. Bersungguh-sungguh.
"Iyaaa!" mendengar suara itu saya
menoleh, ganti memalingkan muka ke samping kanan. Itu suara Umah.
Lantas, kami bertiga sama-sama tertawa.
***
Masih banyak hal lain. Itu hanya salah satu dari
sekian banyak hal-hal menyenangkan yang pernah menjadi kenangan saya di masa
kecil. Umah dan Amri. Dua sahabat saya yang memperkenalkan saya dengan dunia
luar. Tanpa mereka, mungkin saat ini saya masih tumbuh menjadi anak yang nakal
dan apatis. Yang memilih mendekam di dunianya sendiri dengan segala kenakalan.
Mereka yang memperkenalkan saya, bahwa sesuatu
yang mengerikan dan menakutkan kadang-kadang tidak separah yang kita kira.
Seperti misalnya sore itu, saat pertama kalinya kami bertiga main bersama. Di
belakang rumah saya, selain kebun jeruk tidak ada lagi yang bisa saya kenali.
Selebihnya hanya ada persawahan dan kemungkinan besar adalah jajaran hutan.
Sampai saya membuktikan sesuatu yang benar-benar terdapat di dalamnya.
Ternyata, jalan setapak kecil di samping rumah
saya itu menghubungkan rute rumah saya dengan lokasi-lokasi menakjubkan.
Membuat saya berpikir bahwa apa yang saya lihat untuk pertama kalinya itu
adalah harta karun terpendam. Saya tak habis pikir ketika menyaksikan bahwa
belasan kilo dari lokasi tempat tinggal saya, yang sebelumnya saya anggap
berbahaya, berdiri sebuah sauh dengan deretan tanaman di sekelilingnya. Segala
jenis sayuran dan beberapa jenis tanaman buah. Bukan itu saja, lengkap dengan
beberapa orang yang saya tahu itu adalah saudara Umah dan Amri yang mereka
ceritakan tadi. Bayangkan, di tempat seterpencil itu, yang bahkan saya berani
menyebutnya hutan belantara, siapa sangka ada aktivitas manusia di dalamnya?
Petualangan itu masih berlanjut ketika akhirnya
Umah dan Amri memutuskan untuk berjalan kaki lebih jauh. Tujuan mereka adalah
sudut hutan yang lain, dengan objek sebuah pohon yang hingga kini saya lupa apa
namanya.
"Ini bisa dimakan?" saya takjub
mengamati buah yang menempel di batangnya yang rendah.
"Iya, bisa, tapi masih belum matang. Besok
dua tiga hari lagi kita kesini ya. Nunggu buahnya matang dulu."
Saya mengangguk. Kemudian menyadari bahwa buah
itu bentuknya mirip dengan buah cokelat.
"Kok mirip cokelat?"
"Iya, memang mirip. Tapi bukan
cokelat."
Saya mengangguk lagi.
Dan ketakjuban itu masih susul menyusul seiring
dengan setiap tempat yang kami lewati. Sungai kecil dengan aliran air yang
jernih dan tenang, memperlihatkan bebatuan dari dasar sungainya yang dangkal.
Pepohonan dengan aneka macam jenis tanaman, membentuk hutan seperti
kanopi-kanopi. Indah sekali. Dan tidak ada satu pun yang saya lewatkan selama
perjalanan ini.
Saya menikmati semuanya, dengan keingintahuan
besar dan perasaan bebas tiada tara, karena sejujurnya kenakalan saya selama
itu bukanlah tanpa sebab. Saya hanya membutuhkan orang-orang yang mau memahami,
yang mau membagi dunianya kepada saya betapa pun buruknya dunia yang saya bagi
pada mereka. Hanya itu. Dan di atas itu semua, ternyata saya hanya membutuhkan
seorang teman. Ya, teman. Definisi yang baru saya temukan saat usia saya 6
tahun.
Dan kembali ke soal kesempatan. Bagi saya itu
cuma omong kosong. Marahlah jika kalian tak suka. Saya hanya sedang menafsirkan
emosi saya lewat kata-kata.
Sepuluh tahun, angka fantastis untuk sepenggal
jarak yang terpaksa harus dimusnahkan. Sepuluh tahun berlalu ketika akhirnya
saya dengan senang hati mengikuti permintaan ayah saya, yang saat itu
memutuskan untuk pindah dan bekerja di Yogyakarta. Saat dimana ketika saat ini
saya baru menyadari, bahwa saya harus meninggalkan keceriaan masa kecil saya di
Maluku, kota saya dahulu. Saya harus meninggalkan sahabat-sahabat yang saya sayangi
dan semua petualangan kami di masa kecil yang menakjubkan itu. Saya harus pergi
meninggalkan sahabat-sahabat saya tak lama setelah saya merasakan bagaimana
eufhorianya memiliki seorang teman. Dan ya, cukup bagi saya saja, itu
menyesakkan.
***
Dan, apalagi sekarang yang bisa saya sebut
sebagai kesempatan? Sepuluh tahun lamanya. Saya terpaksa memendam keinginan
untuk berkunjung. Mati-matian menahan diri agar tidak mengunjungi tanah
kelahiran saya sendiri. Sudah tak terhitung berapa ratus kali saya memohon dan
mengiba, tetapi sepertinya untuk meluluhkan hati mereka itu cuma hal sia-sia.
Dan saat ini, ketika kesempatan itu datang,
ketika ada secercah harapan untuk kembali meraih apa yang dulu sempat hilang,
entah dengan kekuatan magis dari mana, semuanya musnah, raib dalam sekejap.
Akhirnya Ibu mengizinkan saya pulang, lebaran
tahun ini. Mendengar kalimatnya mengatakan persetujuan, rasanya tidak
terjabarkan semua aksara lewat kata-kata. Tapi perasaan tetaplah perasaan. Bisa
berubah kapan saja. Seperti ketika akhirnya saya mengetahui dan disadarkan oleh
sesuatu. Tidak sengaja membuka laman dunia maya. 'Mereka', orang-orang yang
saya sebut lakon dalam tulisan ini, menuliskan sesuatu yang sukses membuat
perasaan saya remuk redam seketika. Mereka pergi. Ya. Hanya itu. Mereka hanya
menulis mereka akan pergi.
Tuhan, lihat betapa lucu skenarioMu. Engkau
mengizinkan apa-apa atasku yang dulu tidak Engkau kehendaki, di saat sesuatu
yang menjadi alasan saya untuk pergi justru tidak akan bisa lagi saya temui.
Mungkin bisa Tuhan, tapi bukan tempat dimana saya dilahirkan. Kami sudah
berbeda, bukan kanak-kanak lagi. Mereka bilang kami sudah dewasa. Tapi bisa kah
Kau ulang lagi waktu kanak-kanakku bersama mereka, sebentar saja?Aku mohon,
tolong.
Dan Tuhan, saya tidak marah kepadaMu sungguh!
Saya hanya marah pada diri saya sendiri, karena selemah ini menghadapi
perpisahan.
PS: Maaf untuk tulisan menyebalkan ini ya, kamu. Iya kamuuu *ala Dodit*
jangan dibaca kalau hanya menyesakkan dada dan membuat mood kalian menurun
drastis *memangnya siapa yang mau baca?* Yasudah. Intinya saya cuma mau minta
maaf. Tulisan ini agaknya teramat menyebalkan. Setidaknya, bagi diri saya
sendiri.
Langit Senja
Yogyakarta
8/05/2014
20.00 WIB
0 komentar:
Posting Komentar