Kamis, 08 Mei 2014

Kesempatan? Omong Kosong

Saya tidak tahu apa itu artinya kesempatan. Apa? Omong Kosong? Maaf jika saya mengatakannya demikian. Silakan marah dan mengumpat jika kalian tidak sependapat. Saya hanya sedang merasakan bagaimana rasanya terbuang, terasing dan tersisihkan. Ini sesuatu yang sejak lama saya impikan bertahun-tahun. Sepuluh tahun lalu.Tentang kesempatan hadir dan kembali. Kesempatan bertemu dan bersama lagi. Ini sungguh menyesakkan.
Bertahun-tahun lamanya saya menunggu. Kapan waktu itu tiba. Saat dimana saya bisa bersama-sama lagi dengan wajah-wajah yang-Demi Tuhan-sangat saya kangeni. Wajah-wajah yang dulunya polos dihiasi dengan gelak tawa ciri khas anak-anak, dan kini sudah bermetamorfosa menjadi remaja seperti saya. Yang dulu kepada mereka sering saya habiskan sebagian besar waktu; menjelajahi petak-petak sawah sampai ke pedalaman hutan kemudian petualangan itu berlanjut dengan mencari tumbuhan langka di dalamnya, mencari ikan di sungai, memanjat pohon kersen, bermain petak umpet selepas mengaji di mushola, bermain kasti di kebun belakang sekolah yang luas dan ditanami banyak pohon trambesi, atau bersama-sama berkunjung dari satu rumah ke rumah lainnya saat lebaran. Sesuatu yang langka, bahkan nyaris tidak pernah saya lakukan saat saya sudah tinggal di Yogya.
Tinggal di kampung halaman, di rumah yang terletak di pinggir jalan kecil beraspal, yang selalu dilewati banyak kendaraan karena jalan itu adalah jalan utama yang menghubungkan kampung itu menuju kota-kota kecil di provinsi kami. Menjadi anak perempuan yang disebut-sebut sebagai anak paling nakal oleh seluruh warga kampung. Anak paling bandel yang setiap hari selalu membuat keributan. Saat itu, saya kecil masih belum paham soal apa itu teman. Terlalu asyik dengan keributan dan kenakalan yang saya ciptakan sendiri. Saya seperti autis, terlalu hiperaktif, dan menganggap orang-orang di sekitar saya adalah orang asing. Tidak peduli jika implikasinya adalah orang-orang tidak suka lalu akan membenci saya. Untuk seorang anak berumur 6 tahun, adakah pikiran sekritis itu terbesit dalam kepalanya?
Hingga karunia itu datang. Sore itu, di halaman belakang rumah saya yang memiliki ruas jalan di sampingnya, saya berdiri. Di kepala saya, sudah terlintas ide cemerlang untuk membuat Ibu dan beberapa karyawannya yang sedang bekerja kelimpungan. Saya sudah berniat memasang amunisi untuk mengganggu aktivitas mereka di gudang, merusak barang apa saja, membuat keributan apa pun, menghentikan aktivitas mereka, asal saya bisa mengalihkan kebosanan. Tidak ada hal lain yang saya inginkan; selain mereka berhenti bekerja lalu ikut bergabung menemani saya bermain.
Maka saat itu, persis ketika saya mulai merengek meminta Ibu agar menghentikan pekerjaannya, persis ketika Ibu setengah mati membujuk saya agar saya berhenti berulah, datanglah dua anak itu. Seorang anak perempuan dan laki-laki berkisar 7 tahun, berjalan di ruas jalan kecil persis di samping kanan tempat saya berdiri. Kaki-kaki mereka dibalut dengan sepatu boots mini. Saya masih ingat warnanya. Biru dan Merah.
Seketika itu juga, seperti melihat malaikat penolong, mata Ibu berbinar-binar. Dicekalnya tangan saya agar berhenti meronta menarik bajunya, lalu dalam sekejap waktu yang tidak sempat saya sadari, Ibu berteriak memanggil kedua anak itu.
"Hai Umah, Amri! Sini!"
Kedua anak itu menoleh. Bersamaan dengan gerakan tangan saya yang kontan berhenti menarik baju Ibu. Detik yang sama ketika akhirnya saya juga menoleh dan terpaku. Seperti kebiasaan saya sebelumnya, tidak banyak menunjukkan reaksi terhadap orang yang baru saya temui. Sesuatu yang sejak kecil menjadi kelemahan saya; antipasi luar biasa terhadap orang asing.
Saya menatap mereka. Dua bocah itu. Anak kecil yang kisaran umurnya mungkin hanya berjarak satu tahun lebih tua dari saya. Dan sepatunya, sepatu boots mini itu berhasil menyita habis perhatian saya. Mengalihkan saya dari ide gila mengganggu pekerjaan Ibu.
"Iya Bu, ada apa?" tanya seorang anak perempuan yang tadi Ibu menyebutnya dengan nama 'Umah'.
"Kalian mau kemana?"
Kedua anak itu saling pandang, memberi isyarat satu sama lain, "Mau ke ladang Bu, nengok saudara yang sedang bekerja di sana."
Ibu mengangguk, lantas beralih menatapku yang kini memandangi mereka berdua dengan sorot mata ingin tahu. "Sinta mau ikut? Ikut ya? Main sama Mbak Umah sama Amri. Mau?"
Awalnya saya menggeleng kuat-kuat, masih memandangi kedua anak itu dengan tatapan mengintimidasi. Interogasi tak langsung lewat tatapan mata. Tetapi ketika kemudian saya lihat mereka tersenyum, gelengan kepala saya terhenti. Sesuatu yang hingga kini selalu saya percayai; mata seseorang selalu bisa menyingkap hal-hal yang tersembunyi. Dan melihat mata mereka berdua, yang berbinar seolah meyakinkan saya, saya percaya bahwa mereka anak yang baik. Saya bisa melihat auranya. Tenang dan bersahabat. Dua kata yang mati-matian saya cari keberadaannya sewaktu saya masih anak-anak.

"Ikut ya?" Ibu mengulang pertanyaannya, kemudian dipandanginya lagi dua anak itu, tersenyum, "Sinta ikut main sama kalian nggak apa-apa kan?"
Mereka berdua mengangguk, saling membuat keputusan kolektif tanpa musyawarah.
Saya masih memandangi mereka, yang kemudian juga balas menatap saya sambil tersenyum.
"Ayo ikut!"
Dan mendengar kalimat itu, saya tidak perlu berpikir dua kali, langsung mengangguk kuat-kuat.
"Kalau gitu, tunggu disini, Ibu ambilkan sepatu boots kamu dulu."
Ibu datang tak lama kemudian dengan membawa sepasang boots mini warna hijau milik saya. Ditentengnya boots itu dengan sorot mata bahagia-saya jelas tahu apa sebabnya-kepergian saya bisa membuatnya tenang melanjutkan pekerjaan. Karena itu artinya, tidak akan ada yang merecoki pekerjaannya.
"Kami pergi dulu Bu." Umah, anak perempuan bersepatu boots biru itu meminta izin.
Ibuku mengangguk, tesenyum bilang, "Hati-hati."
Saya yang masih belum kenal betul dengan dua anak yang kini berjalan bersisian bersama saya, kagok berjalan dengan langkah patah-patah. Beberapa langkah jaraknya dari tempat semula saya menoleh, menatap ibu dengan pandangan ragu. Namun kemudian saat saya lihat Ibu mengangguk, saya menoleh lagi, menghela napas lega, merasa semua akan baik-baik saja.
Sore itu, di temaram sinar yang samar-samar menjadi latar, tiga orang anak manusia berjalan di atas setapak jalan kecil. Tiga pasang kaki dengan tiga warna sepatu boots yang berbeda. Biru, Merah, dan Hijau.
Sore itu, untuk pertama kalinya, saya-anak perempuan paling nakal di seluruh kampung, mulai belajar berinteraksi dengan makhluk yang bisa ia sebut sebagai teman. Untuk pertama kalinya juga, setelah hening yang sebelumnya begitu lama melingkupi keberadaan kami bertiga, saya bersuara. "Eh, kita mau kemana?"
"Berpetualang, menjelajah. Kamu pasti suka!" Itu suara anak laki-laki kecil di sebelah kiri saya. Amri.
"Benar?" saya menatapnya dengan kilat mata yang bercahaya. Bersungguh-sungguh.
"Iyaaa!" mendengar suara itu saya menoleh, ganti memalingkan muka ke samping kanan. Itu suara Umah.
Lantas, kami bertiga sama-sama tertawa.

***
Masih banyak hal lain. Itu hanya salah satu dari sekian banyak hal-hal menyenangkan yang pernah menjadi kenangan saya di masa kecil. Umah dan Amri. Dua sahabat saya yang memperkenalkan saya dengan dunia luar. Tanpa mereka, mungkin saat ini saya masih tumbuh menjadi anak yang nakal dan apatis. Yang memilih mendekam di dunianya sendiri dengan segala kenakalan.
Mereka yang memperkenalkan saya, bahwa sesuatu yang mengerikan dan menakutkan kadang-kadang tidak separah yang kita kira. Seperti misalnya sore itu, saat pertama kalinya kami bertiga main bersama. Di belakang rumah saya, selain kebun jeruk tidak ada lagi yang bisa saya kenali. Selebihnya hanya ada persawahan dan kemungkinan besar adalah jajaran hutan. Sampai saya membuktikan sesuatu yang benar-benar terdapat di dalamnya.
Ternyata, jalan setapak kecil di samping rumah saya itu menghubungkan rute rumah saya dengan lokasi-lokasi menakjubkan. Membuat saya berpikir bahwa apa yang saya lihat untuk pertama kalinya itu adalah harta karun terpendam. Saya tak habis pikir ketika menyaksikan bahwa belasan kilo dari lokasi tempat tinggal saya, yang sebelumnya saya anggap berbahaya, berdiri sebuah sauh dengan deretan tanaman di sekelilingnya. Segala jenis sayuran dan beberapa jenis tanaman buah. Bukan itu saja, lengkap dengan beberapa orang yang saya tahu itu adalah saudara Umah dan Amri yang mereka ceritakan tadi. Bayangkan, di tempat seterpencil itu, yang bahkan saya berani menyebutnya hutan belantara, siapa sangka ada aktivitas manusia di dalamnya?
Petualangan itu masih berlanjut ketika akhirnya Umah dan Amri memutuskan untuk berjalan kaki lebih jauh. Tujuan mereka adalah sudut hutan yang lain, dengan objek sebuah pohon yang hingga kini saya lupa apa namanya.
"Ini bisa dimakan?" saya takjub mengamati buah yang menempel di batangnya yang rendah.
"Iya, bisa, tapi masih belum matang. Besok dua tiga hari lagi kita kesini ya. Nunggu buahnya matang dulu."
Saya mengangguk. Kemudian menyadari bahwa buah itu bentuknya mirip dengan buah cokelat.
"Kok mirip cokelat?"
"Iya, memang mirip. Tapi bukan cokelat."
Saya mengangguk lagi.
Dan ketakjuban itu masih susul menyusul seiring dengan setiap tempat yang kami lewati. Sungai kecil dengan aliran air yang jernih dan tenang, memperlihatkan bebatuan dari dasar sungainya yang dangkal. Pepohonan dengan aneka macam jenis tanaman, membentuk hutan seperti kanopi-kanopi. Indah sekali. Dan tidak ada satu pun yang saya lewatkan selama perjalanan ini.
Saya menikmati semuanya, dengan keingintahuan besar dan perasaan bebas tiada tara, karena sejujurnya kenakalan saya selama itu bukanlah tanpa sebab. Saya hanya membutuhkan orang-orang yang mau memahami, yang mau membagi dunianya kepada saya betapa pun buruknya dunia yang saya bagi pada mereka. Hanya itu. Dan di atas itu semua, ternyata saya hanya membutuhkan seorang teman. Ya, teman. Definisi yang baru saya temukan saat usia saya 6 tahun.
Dan kembali ke soal kesempatan. Bagi saya itu cuma omong kosong. Marahlah jika kalian tak suka. Saya hanya sedang menafsirkan emosi saya lewat kata-kata.
Sepuluh tahun, angka fantastis untuk sepenggal jarak yang terpaksa harus dimusnahkan. Sepuluh tahun berlalu ketika akhirnya saya dengan senang hati mengikuti permintaan ayah saya, yang saat itu memutuskan untuk pindah dan bekerja di Yogyakarta. Saat dimana ketika saat ini saya baru menyadari, bahwa saya harus meninggalkan keceriaan masa kecil saya di Maluku, kota saya dahulu. Saya harus meninggalkan sahabat-sahabat yang saya sayangi dan semua petualangan kami di masa kecil yang menakjubkan itu. Saya harus pergi meninggalkan sahabat-sahabat saya tak lama setelah saya merasakan bagaimana eufhorianya memiliki seorang teman. Dan ya, cukup bagi saya saja, itu menyesakkan.
***
Dan, apalagi sekarang yang bisa saya sebut sebagai kesempatan? Sepuluh tahun lamanya. Saya terpaksa memendam keinginan untuk berkunjung. Mati-matian menahan diri agar tidak mengunjungi tanah kelahiran saya sendiri. Sudah tak terhitung berapa ratus kali saya memohon dan mengiba, tetapi sepertinya untuk meluluhkan hati mereka itu cuma hal sia-sia.
Dan saat ini, ketika kesempatan itu datang, ketika ada secercah harapan untuk kembali meraih apa yang dulu sempat hilang, entah dengan kekuatan magis dari mana, semuanya musnah, raib dalam sekejap.
Akhirnya Ibu mengizinkan saya pulang, lebaran tahun ini. Mendengar kalimatnya mengatakan persetujuan, rasanya tidak terjabarkan semua aksara lewat kata-kata. Tapi perasaan tetaplah perasaan. Bisa berubah kapan saja. Seperti ketika akhirnya saya mengetahui dan disadarkan oleh sesuatu. Tidak sengaja membuka laman dunia maya. 'Mereka', orang-orang yang saya sebut lakon dalam tulisan ini, menuliskan sesuatu yang sukses membuat perasaan saya remuk redam seketika. Mereka pergi. Ya. Hanya itu. Mereka hanya menulis mereka akan pergi.
Tuhan, lihat betapa lucu skenarioMu. Engkau mengizinkan apa-apa atasku yang dulu tidak Engkau kehendaki, di saat sesuatu yang menjadi alasan saya untuk pergi justru tidak akan bisa lagi saya temui. Mungkin bisa Tuhan, tapi bukan tempat dimana saya dilahirkan. Kami sudah berbeda, bukan kanak-kanak lagi. Mereka bilang kami sudah dewasa. Tapi bisa kah Kau ulang lagi waktu kanak-kanakku bersama mereka, sebentar saja?Aku mohon, tolong.
Dan Tuhan, saya tidak marah kepadaMu sungguh! Saya hanya marah pada diri saya sendiri, karena selemah ini menghadapi perpisahan. 
PS: Maaf untuk tulisan menyebalkan ini ya, kamu. Iya kamuuu *ala Dodit* jangan dibaca kalau hanya menyesakkan dada dan membuat mood kalian menurun drastis *memangnya siapa yang mau baca?* Yasudah. Intinya saya cuma mau minta maaf. Tulisan ini agaknya teramat menyebalkan. Setidaknya, bagi diri saya sendiri.


Langit Senja
Yogyakarta
8/05/2014
 20.00 WIB

0 komentar:

 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger