Kamis, 10 Januari 2019

Lucu Juga Cara Tuhan Menamparku Hari Itu



               
Malioboro. TransJogja. Jalur 1 A, adalah tujuanku pagi itu. Jalur itu adalah rute yang akan membawa penumpang menuju Titik Nol Kilometer hingga Prambanan. Sebenarnya, aku sedang tidak bertujuan. Tidak tahu mau kemana, jadi aku hanya ingin berkendara. Berkeliling Jogja, sampai nanti kembali berhenti di halte tempat aku menaiki bis semula. Duduk di kursi paling belakang, di dekat jendela. Kupasang headsetku, memutar salah satu playlist lagu kesukaanku. Menyenderkan kepalaku ke kaca. Memilih menepi dari keramaian sebab hari itu aku sedang ingin menghindar.
                Menghindar dari rutinitas di sekelilingku yang begitu banyak menguras waktu, menyerap begitu banyak energi, membuatku ingin menepi sementara. Kesedihan kadang-kadang hanya butuh ruang. Aku memilih menciptkan ruang bagi diriku sendiri untuk berekspresi, sementara berpergian sendiri adalah satu-satunya cara yang tidak pernah gagal sejauh ini.
                Aku sedang tenggelam dalam alunan musik di headsetku, ketika kemudian seseorang membuat lamunanku buyar begitu saja ketika kudengar suaranya berkata:
                “Mbak maaf ya, saya pindah duduk di sini. Karena di sana (ia menunjuk kursi yang berjejer vertikal, saling berhadapan dengan kursi di depannya), saya pusing kalau duduknya menyamping lihat jalanan. Jadi saya pindah ke sini, biar ndak pusing.” Ujarnya sopan.
                Aku tersenyum demi kode etik, mengangguk mempersilakannya duduk.
                Ia adalah seorang laki-laki paruh baya. Wajahnya tak lagi muda, berpakaian rapi khas pekerja kantoran. Membawa tas selempang kecil. Dia duduk di sebelahku setelah sebelumnya meminta izin, di sampingnya lagi, dua kursi di sebelahku telah terisi. Dua orang perempuan yang mengisi empat baris bangku di belakang, termasuk aku dan laki-laki paruh baya itu.
                “Mbak, tadi naik dari halte mana?” ia bertanya.
                Aku melepas headsetku, mematikan tombol pemutar musik.
                “Dari Malioboro Pak, di depan benteng Vredeburg."
        “Oh, di depan gedung DPRD ya? Mbak, dulu saya rumahnya di Kepatihan. Di dekat Malioboro,”
                “Tadi saya naik dari RS Hidayatullah, saya parkir di sana. Terus saya naik Transjogja ini,”
                Kudengarkan ia bercerita. Tentang ia yang terlanjur berangkat ke kantor pagi itu tetapi lupa kalau ternyata hari itu libur, sehingga memutuskan untuk pergi naik TransJogja, mengisi waktu luangnya.
                “Tadi saya update status di WA, saya foto-foto kan Mbak bisnya. Terus teman-teman kerja saya bilang kok nggak ajak-ajak, padahal saya cuma sekedar coba-coba naik. Wong saya ini kan orang Jogja, masak nggak pernah naik Transjogja.” Ia tertawa, menunjukkan foto kursi Transjogja itu kepadaku.
                “Kalau saya pulang, ya nggak ada siapa-siapa di rumah. Padahal biasanya saya baru pulang kerja jam empat, sekarang masih jam setengah sembilan. Daripada sepi di rumah Mbak, ”
                Sampai di situ, rasa penasaranku sedikit mulai terjawab. Tentang mengapa seseorang yang usianya tidak muda lagi, masih memilih mengisi waktu luangnya untuk berpergian sendirian menghilangkan sepi. Tentang mengapa ia tampak begitu antusias menceritakan apa kegiatannya hari itu kepada seseorang yang bahkan baru ditemuinya di dalam busway kurang dari setengah jam.
               Ya, dia-laki-laki paruh baya itu-kesepian. Dia mencoba membunuh rasa sepi dengan caranya sendiri. Sama sepertiku. Bedanya ia menghilangkah rasa sepinya, aku menghilangkan rasa sedihku.
           Sebenarnya aku ingin bertanya tentang keluarganya, tetapi itu bukan privasiku. Aku tidak pernah menyinggung soal keluarga kepada siapa pun kecuali orang tersebut yang menceritakan sendiri tentang kondisiya. Jika ternyata mereka tidak ingin, itu sama sekali bukan hakku untuk tahu.   
            Sampai akhirnya, ia sendiri yang memulai ceritanya. Satu hal yang kupercaya dalam sebuah komunikasi: Jika seseorang mulai mempercayaimu, ia akan dengan sendirinya memulai ceritanya tanpa harus kaupertanyai.
            “Saya dirumah sendiri Mbak, anak-anak saya semua sudah berkeluarga. Sudah merantau jauh ke luar kota. Yang satu jadi Bidan, satunya lagi Polisi. Nggak ada siapa-siapa di rumah, istri saya sudah almarhum 7 tahun lalu.
          Di rumah, saya sering kesepian. Nggak ada yang bisa saya ajak cerita, makanya jalan-jalan begini salah satu cara supaya saya nggak merasa sepi. Ya seperti naik TransJogja ini, nggak apa-apa selama itu untuk hal yang positif.”
          Di balik kaca matanya yang tebal aku bisa membaca raut wajahnya yang sedih tetapi sekuat tenaga berusaha ditutupi. Aku tahu matanya berkaca-kaca.
           “Kalau lebaran, putranya pulang Pak?”
        “Iya Mbak, tapi ya kadang-kadang. Soalnya cutinya susah, apalagi kalau Bidan. Mau bagaimana lagi, mereka semua sudah berkeluarga sendiri-sendiri. Saya nggak mau menyusahkan,”
                “Oiya Mbak, ini cucu saya.”         
                Ditunjukkannya sebuah foto, dua anak kecil, satu laki-laki dan satu perempuan, berpose di salah salah satu tempat wisata.
                “Lebaran dua tahun lalu ini Mbak, mereka ini kalau sudah sama saya lupa sama Mama Papanya. Diajak orangtuanya malah nggak mau,” kisahnya, lalu tertawa.
                “Mbak, saya cerita begini nggak apa-apa ya? Maaf ya Mbak kalau saya cerita,”
                Aku buru-buru menggeleng, “Nggak apa-apa Pak, saya malah seneng dengerin ceritanya.”
                Percakapan itu masih terus berlanjut, tentang anak-anaknya, pengalamannya saat ia masih muda, cerita tentang kondisi keluarganya, dan ia yang setiap pagi berbelanja sayur untuk dimasak seorang diri.
     Saat kutanya, “Masak sendiri Pak?”
                “Iya Mbak, soalnya kalau beli kurang sehat,”
                Kau bisa bayangkan bagaiamana ia yang sudah tergolong tua itu  harus mengurus dirinya sendiri setiap hari, tanpa anak dan istri? Kesepian, kebosanan, dan apa pun itu yang membuatnya bertahan sampai sejauh itu.
     Sampai tiba pada saat ia menanayakan apakah aku sudah punya kekasih atau belum.
                “Mbak sudah punya pacar?”
                Aku menggeleng, tetapi kulihat raut wajahnya seperti tidak yakin dengan jawabanku. Tidak apa-apa, aku tidak berusaha meyakinkan ia untuk percaya.
              “Oh ya nggak apa-apa. Tapi saya juga pernah muda, saya pernah jatuh cinta berkali-kali, jatuh bangun sampai akhirnya bertemu dan menikah dengan istri saya ini,”
                “Saya menikah sama istri saya, sampai sekarang ia sudah almarhum 7 tahun yang lalu. Tapi saya nggak mau cari pasangan yang lain lagi. Kalau pun ada, rasanya sudah berbeda. Sudah nggak seperti perasaan saya ke istri saya yang dulu.”
                “Mbak, kalau milih laki-laki harus benar-benar hati-hati ya. Karena kalau salah, bukan dia yang rugi, tapi Mbaknya. Mbaknya masih muda, fokus cari ilmu dulu, kerja, bikin orangtua bangga.”
            “Yakin, nanti kalau mbaknya sudah jadi orang berhasil akan dibukakan sendiri jalan jodohnya. Yang penting tawakal tapi tetap harus ikhtiar,.”
                      Perasaanku seperti diaduk-aduk, detik itu juga.
                Lucu juga cara Tuhan menamparku hari itu. Di saat aku sedang merasa letih dengan hidupku, ada seseorang yang kuyakin bukan karena sebuah kebetulan berbagi kisah hidupnya. Ketika aku sedang merasa penat dengan keluargaku, ada seseorang yang begitu menginginkan kehadiran sebuah keluarga di dalam hidupnya.
                Ketika aku merasa tidak ada yang bisa mengerti apa yang kupikirkan selama ini, ada seseorang yang memberikanku segala macam nasehat.  Sesuatu yang jelas singkat, tetapi sampai sekarang kalimatnya masih terus berkelabat.
                Hari itu aku menemukan satu lagi cerita, sebuah pelajaran hidup dari seseorang yang kutemui di TransJogja.
                Sampai aku turun dari halte semula aku berangkat,  mengucap kalimat perpisahan. Aku tidak tahu siapa nama Bapak itu. Sebelum turun, aku mengucap terimakasih berkali-kali untuk apa yang kudengar dari ceritanya.
                “Hati-hati ya Mbak!”
                Aku tersenyum. Turun dari bis yang kunaiki. Bebanku lebur.


                Yogyakarta, 9 Januari 2019


Hasil gambar untuk transjogja dalam fotografi

 pict from here
               

               
               
               
                 
               
               

               

               
               

               
               

Sabtu, 05 Januari 2019

Lampau


Suatu hari, di satu malam saat aku merasa hidupku sedang berantakan dan tidak baik-baik saja, kamu dengan berbaik hati datang menemuiku. Aku pulang dalam keadaan patah, membuka pintu rumah, lalu kamu menjadi yang pertama kali menyapaku tepat di balik pintu dengan matamu yang berbinar. Mengelus-elus kakiku. Seolah dengan begitu adalah suatu cara hingga kamu bisa berkata: “Jangan sedih, kan ada aku.”
                Aku tidak menghiraukanmu saat itu, tetapi kamu tetap bersikeras mengikuti. Aku sedang muak berbicara dengan siapa-siapa, jadi aku memilih tenggelam di antara bantal-bantal, sebab juga tak ada yang bisa kuajak bicara. Tetapi, kamu bersedia menungguiku di bawah tempat tidur. Seolah mengerti malam itu tak dapat kubagi kesedihan dengan siapa pun selain kepada dinding tembok.
                Rasa-rasanya, malam itu ingin sekali kubagi tangisku. Namun keras kepalaku membuatnya mengkristal, mengendapkan air mata yang seharusnya sudah bergulir berjatuhan. Kamu adalah temanku bercerita paling setia. Sebab sering kubagi keluhku padamu tiap malam ketika aku merasa letih, disaat menulis tidak lagi cukup efektif untuk membuat kesedihanku lekas pulih.
                Denganmu, aku tak butuh komentar-komentar atau kalimat-kalimat penghiburan yang membuatku merasa baik-baik saja atau semacamnya, kendati begitu aku tahu betapa tulus kamu mendengarku berbicara tanpa sekalipun memotongnya, tanpa sedikit pun terlontar kalimat dari mulutmu untuk menghiburku.
                Meski caraku bercerita adalah suatu hal yang mungkin tidak dapat kamu mengerti menurut caramu, aku tahu kamu bisa merasa. Kadang, kesedihan hanya butuh telinga. Dan kedua telingamu sudah lebih dari cukup bagiku.
                Pernah suatu hari aku di rumah sendirian. Tak ada siapa pun di sana, lalu tiba-tiba listrik padam. Aku nyaris panik dan ketakutan di kamarku, kemudian dengan begitu saja kamu bersuara. Berteriak  seolah memanggil nama dan mencariku. Kamu datang, aku merasa punya teman jadi tidak lagi ketakutan.
                Kamu adalah yang sejak kecil selalu kusayang-sayang. Yang kutemukan dengan tubuh belepotan dalam keadaan lapar. Kamu adalah yang setiap malam berteriak dari halaman rumahku, seolah mencari perhatian agar kuhampiri di saat aku sedang belajar di ruang tamu, kadang kamu masuk ke dalam tanpa permisi saat pintuku sedang terbuka dan tidak dikunci. Kamu adalah temanku bertumbuh di masa putih abu.
 Kamu tidak perlu lagi bertanya perasaanku padamu dulu sedalam apa. Kamu tidak akan pernah tahu bahwa aku menangisimu sampai sesenggukan, mengiba habis-habisan dan merasa bersalah pada diriku sendiri saat aku datang ke rumah dan melihat tubuhmu dalam keadaan terkapar.
Aku menangis dan berkata padamu berulangkali,
“Kalau kamu pergi, nanti siapa yang tak ajakin cerita?”
Hari itu, adalah titik dimana aku merasa asing dan sendiri. Kamu pergi, pada hari itu. Selama-lamanya. Aku seperti kehilangan sahabat. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menangis sejadi-jadinya atas kepergian seseorang. Barangkali aku terlalu menghayal. Tapi kamu seperti bukan hanya sekedar ‘kamu’ di mata orang-orang. Kamu nyata dan hidup dalam semestaku. Sampai saat ini, setelah enam tahun berlalu. Kamu tetap di sini. Tidak kemana-mana.
Aku ingat saat hampir setiap hari aku mendapatimu di depan pintu rumah, menungguku  pulang sekolah. Aku ingat saat sampai pukul dua dini hari aku masih menghapal materi, dan kamu duduk di atas tumpukan buku-bukuku, menemaniku. Aku ingat pada setiap cerita yang kubagi bersamamu. Tentang hari-hari yang sesak, dan semua hal abu-abu yang bahkan tak pernah kubagi dengan siapa pun, kecuali denganmu.
Banyak hal yang kulupa, tetapi ingatan tentangmu menjadi hal paling menyenangkan saat aku mampu mengingatnya.
Baik-baik di sana. Mungkin, kamu sedang berbahagia di sana dengan ibu dan sudara-suadaramu.
Terimakasih sudah menjadi teman akrab  dalam kurun waktu yang tidak singkat.

Dari aku, seseorang yang memberimu nama ‘Karyok’-kucing kampung kesayangan yang tidak akan pernah tergantikan.







                 

               
               
                 

               

 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger