Kamis, 30 Agustus 2018

Nasi Goreng Khas Padang di Malang, Gurihnya Nendang!


sumber: dokumentasi pribadi

                Selain dijuluki kota wisata karena wisata alamnya yang keren dan mempesona, Malang juga terkenal dengan kulinernya. Salah satu kuliner yang paling banyak dijajakan di kota Malang adalah nasi goreng. Siapa sih, yang tak suka nasi goreng? Kuliner khas Indonesia ini begitu banyak digemari. Dari semua golongan dan latar belakang, nasi goreng memang selalu punya tempat istimewa di hati. Nah, di Indonesia makanan lokal dengan bahan dasar nasi bercambur bumbu rempah ini memiliki ciri khas yang beragam. Bahkan seiring dengan perkembangan zaman, nasi goreng berkembang menjadi berbagai varian cita rasa. Seperti nasi goreng merah, nasi goreng pete, nasi goreng ati, nasi goreng teri, dan masih banyak lagi.
                Tak sulit menemukan nasi goreng di kota apel ini. Banyak sekali pedagang kaki lima atau warung makan yang menyajikan olahan nasi goreng sebagai menu utama mereka. Apalagi saat malam hari, sudah menjadi pemandangan awam melihat penjual nasi goreng berjejer rapi di pinggir jalan. Nasi goreng seperti sudah jadi maskot makanan wajib yang paling banyak dicari. Bayangkan saja, hampir di setiap sudutnya, nasi goreng Malang selalu punya cerita.
                Tentunya setiap kedai nasi goreng punya ciri khas tersendiri. Tapi ada satu kedai khusus nasi goreng di Malang yang menyajikan menu nasi goreng yang lain dari biasanya. Bagi pecinta nasi goreng atau bukan, menu nasi goreng ini wajib dicoba karena menawarkan sensasi rasa yang berbeda.
Kedai tersebut bernama Palanta Junior, menyajikan menu nasi goreng padang yang cukup terkenal dan banyak diminati di Kota Malang. Tak sulit menemukan lokasinya yang terletak di Jalan Raya Sumbersari No.307. Dulunya nasi goreng Palanta Junior ini berjualan di sekitar belakang kampus ITN. Sekarang berpindah lokasi di perempatan Sumbersari. Sangat dekat dari kampus Brawijaya dan Sigura-gura. Letaknya dipinggir jalan di sebelah lampu lalu lintas persis, sehingga cukup strategis.
 Dari namanya saja sudah bikin penasaran kan? Lalu apa yang membedakan nasi goreng ini dengan yang lain? Berbahan dasar rempah khas padang membuat rasa nasi goreng ini lebih gurih dan beraroma. Meski bernama nasi goreng padang, tapi rasanya berbeda dari rasa rendang khas masakan rumah makan padang pada umumnya. Selain itu, dari segi tampilannya, nasi goreng padang ini memiliki karakteristik tersendiri.  Hal itu terlihat dari warna nasi yang cenderung lebih pekat dibanding warna nasi goreng biasanya karena campuran bumbu-bumbu rempahnya yang cukup kuat. Dilengkapi dengan timun, kerupuk, dan taburan bawang goreng diatasnya, membuat nasi goreng padang ini semakin menggugah selera.
                Bagi pecinta nasi goreng atau masakan padang, kuliner yang satu ini cocok untuk dinikmati selagi masih hangat di malam hari. Nasi goreng Palanta Junior ini buka dari mulai pukul enam  sore sampai empat pagi. Semakin malam, kedai nasi goreng yang banyak digemari ini semakin ramai. Khusus untuk anak rantau yang lapar tengah malam, menu yang satu ini cocok dijadikan pilihan.
                Selain cita rasanya yang gurih dan nikmat, harga yang ditawarkan pun cukup bersahabat. Untuk seporsi nasi goreng padang ditambah dengan telur cukup dibandrol dengan harga 14 ribu. Pembeli juga bisa request telur apa yang ingin dipesan. Dadar, ceplok matang, atau setengah matang? Bebas dipesan sesuai selera. Khusus untuk telur dadar, cita rasa yang ditawarkan pun sama persis seperti telur padang ala masakan Rumah Makan Padang. Kalau orang padang menyebutnya, lamak bana (enak banget)! Gimana tertarik mencoba?

Rabu, 22 Agustus 2018

Sendiri Itu Tidak Dosa

                “Nonton film ke bioskop harus berdua?”
                “Jalan-jalan ke toko buku, minum kopi di kedai kopi, nongkrong di kafe sambil menghabiskan waktu melakukan hal yang kamu suka, travelling ke luar kota. Sendiri. ”
                Salah?
                Kenapa perempuan senang membatasi dirinya?
                Padahal, kau punya kebebasan.
                Aku tidak tahu mana yang lebih menyedihkan. Kemana-mana sendirian, atau tidak berani sendiri kemana-mana? Kupikir, opsi kedua bukan pilihan.
                Sendiri itu tidak dosa, Sayang. Orang-orang saja yang salah mengartikan.
                Kau tetap bisa melakukan apa pun sendirian, menghabiskan waktu dengan dirimu sendiri, sekali pun kau punya pasangan. Kenapa takut dibatasi karena persepsi? Takutlah kalau kamu tidak bisa mandiri.
                Kau harus berani. Tangguh. Kuat.
                Bahkan seandainya ada seorang laki-laki yang selalu siap bersedia ada untukmu selama 24 jam penuh, kau tetap tidak boleh bergantung sepenuhnya pada mereka. Terbiasalah melakukan semuanya sendirian, sebisamu. Terbiasalah bergantung sepenuhnya pada dirimu sendiri.
                Sebab apa?
                Sebab kau harus cukup dewasa bahwa tidak semua orang akan siap siaga ada untukmu, begitu pun kamu yang tidak siap siaga selalu ada untuk mereka. Tak perlu menuntut apa pun dari orang lain. Selama kau bisa, lakukan dengan tanganmu sendiri.
                Kalau kamu masih kuat mengangkat air galon dengan tenagamu sendiri, lakukan.
                Kalau kamu masih bisa menjangkau suatu tempat dengan usahamu sendiri, pergilah.
                Kalau kamu masih bisa bersenang-senang tanpa membutuhkan orang lain untuk menemanimu, enjoyed it!.
                Hidup terlalu rumit untuk menjelaskan pada orang-orang kenapa dan mengapa, maka jangan sibuk dengarkan apa kata mereka.
                Aku bukan bermaksud melarangmu meminta bantuan orang lain, hei dengarkan ini: manusia itu makhluk sosial. Kamu tetap butuh mereka. Mereka juga butuh dirimu.  Yang ingin kutekankan di sini adalah, bahwa kalau kamu masih bisa mengandalkan dirimu sendiri untuk melakukan sesuatu, kenapa harus meminta orang lain untuk membantu? Sesederhana itu.
                Jadi, jangan takut sendiri.
                Sendiri itu tidak menyedihkan.
                Yang menyedihkan adalah, mereka yang tidak berani sendirian kemana-mana. 


pict from here
Malang, 22 Agustus 2018
20:40 WIB







               
               

               
               
               

Kamis, 16 Agustus 2018

Deadera (satu)


Kau masih ingat malam itu? Aku sedang duduk di salah satu gerbong kereta, menunggu keberangkatan kereta yang akan membawaku menuju Bandung. Kereta itu molor, menyisakan selang kebarangkatan beberapa menit lebih lama dari jadwal seharusnya.
Saat itu, Malang sedang dirundung cuaca dingin dan langit berwarna mendung. Kupikir sebantar lagi hujan akan turun. Itu berarti aku akan menikmati perjalanan kali ini dengan suasana sedikit melankolis. Kuputar lagu-lagu The Beatles melalui aplikasi Joox di ponselku untuk mendukung suasana. Memasang headset di kedua telinga. Sambil menghitung mundur dalam hati, kapan tepatnya kereta itu akan melaju.
Lima menit sebelum akhirnya masinis kereta menekan tuas kemudinya, seorang perempuan tiba-tiba berlari tergopoh-gopoh dari pintu gerbong dengan tas carrier dipunggungnya yang terlihat cukup bervolume. Waktu itu, aku tidak menyadarinya karena tiba-tiba saja ia sudah berdiri di depan lorong kursi tempatku duduk.
“Kursi nomer 16E. Boleh saya duduk?”
 Serta merta, demi bisa mendengar jelas ucapannya aku melepas headsetku.
“Boleh saya duduk?” ulangnya lagi.
Baru kemudian aku mengerti maksudnya, berdiri keluar dari tempat dudukku. Memberi ruang padanya agar ia bisa duduk di kursi dekat jendela. Nomor kursiku 17E.
“Maaf,” ia terlihat kerepotan mengatur letak carriernya. Meletakkannya di bawah kursi, hati-hati agar tidak mengenai kakiku.
“Boleh saya bantu angakat carriernya di atas? Mungkin akan lebih nyaman, kalau kamu nggak keberatan.” Aku menawarkan diri.
Ia mengangguk. Kuangkat tas carriernya ke atas tempat duduk kami.
“Nah sudah,” aku menatapnya sekilas sambil tersenyum.
Ia mengangguk, “Terimakasih.”
Kereta itu kelas ekonomi. Ada satu bangku lagi di depanku. Berhadap-hadapan, tapi tidak berpenghuni. Mungkin akan diisi oleh penumpang dari stasiun berikutnya.
Aku berniat melihat ke arah luar jendela, ketika tanpa sadar fokus mataku justru tertuju pada perempuan di sebelahku. Baru kusadari dari jarak sedekat ini, ternyata dia tidak seberantakan yang kukira. Tadi saat baru masuk ke dalam kereta, aku ingat rambutnya masih acak-acakan. Kini telah berubah menjadi rambut ekor kuda sebahu. Kapan ia mengikatnya? Entahlah aku tidak terlalu memperhatikan.
Ia memakai atasan baju kemeja kotak berwarna biru tua. Tampak kebesaran dipakai pada badannya yang terlihat kurus. Di pergelangan tangannya, berjejer rapi gelang berwarna-warni. Matanya dibingkai kacamata berframe persegi. Wajahnya, ah! Aku tidak bisa lebih detail mendeskribsikannya sebab ia lebih asik memalingkan wajahnya ke arah  jendela.
Aku ingin mengajaknya ngobrol, sekedar basa-basi. Kupikir, itu bisa menghilangkan sedikit kejenuhan di kereta. Hei, empat belas jam di kereta tanpa ngobrol sepatah kata pun dengan orang yang duduk di sebelahmu terdengar ganjil sekali bukan?”
“Mau ke Bandung juga?” aku memberanikan diri bertanya.
Ia sedikit terperanjat mendengar suaraku. Waktu itu, aku jadi sadar dia sedang melamun. Entah memikirkan apa.
“Iya, saya mau ke Bandung.”
Demi kode etik, dia menoleh ke arahku. Tepat saat itu, saat ia menoleh menatapku, aku jadi menyadari sesuatu. Bukan, bukan karena perempuan di sebelahku ini ternyata berparas menarik. Tapi dengan jelas aku bisa melihat matanya yang sendu di balik kacamata itu.
“Kamu menangis?”
Masih ada sisa bulir air mata di kelopak mata bawahnya, meski aku tahu sebelum menoleh ke arahku ia sudah berusaha menghapusnya. Tapi meski terhapus semuanya, aku tetap bisa mengetahui ia baru saja menangis dari kantung matanya yang sembab.
“Oh enggak, saya cuma agak sedikit pilek. Jadi mata saya berair.”
Aku bukan anak kecil, aku tahu dia berbohong.
“Ke Bandung mau ke kemana?” ia buru-buru mengalihkan topik, ganti bertanya
“Kamu menangis?” aku mengabaikan pertanyaannya. Bertanya lagi.
Dia menggeleng. Baiklah, ini agak sedikit lebih rumit. Jadi aku akan berhenti bertanya.
“Namaku Rey,” aku mengulurkan tanganku.
“Dea,” ia menyalamiku.
“Dea?"
“Deadera.”
Langit mulai gelap saat  itu, gerimis turun dan hujan mulai mengguyur kota Malang. Perjalanan ini masih terlalu panjang. Perempuan bernama Dea itu tidak tahu bahwa  tiga puluh menit ke belakang aku sibuk memikirkan topik obrolan supaya ia berhenti memalingkan muka ke arah jendela. Membuyarkan fokus lamunannya agar ia tidak punya kesempatan lagi untuk menangis. Ini terdengar konyol dan agak sedikit gila, karena kenapa aku harus mempedulikan seseorang yang baru menghabiskan waktunya kurang dari satu jam bersamaku di kereta?
Ayolah, aku hanya tidak suka melihat perempuan menangis. Apalagi, jelas-jelas dia duduk di sebelahku. Meski aku tidak mengenal dia sebelumnya, tapi aku seperti bisa merasakan ada beban berat yang sedang bertumpu dipundaknya. Meski aku tidak tahu apa.
“Kamu kuliah di Malang juga?”
“Suka makan ayam nelongso?”
“Kalau STMJ Ijen?"
“Pernah nyoba mi soden di depan Selecta nggak?”
“Kapan-kapan kamu harus ke Brewok, kue pancong dan kopi kapitennya juara!"
 “Ada nasi goreng padang enak di Sumber Sari. Kamu pernah coba?"
“Kamu suka pergi ke Batu? Pernah naik paralayang belum?”
Aku menanyakan banyak hal padanya, dan payah sekali karena aku cuma bisa bertanya hal-hal sepele yang bahkan bisa ditanyakan oleh anak SD. Dia hanya menanggapi pertanyaanku seperlunya. Sesekali cuma menggeleng dan mengangguk. Aku tidak peduli meski aku tidak pandai membuat lelucon, aku hanya ingin menghiburnya sebisaku.
Ia tersenyum sesaat, menatapku agak sedikit lama.
"Terimakasih,” 
Sebentar, aku tidak salah dengar kan?
“Terimakasih karena aku tahu kamu sedang berusaha menghiburku. Tapi sepertinya, kamu nggak perlu repot-repot. Aku nggak semenyedihkan yang kamu lihat,” ia tertawa pelan.
Aku diam. Siapa pun yang melihat sendu matanya, pasti akan melakukan hal yang sama.
“Bagaimana rasanya pulang?,” ia tiba-tiba bertanya.
Dahiku berkeryit, tidak mengerti maksud pertanyaannya.
“Maksudku bagaimana perasaanmu saat kamu pulang? Apa kamu senang?”
Tentu saja aku senang. Pulang adalah sebaik-baik cara untuk menghilangkan segala kalut dan resah. Tempat berlindung paling nyaman dari kerasnya dunia yang kadang membuatmu merasa terlalu kecil di luar sana.
“Jelaskan padaku, aku cuma ingin tahu bagaimana rasanya.”
“Seperti, waktu kamu dapat hadiah ulang tahun setelah menunggu satu tahun di ulang tahunmu berikutnya. Kamu megerti kan?”
Dea menggeleng, “Aku nggak bisa merasakan perasaan semacam itu.”
"Bahkan meski sekarang aku sedang berada di kereta, aku tetap merasa tubuhku bukan di sini.”
“Apa maksudnya?”
Dia menggeleng, “Bukan apa-apa, kamu nggak ngantuk?”
Aku menelan ludah, mengira dia akan bercerita lebih banyak, ternyata dugaanku salah. Ia lagi-lagi justru mengalihkan  topik pembicaraan ke lain hal.
“Kamu mau tidur? Maaf sudah membuatmu mengobrol,” Aku merasa bersalah. Wajahnya terlihat lelah sekali.
“Nggak apa-apa,” ujarnya sambil tersenyum.
“Saya tidur dulu ya,”
Ia kemudian menyenderkan kepalanya di samping jendela. Perlahan memejamkan matanya. Aku tidak tahu dia tidur sungguhan atau hanya sedang berusaha mengindari percakapan denganku. Tapi setidaknya itu lebih baik daripada aku harus melihatnya terus-menerus menatap ke luar jendela, sambil sesekali menyeka air matanya. Diam-diam, aku mengamatinya saat ia sedang tertidur. Damai dan meneduhkan. Padahal, dari sedu sedan matanya, hatinya sedang berantakan. Belum pernah aku merasa sekacau ini hanya karena memandang cara tidur seseorang. Ya Tuhan, kenapa dadaku tiba-tiba berdebaran?
               
                  Hasil gambar untuk train tumblr
pict from here


17/08/2018, 3:20
Malang, 18 derajat



               
               
               
               
               
                 
               
               
               
               
               
               

Senin, 06 Agustus 2018

Enam Agustus yang ke Dua Puluh Satu Kali untuk Putri

Sebelum kamu membaca ini sampai selesai, pertama-tama aku ingin bilang padamu bahwa aku bersyukur sebab telah terlahir seseorang seperti 'kamu' di dunia.  Kabar baiknya, kamu ditakdirkan menjadi sahabatku.

Hari ini, umurmu dua puluh satu. Cepat sekali waktu berlalu karena rasa-rasanya baru kemarin kita menghabiskan waktu bermain di sawah seharian, mamanjat pohon jambu milik tetangga, mencari ikan sapu-sapu di sawah dekat rumahmu. Rasanya baru kemarin kita bercerita banyak hal tentang hal-hal yang akan kita lakukan saat kita dewasa, berbagi mimpi-mimpi dan semua hal yang ingin kita raih di masa depan nanti. Cepat sekali karena seperti baru kemarin kita sama-sama berpose memakai seragam wisuda esde. Terlalu banyak hal menyenangkan, suka-duka yang kita lewati bersama sejak masih kanak-kanak, remaja, hingga sekarang menginjak dewasa.
Beruntung aku mengenalmu sebagai seorang sahabat. Salah satu perempuan kuat yang berjasa dalam hidupku sebab selalu menguatkanku. Aku sungguh berterimakasih untuk banyak hal yang kamu lakukan untukku selama ini, untuk setiap ceritaku yang bersedia kaudengar tanpa mengenal kata bosan, untuk semua semangatmu demi membuatku bangkit kembali saat kubilang aku hampir menyerah. 

Hari ini, usiamu dua puluh satu. Tidak ada pesta perayaan dan lempar tepung yang bisa kulakukan seperti saat dulu aku masih tinggal di Jogja. Tapi kalau boleh jujur, aku ingin mengulanginya lagi. Memberimu kejutan bersama anggota geng yang lain, menghabiskan energi dengan tertawa sampai larut malam, lalu pulang dengan dada yang masih tetap penuh dengan letup kebahagiaan. Sebab bagi kita semua 'bahagiamu adalah bahagiaku juga.'


Hari ini, usiamu dua puluh satu. Terlalu banyak doa yang akan terlalu panjang jika kutuliskan. Tapi yang pasti kamu tahu, aku mendoakanmu bahagia selalu. Semoga setelah ini dan seterusnya, hidupmu semakin dipenuhi berkah yang berlimpah-limpah. Semoga diberi kekuatan untuk menjadi semakin kuat. Semoga apa pun yang kamu semogakan segera terealisasikan. 

Tetap jadi Putri yang rendah hati dan makin bermanfaat untuk banyak orang. Tetap jadi perempuan tangguh, penyayang, dan berdiri diatas kakinya sendiri. Tapi yang terutama, tetap jadi dirimu sendiri. Kamu hebat tanpa harus jadi orang lain. Kamu cantik apa adanya dirimu. Selalu bersyukur, dan jangan lupa bahagia. Sebab kamu istimewa.


Selamat ulang tahun Putri Sola Agustin,

Bahagia selalu.

Peluk jauh dan hangat dari Malang yang dingin.

Sahabatmu yang terseksi,
Sinta IF


Image may contain: 1 person, smiling, closeup








Bagaimana Kalau

Malam ini, seluruh tubuhku menggigil. Tidak ada musim dingin di kotaku, tapi aku seperti bisa merasakan sensasinya setiap kali suhu ruangan berada tepat di bawah angka lima belas derajat celcius. Seperti malam ini, dan beberapa malam lain yang sudah-sudah.
Jauh lebih mudah kulalui seandainya aku tidak sedang mengingatmu. Meski sudah terlalu lama, tapi biarkan laju memori otakku bekerja.
            Kau dulu pernah bertanya, “Kapan kamu pulang?”
            Kubilang, “Aku tidak tahu,”
            “Kamu tidak merindukan kotamu?”
            Aku menggeleng, “Belum, nanti barangkali.”
            “Kalau kamu pulang, aku mungkin sudah tidak di sini lagi,”
            “Kamu mau kemana?” kutanya.
            “Ke suatu tempat yang jauh, ada mimpiku di sana.”
            Terus terang saja aku mendadak kehabisan kata-kata.
            Tanpa berani bereaksi.
            Terlalu ciut nyali.
            “Kalau aku pergi, kamu bagaimana?"
        Aku terdiam lama. Aku tidak tahu maksudmu apa, jadi kutanya lagi, “Bagaimana apa?”
       “Bagaimana kalau kamu pulang, aku tidak bisa menemuimu?” di ujung telepon, suaramu bergetar. Aku tak cukup peka untuk mengenali pita suara manusia, tapi aku bisa merasakan nada suaramu berbeda.
            “Tidak apa-apa, aku akan menyapamu di telepon.”
            “Kamu tidak ingin menemuiku?”
            “Kapan-kapan mungkin, kalau ada waktu.”
            Lalu kamu tertawa. “Kenapa kamu selalu tidak bisa menjawab hal-hal yang bisa membuatku senang saat mendengarnya?”
            “Semacam apa?”
            “Ya aku ingin menemuimu. Sesederhana itu tidak bisa?”
            “Apakah harus?”        
       Kamu menggeleng, “Tidak, aku hanya sedang ingin menyenangkan diriku sendiri saja.”
            Hening. Saling terjebak dalam pikiran masing-masing.
            “Sudah, tidurlah. Berhenti begadang.”
            “Kau juga.”
            “Satu lagi,”
            “Apa?”
            “Kau anggap aku sahabat kan?”
            “Ya,"
            “Kalau begitu, doakan sahabatmu ini lekas punya pacar supaya dia tidak lagi mengusik orang yang selalu menganggap dirinya sahabatnya. Deal?”

           Aku pura-pura tertawa. Tapi diam-diam menangis dalam hati. Ah sial! Kenapa begitu mudah membohongi diri sendiri?

Image result for tumblr girl leaving

            

           
           

           
                       


Selasa, 10 Juli 2018

Teruntuk Seorang Sahabat yang Menamakan Bonekanya 'Bobi'


                Hallo, Mega Isma Juwita!
                Kalau kamu membaca ini, aku mau meminta maaf karena tidak memberimu ucapan di hari spesialmu. Aku ingat, ulang tahunmu tanggal 7. Hanya saja, aku berniat ingin memberimu ucapan pada detik-detik terakhir di tanggal ulang tahunmu. Jadi aku menunggu tengah malam untuk memberimu ucapan, tapi ternyata  begadang sampai pukul empat pagi untuk  mengerjakan revisi, dan bangun jam 7 untuk melanjutkan mengerjakan lagi seharian agar aku bisa ikut yudisium  membuatku tepar. Jadi, aku melewatkan ulang tahunmu. Maafkan.
                Lewat tulisan ini, aku ingin menebus permintaan maafku, jadi....

                Selamat ulang tahun, ya!
              Semoga di usiamu yang sudah tidak lagi muda ini (ahzeg tua! :p), kamu bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Semoga segala keinginanmu terwujud. Semoga bisa menjadi kebanggaan untuk orang-orang yang kamu cintai, dan mencintaimu. Tetap jadi orang baik dan jangan bosan berbuat baik. Makin bermanfaat untuk banyak orang! Percayalah, suatu hari nanti akan datang seseorang yang datang di hidupmu, lalu ia berkata “aku beruntung pernah mengenalmu,”
                Termasuk aku.
                Terimakasih karena sudah berbaik hati untuk mendengar segala keluh kesahku selama ini. Terimakasih sudah mengulurkan telinga, menjadi orang yang mengertiku dengan sabar meski seringkali aku membosankan. Terimakasih sudah menjadi sahabatku Meg! Lucky me to have a bestfriend like you!
                Terlalu banyak doa yang akan sangat panjang jika kutuliskan. Tapi satu intinya: semoga kamu selalu bahagia. Semoga nanti aku bisa melihatmu bahagia dengan seseorang yang mencintaimu dan kamu cintai, jika sudah tiba waktunya. Dan semoga itu ‘dia’ ya Meg! Aamiin.

                Sekali lagi, selamat 21 tahun.



                Your sexiest friend,
                Sinta IF

               
               

      

Kamis, 31 Mei 2018

Kenapa Aku Harus Menulis?

Tidak pernah mudah menjadi seseorang yang lebih banyak membungkam mulutnya demi kata-kata. Tidak pernah menyenangkan menjadi seseorang yang hanya punya cukup keberanian untuk menuangkan pemikiran dan isi hatinya lewat tulisan. Meski semua orang tahu bahwa menulis adalah keberanian. Keberanian menjadi diri sendiri. Berani merdeka dibalik kata-kata yang dituliskannya.
            Barangkali, aku punya sindrom khusus yang membuatku kesulitan mengungkap maksud perkataanku lewat lisan. Sehingga aku lebih banyak memendam. Pun jika harus terpaksa kuluapkan, aku harus bersikeras memutar otak, agar orang-orang bisa mencerna apa maksud dan mauku. Semua itu, hanya bisa kulakukan saat aku menulis.
            Dengan menulis, segalanya terasa lebih mudah. Seharusnya, aku menyadari sejak awal bahwa menulis adalah murni keharusan. Tidak peduli apakah itu hobi yang harus ditekuni, tidak peduli apakah nantinya seseorang yang membuat tulisan akan benar-benar menerbitkan sebuah buku dan menyebut dirinya sebagai penulis.
            Seharusnya, menulis adalah pekerjaan yang kata –Pramoedya- adalah bekerja untuk keabadian.  Jadi, mau tak mau, suka tak suka, menulis saja. Setidaknya bebanmu akan berkurang saat paragraf demi paragraf yang bersumber dari keresahan dan kegundahanmu itu dapat tertuang.
            Menulis adalah sarana yang membuatmu bebas bercerita tanpa harus butuh telinga untuk didengar. Menulis adalah sarana untuk berlatih jujur pada dirimu sendiri. Menulis adalah bahasa paling rumit yang tidak pernah mudah dipahami oleh orang-orang yang tidak terbiasa menulis, tapi ketika seseorang telah menganggap menulis adalah sebuah candu, maka ia akan dengan mudah mengerti maksud dari isi tulisan orang lain tanpa harus sibuk menerka-nerka apa maksud dibalik tulisannya.
            Aku mengerti bahwa ketika aku menulis, menuangkan perasaanku dalam deretan aksara, aku tidak butuh lagi pengakuan untuk didengar oleh orang lain. Cukup aku dan tulisanku, dan bagiku itu sudah lebih dari cukup. Dan ya, satu lagi. Menulis adalah cara paling mudah untuk menangis, tanpa sibuk menguras dan menyeka air mata. Begitu kan?
            Di satu sisi, kadang aku merasa aku adalah seorang introvert. Orang-orang yang suka menulis erat kaitannya dengan 'introvert'. Aku punya sebuah dunia rahasia yang selalu kututup rapat-rapat bahkan pada beberapa orang yang kuanggap cukup dekat. Aku membaur, tapi di saat yang sama juga memiliki sekat. Aku berteman dengan banyak orang, tapi satu-satuny teman yang paling kupercayai adalah diriku sendiri.
            Aku ingin menyebut diriku sendiri introvert, tapi aku tidak membenci keramaian. Aku tidak senang mengisolasi diri sendiri. Aku mencintai kebebasan dan senang mengobservasi orang-orang.
            Hanya kadang-kadang, pada saat-saat tertentu aku begitu menyukai hening, sepi, dan senyap. Aku menyukai ritual minum kopi di kedai kopi, duduk diam menyendiri sambil berhadapan dengan layar selebar empat belas inci. Aku  butuh ruang dan waktu khusus untuk sementara waktu menepi dari hingar bingar, menghindar dari keramaian. Meski seringkali mendapat sorot tatapan aneh saat aku pergi sendirian di kedai kopi, atau jalan-jalan ke suatu tempat seorang diri.
            Aku sedang belajar menerima dua sisi dalam diriku yang berbeda. Entah pakar psikologi menyebutnya Ambrivert atau bagaimana. Tapi satu hal yang bisa kusimpulkan dari diriku dan ada hubungannya dengan menulis adalah; semua orang bisa mendengarkanmu bercerita tentang apa pun, tapi tidak semua orang bisa mengerti dirimu. Sementara saat kamu menulis, setidak mengerti apa pun orang-orang saat membaca tulisanmu, setidaknya kamu bisa memahami dirimu sendiri.
            Dan bukankah tidak ada pemahaman yang lebih menghibur hati, selain memahami diri sendiri? Menulis itu tidak mudah memang, tapi akan lebih tidak mudah lagi jika kita tidak menulis.  
           


Malang, Dialectica Synergy
01/06/2017
1:03 WIB

    
Hasil gambar untuk tumblr coffee and laptop
pict from here

Kamis, 05 April 2018

Lika-liku Perjalanan Seorang Ibu Menyusuri Terminal Probolinggo Hingga Belanda


 Probolinggo menuju Malang, 17 Maret 2018
            Pagi itu, selepas menghadiri undangan salah satu kawanku, aku menuju terminal Probolinggo. Mencari bis tujuan Malang, naik salah satu bis kelas ekonomi. Aku duduk di salah satu kursi, di dekat jendela. Tak selang berapa lama, bis yang kutumpangi pun melaju. Tiga puluh menit kira-kira, sesampainya aku di terminal selanjutnya, bis itu berhenti. Dari arah depan, seorang konduktor bus berteriak, “Pak, Bu, oper bis yang di belakang ya!”
            Aku melihat sekeliling, penumpang bis berbondong-bondong untuk turun. Maka aku bergegas, turun dari bis itu dan berpindah satu bis di belakangku. Aku naik dari pintu belakang. Bagian depan tempat duduk masih banyak yang kosong, tapi entah kenapa hari itu aku lebih memilih mencari tempat duduk bagian belakang, di dekat pintu masuk.
            Aku sedang berdiri di lorong bis ketika kemudian kulihat disebelahku ada seorang Ibu parah baya duduk sendirian. Pertama kali melihatku Ibu itu tersenyum, maka aku berkata kepadanya “Bu, sebelahnya kosong?”
            Ibu itu mengangguk ramah, “Kosong Mbak,”
            Lalu aku duduk, di sebelahnya.
            “Mbak, makan.” Ujarnya sambil menawarkan risol yang barusan ia beli dari penjual asongan yang menjajakan dagangannya dari satu bis ke bis yang lain.
            “Iya Bu, terimakasih.”
            Aku mengangguk demi kode etik, menolak dengan halus.
            Tidak ada yang ganjil dari Ibu itu sebelum kemudian aku melihatnya mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah tablet obat kecil.
            “Saya nggak bisa mimum obat kalau nggak sama makanan Mbak,” terangnya, kemudian mengunyah obat itu bersamaan dengan risolnya.
            “Ibu sakit?”
            “Iya mbak, saya kena kanker serviks stadium 3b.”
            Aku sontak terdiam. Sama sekali tidak menyangka Ibu yang terlihat sangat energik di sebelahku ini mengidap kanker serviks.
            “Sudah berapa lama Bu?”
            “Berapa lama ya Mbak, sudah sejak tahun 2017 kemarin.”
             “Tadi itu obat untuk apa Bu?”
            “Itu obat buat meredakan nyeri Mbak. Nyeri di bagian perut. Biasanya saya nggak pernah nyeri begini. Saya juga jarang minum obat,”
            “Memangnya nggak berbahaya kah Bu, kalau obatnya tidak diminum?”
            Ibu itu  menggeleng, “Saya itu kalau nggak kepepet banget, obatnya nggak pernah saya minum Mbak. Saya lebih sering minum teh herbal. Alhamdulillah, setelah minum teh itu kondisi saya jadi lebih fit.”
            Kemudian mengalirlah cerita-cerita dari bibirnya. Cerita pengalaman hidup yang membuatku merasa beruntung karena kalau seandainya aku tidak oper bis, aku tidak mungkin bertemu dengan perempuan hebat itu. Kudengarkan setiap ceritanya dengan seksama. Antara takjub, terharu, serta perasaan-perasaan lain yang meletup-letup diantara kedua itu.
Namanya adalah Bu Botty, lahir sekitar enam puluh sekian tahun yang lalu. Aku lupa saat ia menyebutkan usianya, yang jelas di angka kepala enam.  Ia punya seorang suami yang juga menderita penyakit diabetes sehingga lebih banyak melakukan aktifitas di rumah, dan lima orang anak, empat diantaranya sudah berkeluarga. Beliau berasal dari Probolinggo, ingin mengunjungi salah satu saudaranya yang ada di Lawang, Malang. Hebatnya, di usianya yang tidak lagi muda, dalam kondisinya yang terbilang “sakit parah” ia tetap melakukan banyak hal fisik sendirian. Termasuk perjalanannya kali ini.
            “Ibu kenapa pergi sendirian?” kutanya.
            “Saya sudah terbiasa pergi kemana-mana sendiri Mbak.”
            “Anak-anaknya nggak ada yang nganterin Bu?”
            “Anak-anak saya sibuk semua Mbak.”          
            Saat mendengar jawabannya, ada ngilu yang diam-diam menjalar di dadaku. Seketika aku ingat Ibuku. Membanyangkan aku yang sering membuang banyak kesempatan untuk menemaninya jika ia membutuhkan sesuatu. Jarak yang jauh membuatku tidak bisa setiap saat ada untuknya.
            “Tapi ini lah yang justru memotivasi saya. Anak-anak saya sering bilang “Mama nanti kalau kemana-mana kita anterin, malah jadi manja. Ayo Ma! Mama harus semangat. Nggak boleh nyerah. Mama harus kuat.””
            “Anak-anak saya sering bilang gitu Mbak, justru saya semakin termotivasi buat pergi-pergi sendiri. Saya periksa sendiri, check-up, kemoterapi, sampai opname saya sendiri.”
            “Wah hebat sekali Bu,” aku tidak bisa menahan diri untuk memberinya apreasiasi. Bahkan dalam salah satu ceritanya, ia mengatakan pernah pergi mengunjungi saudaranya di Jombang dengan mengendarai sepeda motor sendiran. 
            “Mbak, kemoterapi itu rasanya sakit sekali. Benar-benar sakit. Bahkan sebagian besar penderita kanker biasanya gundul. Tapi Alhamdulillah selama kemoterapi rambut saya belum pernah ada yang rontok.”
            “Iya kah Bu?” Awalnya aku tidak percaya, tapi kemudian ia menarik bagian atas ped jilbabnya. Menunjukkan bagian rambutnya yang masih nampak tebal. Aku ternganga.
            “Sampai dokternya menjambak rambut saya berkali-kali Mbak, dia bilang “Kok Ibu ini kuat sekali? Rambutnya tetap nggak rontok padahal sudah saya jambak””.
            “Tapi Bu, kok bisa nggak rontok?” aku masih penasaran.
            Bu Botty tersenyum, “Soalnya orang sakit itu harus kuat fisik sama pikiran Mbak. Saya selalu merasa saya ini sehat walaupun saya sakit. Pokoknya rasa sakit itu harus bisa saya lawan, saya nggak boleh lemah. Banyak teman-teman saya, yang juga sama-sama mengidap kanker merasa tidak sekuat saya saat sedang dalam masa pengobatan. Saya kasih semangat sama mereka, padahal usia meraka ada yang jauh lebih muda dari saya,  saya bilang  ‘Kamu harus semangat! Nggak boleh lemah!’"
            “Saat teman-teman saya di rumah sakit harus dipapah waktu mau ke kamar mandi, saya memilih jalan sendiri sambil bawa infus. Padahal, stadium sakitnya lebih ringan daripada saya. Orang sakit itu harus kuat, jangan sedikit-sedikit ngeluh, merasa dirinya lemah, dan merasa nggak bisa berbuat apa-apa. Selain itu, saya juga nggak mau ngrepotin orang lain Mbak.”
            Aku semakin terkagum-kagum dengan Ibu ini. Rasanya aku seperti sedang mendengarkan cerita dari seorang perempuan berumur tiga puluhan. Fisiknya energik dan wajanya masih tetap awet muda. Siapa pun yang baru mengenalnya pasti tidak menyangka bahwa ia tengah mengidap sakit.
           Aku semakin larut dalam ceritanya saat ia mulai menceritakan kisah hidupnya. Perjalanan hidupnya beberapa tahun ke belakang. Bermula ketika seorang pengamen naik ke atas bis yang kutumpangi. Bu Botty mengarahkan tatapannya pada pemuda yang sedang bernyanyi di lorong bis bagian depan. Lalu ia berujar kepadaku, “Mbak, itu dulu dia ngamen sejak waktu dia masih kecil. Sampai sekarang.”
            “Masnya yang itu Bu?”
            “Iya.”
            “Ibu kenal?”
            “Dulu Ibu sering ketemu dia waktu masih kerja jadi kondektur bis, Mbak.”
            “Kondektur Bu?”
            “Iya Mbak, saya dulu pernah kerja jadi kondektur bis. Pertama kalinya ada kondektur bis perempuan di terminal Probolinggo waktu itu, saya bilang sama supirnya, awalnya nggak diterima tapi setelah memohon dan berhasil meyakinkan, akhirnya saya diterima kerja.
            “Keras kalau ingat pengalaman saya waktu itu Mbak. Saya kerja di jalan, nahan ngantuk, yang paling berat itu mencatat nomor tiket sama jumlah kursi penumpang. Selama perjalanan saya harus tetap terjaga. Nggak boleh tidur. Saya masih ingat awal saya jadi kondektur bis jurusan Banyuwangi. “
             Aku masih asik menyimak perjalanan Bu Botty, yang masih antusias menceritakan beberapa bagian perjalanan hidupnya. Mendadak aku jadi teringat seorang tokoh bernama ‘Sri Ningsih’ dalam novel Tere Liye yang berjudul ‘Tentang Kamu,’.
            “Waktu itu Mbak, saya kerja apa saja sebisa saya, yang penting halal. Saya kerjakan apa saja buat membiayai anak-anak saya sekolah. Memang suami saya juga bekerja, sama-sama kerja di terminal. Tapi saya harus tetap bantu suami saya, karena kebetuhan ekonomi saat itu banyak sekali.”  
            “Sampai akhirnya waktu itu, ada sanak saudara yang menawarkan saya bekerja di restaurant. Di Belanda Mbak. Tahun 2000 waktu itu. Saya memutuskan merantau. Biar anak-anak saya di rumah sama Bapaknya. Saya nekat pergi ke luar negeri.”
             “Saya bekerja di restaurant. Masak makanan khas Indonesia di area Halal Food di Belanda. Gajinya lumayan tapi saya tidak bisa pulang setiap tahun sampai lima tahun kemudian, tahun 2005 saya pulang ke Indonesia.”
            “Awal kerja di sana, saya nggak hapal sama jalan-jalannya, tapi saya selalu pergi-pergi sendiri. Pokoknya kalau nyasar, saya tinggal telpon teman saya.” Bu Botty tertawa,
            “Waktu itu saya bawa kamera kecil dari rumah, jadi setiap saya pergi ke suatu tempat selalu saya sempatkan untuk mengambil foto. Buat kenang-kenangan, kapan lagi saya bisa keluar negeri. Sekarang kalau semua foto itu dikumpulan ada seribuan lebih. Saya buat album di rumah, sering dilihat sama anak-anak dan cucu-cucu saya. Anak-anak saya sering menggoda saya, katanya, “Mama ini bergaya sekali ke luar negeri padahal di sana  cuma jadi babu,” Saya bilang, “biarin babu, yang penting babu elit karena pernah pernah pergi ke Eropa,”” Bu Botty tertawa. Aku nyengir mendengarnya.
            “Mbak, saya ada cerita lucu waktu itu. Saya pernah ditangkap polisi Prancis.” Katanya sambil terkekeh.
            “Prancis Bu?”
            “Iya Mbak, selama bekerja di Belanda saya berkesempatan mengunjungi beberapa negara Eropa. Salah satunya Prancis. Jadi waktu itu ada larangan untuk mengambil foto di depan menara Eiffel dengan batas jarak tertentu. Tapi saya tetap foto di sana, melanggar batas itu. Karena ketahuan, akhirnya saya ditangkap sama polisi Prancis, di tahan beberapa waktu sampai akhirnya Saudara saya datang dan saya dibebaskan,“
             Aku terkekeh mendengarnya, “Pengalaman Ibu seru sekali ya Bu,”
            Dia tersenyum, matanya mengawang jauh ke dapan. Mungkin ia sedang kembali ke masa lalu.
            “Kalau lihat foto-foto saya jaman dulu, rasanya saya pengin ketawa Mbak. Waktu itu saya masih muda, saya belum berhijab seperti sekarang. Masih berpakain pendek, sambil bergaya macam-macam. Cucu-cucu saya sering protes kenapa Omanya dulu bisa begitu.”
            Cerita Bu Botty soal Belanda, Eiffel, dan Eropa membuatku merasa seolah jarak Malang ke Belanda cuma lima kilometer saja. Aku jadi bisa membayangkan negara-negara itu lewat ceritanya.
            “Maaf ya Mbak, saya jadi malah cerita panjang sekali.”
            “Oh, nggak apa-apa Bu. Saya justru senang dengerin cerita Ibu.”
            “Saya sampai lupa, Mbak namanya siapa?”
            “Saya Sinta Bu,”
            “Kuliah di Malang?”
            “Iya,”
            “Anak saya dulu juga kuliah di Malang Mbak, sekarang anak-anak saya sudah besar. Sudah lulus semua. Perjuangan saya buat menyekolahkan anak-anak saya sampai sarjana sudah selesai. Mereka sudah tahu bagaimana seharusnya mereka membalas jasa orangtua.”
            Kelima anaknya semuanya berhasil. Dari cerita beliau, aku mengetahui bahwa ada seorang anaknya yang sekarang menjadi lurah di desanya, ada yang bekerja di proyek sebagai arsitek, ada yang membuka warung usaha, ada juga yang menjadi guru. Ibu-ibu hebat akan melahirkan anak-anak yang hebat pula.
            Tidak terasa hampir tiga jam aku berbincang dengan Bu Botty. Macet long weekend di ruas jalan Malang-Purwosari membuat perjalanan Malang-Probolinggo menjadi satu jam lebih lama dari seharusnya. Sampai akhirnya bis itu membawa kami menuju Donatello, aku tahu waktuku berbincang dengan Bu Botty tidak akan lama lagi. Sebentar lagi tiba di Lawang, itu berarti Bu Botty akan segera turun.
            “Mbak, Ibuk sebentar lagi turun.” Ujarnya sambil mengemasi barang-barangnya.
            “Terimakasih ya sudah mau dengerin cerita Ibu,”
            Aku sekali lagi mengangguk. Harusnya saya yang bilang terimakasih Bu, cerita Ibu menginspirasi sekali.
            “Hati-hati nanti di jalan ya. Semoga sukses kuliahnya,”
            “Aamiin Bu, terimakasih. Ibu juga semoga lekas sembuh ya Bu,”
            Ada perasaan haru karena sebentar lagi aku akan berpisah dengan Bu Botty.  Banyak pelajaran yang kudapat dari perjumpanku dengannya. Tentang kerja kerasnya, semangat hidupnya, keberaniannya melawan kerasnya hidup, juga pengorbanannya untuk keluarga dan anak-anaknya.
Saat akhirnya Bu Botty memohon diri untuk berpindah kursi persis di sebelah pintu keluar dengan tujuan supaya lebih mudah saat hendak turun nanti, aku dilema dengan pikiranku sendiri. Ada sesuatu yang mengganjal benakku. Aku ingin bertemu dengannya lagi di lain kesempatan, apalagi saat kutahu ia sering berkunjung ke Malang. Tapi bagaimana?
            Tinggal menunggu detik lagi, Bu Botty akan segera turun . Aku menghitung mundur dalam hati. Inilah saatnya, ragu-ragu aku akhirnya  bertanya:
            “Bu, ada nomor telepon yang bisa dihubungi? Boleh saya minta nomornya?”
            Tidak disangka, ia merespon dengan sangat baik. Ia segera mengambil sebuah ponsel mini di tasnya, mendikte nomor teleponnya.
            “Coba miscall saya Mbak,”
            “Sudah masuk Bu?”
            “Iya Mbak sudah, saya simpan ya.”
            “Mbak, kapan-kapan kalau saya di Malang nanti saya hubungi ya, siapa tahu nanti bisa ketemu lagi.”
            Aku mengangguk, “Iya Bu siap.”
            Di depan sana, pada halte yang membuat akhir pertemuan itu berujung. Di tengah gerimis yang perlahan mulai menderas, Bu Botty turun dari bis setelah sebelumnya menjabat tanganku. Melambaikan tangannya dan tersenyum.
            Aku yang masih sempat melihatnya dari kaca jendela saat bis perlahan mulai melaju, melambaikan tangan dari kejauhan.
            Sampai jumpa lagi Bu, semoga nanti saat berkesempatan bertemu kembali, Ibu sudah sehat dan tidak sakit lagi.

Foto dokumentasi pribadi

     
Malang, 05 April 2017
21:59 WIB
           



           
                       
           
           
           
           
           
           
           
           

           
                       
           
           

            




           
           









 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger