Kamis, 16 Agustus 2018

Deadera (satu)


Kau masih ingat malam itu? Aku sedang duduk di salah satu gerbong kereta, menunggu keberangkatan kereta yang akan membawaku menuju Bandung. Kereta itu molor, menyisakan selang kebarangkatan beberapa menit lebih lama dari jadwal seharusnya.
Saat itu, Malang sedang dirundung cuaca dingin dan langit berwarna mendung. Kupikir sebantar lagi hujan akan turun. Itu berarti aku akan menikmati perjalanan kali ini dengan suasana sedikit melankolis. Kuputar lagu-lagu The Beatles melalui aplikasi Joox di ponselku untuk mendukung suasana. Memasang headset di kedua telinga. Sambil menghitung mundur dalam hati, kapan tepatnya kereta itu akan melaju.
Lima menit sebelum akhirnya masinis kereta menekan tuas kemudinya, seorang perempuan tiba-tiba berlari tergopoh-gopoh dari pintu gerbong dengan tas carrier dipunggungnya yang terlihat cukup bervolume. Waktu itu, aku tidak menyadarinya karena tiba-tiba saja ia sudah berdiri di depan lorong kursi tempatku duduk.
“Kursi nomer 16E. Boleh saya duduk?”
 Serta merta, demi bisa mendengar jelas ucapannya aku melepas headsetku.
“Boleh saya duduk?” ulangnya lagi.
Baru kemudian aku mengerti maksudnya, berdiri keluar dari tempat dudukku. Memberi ruang padanya agar ia bisa duduk di kursi dekat jendela. Nomor kursiku 17E.
“Maaf,” ia terlihat kerepotan mengatur letak carriernya. Meletakkannya di bawah kursi, hati-hati agar tidak mengenai kakiku.
“Boleh saya bantu angakat carriernya di atas? Mungkin akan lebih nyaman, kalau kamu nggak keberatan.” Aku menawarkan diri.
Ia mengangguk. Kuangkat tas carriernya ke atas tempat duduk kami.
“Nah sudah,” aku menatapnya sekilas sambil tersenyum.
Ia mengangguk, “Terimakasih.”
Kereta itu kelas ekonomi. Ada satu bangku lagi di depanku. Berhadap-hadapan, tapi tidak berpenghuni. Mungkin akan diisi oleh penumpang dari stasiun berikutnya.
Aku berniat melihat ke arah luar jendela, ketika tanpa sadar fokus mataku justru tertuju pada perempuan di sebelahku. Baru kusadari dari jarak sedekat ini, ternyata dia tidak seberantakan yang kukira. Tadi saat baru masuk ke dalam kereta, aku ingat rambutnya masih acak-acakan. Kini telah berubah menjadi rambut ekor kuda sebahu. Kapan ia mengikatnya? Entahlah aku tidak terlalu memperhatikan.
Ia memakai atasan baju kemeja kotak berwarna biru tua. Tampak kebesaran dipakai pada badannya yang terlihat kurus. Di pergelangan tangannya, berjejer rapi gelang berwarna-warni. Matanya dibingkai kacamata berframe persegi. Wajahnya, ah! Aku tidak bisa lebih detail mendeskribsikannya sebab ia lebih asik memalingkan wajahnya ke arah  jendela.
Aku ingin mengajaknya ngobrol, sekedar basa-basi. Kupikir, itu bisa menghilangkan sedikit kejenuhan di kereta. Hei, empat belas jam di kereta tanpa ngobrol sepatah kata pun dengan orang yang duduk di sebelahmu terdengar ganjil sekali bukan?”
“Mau ke Bandung juga?” aku memberanikan diri bertanya.
Ia sedikit terperanjat mendengar suaraku. Waktu itu, aku jadi sadar dia sedang melamun. Entah memikirkan apa.
“Iya, saya mau ke Bandung.”
Demi kode etik, dia menoleh ke arahku. Tepat saat itu, saat ia menoleh menatapku, aku jadi menyadari sesuatu. Bukan, bukan karena perempuan di sebelahku ini ternyata berparas menarik. Tapi dengan jelas aku bisa melihat matanya yang sendu di balik kacamata itu.
“Kamu menangis?”
Masih ada sisa bulir air mata di kelopak mata bawahnya, meski aku tahu sebelum menoleh ke arahku ia sudah berusaha menghapusnya. Tapi meski terhapus semuanya, aku tetap bisa mengetahui ia baru saja menangis dari kantung matanya yang sembab.
“Oh enggak, saya cuma agak sedikit pilek. Jadi mata saya berair.”
Aku bukan anak kecil, aku tahu dia berbohong.
“Ke Bandung mau ke kemana?” ia buru-buru mengalihkan topik, ganti bertanya
“Kamu menangis?” aku mengabaikan pertanyaannya. Bertanya lagi.
Dia menggeleng. Baiklah, ini agak sedikit lebih rumit. Jadi aku akan berhenti bertanya.
“Namaku Rey,” aku mengulurkan tanganku.
“Dea,” ia menyalamiku.
“Dea?"
“Deadera.”
Langit mulai gelap saat  itu, gerimis turun dan hujan mulai mengguyur kota Malang. Perjalanan ini masih terlalu panjang. Perempuan bernama Dea itu tidak tahu bahwa  tiga puluh menit ke belakang aku sibuk memikirkan topik obrolan supaya ia berhenti memalingkan muka ke arah jendela. Membuyarkan fokus lamunannya agar ia tidak punya kesempatan lagi untuk menangis. Ini terdengar konyol dan agak sedikit gila, karena kenapa aku harus mempedulikan seseorang yang baru menghabiskan waktunya kurang dari satu jam bersamaku di kereta?
Ayolah, aku hanya tidak suka melihat perempuan menangis. Apalagi, jelas-jelas dia duduk di sebelahku. Meski aku tidak mengenal dia sebelumnya, tapi aku seperti bisa merasakan ada beban berat yang sedang bertumpu dipundaknya. Meski aku tidak tahu apa.
“Kamu kuliah di Malang juga?”
“Suka makan ayam nelongso?”
“Kalau STMJ Ijen?"
“Pernah nyoba mi soden di depan Selecta nggak?”
“Kapan-kapan kamu harus ke Brewok, kue pancong dan kopi kapitennya juara!"
 “Ada nasi goreng padang enak di Sumber Sari. Kamu pernah coba?"
“Kamu suka pergi ke Batu? Pernah naik paralayang belum?”
Aku menanyakan banyak hal padanya, dan payah sekali karena aku cuma bisa bertanya hal-hal sepele yang bahkan bisa ditanyakan oleh anak SD. Dia hanya menanggapi pertanyaanku seperlunya. Sesekali cuma menggeleng dan mengangguk. Aku tidak peduli meski aku tidak pandai membuat lelucon, aku hanya ingin menghiburnya sebisaku.
Ia tersenyum sesaat, menatapku agak sedikit lama.
"Terimakasih,” 
Sebentar, aku tidak salah dengar kan?
“Terimakasih karena aku tahu kamu sedang berusaha menghiburku. Tapi sepertinya, kamu nggak perlu repot-repot. Aku nggak semenyedihkan yang kamu lihat,” ia tertawa pelan.
Aku diam. Siapa pun yang melihat sendu matanya, pasti akan melakukan hal yang sama.
“Bagaimana rasanya pulang?,” ia tiba-tiba bertanya.
Dahiku berkeryit, tidak mengerti maksud pertanyaannya.
“Maksudku bagaimana perasaanmu saat kamu pulang? Apa kamu senang?”
Tentu saja aku senang. Pulang adalah sebaik-baik cara untuk menghilangkan segala kalut dan resah. Tempat berlindung paling nyaman dari kerasnya dunia yang kadang membuatmu merasa terlalu kecil di luar sana.
“Jelaskan padaku, aku cuma ingin tahu bagaimana rasanya.”
“Seperti, waktu kamu dapat hadiah ulang tahun setelah menunggu satu tahun di ulang tahunmu berikutnya. Kamu megerti kan?”
Dea menggeleng, “Aku nggak bisa merasakan perasaan semacam itu.”
"Bahkan meski sekarang aku sedang berada di kereta, aku tetap merasa tubuhku bukan di sini.”
“Apa maksudnya?”
Dia menggeleng, “Bukan apa-apa, kamu nggak ngantuk?”
Aku menelan ludah, mengira dia akan bercerita lebih banyak, ternyata dugaanku salah. Ia lagi-lagi justru mengalihkan  topik pembicaraan ke lain hal.
“Kamu mau tidur? Maaf sudah membuatmu mengobrol,” Aku merasa bersalah. Wajahnya terlihat lelah sekali.
“Nggak apa-apa,” ujarnya sambil tersenyum.
“Saya tidur dulu ya,”
Ia kemudian menyenderkan kepalanya di samping jendela. Perlahan memejamkan matanya. Aku tidak tahu dia tidur sungguhan atau hanya sedang berusaha mengindari percakapan denganku. Tapi setidaknya itu lebih baik daripada aku harus melihatnya terus-menerus menatap ke luar jendela, sambil sesekali menyeka air matanya. Diam-diam, aku mengamatinya saat ia sedang tertidur. Damai dan meneduhkan. Padahal, dari sedu sedan matanya, hatinya sedang berantakan. Belum pernah aku merasa sekacau ini hanya karena memandang cara tidur seseorang. Ya Tuhan, kenapa dadaku tiba-tiba berdebaran?
               
                  Hasil gambar untuk train tumblr
pict from here


17/08/2018, 3:20
Malang, 18 derajat



               
               
               
               
               
                 
               
               
               
               
               
               

0 komentar:

 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger