Malam ini, seluruh tubuhku
menggigil. Tidak ada musim dingin di kotaku, tapi aku seperti bisa merasakan
sensasinya setiap kali suhu ruangan berada tepat di bawah angka lima belas
derajat celcius. Seperti malam ini, dan beberapa malam lain yang sudah-sudah.
Jauh lebih mudah
kulalui seandainya aku tidak sedang mengingatmu. Meski sudah terlalu lama, tapi
biarkan laju memori otakku bekerja.
Kau dulu pernah
bertanya, “Kapan kamu pulang?”
Kubilang, “Aku
tidak tahu,”
“Kamu tidak
merindukan kotamu?”
Aku menggeleng, “Belum,
nanti barangkali.”
“Kalau kamu pulang,
aku mungkin sudah tidak di sini lagi,”
“Kamu mau kemana?”
kutanya.
“Ke suatu tempat
yang jauh, ada mimpiku di sana.”
Terus terang saja aku
mendadak kehabisan kata-kata.
Tanpa berani bereaksi.
Terlalu ciut
nyali.
“Kalau aku pergi,
kamu bagaimana?"
Aku terdiam lama. Aku tidak tahu maksudmu apa, jadi kutanya lagi, “Bagaimana apa?”
Aku terdiam lama. Aku tidak tahu maksudmu apa, jadi kutanya lagi, “Bagaimana apa?”
“Bagaimana kalau
kamu pulang, aku tidak bisa menemuimu?” di ujung telepon, suaramu bergetar. Aku
tak cukup peka untuk mengenali pita suara manusia, tapi aku bisa merasakan nada
suaramu berbeda.
“Tidak apa-apa, aku
akan menyapamu di telepon.”
“Kamu tidak ingin
menemuiku?”
“Kapan-kapan mungkin,
kalau ada waktu.”
Lalu kamu tertawa.
“Kenapa kamu selalu tidak bisa menjawab hal-hal yang bisa membuatku senang saat
mendengarnya?”
“Semacam apa?”
“Ya aku ingin
menemuimu. Sesederhana itu tidak bisa?”
“Apakah harus?”
Kamu menggeleng, “Tidak,
aku hanya sedang ingin menyenangkan diriku sendiri saja.”
Hening. Saling
terjebak dalam pikiran masing-masing.
“Sudah, tidurlah.
Berhenti begadang.”
“Kau juga.”
“Satu lagi,”
“Apa?”
“Kau anggap aku
sahabat kan?”
“Ya,"
“Kalau begitu, doakan
sahabatmu ini lekas punya pacar supaya dia tidak lagi mengusik orang yang selalu
menganggap dirinya sahabatnya. Deal?”
Aku pura-pura
tertawa. Tapi diam-diam menangis dalam hati. Ah sial! Kenapa begitu mudah membohongi diri sendiri?
0 komentar:
Posting Komentar