Sore kemarin,
aku duduk diantara kerumunan pengunjung yang mulai ramai berdatangan. Di sebuah
kafe, di jalan Jakarta. Malam Minggu, mungkin adalah hari dimana umumnya
dirayakan oleh beberapa orang. Bersama
pasangan mungkin, atau teman, keluarga, siapa saja. Aku adalah pengecualian, aku
sedang tidak merayakan apa-apa. Aku hanya sedang ingin duduk menyendiri, di
bangku paling ujung. Di sini ramai, sengaja memilih sudut paling sepi,
keberadaanku tidak akan terdeteksi, siapa peduli?
Di
depanku, ada laptop dengan layarnya yang menunjukkan lembar kerja Microsoft Word. Aku deadline malam ini.
Dua artikel lagi setelah delapan sebelumnya sudah selesai kukerjakan sedari
sore. Ornamen kafe itu, setiap sudutnya, mengingatkan aku kepada salah satu
tempat paling menyenangkan di Jogja; Malioboro. Ada dream catcher yang biasanya terjual di rak asesoris dan oleh-oleh
di samping ruas kanan dan kiri sisi Malioboro, lukisan beruansa batik, dan
lampu berukiran khas Jogja terpajang di beberapa spot bagian dindingnya.
Di
sela-sela pekerjaanku mengerjakan tulisan, aku tidak bisa mengelak kalau sore
itu, aku sedang tidak baik-baik saja. Kendati
sering perasaan itu muncul, dan kerapkali kuabaikan. Ada sesuatu yang memang
tidak bisa kita bicarakan, tidak bisa kita jelaskan alasan dibaliknya, dan bagi
sebagian orang, berterus terang pada diri sendiri itu bukan hal mudah dilakukan.
Aku tidak pernah ingin menangis di depan banyak orang, dilihat oleh siapa pun. Pantang
bagiku menangis di depan orang lain, tetapi rasanya menjadi manusia kupikir
tidak ada salahnya. Menangis itu manusiawi.
Seharusnya.
“Mbak, kenapa menangis? Maaf saya
enggak bisa nawarin tissue buat ngelap air matanya, tapi kalau Mbaknya mau
cerita, saya punya dua telinga buat dengerin.”
Aku mendongak,
buru-buru menghapus air mataku, menatap heran seseorang dengan penampilan casual yang tengah duduk di seberang
kursiku. Entah sejak kapan dia ada di situ. Memakai kaos putih polos, jaket
jeans hitam, dan kacamata bertengger di hidungnya.
“Maaf Mas, apakah barusan saya
lagi dengerin suara buaya?”
Dia tertawa.
“Saya nggak perlu dihibur,”
“Tapi saya juga nggak berniat menghibur
kok, saya cuma menawarkan telinga kalau kamu mau cerita.”
“Saya ini, sama orang yang sudah
saya kenal lama saja mikir dua kali kalau mau cerita masalah saya, kenapa
berharap cerita sama orang yang bahkan saya enggak tahu namanya siapa?”
“Kalau begitu, boleh kenalan
dulu? Nama saya Abi, Abimanyu.”
Dia mengulurkan tangannya, aku
menatapnya sesaat, menimbang sesuatu sebelum mengulurkan tanganku, balas
menjabat tangannya demi kode etik.
“Kiara,”
“Nama yang bagus,”
“Memang tahu artinya?”
“Sinar mentari pertama dalam
bahasa Korea, tapi lebih umum diartikan bercahaya. Benar?”
“Ya,”
“Tapi kalau kamu menangis, nanti cahanya jadi
redup.”
“Jadi apakah maksudnya saya nggak
boleh nangis?”
“Boleh. Tapi nanti senyum lagi,
ya?”
“Masnya ngapain ke sini?”
“Datang, duduk, menulis. Sama
seperti kamu.”
“Maksudnya, ngapain ke sini?
Nyamperin meja saya?”
“Boleh saya panggil
nama? Kamu menarik perhatian saya, Kiara. Sejak awal kamu datang ke sini, duduk
di meja paling ujung, menulis sendirian. Apa yang kamu lakukan itu sama persis
dengan apa yang saya kerjakan, bedanya, saya fokus mengetik. Sementara kamu
kadang-kadang berhenti, menatap sekitarmu, melamunkan sesuatu yang entah apa.
Dan terakhir sebelum saya memutuskan mendatangi kamu ke sini, saya melihat kamu
menangis. Ada sesuatu yang berat sedang terjadi, ya?”
“Kalau pun
ada, saya juga nggak akan perlu repot-repot menceritakannya, Mas. Tapi
sebelumnya terima kasih sudah bertanya.”
“Anytime, boleh tetap merasa baik-baik
saja. Tapi dengar ini, kamu nggak harus menjadi kuat sendirian.”
Aku
mengangguk, sibuk mengelap sisa tangisanku dengan telapak tangan, tidak tahu
harus berkomentar apa. Aku hanya-aku
hanya sedang malas mendengarkan apa pun, hal-hal yang semacam itu, malas
sekali.
“Maaf tadi
namanya siapa?”
“Abi,”
“Sedang
mengerjakan sesuatu juga di sini?”
“Iya, kalau
Kiara nggak keberatan, boleh enggak saya bawa laptop saya ke sini? Saya bisa
temenin kamu ngobrol, atau kalau kamu minta saya diam selama kamu mengerjakan
pekerjaanmu, saya enggak akan mengganggu, fokus sama pekerjaan saya, enggak
akan mengajak kamu mengobrol.”
Aku tidak
punya banyak tenaga untuk menolak, jadi kujawab, “Boleh,”
“Saya ke sana
dulu ya,” Laki-laki berperawakan kurus tinggi itu menunjuk mejanya, yang
terletak satu garis diagonal dengan mejaku. Hanya berbeda sudut. Mejaku di
sudut utara, dia di sebelah selatan.
Dia kisaran usia 27 tahun atau 28 entah lah, aku tidak pandai
memprediksi usia seseorang. Tetapi wajahnya terlihat jauh lebih muda dari
usianya, wajah yang innocent, seperti
anak kecil. Yang saat dia tiba-tiba duduk di depanku lalu bertanya kenapa aku
menangis? Aku seperti tidak sedang berhadapan dengan orang asing. Pembawaannya tenang
dan menyenangkan, sesuatu yang menarikmu
untuk membuka diri, menurunkan sedikit benteng pertahananmu, di depan seseorang
yang bahkan sebelumnya tidak pernah kamu temui.
Tersenyum, dia meletakkan laptopnya di mejaku. Duduk di seberang
bangkuku, menyiapkan beberapa dokumen yang dia keluarkan dari dalam tas
punggungnya, sebuah bolpoint, dan charger laptop. Saat dia menarik kabel
charger laptopnya itu, sebuah benda ikut tertarik ke atas. Aku sekilas
melihatnya, name tag identitas seseorang. Itu bukan hanya sekadar identitas,
itu simbol profesi.
“Mas Abi, jurnalis?”
Dia tertawa lalu menggeleng, buru-buru memasukkan name tagnya ke dalam
tasnya yang tidak sengaja ditariknya keluar itu, “Bukan, Kiara. Saya ini cuma kuli
tinta.”
“Begitu ya insting seorang jurnalis?
Sibuk mengamati situasi? Sampai-sampai tahu kalau ada seorang perempuan
menangis di pojok sebuah kafe yang padahal dikerumuni banyak orang di sekitarnya?”
Berhenti dari aktifitasnya
menyiapkan barang-barangnya di atas meja, dia menatapku. Memberi jeda sebelum
akhirnya menjawab, “Saya senang mengamati, memang. Itu bagian dari pekerjaan.
Tetapi tidak semua hal saya perhatikan, kalau perempuan yang saya lihat sedang
menangis tadi bukan kamu, saya tidak yakin apakah saya akan punya keberanian
untuk berhadapan dengan kamu saat ini.”
“Seharusnya kamu ini beralih
profesi jadi pawang buaya saja, Mas Abi, daripada jurnalis.”
Abimanyu, nama laki-laki itu, tertawa,
“Kamu ini, kenapa senang sekali memberi label laki-laki dengan kata buaya?”
Aku mengedikkan bahu, malas
berkomentar.
“Saya temani kamu mengobrol,
atau diminta diam?”
“Diam saja,”
“Oke, lanjutkan pekerjaanmu.
Nanti kalau sudah selesai, dan merasa perlu seseorang untuk diajak ngobrol,
beri tahu saya, ya.”
Aku mengangguk,kembali fokus
pada layar laptop di depanku. Sesekali, aku mengamati dia yang juga tengah
fokus melanjutkan pekerjaannya. Dari samping wajahnya terlihat serius sekali,
lensa kacamatanya tebal, itu pasti karena dia hobi membaca, oh atau kalau
tidak, dia mungkin suka membaca sambil tiduran. Atau kalau tidak, mungkin dia
tidak suka makan wortel, atau? Kenapa aku jadi memikirkan hal-hal receh semacam
ini? Kenapa aku jadi lupa kalau sepuluh menit sebelumnya aku sedang menangisi
sesuatu? Menyebalkan sekali.
0 komentar:
Posting Komentar