Kamis, 31 Mei 2018

Kenapa Aku Harus Menulis?

Tidak pernah mudah menjadi seseorang yang lebih banyak membungkam mulutnya demi kata-kata. Tidak pernah menyenangkan menjadi seseorang yang hanya punya cukup keberanian untuk menuangkan pemikiran dan isi hatinya lewat tulisan. Meski semua orang tahu bahwa menulis adalah keberanian. Keberanian menjadi diri sendiri. Berani merdeka dibalik kata-kata yang dituliskannya.
            Barangkali, aku punya sindrom khusus yang membuatku kesulitan mengungkap maksud perkataanku lewat lisan. Sehingga aku lebih banyak memendam. Pun jika harus terpaksa kuluapkan, aku harus bersikeras memutar otak, agar orang-orang bisa mencerna apa maksud dan mauku. Semua itu, hanya bisa kulakukan saat aku menulis.
            Dengan menulis, segalanya terasa lebih mudah. Seharusnya, aku menyadari sejak awal bahwa menulis adalah murni keharusan. Tidak peduli apakah itu hobi yang harus ditekuni, tidak peduli apakah nantinya seseorang yang membuat tulisan akan benar-benar menerbitkan sebuah buku dan menyebut dirinya sebagai penulis.
            Seharusnya, menulis adalah pekerjaan yang kata –Pramoedya- adalah bekerja untuk keabadian.  Jadi, mau tak mau, suka tak suka, menulis saja. Setidaknya bebanmu akan berkurang saat paragraf demi paragraf yang bersumber dari keresahan dan kegundahanmu itu dapat tertuang.
            Menulis adalah sarana yang membuatmu bebas bercerita tanpa harus butuh telinga untuk didengar. Menulis adalah sarana untuk berlatih jujur pada dirimu sendiri. Menulis adalah bahasa paling rumit yang tidak pernah mudah dipahami oleh orang-orang yang tidak terbiasa menulis, tapi ketika seseorang telah menganggap menulis adalah sebuah candu, maka ia akan dengan mudah mengerti maksud dari isi tulisan orang lain tanpa harus sibuk menerka-nerka apa maksud dibalik tulisannya.
            Aku mengerti bahwa ketika aku menulis, menuangkan perasaanku dalam deretan aksara, aku tidak butuh lagi pengakuan untuk didengar oleh orang lain. Cukup aku dan tulisanku, dan bagiku itu sudah lebih dari cukup. Dan ya, satu lagi. Menulis adalah cara paling mudah untuk menangis, tanpa sibuk menguras dan menyeka air mata. Begitu kan?
            Di satu sisi, kadang aku merasa aku adalah seorang introvert. Orang-orang yang suka menulis erat kaitannya dengan 'introvert'. Aku punya sebuah dunia rahasia yang selalu kututup rapat-rapat bahkan pada beberapa orang yang kuanggap cukup dekat. Aku membaur, tapi di saat yang sama juga memiliki sekat. Aku berteman dengan banyak orang, tapi satu-satuny teman yang paling kupercayai adalah diriku sendiri.
            Aku ingin menyebut diriku sendiri introvert, tapi aku tidak membenci keramaian. Aku tidak senang mengisolasi diri sendiri. Aku mencintai kebebasan dan senang mengobservasi orang-orang.
            Hanya kadang-kadang, pada saat-saat tertentu aku begitu menyukai hening, sepi, dan senyap. Aku menyukai ritual minum kopi di kedai kopi, duduk diam menyendiri sambil berhadapan dengan layar selebar empat belas inci. Aku  butuh ruang dan waktu khusus untuk sementara waktu menepi dari hingar bingar, menghindar dari keramaian. Meski seringkali mendapat sorot tatapan aneh saat aku pergi sendirian di kedai kopi, atau jalan-jalan ke suatu tempat seorang diri.
            Aku sedang belajar menerima dua sisi dalam diriku yang berbeda. Entah pakar psikologi menyebutnya Ambrivert atau bagaimana. Tapi satu hal yang bisa kusimpulkan dari diriku dan ada hubungannya dengan menulis adalah; semua orang bisa mendengarkanmu bercerita tentang apa pun, tapi tidak semua orang bisa mengerti dirimu. Sementara saat kamu menulis, setidak mengerti apa pun orang-orang saat membaca tulisanmu, setidaknya kamu bisa memahami dirimu sendiri.
            Dan bukankah tidak ada pemahaman yang lebih menghibur hati, selain memahami diri sendiri? Menulis itu tidak mudah memang, tapi akan lebih tidak mudah lagi jika kita tidak menulis.  
           


Malang, Dialectica Synergy
01/06/2017
1:03 WIB

    
Hasil gambar untuk tumblr coffee and laptop
pict from here
 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger