Minggu, 08 Januari 2017

Sebuah Dialog Tentang Melepaskan


Sekarang pukul delapan lebih tiga puluh, lewat satu jam lalu sejak ia memutuskan untuk duduk di salah satu bangku kafe yang selalu didatanginya seorang diri itu setiap malam minggu. Semua orang-termasuk pelayan kafe itu-seringkali bertanya-tanya, kenapa ia suka sekali datang sendirian sementara rata-rata pengunjung kafe itu datang kesana untuk mencari keramaian? 
“Apakah kamu menyukainya?” Kutanya
Gadis itu tersenyum kecut, mengangguk pelan tanpa kata-kata.
“Sejak kapan?”
“Delapan tahun lalu,”
“Kau gila?” Aku refleks memekik, membuat beberapa pengunjung kafe menoleh ke arah meja kami.
“Kenapa?”
“Itu berarti sejak kamu masih duduk di bangku kelas enam sekolah dasar?”
“Mungkin saja lebih, seandainya takdir membuat kami bertemu sebelum itu.”
“Kenapa kamu tidak pernah bilang?”
“Percuma, dia tidak akan percaya.”
“Itu karena kamu bersikap seolah tidak peduli, terlalu pandai membohongi diri sendiri.”
“Aku tidak bermaksud begitu,”
“Lalu, apa?”
Mata gadis itu berkaca-kaca, mengalihkan perhatiannya pada satu titik sebelum akhirnya dia membuka suara.
“Aku hanya-kau tahu? Aku ini absurd. Tidak semua orang bisa mengerti jalan pikiranku, tidak semua orang akan paham dengan apa yang aku katakan, sekalipun sudah kujelaskan panjang lebar. Jadi jika selama ini kamu lebih sering melihatku menulis daripada mendengarku berbicara, inilah salah satu alasannya. Aku ingin bilang padamu, tanpa bermaksud untuk membuatmu peduli. Menjadi aku itu tidak mudah. Terus terang saja.”
“Apa dia pernah menyatakan perasaannya kepadamu?”
Gadis itu mengangguk.
“Lalu, apa dia bilang?”
“Bahwa dia menyukaiku, dan lalu bertanya apa aku mau jadi kekasihnya.”
“Apa katamu?”
“Aku bilang tidak.”
“Kau gila!”
“Kamu hanya tidak tahu rasanya berada di posisiku saat itu.”
“Memangnya, bagaimana?
“Kamu tahu rasanya jatuh cinta dengan seseorang begitu lama? Tapi tidak banyak yang bisa kaulakukan selain hanya menunggu dan terus menunggu? Membiarkannya datang dan pergi kapan pun sesukanya. Saat dia bisa dengan leluasa berlabuh pada banyak hati di luar sana, kamu tidak punya pilihan lain selain bertahan di tempatmu. Memilih untuk tetap menunggunya datang menghampiri, meski itu artinya kamu harus merelakan hatimu patah berkali-kali.“
“Dan lalu, saat tiba pada momen di mana kamu mulai melupakannya, dia muncul lagi dalam hidupmu dengan tiba-tiba. Kamu hampir melupa segala hal tentang dia, mulai menggantinya  dengan seseorang yang berbeda. Hanya saja, saat seseorang itu ternyata adalah orang yang mahir mematahkan, dia datang berperan bagai pahlawan kesiangan. Sehingga akhirnya kamu harus jatuh cinta lagi, pada orang yang sama, untuk kesekian kalinya.”
 “Kamu kira itu tidak membutuhkan banyak energi? Aku hanya konsisten dengan satu orang soal urusan perasaan. Tapi nyatanya, konsekuensinya tidak pernah sesederhana itu. Saat dia bilang dia menyukaiku, sungguh ada pertanyaan besar di kepalaku yang tidak kuasa kulontarkan dan hanya bisa kusimpan erat-erat sendirian. Aku ingin protes di depannya dan bertanya, kenapa baru sekarang? Kenapa baru bilang saat aku sudah mulai menimbun harapanku padamu dan tidak lagi mengharapkanmu sebanyak dulu? Kenapa baru bilang disaat aku mulai melupakanmu dan membuka hatiku untuk orang lain? Kenapa baru bilang setelah kamu menjelajahi banyak hati, sementara aku harus menunggumu selama itu dengan bertahan seorang diri?”
“Aku hanya, entahlah harus bagaimana aku menjelaskannya. Tidak terbayangkan rasanya di posisiku saat itu. Seseorang yang kauharapkan bertahun-tahun, seseorang yang kedatangannya  bagaikan undian berhadiah sebab tidak pernah bisa kauprediksi kapan waktunya tiba, kini ada tepat di depanmu tanpa tendensi. Menyatakan perasaannya, fakta yang membuatmu sulit berlogika dan bertanya-tanya, “apakah dia benar-benar menyukaiku?" Ini gila.”
“Jadi sebenarnya, apakah saat itu kamu ingin menjawab ‘iya’?”
Gadis itu mengangguk.
“Berat sekali mengatakan ‘tidak’ untuk sesuatu yang sangat kamu inginkan. Tidak pernah mudah melakukannya. Butuh keberanian besar untuk melepaskan. Tapi tetap harus kulakukan.”
“Lalu kalau bagimu itu sulit, kenapa tetap kaulakukan? Kalau saja saat itu kamu mengatakan ‘iya’, mungkin seterusnya tidak akan serumit ini.”
“Kalau saat itu aku menerimanya menjadi kekasihku, tetap tidak ada yang bisa menjamin kelak kami akan benar-benar bisa bersatu. Sebut aku konvensional, tapi aku bukan tipe orang yang dengan mudah menjadikan parameter perasaan seseorang dengan hubungan bernama pacaran.
“Bagiku, kalau kau cinta dengan seseorang. Mau menempati posisi apa pun kau dalam hidup seseorang yang kaucintai, tidak akan mengubah apa pun dalam dirimu untuk orang itu. Bagiku cinta bukan hanya soal diterima atau menerima, ditolak atau menolak. Cinta itu harga diri, kadar yang nilainya tidak akan pernah bisa berkurang, selama dibungkus dengan ketulusan. Kalau kau tulus, bagaimana pun ia menganggapmu, sekali pun seandainya baginya kamu tidak masuk dalam daftar seseorang yang pantas menetap dihatinya, kamu akan tetap mencintainya. Tanpa syarat, tanpa imbalan, tanpa pengecualian. Sesederhana alasan karena kamu hanya mencintainya. Dan itu sudah lebih dari cukup ”
“Apa kamu pernah menyesal menolaknya?”
“Iya. Sedikit. Meski sebenarnya bukan. Bukan karena itu. Aku bukan menyesali keputusanku untuk menolaknya menjadi kekasihku. Yang kusesali adalah keputusannya untuk menyatakan perasaannya di waktu yang tidak tepat.”
“Di bagian mana yang menurutmu tidak tepat?”
“Dia tidak pernah tahu ada sisi dalam diriku yang tidak perlu kuceritakan pada siapa pun. Menceritakannya pada orang lain hanya akan menimbulkan empati. Dan aku, bukan tipe orang yang suka dikasihani. Aku belum siap berkomitmen dengan laki-laki mana pun saat itu, sekalipun aku percaya bahwa dia adalah orang baik. Ada hal yang jauh lebih penting untuk segera kuhadapi dari sekedar menuruti kata hati. Duniaku saat itu sedang dirundung abu-abu. Di kepalaku hanya ada ibuku, ibuku, dan ibuku yang ingin kubahagiakan dengan caraku sendiri. Bagaimana mungkin aku hanya memikirkan perasaanku sendiri sementara ibuku sedang dilanda kesedihan bertubi-tubi? Bagaimana mungkin aku sempat memikirkan perasaanku terhadap seseorang-betapa pun besar aku menyukainya-sementara aku belum bisa membuat ibuku bahagia? Seandainya saja, dia bisa menunggu sedikit lebih lama. Menyatakan perasaannya dalam versi yang berbeda, memintaku menjadi lebih dari sekedar teman baiknya di saat aku merasa segala hal sudah berjalan baik-baik saja, disaat kurasa waktunya memang sudah tepat, disaat semuanya dirasa sudah siap. Sekali lagi, seandainya dia mau bersabar lebih lama. Aku mungkin tidak akan berpikir dua kali lagi untuk mengatakan ‘iya’”
“Bukankah dia akan tetap menunggumu?”
“Awalnya, sempat kupikir iya. Bahwa dia akan tetap berdiri di sana, menjadi orang yang peduli dan kukira tidak akan meninggalkanku pergi. Nyatanya aku keliru, bahkan setelah kini ia tahu bagaimana perasaanku, dia tetap memilih pergi. Faktanya hati manusia bisa berubah dalam kurun waktu satuan detik, lucu sekali.“
“Kenapa ia memutuskan pergi?”
“Aku tidak tahu. Hanya saja kalau aku boleh menebak, mungkin dia mengira aku menyukainya karena dia yang sekarang. Yang ia tidak tahu, aku sudah menyukainya sejak dulu. Jauh sejak dia belum menjadi dia yang saat ini.”
“Kenapa kamu tidak mencoba menjelaskan? Kenapa kamu memilih membiarkannya pergi tanpa penjelasan?”
“Buat apa? Aku tidak akan menjelaskan sesuatu kepada seseorang yang memang tidak ingin menerima penjelasan. Meski sebenarnya aku ingin menjelaskan banyak hal padanya. Bahwa jika kubilang aku menyukainya, itu adalah pernyataan. Bukan untuk meminta jawaban. Aku ingin bilang padanya bahwa aku mengatakannya karena aku ingin, karena aku tidak ingin menunggu selama delapan tahun yang lain. Sama sekali bukan berniat untuk memintanya menjadi kekasihku, tidak sedikit pun berniat memaksanya untuk membalas perasaanku. Aku menyukainya dan bagiku itu adalah pernyataan yang cukup jelas. Terserah dia mau bagaimana terhadapku, aku tidak peduli.”
“Namun, yang membuat dadaku sesak adalah bukan saat mengetahui kenyataan bahwa hatinya bukan untukku lagi. Lebih dari itu, aku sedih karena kehilangan salah satu orang terbaik di hidupku. Aku kehilangan seseorang yang bisa bebas kucurhati tentang banyak hal tanpa perlu merasa risih dan sungkan, seseorang yang dengannya aku berani berkeluh kesah, tanpa perlu merasa cemas membuka topengku selama ini yang tampak selalu terlihat kuat dan baik-baik saja di hadapan orang-orang, seseorang yang kukenal cukup baik dalam waktu yang cukup lama dan kini harus kembali menjadi orang asing. Aku tidak peduli apakah dia masih atau sudah tidak lagi memiliki perasaan terhadapku, yang kupedulikan adalah kenapa dia harus menghindar? Jika aku masih tetap menjadi orang yang sewajarnya dia kenal saat dia menyatakan perasaanya, kenapa dia tidak bisa melakukan hal yang sama? Kenapa dia memilih pergi? Seperti dia tidak lagi mengenaliku, menempatkanku menjadi orang asing? Apa aku seburuk itu sehingga dia merasa harus perlu menghindar supaya aku tidak lagi bisa masuk ke kehidupannya?”
“Itu terlalu berlebihan. Mungkin dia punya alasan lain kenapa ia memerlakukanmu seperti itu. Dan sama sepertimu, dia barangkali punya sisi dalam hidupnya yang tidak bisa ia ceritakan pada siapa pun. Kalau kamu tidak mendapatkan penjelasannya hari ini, semoga besok lusa meski entah kapan penjelasan itu akan tiba, kamu harus percaya bahwa semua kisah di dunia ini akan berakhir bahagia. Kalau kaurasa tidak, berarti akhir cerita itu belum selesai.”
“Apa pun itu, aku ingin mengajari diriku sendiri tentang arti melepaskan dan menerima.  Bahwa apa pun yang kupaksa betapa pun kerasnya, jika Tuhan tidak mengizinkan itu terjadi, maka sampai kapan pun tidak akan pernah terjadi. Jadi, aku memilih membiarkan semuanya mengalir seperti air. Biarlah, jika hari ini dan seterusnya dia memilih pergi. Aku tidak akan memaksanya agar tetap tinggal. Seperti yang kulakukan sebelumnya, beginilah seharusnya aku. Aku tidak bisa membencinya, dan kalau pun aku bisa, tetap tidak akan kulakukan. Terserah orang mau menilai dia buruk, terserah jika perlakuannyaa padaku pernah membuat hatiku patah, aku tetap akan bilang bahwa dia orang baik. Aku ingin meminjam istilah Pidi Baiq untuk menutup akhir ceritaku malam ini, bahwa jika aku mencintainya itu urusanku. Bagaimana ia kepadaku, itu urusannya.”

Malang, 1 Agustus 2017

Tumblr Wallpaper poster


                                                                        source: tumblr



 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger