Kamis, 05 April 2018

Lika-liku Perjalanan Seorang Ibu Menyusuri Terminal Probolinggo Hingga Belanda


 Probolinggo menuju Malang, 17 Maret 2018
            Pagi itu, selepas menghadiri undangan salah satu kawanku, aku menuju terminal Probolinggo. Mencari bis tujuan Malang, naik salah satu bis kelas ekonomi. Aku duduk di salah satu kursi, di dekat jendela. Tak selang berapa lama, bis yang kutumpangi pun melaju. Tiga puluh menit kira-kira, sesampainya aku di terminal selanjutnya, bis itu berhenti. Dari arah depan, seorang konduktor bus berteriak, “Pak, Bu, oper bis yang di belakang ya!”
            Aku melihat sekeliling, penumpang bis berbondong-bondong untuk turun. Maka aku bergegas, turun dari bis itu dan berpindah satu bis di belakangku. Aku naik dari pintu belakang. Bagian depan tempat duduk masih banyak yang kosong, tapi entah kenapa hari itu aku lebih memilih mencari tempat duduk bagian belakang, di dekat pintu masuk.
            Aku sedang berdiri di lorong bis ketika kemudian kulihat disebelahku ada seorang Ibu parah baya duduk sendirian. Pertama kali melihatku Ibu itu tersenyum, maka aku berkata kepadanya “Bu, sebelahnya kosong?”
            Ibu itu mengangguk ramah, “Kosong Mbak,”
            Lalu aku duduk, di sebelahnya.
            “Mbak, makan.” Ujarnya sambil menawarkan risol yang barusan ia beli dari penjual asongan yang menjajakan dagangannya dari satu bis ke bis yang lain.
            “Iya Bu, terimakasih.”
            Aku mengangguk demi kode etik, menolak dengan halus.
            Tidak ada yang ganjil dari Ibu itu sebelum kemudian aku melihatnya mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah tablet obat kecil.
            “Saya nggak bisa mimum obat kalau nggak sama makanan Mbak,” terangnya, kemudian mengunyah obat itu bersamaan dengan risolnya.
            “Ibu sakit?”
            “Iya mbak, saya kena kanker serviks stadium 3b.”
            Aku sontak terdiam. Sama sekali tidak menyangka Ibu yang terlihat sangat energik di sebelahku ini mengidap kanker serviks.
            “Sudah berapa lama Bu?”
            “Berapa lama ya Mbak, sudah sejak tahun 2017 kemarin.”
             “Tadi itu obat untuk apa Bu?”
            “Itu obat buat meredakan nyeri Mbak. Nyeri di bagian perut. Biasanya saya nggak pernah nyeri begini. Saya juga jarang minum obat,”
            “Memangnya nggak berbahaya kah Bu, kalau obatnya tidak diminum?”
            Ibu itu  menggeleng, “Saya itu kalau nggak kepepet banget, obatnya nggak pernah saya minum Mbak. Saya lebih sering minum teh herbal. Alhamdulillah, setelah minum teh itu kondisi saya jadi lebih fit.”
            Kemudian mengalirlah cerita-cerita dari bibirnya. Cerita pengalaman hidup yang membuatku merasa beruntung karena kalau seandainya aku tidak oper bis, aku tidak mungkin bertemu dengan perempuan hebat itu. Kudengarkan setiap ceritanya dengan seksama. Antara takjub, terharu, serta perasaan-perasaan lain yang meletup-letup diantara kedua itu.
Namanya adalah Bu Botty, lahir sekitar enam puluh sekian tahun yang lalu. Aku lupa saat ia menyebutkan usianya, yang jelas di angka kepala enam.  Ia punya seorang suami yang juga menderita penyakit diabetes sehingga lebih banyak melakukan aktifitas di rumah, dan lima orang anak, empat diantaranya sudah berkeluarga. Beliau berasal dari Probolinggo, ingin mengunjungi salah satu saudaranya yang ada di Lawang, Malang. Hebatnya, di usianya yang tidak lagi muda, dalam kondisinya yang terbilang “sakit parah” ia tetap melakukan banyak hal fisik sendirian. Termasuk perjalanannya kali ini.
            “Ibu kenapa pergi sendirian?” kutanya.
            “Saya sudah terbiasa pergi kemana-mana sendiri Mbak.”
            “Anak-anaknya nggak ada yang nganterin Bu?”
            “Anak-anak saya sibuk semua Mbak.”          
            Saat mendengar jawabannya, ada ngilu yang diam-diam menjalar di dadaku. Seketika aku ingat Ibuku. Membanyangkan aku yang sering membuang banyak kesempatan untuk menemaninya jika ia membutuhkan sesuatu. Jarak yang jauh membuatku tidak bisa setiap saat ada untuknya.
            “Tapi ini lah yang justru memotivasi saya. Anak-anak saya sering bilang “Mama nanti kalau kemana-mana kita anterin, malah jadi manja. Ayo Ma! Mama harus semangat. Nggak boleh nyerah. Mama harus kuat.””
            “Anak-anak saya sering bilang gitu Mbak, justru saya semakin termotivasi buat pergi-pergi sendiri. Saya periksa sendiri, check-up, kemoterapi, sampai opname saya sendiri.”
            “Wah hebat sekali Bu,” aku tidak bisa menahan diri untuk memberinya apreasiasi. Bahkan dalam salah satu ceritanya, ia mengatakan pernah pergi mengunjungi saudaranya di Jombang dengan mengendarai sepeda motor sendiran. 
            “Mbak, kemoterapi itu rasanya sakit sekali. Benar-benar sakit. Bahkan sebagian besar penderita kanker biasanya gundul. Tapi Alhamdulillah selama kemoterapi rambut saya belum pernah ada yang rontok.”
            “Iya kah Bu?” Awalnya aku tidak percaya, tapi kemudian ia menarik bagian atas ped jilbabnya. Menunjukkan bagian rambutnya yang masih nampak tebal. Aku ternganga.
            “Sampai dokternya menjambak rambut saya berkali-kali Mbak, dia bilang “Kok Ibu ini kuat sekali? Rambutnya tetap nggak rontok padahal sudah saya jambak””.
            “Tapi Bu, kok bisa nggak rontok?” aku masih penasaran.
            Bu Botty tersenyum, “Soalnya orang sakit itu harus kuat fisik sama pikiran Mbak. Saya selalu merasa saya ini sehat walaupun saya sakit. Pokoknya rasa sakit itu harus bisa saya lawan, saya nggak boleh lemah. Banyak teman-teman saya, yang juga sama-sama mengidap kanker merasa tidak sekuat saya saat sedang dalam masa pengobatan. Saya kasih semangat sama mereka, padahal usia meraka ada yang jauh lebih muda dari saya,  saya bilang  ‘Kamu harus semangat! Nggak boleh lemah!’"
            “Saat teman-teman saya di rumah sakit harus dipapah waktu mau ke kamar mandi, saya memilih jalan sendiri sambil bawa infus. Padahal, stadium sakitnya lebih ringan daripada saya. Orang sakit itu harus kuat, jangan sedikit-sedikit ngeluh, merasa dirinya lemah, dan merasa nggak bisa berbuat apa-apa. Selain itu, saya juga nggak mau ngrepotin orang lain Mbak.”
            Aku semakin terkagum-kagum dengan Ibu ini. Rasanya aku seperti sedang mendengarkan cerita dari seorang perempuan berumur tiga puluhan. Fisiknya energik dan wajanya masih tetap awet muda. Siapa pun yang baru mengenalnya pasti tidak menyangka bahwa ia tengah mengidap sakit.
           Aku semakin larut dalam ceritanya saat ia mulai menceritakan kisah hidupnya. Perjalanan hidupnya beberapa tahun ke belakang. Bermula ketika seorang pengamen naik ke atas bis yang kutumpangi. Bu Botty mengarahkan tatapannya pada pemuda yang sedang bernyanyi di lorong bis bagian depan. Lalu ia berujar kepadaku, “Mbak, itu dulu dia ngamen sejak waktu dia masih kecil. Sampai sekarang.”
            “Masnya yang itu Bu?”
            “Iya.”
            “Ibu kenal?”
            “Dulu Ibu sering ketemu dia waktu masih kerja jadi kondektur bis, Mbak.”
            “Kondektur Bu?”
            “Iya Mbak, saya dulu pernah kerja jadi kondektur bis. Pertama kalinya ada kondektur bis perempuan di terminal Probolinggo waktu itu, saya bilang sama supirnya, awalnya nggak diterima tapi setelah memohon dan berhasil meyakinkan, akhirnya saya diterima kerja.
            “Keras kalau ingat pengalaman saya waktu itu Mbak. Saya kerja di jalan, nahan ngantuk, yang paling berat itu mencatat nomor tiket sama jumlah kursi penumpang. Selama perjalanan saya harus tetap terjaga. Nggak boleh tidur. Saya masih ingat awal saya jadi kondektur bis jurusan Banyuwangi. “
             Aku masih asik menyimak perjalanan Bu Botty, yang masih antusias menceritakan beberapa bagian perjalanan hidupnya. Mendadak aku jadi teringat seorang tokoh bernama ‘Sri Ningsih’ dalam novel Tere Liye yang berjudul ‘Tentang Kamu,’.
            “Waktu itu Mbak, saya kerja apa saja sebisa saya, yang penting halal. Saya kerjakan apa saja buat membiayai anak-anak saya sekolah. Memang suami saya juga bekerja, sama-sama kerja di terminal. Tapi saya harus tetap bantu suami saya, karena kebetuhan ekonomi saat itu banyak sekali.”  
            “Sampai akhirnya waktu itu, ada sanak saudara yang menawarkan saya bekerja di restaurant. Di Belanda Mbak. Tahun 2000 waktu itu. Saya memutuskan merantau. Biar anak-anak saya di rumah sama Bapaknya. Saya nekat pergi ke luar negeri.”
             “Saya bekerja di restaurant. Masak makanan khas Indonesia di area Halal Food di Belanda. Gajinya lumayan tapi saya tidak bisa pulang setiap tahun sampai lima tahun kemudian, tahun 2005 saya pulang ke Indonesia.”
            “Awal kerja di sana, saya nggak hapal sama jalan-jalannya, tapi saya selalu pergi-pergi sendiri. Pokoknya kalau nyasar, saya tinggal telpon teman saya.” Bu Botty tertawa,
            “Waktu itu saya bawa kamera kecil dari rumah, jadi setiap saya pergi ke suatu tempat selalu saya sempatkan untuk mengambil foto. Buat kenang-kenangan, kapan lagi saya bisa keluar negeri. Sekarang kalau semua foto itu dikumpulan ada seribuan lebih. Saya buat album di rumah, sering dilihat sama anak-anak dan cucu-cucu saya. Anak-anak saya sering menggoda saya, katanya, “Mama ini bergaya sekali ke luar negeri padahal di sana  cuma jadi babu,” Saya bilang, “biarin babu, yang penting babu elit karena pernah pernah pergi ke Eropa,”” Bu Botty tertawa. Aku nyengir mendengarnya.
            “Mbak, saya ada cerita lucu waktu itu. Saya pernah ditangkap polisi Prancis.” Katanya sambil terkekeh.
            “Prancis Bu?”
            “Iya Mbak, selama bekerja di Belanda saya berkesempatan mengunjungi beberapa negara Eropa. Salah satunya Prancis. Jadi waktu itu ada larangan untuk mengambil foto di depan menara Eiffel dengan batas jarak tertentu. Tapi saya tetap foto di sana, melanggar batas itu. Karena ketahuan, akhirnya saya ditangkap sama polisi Prancis, di tahan beberapa waktu sampai akhirnya Saudara saya datang dan saya dibebaskan,“
             Aku terkekeh mendengarnya, “Pengalaman Ibu seru sekali ya Bu,”
            Dia tersenyum, matanya mengawang jauh ke dapan. Mungkin ia sedang kembali ke masa lalu.
            “Kalau lihat foto-foto saya jaman dulu, rasanya saya pengin ketawa Mbak. Waktu itu saya masih muda, saya belum berhijab seperti sekarang. Masih berpakain pendek, sambil bergaya macam-macam. Cucu-cucu saya sering protes kenapa Omanya dulu bisa begitu.”
            Cerita Bu Botty soal Belanda, Eiffel, dan Eropa membuatku merasa seolah jarak Malang ke Belanda cuma lima kilometer saja. Aku jadi bisa membayangkan negara-negara itu lewat ceritanya.
            “Maaf ya Mbak, saya jadi malah cerita panjang sekali.”
            “Oh, nggak apa-apa Bu. Saya justru senang dengerin cerita Ibu.”
            “Saya sampai lupa, Mbak namanya siapa?”
            “Saya Sinta Bu,”
            “Kuliah di Malang?”
            “Iya,”
            “Anak saya dulu juga kuliah di Malang Mbak, sekarang anak-anak saya sudah besar. Sudah lulus semua. Perjuangan saya buat menyekolahkan anak-anak saya sampai sarjana sudah selesai. Mereka sudah tahu bagaimana seharusnya mereka membalas jasa orangtua.”
            Kelima anaknya semuanya berhasil. Dari cerita beliau, aku mengetahui bahwa ada seorang anaknya yang sekarang menjadi lurah di desanya, ada yang bekerja di proyek sebagai arsitek, ada yang membuka warung usaha, ada juga yang menjadi guru. Ibu-ibu hebat akan melahirkan anak-anak yang hebat pula.
            Tidak terasa hampir tiga jam aku berbincang dengan Bu Botty. Macet long weekend di ruas jalan Malang-Purwosari membuat perjalanan Malang-Probolinggo menjadi satu jam lebih lama dari seharusnya. Sampai akhirnya bis itu membawa kami menuju Donatello, aku tahu waktuku berbincang dengan Bu Botty tidak akan lama lagi. Sebentar lagi tiba di Lawang, itu berarti Bu Botty akan segera turun.
            “Mbak, Ibuk sebentar lagi turun.” Ujarnya sambil mengemasi barang-barangnya.
            “Terimakasih ya sudah mau dengerin cerita Ibu,”
            Aku sekali lagi mengangguk. Harusnya saya yang bilang terimakasih Bu, cerita Ibu menginspirasi sekali.
            “Hati-hati nanti di jalan ya. Semoga sukses kuliahnya,”
            “Aamiin Bu, terimakasih. Ibu juga semoga lekas sembuh ya Bu,”
            Ada perasaan haru karena sebentar lagi aku akan berpisah dengan Bu Botty.  Banyak pelajaran yang kudapat dari perjumpanku dengannya. Tentang kerja kerasnya, semangat hidupnya, keberaniannya melawan kerasnya hidup, juga pengorbanannya untuk keluarga dan anak-anaknya.
Saat akhirnya Bu Botty memohon diri untuk berpindah kursi persis di sebelah pintu keluar dengan tujuan supaya lebih mudah saat hendak turun nanti, aku dilema dengan pikiranku sendiri. Ada sesuatu yang mengganjal benakku. Aku ingin bertemu dengannya lagi di lain kesempatan, apalagi saat kutahu ia sering berkunjung ke Malang. Tapi bagaimana?
            Tinggal menunggu detik lagi, Bu Botty akan segera turun . Aku menghitung mundur dalam hati. Inilah saatnya, ragu-ragu aku akhirnya  bertanya:
            “Bu, ada nomor telepon yang bisa dihubungi? Boleh saya minta nomornya?”
            Tidak disangka, ia merespon dengan sangat baik. Ia segera mengambil sebuah ponsel mini di tasnya, mendikte nomor teleponnya.
            “Coba miscall saya Mbak,”
            “Sudah masuk Bu?”
            “Iya Mbak sudah, saya simpan ya.”
            “Mbak, kapan-kapan kalau saya di Malang nanti saya hubungi ya, siapa tahu nanti bisa ketemu lagi.”
            Aku mengangguk, “Iya Bu siap.”
            Di depan sana, pada halte yang membuat akhir pertemuan itu berujung. Di tengah gerimis yang perlahan mulai menderas, Bu Botty turun dari bis setelah sebelumnya menjabat tanganku. Melambaikan tangannya dan tersenyum.
            Aku yang masih sempat melihatnya dari kaca jendela saat bis perlahan mulai melaju, melambaikan tangan dari kejauhan.
            Sampai jumpa lagi Bu, semoga nanti saat berkesempatan bertemu kembali, Ibu sudah sehat dan tidak sakit lagi.

Foto dokumentasi pribadi

     
Malang, 05 April 2017
21:59 WIB
           



           
                       
           
           
           
           
           
           
           
           

           
                       
           
           

            




           
           









Selasa, 03 April 2018

Kenapa Kamu Menyukaiku?


“Kenapa kamu menyukaiku?” kutanya.

“Karena kamu berbeda,” ia menjawab.

“Dari sisi mana kaulihat?”

“Dari caramu memperlakukanku dengan cara yang berbeda dari orang-orang kebanyakan.”

“Kamu hanya tidak tahu aku melakukannya pada semua orang,” kujawab.

“Kalau begitu karena kamu unik,” ujarnya lagi,

“Darimana kamu menilai?”

“Dari tiap sisi dirimu yang tidak kutemukan pada diri orang lain,”

“Itu karena semua orang tidak mungkin punya ciri yang sama, semua orang unik karena mereka berbeda.”

“Mungkin ini adalah alasanku yang terakhir, aku menyukaimu karena kamu baik.”

“Apa yang membuatmu mengatakan itu?”

“Dari caramu menolongku saat aku sedang butuh bantuan.”

“Kamu tidak menyukaiku, kamu hanya sedang merasa berhutang budi.”

Dia diam. Menatapku, lamat sekali. Mencari pembenaran atas pernyataannya.

“Lalu harus kujawab apa, supaya kamu percaya?”

Aku menggeleng, “Tidak perlu kaujawab,”          

“Tapi kamu bertanya,”

“Dan kamu merasa perlu untuk mengatakan jawabannya?”

“Karena aku hanya ingin mengutarakan semuanya,”

 “Mengutarakan apa?”

“Bahwa aku menyukaimu,”

“Kamu tidak menyukaiku,”

“Darimana kamu menyimpulkan?”

“Dari caramu menjawab pertanyaan-pertanyaanku barusan,”

“Memang bagaimana seharusnya?”

“Kamu hanya akan diam.”

“Apa maksudmu?”

“Iya, kamu hanya akan diam sebab kamu tidak akan menemukan jawabannya. Aku hanya ingin percaya jika kamu benar-benar menyukai seseorang, kamu tidak akan sibuk merangkai alasan-alasan yang membuatmu menyukainya. Kalau perasanmu tulus sungguhan, bagaimana pun dirinya, kamu tetap akan menyukainya. Tidak peduli apakah ia berbeda, apakah ia unik, apakah ia baik dan lainnya. Kamu seharusnya tidak menemukan jawaban apa pun atas pertanyaan yang kulontarkan padamu. Sesederhana itu.”

“Aku menyesal,”

“Untuk apa?”

“Karena telah menjawab pertanyaanmu,”

“Tidak perlu,”

Aku mengamatinya. Ada raut menyesal di wajahnya.

Kemudian sebelum pernyataan itu berlanjut lagi aku segera berkata,

“Pergilah, temukan orang lain. Yang bisa membuatmu jatuh cinta tanpa kauharus sibuk menjelaskan banyak hal kenapa kaubisa menyukainya.”

Aku berdiri.

Tersenyum menatapnya sekali lagi.

Melambaikan tangan ke arahnya.

Bergegas pergi.


  
               
               
Malang, 3/04/18
22:22 WIB
Sinta IF
 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger