Jumat, 15 November 2013

Di Kolong Jembatan


Sebuah naskah, untuk siapa pun pahlawanku.

Meskipun kita belum bisa menyamai jasa para pahlawan
Setidaknya kita masih bisa menginspirasi dan mencerahkan
-Chintaro-


Seperti biasa, siang ini aku kembali harus sibuk dengan debu, polusi, terik matahari juga kemacetan jalanan kota. Berjalan dari kendaraan satu ke kendaraan lain, bermodalkan gitar tua dan satu kantong plastik bekas, aku siap menjual suara. Harus kuakui memang, suaraku jauh dari kata merdu. Fals disana-sini, tapi toh aku sedang tidak mengikuti ajang kontes menyanyi, aku hanya sedang bekerja, biar dapur kami tetap mengepul dan hari ini aku dan keluargaku bisa nyaman tidur.
            Lihatlah, ketika anak-anak sebaya kami tengah sibuk bermain dan tertawa sepanjang hari, belajar di sekolah, menggunakan seragam lengkap, bersepatu, menenteng tas dipundak. Aku sungguh sangat ingin seperti mereka, nasib anak-anak yang beruntung. Sayangnya, aku tidak seberuntung itu, yang aku tahu hanya sibuk bekerja membantu perekonomian keluarga. Pendapatan bapak yang hanya menjadi pemulung tidaklah banyak, terlebih lagi ibuku yang hanya menjadi buruh cuci. Masih ditambah lagi dengan biaya kebutuhan adikku yang tahun ini memasuki tahun pertamanya di taman kanak-kanak.
            Maka demi adikku, aku rela putus sekolah. Hanya tamat kelas satu sekolah menengah pertama. Tidak apa-apa, aku masih bisa belajar meski tanpa duduk di bangku sekolah formal. Aku masih bisa membaca dari buku-buku bekas yang kubeli dari tukang rongsok di tengkulak bapak. Terlebih, aku masih bisa belajar banyak hal bersama teman-temanku yang lain-yang nasibnya juga sama tidak beruntungnya dengan aku-hal yang sepatutnya harus kusyukuri karena setidaknya kami masih memiliki seseorang yang peduli, seseorang yang bagiku sudah seperti malaikat kami.
            Namanya Galih. Entah kami harus menyebutnya dengan nama apa, relawan? guru? Atau malaikatkah? Yang jelas, jika ada istilah manusia berhati malaikat dalam kamus besar bahasa Indonesia, aku sudah pasti akan menggunakan kata itu untuk merujuk sosoknya.
            Dia pemuda berusia sekitar dua puluh satu, prediksiku. Seorang mahasiswa salah satu universitas negeri di kotaku, kota metropolitan. Jakarta. Kota dimana banyak senyum-senyum mengembang juga tangis-tangis yang meradang. Sangat kontras jika melihat gedung-gedung pencakar langit di kota ini disandingkan dengan rumah tinggal kami; kolong jembatan dipinggir kali. Miris.
            Kami semua memanggilnya Kak Galih. Biasanya dan seperti itulah rutinitasnya, dia akan datang ke ‘rumah’ kami setiap hari Jumat dan Minggu sore. Sesekali dia datang bersama teman-temannya yang lain. Membawa banyak buku-buku bacaan, papan tulis mini, juga tak jarang sembako untuk keluarga kami dan makanan ringan. Mengajari kami banyak hal. Dan ajaibnya tidak peduli meski tugas kuliahnya menumpuk, demi memberikan kami ilmu, dia masih meluangkan waktu.
Dan lagi, setiap minggu dia tak pernah alpa membawa gitar. Mengajari kami cara bermusik yang baik, sekaligus sebagai hiburan bagi kami setelah seminggu melepas peluh.
            Kami memulai “kelas jelajah dunia”-nama yang dia gunakan untuk kelas itu- tepat pukul empat sore. Selepas kami pulang dari mengadu nasib di jalanan.
            Berhubung sekarang hari Jumat dan sebentar lagi pukul empat, maka aku memutuskan pulang. Jadwal yang sengaja aku ubah lebih awal dari biasanya.
            Disana, mereka sudah duduk takzim diatas tikar. Menyimak penuh antusias ke arah Kak Galih yang berdiri di depan. Mereka sebagian besar anak-anak sebayaku, sebagian lagi sepadan dengan adik kelasku dan ada beberapa yang setingkat dengan kakak kelasku. Semua belajar menjadi satu. Kami belajar bersama, tidak memedulikan usia.
            Begitu aku tahu kelas sudah dimulai, maka aku segera menghambur, mengambil tempat diantara mereka.
            “Baru pulang Rud?” Kak Galih bertanya, aku mengangguk. Mengiyakan.
            “Kesini!” wajahnya yang selalu tulus itu tersenyum, tangannya melambai ke arahku.
            Aku menurut, beranjak ke arahnya.
            “Ini ada kertas, kamu isi ya. Tulis apa cita-cita kamu disana, apa pun yang ingin kamu tulis, tulis! Mengerti?’
            Aku mengangguk, meski separuh otakku bersikeras menyatakan protes tidak terima. Cita-cita? Aku bahkan asing mendengar kata itu. Bagiamana pula mau menuliskannya?
            Aku menyikut Reno, salah satu temanku yang tengah asyik menuliskan sederetan cita-citanya di atas kertas. Sekilas melirik selembar kertas ditanganku, masih kosong. Aku menghela napas. Reno menoleh.
“Kenapa Rud?” tangannya masih asyik menulis.
“Gua bingung No mau nulis apa. Gua nggak ngerti sama cita-cita gua, boro-boro No gua ngerti, denger namanya aja gua asing.” Aku berkata lesu.
Reno menghentikan gerakan tangannya, menatapku ganjil. Lalu tertawa, menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ckck, Rudi, Rudi! Lu kan bisa nulis apa pun semau lu. Lu pengen punya rumah mewah, sedan gede, pesawat, helikopter, kapal pesiar atau apa pun! Gitu aja masak lu nggak ngerti?” kali ini dia nyengir, mengacak-acak rambutnya yang semakin terlihat gimbal, jarang keramas.
“Itu termasuk cita-cita ya No?” aku bertanya ragu, Reno dengan cepat mengangguk sebelum bergelut dengan kertas ditangannya lagi.
            Aku butuh waktu lima belas menit untuk berpikir, sampai akhirnya dikepalaku terlintas kata yang menurutku spektakuler. Karena setidaknya, dulu ketika aku masih sekolah, aku sering mendengar kata itu. Paling sering di mata pelajaran kewarganegaaran tak jarang juga di mata pelajaran sejarah.
            Ragu-ragu aku menuliskannya, karena sejujurnya aku masih belum yakin apakah kata ini bisa disebut sebagai cita-cita atau tidak.
            Aku ingin jadi pahlawan. Yang membela tanah airku dari penjajah. Dan berperang gagah di medan perang.
            Aku tersenyum membaca tulisanku sendiri. Pertama karena setidaknya kertasku tidak lagi kosong. Kedua karena aku sadar benar, kalimatku barusan terdengar konyol.
            Kak Galih menyuruh kami segera mengumpulkan kertas itu. Kami menurut, ditangannya sudah ada berlembar-lembar kertas berisi cita-cita kami.
“Kalian tahu cita-cita apa yang paling mulia?” matanya tajam menatap kami satu persatu..
“Semua cita-cita itu mulia, adik-adik. Kalian tahu kenapa?” Dia memberi jeda pada kalimatnya. Semua serius mendengarkan, tidak sabar menunggu jawaban
“Karena cita-cita itu sendiri adalah harapan indah yang selalu ingin diwujudkan. Sesulit apa pun cita-cita kalian, kalau kalian mau berusaha keras untuk menjadikannya kenyataan, maka tidak ada yang mustahil. Jarak antara mimpi dan cita-cita kalian, hanya seperjuta mili saja.”
Kami semua fokus mendengar kalimatnya. “Dan lagi, apa pun pekerjaan kalian kelak, apa jabatan kalian besok itu bukan yang terpenting. Yang terpenting adalah apa yang kalian kerjakan bisa bermanfaat untuk orang lain, orang-orang di sekitar kalian. Membantu banyak orang, berbagi kebahagiaan. Itu sudah lebih dari cukup.” Lantas Kak Galih tersenyum. Wajahnya yang selalu tulus kepada kami terlihat berseri-seri.
Selembar kertas terjatuh dari tangannya, Kak Galih mengambil kertas itu kemudian mengamatinya beberapa detik. Setelahnya aku bisa melihat ekpresinya berubah, sulit ditebak.
“Ah ya! Dan kamu Rudi!” Kak Galih menatapku. Membaca isi kertas itu keras-keras.
“Cita-citamu ingin jadi pahlawan?”
            Sontak semua temanku tertawa, aku nyengir menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Kak Galih menatapku dengan senyum jumawa.
            “Rudi, seorang pahlawan itu nggak harus selalu ikut perang di medan perang, nggak harus selalu mengusir penjajah, Dik. Nggak harus bawa senjata, pakai baju tentara. Banyak pahlawan-pahlawan di sekitar kita yang tanpa kita sadari, perannya sangat luar biasa. Kalian lihat ibu kalian, ayah kalian. Mereka setiap hari bekerja keras, banting tulang. Tanpa peduli meski hujan deras, meski mereka sedang sakit. Semua itu demi kalian.”
Aku mencerna kalimat itu dalam-dalam. Kemudian refleks kuedarkan pandanganku ke penjuru kolong yang merangkap rumah bagi beberapa kepala keluarga. Ibu dan Bapak ada diantaranya. Pertama, mataku terfokus pada Ibu yang sedang menggendong Tina-adikku satu-satunya. Tangannya yang lain membantu Bapak memilah-milah sampah hasil keringatnya hari ini. Ada getir yang diam-diam menyelinap di dadaku. Kak Galih benar. Mereka berdua adalah pahlawan. Setidaknya untuk diriku sendiri dan adikku.
Kak Galih mengehentikan kalimatnya sejenak. Memperbaiki letak kacamatanya. Matanya menyusuri setiap fokus pandangan mata kami.
“Nah dengar, jadilah anak-anak yang baik. Jadilah pahlawan untuk orang-orang di sekitar kalian. Kalian harus punya mimpi, punya cita-cita. Tidak ada yang mustahil selama bumi ini masih berputar. Kalian yang akan mengubah nasib kalian sendiri. Kalian sendiri yang akan menentukan masa depan kalian.” Kak Galih berhenti sejenak, melirik arloji di tangannya.
“Kalian paham adik-adik?” senyumnya kembali hadir. Kami semua seperti terhipnotis mendengar seluruh kalimat-kalimatnya.
Bengong, terpaku, berapi-api, jadi satu.
Begitulah, sore ini kami menghabiskan waktu dengan bercerita tentang masa depan, semangatku dan teman-teman seketika berkobar-kobar mendengar seluruh kalimat dan nasehat yang dia berikan.
Sungguh, jika Kak Galih tadi bilang bahwa pahlawan itu berarti melakukan hal yang bisa bermanfaat untuk orang lain. Maka bagiku, dia juga adalah pahlawan. Dia tulus meluangkan waktunya demi kami. Membagi ilmu, mengajari kami banyak hal, memotivasi kami tanpa pamrih. Bagiku dan teman-teman, kehadirannya dua kali seminggu di ‘rumah’ kami sudah lebih dari cukup.
Kehadirannya membuat kami sedikit berkompromi dengan masa depan, meskipun dalam keterbatasan. Dia merengkuh aku, teman-temanku juga orang-orang yang tinggal di kolong jembatan ini tanpa pamrih. Membebaskan kami dari jeratan kebodohan, dengan apa-apa yang ia ajarkan.
Sungguh dia orang yang baik. Manusia berhati malaikat, orang yang masih mau peduli dengan nasib orang-orang seperti kami. Karena sejujurnya, rasa kepeduliaan mengalahkan apa yang tidak bisa kami miliki. Dan kepeduliannya melengkapi apa yang selama ini sudah kami punya.
“Nah kita ketemu lagi hari Minggu ya! Sekarang kakak mau pulang dulu. Sebentar lagi hujan.”
Kak Galih tersenyum sekali lagi pada kami. Lalu kakinya melangkah, menyusuri setiap tempat di lorong ‘rumah’. Meminta izin pulang pada penghuni lainnya, termasuk orang tua kami. Mereka menyambut izinnya dengan ramah, seperti biasa berkali-kali bilang terimakasih. Atas sembako yang dia bawa dan ilmu yang dia ajarkan untuk anak-anak mereka.
Lihatlah, dia berjalan di jalan tanjakan menuju jalan raya. Berlari-lari kecil, sambil tangannya melambai pada kami. Tidak peduli karena ternyata hujan lebih dulu turun dari prediksinya saat ia menengok arloji. Hujan membungkus tubuhnya yang jangkung itu dengan titik air, jaket jeansnya basah.
Tapi sekali lagi, dia manusia berhati malaikat. Dan seorang malaikat tidak pernah takut dengan air hujan.
Jumat, 8 November 2013
20:32 WIB
Yogyakarta
Langit Senja.

Sabtu, 09 November 2013

Omong Kosong

Lupakan soal korupsi dan tipu daya yang membabi buta
Sekarang bukan saatnya kita bersuara
Yang katanya minta keadilan
Kesejahteraan
Kemakmuran
Kebahagiaan
Omong kosong!
Ini waktu bukan mengintimidasi
Mari beranjak dan jangan sesali
Melangkah dan bertempur di arah yang hakiki
Lupakan soal porakporanda dan kemiskinan yang merajalela
Sekarang bukan saatnya kita memelas dan bermuram durja
Yang katanya minta perubahan
Kekayaan
Kehormatan
Jabatan
Omong kosong!
Ini waktu bukan mengekang
Majulah dan terus berjuang
Ini bukan soal jabatan apalagi uang
Negeri kita kaya loh jinawi
Akar-akarnya kamakmuran dari surgawi
Benderanya sang saka merah putih
Sisa bukti dari jiwa-jiwa yang gigih
Berkibar gagah tanda kemerdekaan
Bak fenomena nyata perjuangan
Indonesia kita bukan hanya sekedar peta; tanpa makna
Tapi soal hidup dan mati atas tiap peluh yang mendera
Ini kali waktu untuk maju
Berdiri di depan kobarkan api kejayaan
Hentikan omong kosong
Segera bangkit dan berdirilah
Demi jiwa dan tumpah darah
Di negerimu; Indonesia
Sabtu 12 Oktober 22.31 WIB
Langit Senja
Yogyakarta

Rabu, 30 Oktober 2013

Sepulang Gereja



Sudah tidak terhitung lagi, ini kali ke berapa aku melakukan ritual yang sama. Sudah berminggu-minggu, sejak kedatanganmu ke kota ini. Selepas gerejaku sore tadi, aku terburu-buru hendak menemuimu. Di sebuah desa kecil tempat kau mengajari anak-anak banyak hal. Membaca dan menulis, mendongeng dan bercerita. Apa saja.
Seperti biasa, aku menunggumu di depan pintu pagar bangunan itu. Bangunan yang tidak terlalu besar tapi banyak menyimpan nilai-nilai kesederhanaan. Disanalah sebagian besar waktumu kauhabiskan, yang ajaibnya meski tugas kuliahmu padat seharian tapi demi anak-anak itu, kamu rela meluangkan waktu.
Barulah saat anak-anak itu berhamburan keluar dan tugasmu sudah usai, kamu akan berjalan anggun menghampiriku. Kerudung biru laut yang menempel di kepalamu terlihat begitu teduh dan menenangkan, digerak-gerakkan angin. Membuat wajah teduhmu semakin terlihat cantik. Menatapmu dari jarak beberapa meter dari tempatku berdiri, aku cuma bisa tersenyum.
"Udah lama nunggunya ya?" Kamu bertanya. Dengan senyum sumringah dan wajah teduh sempurna. Ya Tuhan, bahkan memandangimu sekilas saja mulutku sudah terbata-bata.
"L-umayan." aku semakin salah tingkah.
Kamu melirik jam tangan di tangan kananmu, sekilas. "Pulang sekarang?"
Aku mengangguk. Lalu tanpa diberi perintah kita sudah sama-sama melangkah. Begitulah, selama perjalanan pulang yang sering terjadi hanyalah lengang. Aku sedikit tanya basa-basi, kamu menjawab normal sewajarnya, begitu sebaliknya.
Dan langkah kita akan sama-sama terhenti persis di ujung jalan.Seperti biasa, menunggu bus kota. Sekali dua kali kamu menghela napas pendek, tidak juga datang.
"Bis nya lama ya?" kamu nyengir menatapku. Memperlihatkan gigi kelincimu yang putih dan berjejer rapi.
Aku tertawa pendek, memasang muka "sabar saja!" dan kamu bukannya mengangguk justru menggeleng pelan.
"Sebentar lagi maghrib," sambil tersenyum.
Aku ber'oh' pelan sambil menyeka dahiku yang sedikit berkeringat.
Sudah lima belas menit lalu bus kota tak kunjung tiba. Membuatmu resah dan berkali-kali melirik arloji. Kapan bus nya datang?
"Kalau maghrib masih lama, aku pasti nggak akan secemas ini."sekali lagi kamu tersenyum, meski aku tahu kamu sudah hampir putus asa menunggu.
Aku paham maksudmu, jelas saja. Kalau sampai lepas maghrib nantii kamu belum sampai rumah, bagaimana mungkin kamu meninggalkan sembahyang rutinmu itu?
"Mau aku antar, sekarang?" ragu-ragu aku bertanya. Alis hitam tebalmu terangkat. Seolah bertanya, "kemana?"
"Di dekat sini ada masjid." aku menunjuk salah satu gang dimana masjid itu didirikan. Kamu beberapa detik lamanya diam, menimbang-nimbang.
"Oke, aku sholat disana. Biar aku pergi kesana sendiri, ya!" kamu menatapku, tersenyum lagi.
Aku dengan cepat menggeleng. "Aku akan mengantarkanmu kesana!"
Setelahnya aku bisa mendengar intonasi suaramu meninggi. "Kamu tetap disini. Nggak masalah aku menunggu lama, rumahku nggak terlalu jauh dari sini. Tapi kamu? Rumahmu jauh. Kamu akan pulang larut kalau sampai kamu ketinggalan bis."
Kamu lupa kalau aku keras kepala. Aku dengan cepat menggeleng tegas bahkan sebelum kalimatmu barusan usai. Bagaimana mungkin aku akan membirkanmu sendirian menunggu bus malam-malam begini seorang diri? Kamu perempuan, dan aku-laki-laki-yang saat ini sedang bersamamu, bertanggung jawab menjagamu, atas hal apa pun itu.
"Nggak masalah. Bahkan aku akan menunggu bis itu datang sampai besok kalau perlu. Asal aku bisa pulang bersamamu." mataku menatapmu tajam. Samar-samar, aku lihat pipimu berubah warna. Bersemu merah. Aku terkekeh sendirian melihatmu salah tingkah.
Kemudian begitulah, sampai akhirnya aku untuk yang kedua kalinya-hari ini-menunggumu di depan sebuah bangunan. Bukan bangunan sederhana seperti tempatmu mengajari anak-anak, tapi bangunan berkubah tempatmu mengeja nama Tuhan.
"Makasih ya, udah nungguin." kamu tersenyum tulus, bibirmu melengkung senyum lagi.
Aku mengangguk, sama-sama.
"Ar?" kamu menyebut namaku, aku menoleh.
"Maafkan aku untuk hal-hal yang nggak bisa kulakukan kepadamu, sama seperti kamu melakukannya untukku." suaramu serak, menggigit bibir. Getir. Aku jelas mengerti kemana arah pembicaraanmu.
Akhirnya aku cuma bisa tersenyum, tidak apa-apa.
Dan kamu, demi melihat senyum itu, berhenti menggigit bibir. Senyummu kembali hadir.
"Al," mungkin suaraku terdengar lebih kecil dari desau angin, kamu tidak mendengar.
"Al, Aliyah?" kuulangi sekali lagi, dan tanpa menunggu enterupsi selanjutnya kamu sudah menoleh. Mimik mukamu seolah bertanya, "ada apa?"
"Gimana kalau kita lari? Lomba ya?" wajahku sumringah, kamu antusias.
Dan selanjutnya yang terjadi kita sudah berlari, secepat mungkin. Menuju tempat kita tadi menunggu bus. Kamu kelelahan, berkali-kali ngos-ngosan. Tapi beberapa detik berikutnya wajahmu kembali sumringah. Berjingkrak-jingkrak pelan. "Horee! aku yang menang. Kamu kalah!" seperti anak kecil, intonasimu saat menyebut kalimat itu terdengar menyenangkan.
Dan aku cuma bisa ketawa. Berikutnya disusul tawa milikmu. Tentu saja, aku cuma mengalah. Aku membiarkanmu menang, dan aku bisa melihatmu bertingkah seriang itu.
Dua menit setelah percakapan seru tentang lomba lari itu selesai, persis saat kamu mulai lelah untuk ketawa lagi, apa yang sejak tadi kita tunggu berjalan mendekat. Masih beberapa meter lagi. Itu bus yang kita tunggu-tunggu.
Matamu membulat senang, menunjuk bus itu. "Bisnya datang!" lalu nyengir lebar. Aku demi melihat wajah riangmu balas tersenyum.
"Nggak terlalu lama akhirnya datang juga." kamu berujar senang, "Alhamdulillah."
"Puji Tuhan, lomba lari tadi ternyata ada untungnya juga!" aku bergurau, dan mendadak tawamu yang mulai reda kembali berguncang lagi.
****
Rabu, 30 Oktober 2013
22.15 WIB
Langit Senja.
Yogyakarta.

Minggu, 01 September 2013

Biodata Cinta

Jadi siang itu di sela-sela pelajaran bahasa Indonesia Tono menawari kami beberapa lembar kertas berisi biodata. Tepatnya menawari Azizah, Rey dan aku. Tempat duduk Tono dan Rey saat itu masih di belakang mejaku. Maka demi memerhatikan penawarannya aku dan Azizah menoleh ke belakang dan mendengarkan dia berorasi layaknya seles sedang menewarkan produk dagangannya.
"Aku punya biodata lho, kalian mau ngisi nggak?" katanya riang sambil memamerkan kertas ditangannya kepada kami bertiga.
"Apa tuh?" bingung aku bertanya.
"Ini biodata cinta. Kalian pada ngisi ya?" bujuknya pada kami.
Aku memerhatikan kertas itu dengan rinci, kuraih satu lembar dari tangannya. Kemudian membaca tulisan disana. Dan betapa kagetnya aku karena-sumpah-isi biodata itu benar-benar sukses membuatku ngakak terpingkal-pingkal.
"Ahahaha, apaaan nih?" aku mulai bertanya, "masa ada pertanyaan jumlah mantan pacar, nama pacar siapa terus sama orang yang disukai siapa sih? haha, nggak mutu banget biodatamu!" aku masih tertawa, Tono mengeryitkan dahinya.
"Heh, jangan ngeledek ya! Itu biodata bagus tau! Kamu isi deh, kalian juga. Ya?"
Aku masih sibuk mengamati biodata itu sambil geleng-geleng kepala sendiri. Selain pertanyaan-pertanyaannya yang absurd, biodata itu juga terkesan lucu sekaligus nggak nguatin. Selanjutnya pandanganku beralih pada dua orang yang daritadi mendengarkan instruksi Tono dengan takzim. Kulihat wajah mereka berseri-seri, terlihat sekali kalo mereka memang sangat antusias mengisi biodata itu. Dasar!
"Nih! Isi ya!" Tono mulai membagikan kertas itu pada kami.
Sekilas kulirik Azizah yang langsung mengambil bolpoint begitu biodata itu dibagikan.
"Serius mau kamu isi Zah?"
"Iya dong."
Pandanganku kuedarkan lagi ke arah Rey. Dia nampaknya juga tengah asyik dengan biodata ditangannya. Ya ampun, kesambet apa sih mereka?
Mereka sudah mulai mengisi tiap-tiap pertanyaan dari biodata itu ketika aku masih dengan santainya melirik iseng ke arah jawaban mereka dan belum mengisi apa-apa.
"Zah serius kamu mau ngisi kalo yang kamu suka itu Rey?" aku berbisik-bisik kearahnya. Azizah nyengir entah apa maksudnya. Aku lupa apa yang dia isi disana untuk pertanyaan siapa orang yang kamu sukai dari biodata itu. Tapi yang jelas, tangannya masih terus bergerak menuliskan isi dari tiap-tiap pertanyaan.
Berhubung biodata ditanganku masih kosong dan Tono si empunya biodata terus-menerus memaksaku untuk mengisi biodata itu maka aku menyerah. Terlintas ide cemerlang dipikiranku. Oke, bukannya dia tadi bilang disuruh ngisi sejujur-jujurnya dan setahu-tahunya? Berhubung aku nggak tahu mau kuisi apa biodata itu jadi aku memutuskan untuk nggak menjawab satu buah pertanyaanpun yang ada. Nehi!
Dengan cepat aku mengisi biodata itu dengan menuliskan tanda setrip untuk setiap jawabannya. Intinya aku nggak menjawab apa-apa, cuma kutulis tanda setrip. Iya tanda setrip. Karena nggak tau kenapa, sejak awal tadi firasatku sudah nggak enak.
Tono mengomandoi kami untuk segara mengumpulkan biodata itu. Tiba giliranku wajahnya cemberut.
"Lho, kok kosong sih Sin? Kan aku minta diisi!"
"Hahaha, nggak ah! Aku bingung mau ngisi apa. Tanda setrip aja ya!"
Wajahnya masih cemberut tapi akhirnya bilang juga, "Yaudah deh sini, kalo nggak mau kamu isi biar aku aja yang isi!"
Aku terkekeh. Tono segera mengambil bolpoint dan mengisi biodata itu. Aku benar-benar heran, kayaknya tiga orang yang mengitariku ini benar-benar lagi kesambet makhluk aneh entah dari atmosfer mana.


Dan ternyata firasatku terbukti. Nggak berselang lama saat Tono tengah mengisi biodata itu, kudengar suara Bu Rub memanggil kami.
"Kalian sedang apa? Itu kertas apa yang kalian bawa?"
Deg! kami bertiga panik. Salah sendiri pas jam pelajaran gini masih sempat-sempatnya melakukan kekonyolan seperti ini. Astaga!
Kami cuma bisa pasrah saat Bu Rub akhirnya berjalan dan mendekati meja kami. Tangannya menyamber biodata-biodata yang telah terisi tadi dari atas meja. Tono kelihatan pucat, Rey dan Azizah apalagi. Gimana nggak? Mereka kan sudah mengisi biodata-biodata itu?
Bu Rub tercenung beberapa saat ketika memandangi kertas itu.
"Biodata Cinta!" entah memang disengaja atau tidak, beliau membaca judul biodata itu dengan suara keras. Sehingga teman-teman kami yang lain bisa mendengarnya. Reaksi yang mereka berikan  nggak lain dan nggak bukan adalah tawa riuh cekikian.
Aku nggak bisa menjelaskan gimana gondoknya Tono dan kedua makhluk polos itu. Wajah mereka bertiga sudah merah meriah mirip kepiting rebus dihinggapi rasa malu dan menyesal karena telah mengisi biodatanya.
 Fiyuuuuhhh. Tuhan terimakasiiih! Bersyukur sekali lagi karena akhirnya-meski ikut terlibat-aku selamat. Coba kalo tadi aku mengisi biodata itu dan bukan Tono yang gantian mengisinya? Pasti jawabanku tadi akan terbaca oleh Bu Rub dan bisa jadi teman-temanku yang lainnya.
Melihat wajah mereka yang memelas begitu aku merasa iba sekaligus menahan tawa. Hahaha, lagian siapa suruh mengisi biodata super nggak penting itu?
Beruntung, karena Bu Rub hanya membaca judul biodata itu dan bukan data didalamnya. Tapi meski begitu, tetap saja biodata-biodata itu akhirnya disita juga. Kami berempat saling beradu pandang nyaris tak percaya begitu melihat Bu Rub berlalu sambil membawa tiga lembar biodata itu.
Kali ini cuma mereka bertiga yang saling bertatapan dengan mimik muka memelas. Saling menatap-menunduk-menatap-menunduk lagi. Begitu seterusnya. Kuperhatikan ekspresi Azizah dan Rey yang kompak memandangi Tono dengan muka jengkel. Haha, maklum saja biang keroknya kan si Tono? Coba kalo dia nggak bikin biodata itu dan membujuk kami untuk mengisi, pasti nggak akan seperti ini. Tapi tunggu! Salah sendiri mereka berdua mengiyakan bujukannya? Hahaha. Kupandangi lagi mereka satu persatu.
"Tuh kan aku bilang juga apa? Untung punyaku nggak kuisi. Jadi aku aman! Horeeee!" aku berujar penuh kemenangan. Mendengar kalimatku mereka bertiga melengos. Mungkin jengkel karena disaat-saat seperti itu justru cuma aku yang masuk ke zona aman. Dan mungkin juga menyesal karena seharusnya mereka mau mendengar nasehatku sedikit agar berpikir dua kali untuk mengisi biodata supernggakjelas itu.
Hahaha, Aku bahkan tertawa lagi mengingat kejadian itu saat ini. Konyol! Aku jahat ya? Gimana nggak ngakak, kalian konyol begitu! *sigh
21.29 WIB
Langit Senja :D








Senin, 05 Agustus 2013

Kepadamu Motivatorku, Terimakasih

Kalau kalian bertanya kenapa saya suka menulis? alasannya sederhana; menulis adalah bagian dari hidup saya. Karena saya memahami, kehidupan tak melulu soal realita tapi juga fiksi. Kalau ada yang bertanya, "kamu mau jadi penulis?" saya hanya bisa mengaminkannya dalam hati atau kadang dalam lisan, cukup tersenyum lantas menganggukkan kepala.
Menulis adalah cita-cita saya sejak saya kelas tiga esde. Dulu, sebelum tidur ibu saya suka bercerita, bukan dongeng. Melainkan kisah-kisah yang tokoh-tokohnya diimajinasikan sendiri oleh Ibu. Mendengar ceritanya sebelum tidur, membuat saya senang bermain-main imajinasi. Bahkan sebelum Ibu memulai kebiasaannya untuk bercerita, semenjak kelas tiga saya sudah tertarik dengan dunia tulis menulis.
Berhubung dulu belum ada fasilitas menulis seperti sekarang( baca; laptop) jadi saya lebih sering menulis-nulis dikertas kosong. Atau kertas apa pun, yang penting saya bisa mencoret-coretkan imajinasi di dalamnya.
Setiap kali ditanya hobi, saya pasti akan menjawab "baca dan menulis." lalu seorang guru pernah bertanya, "buku pelajaran ya?" saya menggeleng tegas. "Bukan! Buku cerita!".
Dan kebiasaan menulis itu pun masih berlanjut sampai sekarang. Tentu saja, banyak hal dan kesempatan yang sering saya lewatkan dalam dunia kepenulisan. Saya ini tipikal orang yang tidak punya rasa percaya diri tinggi, sering gengsi. Jadi, begitu ada ajang kepenulisan di tingkat smp atau forum-forum umum lainnya, biasanya nyali saya sudah menipis. Menciut.
Beberapa teman dan kerabat pernah  berkata, "kenapa nggak coba dikirim di majalah atau koran lokal aja? Siapa tahu dipublik?"
Mendengar kata-kata publikasi sebuah karya saja, kupu-kupu di kepala saya sudah penuh sesak berterbangan. Bayangkan, apa yang lebih membahagiakan bagi seorang penulis selain karyanya diapresiasi, dinikmati, lalu disana tertera namanya sebagai tokoh penciptanya? Sungguh, kebahagiaan dari mereka yang menulis sebenarnya sederhana.
Tapi hingga saat ini saya belum mencobanya. Saya masih harus terus belajar. Menulis dan menulis. Lagi, saya menulis adalah untuk diri saya sendiri. Untuk sesuatu yang melegakan jiwa saya ketika saya menulisnya. Soal seberapa puas seorang pembaca terhadap karya saya itu adalah urusan kesekian. Selebihnya saya menyerahkan pada mereka untuk mengapresiasi sendiri. Simple.
Seperti yang pernah Dee bilang, "Saya menulis apa yang ingin saya baca, bukan apa yang ingin mereka tulis."
Jadi, terimakasih untuk kalian semua yang sudah berbaik hati mengunjungi blog saya yang super sederhana ini. Membaca beberapa postingan yang saya tulis, memberi apresiasi yang membuat saya sedikit lebih bangga atas apa yang sudah saya tulis. sungguh terimakasih.
Terimakasih untuk setiap masukan, kritik dan saran. Untuk setiap kata motivasi dan semangat untuk tetap terus menulis. Yang bersikeras meyakinkan saya bahwa tulisan saya layak baca ketika saya berpikir tulisan saya tidak sebagus tulisan lain. Guys! kalian adalah semangat saya! 
Teman-teman sepuluh bhe, khususnya yang sering membaca tulisan saya; aqshal, syafa, faris, arum, rika, vio, abed juga yang lainnya. Pun meski tidak membaca apa yang tulis, saya tahu kalian semua adalah motivator saya untuk menulis.
Kalau kalian tahu, disaat saya mulai malas menulis, kehilangan semangat merangkai kata-karena kalian dan apa yang kalian motivasikan-membuat saya seketika bangkit lagi. Lalu menulis dan menulis lagi. begitu seterusnya.
Maka, apa yang lebih membahagiakan dari memiliki teman-teman sebaik dan sehebat kalian? Kalian adalah teman-teman saya yang baik, terimakasih. Sekali lagi terimakasih.
Saya masih akan terus menulis, entah apa profesi saya kelak, entah akan jadi apa saya nantinya saya tetap akan terus menulis. Karena bagi saya, menulis bukanlah profesi, tapi kebutuhan.
Doakan saya, hingga suatu saat nanti kalian akan menemukan nama saya tertera ditumpukan buku-buku yang kalian baca. Dan saya bisa menyaksikan sendiri, ada nama saya disana-dibuku yang saya tulis itu-bak melihat bintang kejora, mata saya seolah bergemerlapan karena begitu terharunya. Suatu saat nanti. Pasti!
Ini juga sebagian dari mimpi, selama Tuhan masih menciptakan bulan untuk dipijaki astrounout, buat apa takut bermimpi!?
-----

Tadi sore, selepas memposting tulisan saya yang berjudul "Mengertilah Kamu Indah", beberapa komentar bermunculan. salah satunya adalah Faris, teman saya di kelas sepuluh bhe-sekaligus sohib saya berbuat keonaran juga kebadungan di kelas ( peace Ris! haha). Dia bilang minta ijin men-share postingan saya, katanya biar saya terkenal . haha, saya lantas tertawa cekikian sendiri. Mengiyakan komentarnya, lalu bilang terimakasih.
Setelahnya, dipostingannya yang berisi postingan saya tadi Febriana (lo harus bersyukur, disini gue gak manggil lo dengan sebutan L.... lagi) teman sekelas saya yang sama gilanya dengan saya-sekaligus partner paling setia saya bermain poker dibelakang kelas-ikut berkomentar. 
Dia menuliskan link blog saya, lalu mendoakan saya biar jadi penulis sukses. Saya sungguh terharu, lalu mengaminkan doanya. Masih saya baca disana sebuah komentar Faris, yang membuat saya sedikit keki, katanya "dilogika ajadeh, cewek tomboy bisa bikin notes kayak gitu? heran aku." saya lalu menghela napas pendek, antara senang dan sedih, kurang peminim apa aku iniii? aku seksi begini dibilang tomboy? *maaafamnesia*
Baikalah. Inti dari posting ini sebenarnya adalah ucapan terimakasih. Tidak mungkin saya menuliskan betapa banyak rasa terimakasih saya yang keluar dari dalam hati. Sekali lagi sungguh terimakasih. Sekian. Selamat malam.
0.34
Langit senja, Yogyakarta
06/08/2013



Kamis, 25 Juli 2013

Kangenku yang Tak Segera Kamu Gubris

Kangenku yang mana lagi yang nggak segera kamu gubris?- Chinatsu Shintaro (@GueD5)
Halo Tuan, selamat malam!
Aku nggak tahu apa yang sedang kamu lakukan sekarang, bagaimana kabarmu dan apa kesibukanmu.
Tuan, sudah berapa lama kita tak jumpa? Kamu bisakah menghitungnya? Berapa detik? Menit? Atau mungkin jam?
Aku nggak tau kenapa waktu memerankan perannya dengan begitu antagonis. Dia berjalan cepat, tanpa memberiku sedikit jeda untuk tahu apa artinya luka.
Yang aku tahu, luka adalah jarak ketika sejengkal jemari antar dua orang menjelma menjadi jarak antara langit dan bumi.
Seakan waktu adalah benda hidup yang berotasi tanpa partikel. Melebur begitu saja, menciptakan ruang kosong yang tak terdefinisi.
Tuan, aku menyerah dibatasi ruang, aku menyerah dibatasi almanak usang.
Karena kangen ini begitu magis menyita tiap rotasi dikepalaku; segalanya berputar kamu.
Kamu mungkin nggak tahu siksa dari sebuah rindu, tapi aku merasakannya selalu.
Kangenku kini entah sudah yang keberapa ratus kali. Meski kamu yang menjadi obyek kangenku belum tentu tahu sama sekali.
Jadi, kangenku yang mana lagi yang nggak segera kamu gubris? Sepertinya memang begitu adanya, Tuan, aku nggak hiperbolis.
Cukup
Akan aku sampaikan isyarat rinduku lewat sepoi angin malam yang menelisik pelan melewati celah jendelaku
Pada guguran ranting-ranting kecil yang jatuh ditelapak tanah
Di langit-langit kamar atau mungkin dinding-dinding tembok yang menggigil
Dan kalau aku lebih beruntung lagi
Barangkali aku bisa mengisyaratkan rindu melalui gendang telingamu
Berkata pelan diselingi kata lucu
“Aku kangen kamu.”
24-06-2013 21.45 WIB
Ini hanya celoteh anak abege
Diantara waktu luang
Dan rasa kangen yang menyerang
Kata-kata ini untukmu, Tuan
Langit Senja! :D

Sabtu, 26 Januari 2013

Halo

Halo Jogja!
Halo Indonesia!
Halo kalian semua!
Saya sedang senang sekaligus terharu*jingkrak-jingkrak*
Bagaimana tidak sodara-sodara, tulisan saya yang berjudul sketsa dan satu hari yang lalau saya posting di blog ini, ternyata tidak seamburadul yang saya kira.
Puji syukur,tulisan saya tersebut menjadi HL di situs kompasiana.
Saya baru menyadarinya kemarin sore setelah pulang dari latihan pleton inti. Ketika saya membuka layar laptop saya, dan membuka akun saya di situs kompasiana. Ternyata oh ternyata, tulisan saya berubah. Semula yang tak saya beri ilustrasi (baca: gambar) menjadi ada ilustrasinya. Dan itu menunjukan tulisan saya dijadikan HL.Seketika itu, saya lalu jingkrak-jingkarak. Senang bukan main.
Ya Tuhan, akhirnya tulisan saya jadi HL juga. Saya berlebihan? Tentu saja. Bagaimana tidak? Setelah sekian lama menulis di situs itu, akhirnya untuk pertama kalinya tulisan saya jadi HL. *jingkrak-jingkraklagi*
Saya sungguh senang, apa yang lebih menyenangkan untuk penulis amatiran seperti saya ini, selain karyanya bisa diapresiasi oleh orang lain dan syukur-syukur bisa menginpirasi?
Sudahlah, saya bahkan tidak pernah berharap sedikit pun tulisan sketsa saya, akan menjadi HL. Saya juga tidak menyangka, celoteh saya tentang masa empat tahun silam itu bisa diapresiasi.
Saya tidak bermaksud menyombongkan diri. Sungguh. Apa yang bisa saya sombongkan dari tulisan-tulisan saya yang masih amatiran ini?.
Saya juga sedang belajar. Menulis dan menulis. Entah apa pekerjaaan saya kelak, entah mau jadi apa saya esok, saya tidak peduli. Yang jelas saya tidak akan berhenti menulis dan menulis Bahkan jika sendainya tulisan saya tak diapresiasi pun, saya tetap akan menulis Itu dunia saya. :)
Saya tidak mempedulikan tulisan saya menjadi HL atau di puji banyak orang. Karena bagi saya, ada kebahagiaan tersendiri ketika saya menulis.
-----
Rey, celotehku tentangmu empat tahun yang lalu menjadi HL pertamaku.
Aku sungguh tidak menyangka Rey.
Bagaimana mungkin?
Bukankah itu hanya cerita konyol saat kita SD?
Ah Rey, sudahlah.
Ini juga berkatmu.
Terimakasih, sudah mempersilakan aku masuk dalam duniamu.
Lalu aku bisa menulis, mereka-reka lagi tentang sosokmu.
Empat tahun yang lalu.
 45 menit sebelum persiapan lomba tonti
Dan aku masih sibuk memainkan jemari
Tak apa, kali ini saja sebelum aku mandi
Lalu berkemas diri
Doakan aku sukses hari ini
Hihihihihihi
Langit Senja :D




Jumat, 25 Januari 2013

Sketsa


Aku hanya ingin bercerita, tapi suaraku seakan tersekat di udara. Bercerita tentangmu, khususnya. Rey. Kamu pria polos dengan senyum simpul. Aku masih mengingat detail semuanya, empat tahun yang lalu.
Saat aku dan kamu masih menjadi anak-anak polos dan lugu. Saat semua hal menyedihkan tentang dunia, kita abaikan dan malah asyik bergelut dengan permainan. Apa yang salah dari bocah ingusan seperti kita Rey? Kita hanya saling tertawa dan berbuat onar apa saja, semau yang kita suka bukan?
Apa yang salah Rey ketika aku sering meninju bahumu dan menjahilimu tiap kali kita bertemu? Kau justru akan balas mengejekku, lalu kita akan beradu argumen, saling mengolok dan menjatuhkan. Tapi sungguh, aku menakmati semua permainan bodoh yang kulakukan bersamamu. Lagipula, saat itu kita masih kecil Rey, masih polos. Belum tahu soal politik, awam dengan kata hukum, dan filosofi hidup lainnya yang sama sekali belum kita pahami.
Rey, sudahlah. Aku enggan bercerita lagi kepadamu. Sungguh, ini hanya soal kenangan, bukan perasaan. Tapi bolehkah bila saat ini aku bercerita kepadamu tentang perasaan? Reym apa kau mau mendengarkan?
----------
Empat tahun yang lalu.
Kamu tiba-tiba datang Rey. Mulai menjamah ruang duniaku. Menjadi salah tokoh dalam skenario takdir milikku.
Rey, saat kau datang, semuanya berubah. Sahabatku Rey. Iya, semenjak mengenalmu, dunianya menjadi penuh warna. Seakan-akan tiap detik kupu-kupu melayang di dalam perutnya. Seakan-akan semua rasi bintang terpampang jelas di bening matanya. Itu semua karenamu Rey, dia jatuh cinta. Sungguh sangat jatuh cinta. Kepadamu.
Rey, semenjak aku mengetahui satu rahasia kecil dalam hatinya bahwa dia menyukaimu, semenjak itu pula duniaku berubah.Sahabat mana yang tak turut bahagia bila sahabatnya sedang jatuh cinta? Lalu aku mulai sering melakukan hal-hal bodoh. Aku sering menjahili sahabatku, sekaligus menjahilimu. Aku sering menggodanya dengan kata-kata konyol. Menyebut namamu dengan sengaja di depannya. Lalu dia pasti akan tertawa Rey, pipinya akan merona.
Aku jadi lebih sering mengejekmu, memberimu kode-kode dengan isyarat yang sama. Hanya agar kau tertarik dengan semua celotehku lalu kau juga balas menyukainya. Lalu kau pasti akan melotot kearahku, melayangkan tinju ke bahuku yang selalu saja hanya pura-pura kaulakukan agar aku tak lagi mengganggumu.
Rey, dengarlah. Saat itu, aku tak benar-benar berniat mengganggumu. Aku hanya ingin menunjukan padamu, bahwa sahabatku menyukaimu. Itu saja, Rey.
---------
Empat tahun silam.
Rey harusnya kau tahu, sahabatku itu benar-benar menyukaimu waktu itu. Percayalah, rasa sukanya tulus. Aku mengenalnya dekat Rey, dan bagaimana mungkin aku tak peka bila dia benar-benar jatuh cinta?
Rey, dulu aku sering membuat hal-hal konyol. Aku sering memanggil namamu dengan nama sahabatku. Begitu sebaliknya.
Rey, dulu aku sering mencipta hal-hal gila. Aku sering mencari momen-momen yang tepat untukmu dan sahabatku. Aku terlalu sering berusaha membuat momen yang tepat, agar kalian bisa merasa dekat, agar sahabatku senang, dan kau balas menyukainya.
Tapi kau selalu marah Rey bila aku melakukan semua itu padamu. Kau pasti akan memarahiku, mengomel dan balas mengejek semaumu. Aku masih bisa terima Rey. Tapi ketika emosimu memuncak dan kau melampiaskannya dengan mencemooh sahabatku, aku tidak bisa terima. Aku akan marah padamu, lalu pasti akan melanyangkan tinju ke bahumu.
Sudahlah Rey, jika kuceritakan segalanya saat itu, kau mungkin tak kan percaya. Lagipula, apa yang bisa kaupercayai dari seseorang sepertiku? Yang selalu membuatmu merasa jengkel tiap hari karena tingkah gilaku, yang selalu membuat bahumu sakit selama dua hari lebih karena tinju kepalan tanganku dibahumu?
Rey, mungkin ketika kau membaca ini, kau masih belum mengerti. Ini soal realita Rey, bukan kata-kata yang hanya penuh dengan reka.
-------
Empat tahun silam.
Rey, aku enggan menjelaskan segalanya. Nyatanya, setiap momen yang kucipta bersamamu berhasil menyita tiap lembar memory yang kupunya.
Aku seperti orang linglung Rey. Seperti orang gila yang tak menyadari relalita perasaannya sendiri. Aku terjebak dalam permainan bodohku sendiri Rey. Hatiku benar-benar tersekat, pikiranku berkabut, aku sekarat.
Mungkinkan disebabkan olehmu? Mungkinkah jebakan itu datang dari tiap frekuensi yang sering kucipta bersamamu melalui olok-olokan dan kegilaan?
Rey, dengarlah. Aku lelah, aku bosan mereka perasaanku sendiri. Aku hanya tahu tiga hal kecil saat perasaan asing itu mulai tumbuh; sahabatku menyukaimu, kamu adalah orang yang disukainya, dan aku adalah sahabatnya yang ingin membantunya untuk dekat denganmu.
--------
Empat tahun silam.
Rey, jika setiap orang bebas memilih, aku akan banyak melakukan pilihan dalam hidupku. Tapi sayangnya, Tuhan tak mengijinkan. Aku bahkan tak pernah meminta satu hal kecil ini pada Tuhan; jatuh cinta kepadamu. Sungguh Rey. Aku tidak pernah memintanya. Tapi nyatanya, aku memang hanya manusia, bisakah jika harus malawan arus perasaan mahadahsyat yang disebut cinta? Rey, sudahlah. Mataku mulai berembun. Aku mengingatmu (lagi).
---------
Empat tahun yang lalu.
Lihatlah Rey, ketika perasaan suka sahabatku kepadamu hampir berada di titik puncak. Dan aku enggan berbuat apa-apa lagi. Aku mulai lelah dengan tingkah bodoku sendiri. Aku takut, jika tingkah bodohku justru akan membuat perasaan aneh itu muncul lagi dan aku terjebak didalamnya.
Rey, bagaimana mungkin aku tak terjebak? Aku bahkan tak mengerti perasaan aneh yang selalu mengusikku berhari-hari, aku bahkan tak mengenali perasaanku sendiri. Aku asing dengan duniaku sendiri, aku asing Rey.
Rey kautahu? Semenjak perasaan itu datang, dan mulai meracuni tiap denyut peredaran darah, aku jadi merasa bersalah.
Harusnya aku tak membiarkan diriku mengidap perasaan asing itu Rey. Bagaimana mungkin aku menyakiti sahabatku sendiri? Kau dunianya, dan bagaimana mungkin aku merampasnya? Aku tahu aku mungkin bukan orang yang baik, tapi aku tak kan membiarkan diriku menghianati sahabatku sendiri. Apa kau masih belum jelas sampai disini Rey?
------
Empat tahun silam.
Aku sudah tahu beberapa hal yang selalu berusaha kausembunyikan. Sudahlah Rey, nyatanya aku bisa dengan mudah menebak kode dan isyarat rahasiamu. Seperti kode yang pernah kaukatakan diujung telephone waktu itu "aku suka 'layangan' ". Aku tahu itu Rey, tapi aku berusaha tak peduli. Aku urung bercerita tentang itu pada sahabatku. Aku tak mau mengobrak-abrik hatinya yang halus dan bisa retak kapan saja bila ia tersakiti. Aku tak mau itu terjadi Rey.
-------
Empat tahun silam.
Rey, saat ini aku bukan gadis kecil lagi seperti yang kau lihat empat tahun yang lalu. Aku sekarang sudah jauh lebih paham dan dewasa, bahwa cinta memang tak pernah bisa dipaksakan Rey. Aku terlalu egois, selalu saja mengatur-atur perasaanmu. Menuntutmu untuk jatuh cinta pada sahabatku. Apa hakku untuk memaksamu menyukai seseorang yang memang tak kausukai?
------
Tiga tahun yang lalu.
Ketahuilah Rey, jika saat itu kau benar-benar mengatakan semuanya. Aku bahkan bisa saja mengabaikannya. Sekali lagi Rey, sahabatku lebih penting darimu. Biar aku saja yang tahu tentang perasaan idiot ini. Biar aku saja Rey.
Rey, kau pasti sudah paham semuanya. Meskipun aku masih tak percaya dan sulit berlogika
Rey, apa pun yang terjadi dulu, saat ini dan entah kapan akan terulang lagi. Percayalah, aku masih mengingatmu. Sebagai puzzle-puzzle berserakan yang masih kurapikan ulang, sebagai sketsa-sketsa tanpa rupa yang masih kusimpan rapi dalam saku kepala.
-----
Rey, sudahlah masa itu sudah berlalu. Untuk apa kausesali. Barangkali kau malah lupa sama sekali, dan aku justru sibuk mengingatnya setengah mati.
Rey jangan khawatir, sahabatku sudah mendapatkan penggantimu. Jangan tanyakan denganku Rey, aku lebih suka menikmati kesendirianku sendiri.
Rey, sudahlah aku enggan berkata lagi padamu dengan banyak metafora. Kau sudah tahu segalanya lewat tatapanku di pintu keluar gedung wisuda; tempatmu dan tempatku terakhir kali menghabiskan masa olok-olokan dan kegilaan.
Kau sudah tahu segalanya Rey. Bahagialah dengan duniamu yang sekarang. Anggap saja aku sahabatmu. Posisimu sama Rey dengan sahabat-sahabatku saat ini. Tapi saat selanjutnya, aku tak bisa memprediksi.
Rey, maaf aku terlalu banyak bercerita. Kau boleh tertawa usai membaca kisah ini, (bila kau membacanya). Sungguh Rey, aku hanya sedang merefleksi jiwaku. Aku hanya ingin mengganti masa empat tahun silam dengan satu lembar tulisan tak bernyawa ini. Sesederhana itu Rey.
----
Aku menyelami setiap waktu dan kegilaan yang kucipta bersamamu
Lalu tanpa sadar, jiwaku sendiri yang menjadi gila
Aku linglung setengah mati dengan perasaanku sendiri
Aku menyelami setiap detik dan frekuensi yang kulalui bersamamu
Lewat candaan dan pertengkaran kecil
Lalu tanpa sebab, jiwaku sekarat
Aku mati rasa, asing segalanya
Karenamukah?
Tanda tanya
? 
Diantara bau menyengat paracetamol,
Diantara banyak tumpukan diktat-diktat yang menyekat.
Diantara kegalauan yang tak bersebab,
Aku masih bisa menulis tentang sosokmu
Mengorek semua remahan masa lalu.
Sesederhana itu.
17.13 WIB25-01-2013
Langit Senja :)

Untuk siapa pun yang membaca, khususnya sahabat-sahabatku, anggap saja ini dongeng seribu satu kisah. Jangan iba dan menganggap ini cerita duka. Aku justru lega sudah menuliskan semuanya. Meskipun mataku mulai berembun, dan suaraku tercekat di udara. Disaat seperti ini, pantaskah aku merindukanmu? Pantaskah aku memikirkanmu lagi? :)
Aku hanya ingin berkata satu hal kecil . "Aku rindu kamu." Itu saja, cukup. Ini untukmu Rey, dalam samaran yang masih kubuat maya.
 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger