Sabtu, 16 November 2019

Jeda

Lagu Green Day membuka live  music di kafe yang kudatangi malam itu. Wake Me Up When September End. Tepat dinyanyikan di bulan yang sama. Bulan dengan sejarah paling menyesakkan yang pernah kuingat. Hari-hari yang berat,  ingatan-ingatan tentang seseorang yang segera ingin kuusir pergi dari kepalaku, sebuah keangkuhanku pada diri sendiri karena merasa bisa melepaskan dalam sekejap waktu. 
Aku melirik jam di pergelangan tangan, dadaku mulai berdegup kencang tidak menentu. Apakah ini artinya hatiku masih sama saja seperti tahun-tahun sebelumnya? Apakah benar aku telah sembuh? Apakah keputusanku untuk berani menemuinya malam ini adalah sebuah keputusan yang tepat?
Apa....

“Sin?”
Aku terperanjat. Suaranya membuyarkan lamunanku.
Dia ada di sana. Berdiri tepat di seberang meja. Aku mengamatinya. Antara mengingat dia yang dulu dengan yang sekarang. Posturnya sekarang jauh lebih tegak dari terkhir kali aku melihatnya, dia yang terlampau tinggi sampai aku harus mendongakkan kepala dari tempat dudukku. Tersenyum canggung dia menatapku, mengulurkan tangannya. Aku mendadak beku, kehabisan kata-kata. Sekuat tenaga mencairkan suasana.
“Hei, apa kabar?” Aku berdiri, menjabat tangannya.
Tangan yang pernah menawariku segala macam bantuan, yang pernah diulurkannya secara cuma-cuma dengan kalimat, “aku gandeng ya?” seolah dengan begitu ia bisa memberiku perlindungan. Namun justru kubalas dengan gelengan.
“Duduk Rey,” aku mempersilakannya duduk. 
Dia mengangguk, “Sudah pesan menu?”
“Iya sudah.”
“Bagaimana kabarmu?” Ia bertanya.
“Baik, bagaimana kamu?”
“Aku baik, kamu berapa lama di Jogja?”
“Besok aku pulang.”
“Kenapa buru-buru?”
“Kenapa harus lama-lama?” Aku balik bertanya, dia tertawa.
“Kamu masih sama rupanya. Enggak berubah.”
Seorang pelayan kafe mendatangi meja kami. Mengulurkan segelas americano dan green tea latte. 
“Makasih ya Mas,” ucapku.
Pelayan itu tersenyum mengangguk, meninggalkan kami dengan gelas masing-masing. Dia memesan grean tea, aku memilih kopi.
“Kamu masih sering ngopi?”
“Masih,”
“Begadang juga?”
Aku nyengir, “Masih, tapi nggak separah dulu,”
“Kalau nulis?”
“Pertanyaanmu retoris,”
“Kenapa begitu?”
“Kamu masih sering baca tulisanku.”
“Itu bukan pertanyaan kan?” Dia tersenyum, aku menggeleng.
“Darimana kamu tahu aku masih sering baca tulisanmu?”
“Akunmu bukan anonim.”
“Hahaha. Begitu rupanya, ya?” Ujarnya sambil tertawa. 
“Apa kabar pacarmu?”
Dia agak sedikit terkejut mendengar pertanyaanku, “Bisa kita bahas yang lain saja?”
“Kenapa?”
“Aku sedang di sini, bertemu seseorang yang sudah lama sekali nggak kutemui. Kupikir akan lebih menyenangkan kalau aku membahas sesuatu tentang seseorang di depanku saja. Bisa ya?”
“Aku cuma ingin tahu kabarnya,”
“Dia baik,”
“Tolong sampaikan maafku untuk pacarmu.”
“Untuk apa?”
“Karena aku menemui pacarnya malam ini.”
Dia diam, menatapku lama sekali.
“Aku yang memintamu, nggak perlu merasa bersalah begitu. Dia nggak akan marah.”
“Tetap saja aku merasa bersalah karena pergi dengan pacar orang.”
“Maaf membuatmu merasa bersalah. Tapi aku cuma ingin ngrobrol sama kamu malam ini. Kapan lagi aku punya kesempatan?”
“Aku masih punya waktu satu jam di sini sebelum aku harus pulang. Berceritalah sesukamu, kudengarkan.”
Aku meraih cangkir americanoku, menghirup aromanya perlahan, meminumnya. Dari ekor mataku, aku dapat menangkap matanya mengamatiku. Lama sekali. Ayolah, bisakah dia sedikit bisa berkompromi? Bisa tidak, dia tidak perlu menatapku seperti itu? Menyebalkan sekali.
“Kamu tambah cantik sekarang,” katanya tiba-tiba. Aku bukan tipe perempuan yang akan langsung tersipu malu saat dipuji seperti itu jadi aku cuma bilang ‘terimakasih.’
“Sudah bisa pakai lipstik ya?” 
Aku mendelik. Terkekeh dia melihat ekspresiku.
“Kamu dulu tomboy sekali. Aku nggak pernah lihat kamu dandan. Takjub rasanya aku melihatmu malam ini.”
“Kadang waktu dan perjalanan bisa merubah seseorang, kan?” 
“Kalau perasaan manusia, bagaimana?”
“Itu sih cuma kamu sendiri yang bisa jawab. Aku enggak tahu.”
Dia memilih tidak menjawab lalu mengubah pembicaraannya ke topik lain. Beralih menceritakan kegiatannya di kota tempatnya bekerja, keinginannya untuk bisa sering mengujungi Yogykarta, tempat kelahirannya, dan mimpi-mimpinya. 
“Salah satu mimpimu sudah terwujud sekarang. Selamat atas pencapaianmu, aku belum sempat mengatakannya langsung waktu itu.”
“Makasih ya Sin. Makasih sudah sering bilang kalau aku pasti bisa dan sering ikut mengaminkan doaku. Aku senang sekali waktu hari itu dapat pengumuman bahwa aku lolos. Kamu tahu? Kamu orang pertama yang kuberi kabar setelah orang tuaku. Rasanya waktu itu aku ingin teriak, meluapkan kegembiraanku sama kamu. Tapi enggak bisa, kamu jauh.”
Aku bisa mendengar ketulusan dari ucapan terimakasihnya. 
“Aku turut senang, selamat sekali lagi.”
Live music itu masih berlangsung, kini seseorang menyanyikan lagu milik Sheila On 7, judulnya Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki. Aku mengikuti musiknya, terbawa suasana dengan liriknya. Itu salah satu lagu favoriteku. 
“Sin boleh aku tanya sesuatu?” 
Ada jeda saat aku tengah asik menatap live music itu dari kejauhan sebelum menoleh dan bertanya, “Apa?”
“Kalau dulu kamu menerima tawaran untuk jadi pacarku, apa yang akan terjadi sekarang kira-kira?”
Pertanyaannya membuat hatiku mencelos. Kupikir setelah bertahun-tahun berlalu, ia tidak akan lagi berminat membahasnya. Ternyata dugaanku keliru. Here we go. Back to the past.
“Mungkin aku nggak akan bertemu kamu malam ini,”
“Kenapa begitu?”
“Mungkin kamu sudah hilang kabar, mungkin nasibku akan sama saja seperti mantan-mantanmu yang lain itu, kan?” Aku tertawa kecil, menggodanya.
“Aku nggak pernah menganggapmu sama dengan mereka,”
“Tapi aku juga nggak bisa memastikan kamu nggak akan meninggalkanku seperti kamu memutuskan mantan-mantanmu.” Perbincangan ini terlalu mendebarkan untuk bisa kutahan sendirian. Kali ini saatnya. Biarlah. Aku tak punya banyak kesempatan untuk mengatakan semuanya.
“Aku sudah menyukaimu lama sekali, jauh sebelum aku bertemu dengan pacarku yang pertama. Kalau kamu tahu, malam itu saat aku bilang bahwa aku menyukaimu dan memintamu jadi pacarku. Aku sungguh-sungguh mengatakannya Sin. Aku sungguh-sungguh.”
Kuhela napas perlahan, berat sekali obrolan malam ini. Jujur, aku akan lebih senang dia bercerita tentang pacarnya daripada harus menodongku dengan rentetan kalimat samacam itu.
“Rey, aku tahu perasaanmu tulus.” Jawabku setelah menimbang sebelumnya, kutatap matanya berusaha meyakinkan.
“Tanpa kamu bilang pun, aku sebenarnya sudah tahu. Aku bisa merasakan itu.”
“Lalu kenapa?”
Pertanyaannya seolah mengintimidasi, meminta penjelasan, sesuatu yang selama ini tidak pernah kubicarakan dengannya panjang lebar.
“Kalau waktu itu aku bisa bicara terus terang, aku ingin bilang bahwa takut sekali rasanya harus kehilangan seseorang. Aku memilih menolakmu karena aku enggak mau kehilangan seseorang dalam hidupku. Kamu temanku yang sangat baik, kalau dulu aku menerima tawaranmu lalu kamu jadi pacarku, aku nggak bisa membayangkan bagaimana kalau nanti kita putus. Aku akan kehilangan pacar sekaligus teman baik. Aku nggak mau kehilangan dua-duanya. Jadi aku harus memilih salah satu. Dan aku memilih bilang tidak.”
Rasanya malam itu, separuh beban yang mengganjal di dadaku lebur. Ada perasaan lega yang ikut keluar seiring dengan banyak kalimat yang kulontarkan.
“Apa penjelasanku itu sudah cukup jelas?” 
Dia menggeleng, “Apakah waktu itu kamu menyukaiku?”
Selama ini, aku sudah terlalu lelah berbohong dengan diriku sendiri. Maka dengan sangat ringan dan tanpa beban aku mengatakan, “Ya,”
Tanpa kusangka-sangka, jawabanku membuatnya bungkam seketika. Dia menangkupkan telapak tangannya ke wajah, mengusapnya dengan gerakan lambat. 
“Kalau dulu kamu mengatakan semuanya, aku mungkin akan berpikir berulangkali untuk bersama orang lain.” Terangnya, ada raut menyesal di wajahnya.
“Enggak perlu. Buat apa? Aku nggak akan bisa menahan pergi seseorang kalau dia memang nggak berniat untuk tetap tinggal di hidupku.” Kujawab. Lugas dan tegas. Seolah aku tidak lagi memberinya kesempatan untuk mencari pembenaran, apa pun itu bentuknya.
“Maaf karena waktu itu aku pergi,” 
Aku menggeleng, “Itu hakmu, nggak perlu minta maaf.”
“Apa aku masih punya kesempatan?” Ia bertanya.
“Kesempatan untuk apa?”
“Kesempatan untuk bisa dekat denganmu lagi seperti dulu?”
“Mungkin, tapi aku nggak yakin,” aku mengedikkan bahu. Dia menghela napas.
“Kamu tahu kan? Sesuatu yang sudah berjeda lama tentu akan susah mengulangnya.” 
Dia mengerti maksudku, mengangguk paham.
“Tapi enggak apa-apa. Kalau kamu butuh teman untuk cerita, telingaku selalu terbuka lebar. Santai saja.”
Aku tersenyum jumawa, dia menghela napas lega, balas tersenyum menatapku.
“Kamu selalu jadi pendengar yang baik dari dulu. Makasih ya Sin.”
Kubalas perkataannya dengan anggukan.
“Aku boleh request sesuatu nggak sebelum aku pulang?” Kutanya.
“Iya apa?”
“Nyanyi ya? Di depan. Aku dengerin dari sini.”
“Mau lagu apa?”
“Apa saja, sebisamu.”
Tanpa kuminta dua kali, dia sudah berdiri. Berlajan menuju panggung live music. Dari kejauhan aku melihatnya berbicara dengan salah satu gitaris. Berbisik menentukan lagu dan mencocokkan tangga nada. Perlahan, musik mulai dimainkan. Memperdengarkan ia yang kini tengah memegang microphone, siap membuka suara.


“Dan kau hadir.. merubah segalanyaa, menjadi lebih indah.”

Reff lagu itu, lagu yang pernah dia nyanyikan untukku empat tahun yang lalu via telephone. 

Sekarang aku menyaksikannya menyanyikan lagu itu langsung di depanku. 

Tersenyum aku mengingatnya, tapi aku tidak boleh kalah.  Dia menatapku dari kejauhan. Aku melambaikan tangan. Mengacungkan ibu jari. Dia tidak tahu, diam-diam sambil mendengarkan suaranya, aku menyeka sudut-sudut mataku. Malam ini pertemuan sekaligus perpisahan menjadi satu. Tidak mudah melepaskan seseorang yang sangat kamu inginkan untuk tinggal di hidupmu. Namun, aku mengerti akan jauh lebih sulit mencintai diri sendiri. Aku mencintai diriku, maka aku berani melepasnya. Tidak ingin mengulang patah hati berikutnya, berikutnya lagi, terus menerus, berkali-kali, dengan orang yang sama. Malam ini adalah waktunya, aku berhenti. Sebelum besok aku tidak lagi bisa menemuinya, sebelum aku harus pulang ke kota tempatku bekerja. Jogja adalah tempat paling menyenangkan di dunia ini untuk pulang. Tapi tidak untuk tinggal.





Kamis, 10 Januari 2019

Lucu Juga Cara Tuhan Menamparku Hari Itu



               
Malioboro. TransJogja. Jalur 1 A, adalah tujuanku pagi itu. Jalur itu adalah rute yang akan membawa penumpang menuju Titik Nol Kilometer hingga Prambanan. Sebenarnya, aku sedang tidak bertujuan. Tidak tahu mau kemana, jadi aku hanya ingin berkendara. Berkeliling Jogja, sampai nanti kembali berhenti di halte tempat aku menaiki bis semula. Duduk di kursi paling belakang, di dekat jendela. Kupasang headsetku, memutar salah satu playlist lagu kesukaanku. Menyenderkan kepalaku ke kaca. Memilih menepi dari keramaian sebab hari itu aku sedang ingin menghindar.
                Menghindar dari rutinitas di sekelilingku yang begitu banyak menguras waktu, menyerap begitu banyak energi, membuatku ingin menepi sementara. Kesedihan kadang-kadang hanya butuh ruang. Aku memilih menciptkan ruang bagi diriku sendiri untuk berekspresi, sementara berpergian sendiri adalah satu-satunya cara yang tidak pernah gagal sejauh ini.
                Aku sedang tenggelam dalam alunan musik di headsetku, ketika kemudian seseorang membuat lamunanku buyar begitu saja ketika kudengar suaranya berkata:
                “Mbak maaf ya, saya pindah duduk di sini. Karena di sana (ia menunjuk kursi yang berjejer vertikal, saling berhadapan dengan kursi di depannya), saya pusing kalau duduknya menyamping lihat jalanan. Jadi saya pindah ke sini, biar ndak pusing.” Ujarnya sopan.
                Aku tersenyum demi kode etik, mengangguk mempersilakannya duduk.
                Ia adalah seorang laki-laki paruh baya. Wajahnya tak lagi muda, berpakaian rapi khas pekerja kantoran. Membawa tas selempang kecil. Dia duduk di sebelahku setelah sebelumnya meminta izin, di sampingnya lagi, dua kursi di sebelahku telah terisi. Dua orang perempuan yang mengisi empat baris bangku di belakang, termasuk aku dan laki-laki paruh baya itu.
                “Mbak, tadi naik dari halte mana?” ia bertanya.
                Aku melepas headsetku, mematikan tombol pemutar musik.
                “Dari Malioboro Pak, di depan benteng Vredeburg."
        “Oh, di depan gedung DPRD ya? Mbak, dulu saya rumahnya di Kepatihan. Di dekat Malioboro,”
                “Tadi saya naik dari RS Hidayatullah, saya parkir di sana. Terus saya naik Transjogja ini,”
                Kudengarkan ia bercerita. Tentang ia yang terlanjur berangkat ke kantor pagi itu tetapi lupa kalau ternyata hari itu libur, sehingga memutuskan untuk pergi naik TransJogja, mengisi waktu luangnya.
                “Tadi saya update status di WA, saya foto-foto kan Mbak bisnya. Terus teman-teman kerja saya bilang kok nggak ajak-ajak, padahal saya cuma sekedar coba-coba naik. Wong saya ini kan orang Jogja, masak nggak pernah naik Transjogja.” Ia tertawa, menunjukkan foto kursi Transjogja itu kepadaku.
                “Kalau saya pulang, ya nggak ada siapa-siapa di rumah. Padahal biasanya saya baru pulang kerja jam empat, sekarang masih jam setengah sembilan. Daripada sepi di rumah Mbak, ”
                Sampai di situ, rasa penasaranku sedikit mulai terjawab. Tentang mengapa seseorang yang usianya tidak muda lagi, masih memilih mengisi waktu luangnya untuk berpergian sendirian menghilangkan sepi. Tentang mengapa ia tampak begitu antusias menceritakan apa kegiatannya hari itu kepada seseorang yang bahkan baru ditemuinya di dalam busway kurang dari setengah jam.
               Ya, dia-laki-laki paruh baya itu-kesepian. Dia mencoba membunuh rasa sepi dengan caranya sendiri. Sama sepertiku. Bedanya ia menghilangkah rasa sepinya, aku menghilangkan rasa sedihku.
           Sebenarnya aku ingin bertanya tentang keluarganya, tetapi itu bukan privasiku. Aku tidak pernah menyinggung soal keluarga kepada siapa pun kecuali orang tersebut yang menceritakan sendiri tentang kondisiya. Jika ternyata mereka tidak ingin, itu sama sekali bukan hakku untuk tahu.   
            Sampai akhirnya, ia sendiri yang memulai ceritanya. Satu hal yang kupercaya dalam sebuah komunikasi: Jika seseorang mulai mempercayaimu, ia akan dengan sendirinya memulai ceritanya tanpa harus kaupertanyai.
            “Saya dirumah sendiri Mbak, anak-anak saya semua sudah berkeluarga. Sudah merantau jauh ke luar kota. Yang satu jadi Bidan, satunya lagi Polisi. Nggak ada siapa-siapa di rumah, istri saya sudah almarhum 7 tahun lalu.
          Di rumah, saya sering kesepian. Nggak ada yang bisa saya ajak cerita, makanya jalan-jalan begini salah satu cara supaya saya nggak merasa sepi. Ya seperti naik TransJogja ini, nggak apa-apa selama itu untuk hal yang positif.”
          Di balik kaca matanya yang tebal aku bisa membaca raut wajahnya yang sedih tetapi sekuat tenaga berusaha ditutupi. Aku tahu matanya berkaca-kaca.
           “Kalau lebaran, putranya pulang Pak?”
        “Iya Mbak, tapi ya kadang-kadang. Soalnya cutinya susah, apalagi kalau Bidan. Mau bagaimana lagi, mereka semua sudah berkeluarga sendiri-sendiri. Saya nggak mau menyusahkan,”
                “Oiya Mbak, ini cucu saya.”         
                Ditunjukkannya sebuah foto, dua anak kecil, satu laki-laki dan satu perempuan, berpose di salah salah satu tempat wisata.
                “Lebaran dua tahun lalu ini Mbak, mereka ini kalau sudah sama saya lupa sama Mama Papanya. Diajak orangtuanya malah nggak mau,” kisahnya, lalu tertawa.
                “Mbak, saya cerita begini nggak apa-apa ya? Maaf ya Mbak kalau saya cerita,”
                Aku buru-buru menggeleng, “Nggak apa-apa Pak, saya malah seneng dengerin ceritanya.”
                Percakapan itu masih terus berlanjut, tentang anak-anaknya, pengalamannya saat ia masih muda, cerita tentang kondisi keluarganya, dan ia yang setiap pagi berbelanja sayur untuk dimasak seorang diri.
     Saat kutanya, “Masak sendiri Pak?”
                “Iya Mbak, soalnya kalau beli kurang sehat,”
                Kau bisa bayangkan bagaiamana ia yang sudah tergolong tua itu  harus mengurus dirinya sendiri setiap hari, tanpa anak dan istri? Kesepian, kebosanan, dan apa pun itu yang membuatnya bertahan sampai sejauh itu.
     Sampai tiba pada saat ia menanayakan apakah aku sudah punya kekasih atau belum.
                “Mbak sudah punya pacar?”
                Aku menggeleng, tetapi kulihat raut wajahnya seperti tidak yakin dengan jawabanku. Tidak apa-apa, aku tidak berusaha meyakinkan ia untuk percaya.
              “Oh ya nggak apa-apa. Tapi saya juga pernah muda, saya pernah jatuh cinta berkali-kali, jatuh bangun sampai akhirnya bertemu dan menikah dengan istri saya ini,”
                “Saya menikah sama istri saya, sampai sekarang ia sudah almarhum 7 tahun yang lalu. Tapi saya nggak mau cari pasangan yang lain lagi. Kalau pun ada, rasanya sudah berbeda. Sudah nggak seperti perasaan saya ke istri saya yang dulu.”
                “Mbak, kalau milih laki-laki harus benar-benar hati-hati ya. Karena kalau salah, bukan dia yang rugi, tapi Mbaknya. Mbaknya masih muda, fokus cari ilmu dulu, kerja, bikin orangtua bangga.”
            “Yakin, nanti kalau mbaknya sudah jadi orang berhasil akan dibukakan sendiri jalan jodohnya. Yang penting tawakal tapi tetap harus ikhtiar,.”
                      Perasaanku seperti diaduk-aduk, detik itu juga.
                Lucu juga cara Tuhan menamparku hari itu. Di saat aku sedang merasa letih dengan hidupku, ada seseorang yang kuyakin bukan karena sebuah kebetulan berbagi kisah hidupnya. Ketika aku sedang merasa penat dengan keluargaku, ada seseorang yang begitu menginginkan kehadiran sebuah keluarga di dalam hidupnya.
                Ketika aku merasa tidak ada yang bisa mengerti apa yang kupikirkan selama ini, ada seseorang yang memberikanku segala macam nasehat.  Sesuatu yang jelas singkat, tetapi sampai sekarang kalimatnya masih terus berkelabat.
                Hari itu aku menemukan satu lagi cerita, sebuah pelajaran hidup dari seseorang yang kutemui di TransJogja.
                Sampai aku turun dari halte semula aku berangkat,  mengucap kalimat perpisahan. Aku tidak tahu siapa nama Bapak itu. Sebelum turun, aku mengucap terimakasih berkali-kali untuk apa yang kudengar dari ceritanya.
                “Hati-hati ya Mbak!”
                Aku tersenyum. Turun dari bis yang kunaiki. Bebanku lebur.


                Yogyakarta, 9 Januari 2019


Hasil gambar untuk transjogja dalam fotografi

 pict from here
               

               
               
               
                 
               
               

               

               
               

               
               

Sabtu, 05 Januari 2019

Lampau


Suatu hari, di satu malam saat aku merasa hidupku sedang berantakan dan tidak baik-baik saja, kamu dengan berbaik hati datang menemuiku. Aku pulang dalam keadaan patah, membuka pintu rumah, lalu kamu menjadi yang pertama kali menyapaku tepat di balik pintu dengan matamu yang berbinar. Mengelus-elus kakiku. Seolah dengan begitu adalah suatu cara hingga kamu bisa berkata: “Jangan sedih, kan ada aku.”
                Aku tidak menghiraukanmu saat itu, tetapi kamu tetap bersikeras mengikuti. Aku sedang muak berbicara dengan siapa-siapa, jadi aku memilih tenggelam di antara bantal-bantal, sebab juga tak ada yang bisa kuajak bicara. Tetapi, kamu bersedia menungguiku di bawah tempat tidur. Seolah mengerti malam itu tak dapat kubagi kesedihan dengan siapa pun selain kepada dinding tembok.
                Rasa-rasanya, malam itu ingin sekali kubagi tangisku. Namun keras kepalaku membuatnya mengkristal, mengendapkan air mata yang seharusnya sudah bergulir berjatuhan. Kamu adalah temanku bercerita paling setia. Sebab sering kubagi keluhku padamu tiap malam ketika aku merasa letih, disaat menulis tidak lagi cukup efektif untuk membuat kesedihanku lekas pulih.
                Denganmu, aku tak butuh komentar-komentar atau kalimat-kalimat penghiburan yang membuatku merasa baik-baik saja atau semacamnya, kendati begitu aku tahu betapa tulus kamu mendengarku berbicara tanpa sekalipun memotongnya, tanpa sedikit pun terlontar kalimat dari mulutmu untuk menghiburku.
                Meski caraku bercerita adalah suatu hal yang mungkin tidak dapat kamu mengerti menurut caramu, aku tahu kamu bisa merasa. Kadang, kesedihan hanya butuh telinga. Dan kedua telingamu sudah lebih dari cukup bagiku.
                Pernah suatu hari aku di rumah sendirian. Tak ada siapa pun di sana, lalu tiba-tiba listrik padam. Aku nyaris panik dan ketakutan di kamarku, kemudian dengan begitu saja kamu bersuara. Berteriak  seolah memanggil nama dan mencariku. Kamu datang, aku merasa punya teman jadi tidak lagi ketakutan.
                Kamu adalah yang sejak kecil selalu kusayang-sayang. Yang kutemukan dengan tubuh belepotan dalam keadaan lapar. Kamu adalah yang setiap malam berteriak dari halaman rumahku, seolah mencari perhatian agar kuhampiri di saat aku sedang belajar di ruang tamu, kadang kamu masuk ke dalam tanpa permisi saat pintuku sedang terbuka dan tidak dikunci. Kamu adalah temanku bertumbuh di masa putih abu.
 Kamu tidak perlu lagi bertanya perasaanku padamu dulu sedalam apa. Kamu tidak akan pernah tahu bahwa aku menangisimu sampai sesenggukan, mengiba habis-habisan dan merasa bersalah pada diriku sendiri saat aku datang ke rumah dan melihat tubuhmu dalam keadaan terkapar.
Aku menangis dan berkata padamu berulangkali,
“Kalau kamu pergi, nanti siapa yang tak ajakin cerita?”
Hari itu, adalah titik dimana aku merasa asing dan sendiri. Kamu pergi, pada hari itu. Selama-lamanya. Aku seperti kehilangan sahabat. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menangis sejadi-jadinya atas kepergian seseorang. Barangkali aku terlalu menghayal. Tapi kamu seperti bukan hanya sekedar ‘kamu’ di mata orang-orang. Kamu nyata dan hidup dalam semestaku. Sampai saat ini, setelah enam tahun berlalu. Kamu tetap di sini. Tidak kemana-mana.
Aku ingat saat hampir setiap hari aku mendapatimu di depan pintu rumah, menungguku  pulang sekolah. Aku ingat saat sampai pukul dua dini hari aku masih menghapal materi, dan kamu duduk di atas tumpukan buku-bukuku, menemaniku. Aku ingat pada setiap cerita yang kubagi bersamamu. Tentang hari-hari yang sesak, dan semua hal abu-abu yang bahkan tak pernah kubagi dengan siapa pun, kecuali denganmu.
Banyak hal yang kulupa, tetapi ingatan tentangmu menjadi hal paling menyenangkan saat aku mampu mengingatnya.
Baik-baik di sana. Mungkin, kamu sedang berbahagia di sana dengan ibu dan sudara-suadaramu.
Terimakasih sudah menjadi teman akrab  dalam kurun waktu yang tidak singkat.

Dari aku, seseorang yang memberimu nama ‘Karyok’-kucing kampung kesayangan yang tidak akan pernah tergantikan.







                 

               
               
                 

               

 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger