Suatu hari, di satu malam saat aku merasa hidupku sedang
berantakan dan tidak baik-baik saja, kamu dengan berbaik hati datang menemuiku.
Aku pulang dalam keadaan patah, membuka pintu rumah, lalu kamu menjadi yang
pertama kali menyapaku tepat di balik pintu dengan matamu yang berbinar.
Mengelus-elus kakiku. Seolah dengan begitu adalah suatu cara hingga kamu bisa
berkata: “Jangan sedih, kan ada aku.”
Aku tidak menghiraukanmu saat
itu, tetapi kamu tetap bersikeras mengikuti. Aku sedang muak berbicara dengan
siapa-siapa, jadi aku memilih tenggelam di antara bantal-bantal, sebab juga tak
ada yang bisa kuajak bicara. Tetapi, kamu bersedia menungguiku di bawah tempat
tidur. Seolah mengerti malam itu tak dapat kubagi kesedihan dengan siapa pun selain
kepada dinding tembok.
Rasa-rasanya, malam itu ingin
sekali kubagi tangisku. Namun keras kepalaku membuatnya mengkristal, mengendapkan
air mata yang seharusnya sudah bergulir berjatuhan. Kamu adalah temanku
bercerita paling setia. Sebab sering kubagi keluhku padamu tiap malam ketika
aku merasa letih, disaat menulis tidak lagi cukup efektif untuk membuat
kesedihanku lekas pulih.
Denganmu, aku tak butuh
komentar-komentar atau kalimat-kalimat penghiburan yang membuatku merasa
baik-baik saja atau semacamnya, kendati begitu aku tahu betapa tulus kamu
mendengarku berbicara tanpa sekalipun memotongnya, tanpa sedikit pun terlontar
kalimat dari mulutmu untuk menghiburku.
Meski caraku bercerita adalah
suatu hal yang mungkin tidak dapat kamu mengerti menurut caramu, aku tahu kamu
bisa merasa. Kadang, kesedihan hanya butuh telinga. Dan kedua telingamu sudah
lebih dari cukup bagiku.
Pernah suatu hari aku di rumah
sendirian. Tak ada siapa pun di sana, lalu tiba-tiba listrik padam. Aku nyaris
panik dan ketakutan di kamarku, kemudian dengan begitu saja kamu bersuara.
Berteriak seolah memanggil nama dan
mencariku. Kamu datang, aku merasa punya teman jadi tidak lagi ketakutan.
Kamu adalah yang sejak kecil
selalu kusayang-sayang. Yang kutemukan dengan tubuh belepotan dalam keadaan
lapar. Kamu adalah yang setiap malam berteriak dari halaman rumahku, seolah
mencari perhatian agar kuhampiri di saat aku sedang belajar di ruang tamu,
kadang kamu masuk ke dalam tanpa permisi saat pintuku sedang terbuka dan tidak dikunci.
Kamu adalah temanku bertumbuh di masa putih abu.
Kamu tidak perlu
lagi bertanya perasaanku padamu dulu sedalam apa. Kamu tidak akan pernah tahu
bahwa aku menangisimu sampai sesenggukan, mengiba habis-habisan dan merasa
bersalah pada diriku sendiri saat aku datang ke rumah dan melihat tubuhmu dalam
keadaan terkapar.
Aku menangis dan berkata padamu berulangkali,
“Kalau kamu pergi, nanti siapa yang tak ajakin cerita?”
Hari itu, adalah titik dimana aku merasa asing dan sendiri.
Kamu pergi, pada hari itu. Selama-lamanya. Aku seperti kehilangan sahabat.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menangis sejadi-jadinya atas kepergian
seseorang. Barangkali aku terlalu menghayal. Tapi kamu seperti bukan hanya
sekedar ‘kamu’ di mata orang-orang. Kamu nyata dan hidup dalam semestaku.
Sampai saat ini, setelah enam tahun berlalu. Kamu tetap di sini. Tidak
kemana-mana.
Aku ingat saat hampir setiap hari aku mendapatimu di depan
pintu rumah, menungguku pulang sekolah.
Aku ingat saat sampai pukul dua dini hari aku masih menghapal materi, dan kamu
duduk di atas tumpukan buku-bukuku, menemaniku. Aku ingat pada setiap cerita
yang kubagi bersamamu. Tentang hari-hari yang sesak, dan semua hal abu-abu yang
bahkan tak pernah kubagi dengan siapa pun, kecuali denganmu.
Banyak hal yang kulupa, tetapi ingatan tentangmu menjadi
hal paling menyenangkan saat aku mampu mengingatnya.
Baik-baik di sana. Mungkin, kamu sedang berbahagia di sana
dengan ibu dan sudara-suadaramu.
Terimakasih sudah menjadi teman akrab dalam kurun waktu yang tidak singkat.
Dari aku, seseorang yang memberimu nama ‘Karyok’-kucing
kampung kesayangan yang tidak akan pernah tergantikan.
0 komentar:
Posting Komentar