Kamis, 30 Agustus 2018

Nasi Goreng Khas Padang di Malang, Gurihnya Nendang!


sumber: dokumentasi pribadi

                Selain dijuluki kota wisata karena wisata alamnya yang keren dan mempesona, Malang juga terkenal dengan kulinernya. Salah satu kuliner yang paling banyak dijajakan di kota Malang adalah nasi goreng. Siapa sih, yang tak suka nasi goreng? Kuliner khas Indonesia ini begitu banyak digemari. Dari semua golongan dan latar belakang, nasi goreng memang selalu punya tempat istimewa di hati. Nah, di Indonesia makanan lokal dengan bahan dasar nasi bercambur bumbu rempah ini memiliki ciri khas yang beragam. Bahkan seiring dengan perkembangan zaman, nasi goreng berkembang menjadi berbagai varian cita rasa. Seperti nasi goreng merah, nasi goreng pete, nasi goreng ati, nasi goreng teri, dan masih banyak lagi.
                Tak sulit menemukan nasi goreng di kota apel ini. Banyak sekali pedagang kaki lima atau warung makan yang menyajikan olahan nasi goreng sebagai menu utama mereka. Apalagi saat malam hari, sudah menjadi pemandangan awam melihat penjual nasi goreng berjejer rapi di pinggir jalan. Nasi goreng seperti sudah jadi maskot makanan wajib yang paling banyak dicari. Bayangkan saja, hampir di setiap sudutnya, nasi goreng Malang selalu punya cerita.
                Tentunya setiap kedai nasi goreng punya ciri khas tersendiri. Tapi ada satu kedai khusus nasi goreng di Malang yang menyajikan menu nasi goreng yang lain dari biasanya. Bagi pecinta nasi goreng atau bukan, menu nasi goreng ini wajib dicoba karena menawarkan sensasi rasa yang berbeda.
Kedai tersebut bernama Palanta Junior, menyajikan menu nasi goreng padang yang cukup terkenal dan banyak diminati di Kota Malang. Tak sulit menemukan lokasinya yang terletak di Jalan Raya Sumbersari No.307. Dulunya nasi goreng Palanta Junior ini berjualan di sekitar belakang kampus ITN. Sekarang berpindah lokasi di perempatan Sumbersari. Sangat dekat dari kampus Brawijaya dan Sigura-gura. Letaknya dipinggir jalan di sebelah lampu lalu lintas persis, sehingga cukup strategis.
 Dari namanya saja sudah bikin penasaran kan? Lalu apa yang membedakan nasi goreng ini dengan yang lain? Berbahan dasar rempah khas padang membuat rasa nasi goreng ini lebih gurih dan beraroma. Meski bernama nasi goreng padang, tapi rasanya berbeda dari rasa rendang khas masakan rumah makan padang pada umumnya. Selain itu, dari segi tampilannya, nasi goreng padang ini memiliki karakteristik tersendiri.  Hal itu terlihat dari warna nasi yang cenderung lebih pekat dibanding warna nasi goreng biasanya karena campuran bumbu-bumbu rempahnya yang cukup kuat. Dilengkapi dengan timun, kerupuk, dan taburan bawang goreng diatasnya, membuat nasi goreng padang ini semakin menggugah selera.
                Bagi pecinta nasi goreng atau masakan padang, kuliner yang satu ini cocok untuk dinikmati selagi masih hangat di malam hari. Nasi goreng Palanta Junior ini buka dari mulai pukul enam  sore sampai empat pagi. Semakin malam, kedai nasi goreng yang banyak digemari ini semakin ramai. Khusus untuk anak rantau yang lapar tengah malam, menu yang satu ini cocok dijadikan pilihan.
                Selain cita rasanya yang gurih dan nikmat, harga yang ditawarkan pun cukup bersahabat. Untuk seporsi nasi goreng padang ditambah dengan telur cukup dibandrol dengan harga 14 ribu. Pembeli juga bisa request telur apa yang ingin dipesan. Dadar, ceplok matang, atau setengah matang? Bebas dipesan sesuai selera. Khusus untuk telur dadar, cita rasa yang ditawarkan pun sama persis seperti telur padang ala masakan Rumah Makan Padang. Kalau orang padang menyebutnya, lamak bana (enak banget)! Gimana tertarik mencoba?

Rabu, 22 Agustus 2018

Sendiri Itu Tidak Dosa

                “Nonton film ke bioskop harus berdua?”
                “Jalan-jalan ke toko buku, minum kopi di kedai kopi, nongkrong di kafe sambil menghabiskan waktu melakukan hal yang kamu suka, travelling ke luar kota. Sendiri. ”
                Salah?
                Kenapa perempuan senang membatasi dirinya?
                Padahal, kau punya kebebasan.
                Aku tidak tahu mana yang lebih menyedihkan. Kemana-mana sendirian, atau tidak berani sendiri kemana-mana? Kupikir, opsi kedua bukan pilihan.
                Sendiri itu tidak dosa, Sayang. Orang-orang saja yang salah mengartikan.
                Kau tetap bisa melakukan apa pun sendirian, menghabiskan waktu dengan dirimu sendiri, sekali pun kau punya pasangan. Kenapa takut dibatasi karena persepsi? Takutlah kalau kamu tidak bisa mandiri.
                Kau harus berani. Tangguh. Kuat.
                Bahkan seandainya ada seorang laki-laki yang selalu siap bersedia ada untukmu selama 24 jam penuh, kau tetap tidak boleh bergantung sepenuhnya pada mereka. Terbiasalah melakukan semuanya sendirian, sebisamu. Terbiasalah bergantung sepenuhnya pada dirimu sendiri.
                Sebab apa?
                Sebab kau harus cukup dewasa bahwa tidak semua orang akan siap siaga ada untukmu, begitu pun kamu yang tidak siap siaga selalu ada untuk mereka. Tak perlu menuntut apa pun dari orang lain. Selama kau bisa, lakukan dengan tanganmu sendiri.
                Kalau kamu masih kuat mengangkat air galon dengan tenagamu sendiri, lakukan.
                Kalau kamu masih bisa menjangkau suatu tempat dengan usahamu sendiri, pergilah.
                Kalau kamu masih bisa bersenang-senang tanpa membutuhkan orang lain untuk menemanimu, enjoyed it!.
                Hidup terlalu rumit untuk menjelaskan pada orang-orang kenapa dan mengapa, maka jangan sibuk dengarkan apa kata mereka.
                Aku bukan bermaksud melarangmu meminta bantuan orang lain, hei dengarkan ini: manusia itu makhluk sosial. Kamu tetap butuh mereka. Mereka juga butuh dirimu.  Yang ingin kutekankan di sini adalah, bahwa kalau kamu masih bisa mengandalkan dirimu sendiri untuk melakukan sesuatu, kenapa harus meminta orang lain untuk membantu? Sesederhana itu.
                Jadi, jangan takut sendiri.
                Sendiri itu tidak menyedihkan.
                Yang menyedihkan adalah, mereka yang tidak berani sendirian kemana-mana. 


pict from here
Malang, 22 Agustus 2018
20:40 WIB







               
               

               
               
               

Kamis, 16 Agustus 2018

Deadera (satu)


Kau masih ingat malam itu? Aku sedang duduk di salah satu gerbong kereta, menunggu keberangkatan kereta yang akan membawaku menuju Bandung. Kereta itu molor, menyisakan selang kebarangkatan beberapa menit lebih lama dari jadwal seharusnya.
Saat itu, Malang sedang dirundung cuaca dingin dan langit berwarna mendung. Kupikir sebantar lagi hujan akan turun. Itu berarti aku akan menikmati perjalanan kali ini dengan suasana sedikit melankolis. Kuputar lagu-lagu The Beatles melalui aplikasi Joox di ponselku untuk mendukung suasana. Memasang headset di kedua telinga. Sambil menghitung mundur dalam hati, kapan tepatnya kereta itu akan melaju.
Lima menit sebelum akhirnya masinis kereta menekan tuas kemudinya, seorang perempuan tiba-tiba berlari tergopoh-gopoh dari pintu gerbong dengan tas carrier dipunggungnya yang terlihat cukup bervolume. Waktu itu, aku tidak menyadarinya karena tiba-tiba saja ia sudah berdiri di depan lorong kursi tempatku duduk.
“Kursi nomer 16E. Boleh saya duduk?”
 Serta merta, demi bisa mendengar jelas ucapannya aku melepas headsetku.
“Boleh saya duduk?” ulangnya lagi.
Baru kemudian aku mengerti maksudnya, berdiri keluar dari tempat dudukku. Memberi ruang padanya agar ia bisa duduk di kursi dekat jendela. Nomor kursiku 17E.
“Maaf,” ia terlihat kerepotan mengatur letak carriernya. Meletakkannya di bawah kursi, hati-hati agar tidak mengenai kakiku.
“Boleh saya bantu angakat carriernya di atas? Mungkin akan lebih nyaman, kalau kamu nggak keberatan.” Aku menawarkan diri.
Ia mengangguk. Kuangkat tas carriernya ke atas tempat duduk kami.
“Nah sudah,” aku menatapnya sekilas sambil tersenyum.
Ia mengangguk, “Terimakasih.”
Kereta itu kelas ekonomi. Ada satu bangku lagi di depanku. Berhadap-hadapan, tapi tidak berpenghuni. Mungkin akan diisi oleh penumpang dari stasiun berikutnya.
Aku berniat melihat ke arah luar jendela, ketika tanpa sadar fokus mataku justru tertuju pada perempuan di sebelahku. Baru kusadari dari jarak sedekat ini, ternyata dia tidak seberantakan yang kukira. Tadi saat baru masuk ke dalam kereta, aku ingat rambutnya masih acak-acakan. Kini telah berubah menjadi rambut ekor kuda sebahu. Kapan ia mengikatnya? Entahlah aku tidak terlalu memperhatikan.
Ia memakai atasan baju kemeja kotak berwarna biru tua. Tampak kebesaran dipakai pada badannya yang terlihat kurus. Di pergelangan tangannya, berjejer rapi gelang berwarna-warni. Matanya dibingkai kacamata berframe persegi. Wajahnya, ah! Aku tidak bisa lebih detail mendeskribsikannya sebab ia lebih asik memalingkan wajahnya ke arah  jendela.
Aku ingin mengajaknya ngobrol, sekedar basa-basi. Kupikir, itu bisa menghilangkan sedikit kejenuhan di kereta. Hei, empat belas jam di kereta tanpa ngobrol sepatah kata pun dengan orang yang duduk di sebelahmu terdengar ganjil sekali bukan?”
“Mau ke Bandung juga?” aku memberanikan diri bertanya.
Ia sedikit terperanjat mendengar suaraku. Waktu itu, aku jadi sadar dia sedang melamun. Entah memikirkan apa.
“Iya, saya mau ke Bandung.”
Demi kode etik, dia menoleh ke arahku. Tepat saat itu, saat ia menoleh menatapku, aku jadi menyadari sesuatu. Bukan, bukan karena perempuan di sebelahku ini ternyata berparas menarik. Tapi dengan jelas aku bisa melihat matanya yang sendu di balik kacamata itu.
“Kamu menangis?”
Masih ada sisa bulir air mata di kelopak mata bawahnya, meski aku tahu sebelum menoleh ke arahku ia sudah berusaha menghapusnya. Tapi meski terhapus semuanya, aku tetap bisa mengetahui ia baru saja menangis dari kantung matanya yang sembab.
“Oh enggak, saya cuma agak sedikit pilek. Jadi mata saya berair.”
Aku bukan anak kecil, aku tahu dia berbohong.
“Ke Bandung mau ke kemana?” ia buru-buru mengalihkan topik, ganti bertanya
“Kamu menangis?” aku mengabaikan pertanyaannya. Bertanya lagi.
Dia menggeleng. Baiklah, ini agak sedikit lebih rumit. Jadi aku akan berhenti bertanya.
“Namaku Rey,” aku mengulurkan tanganku.
“Dea,” ia menyalamiku.
“Dea?"
“Deadera.”
Langit mulai gelap saat  itu, gerimis turun dan hujan mulai mengguyur kota Malang. Perjalanan ini masih terlalu panjang. Perempuan bernama Dea itu tidak tahu bahwa  tiga puluh menit ke belakang aku sibuk memikirkan topik obrolan supaya ia berhenti memalingkan muka ke arah jendela. Membuyarkan fokus lamunannya agar ia tidak punya kesempatan lagi untuk menangis. Ini terdengar konyol dan agak sedikit gila, karena kenapa aku harus mempedulikan seseorang yang baru menghabiskan waktunya kurang dari satu jam bersamaku di kereta?
Ayolah, aku hanya tidak suka melihat perempuan menangis. Apalagi, jelas-jelas dia duduk di sebelahku. Meski aku tidak mengenal dia sebelumnya, tapi aku seperti bisa merasakan ada beban berat yang sedang bertumpu dipundaknya. Meski aku tidak tahu apa.
“Kamu kuliah di Malang juga?”
“Suka makan ayam nelongso?”
“Kalau STMJ Ijen?"
“Pernah nyoba mi soden di depan Selecta nggak?”
“Kapan-kapan kamu harus ke Brewok, kue pancong dan kopi kapitennya juara!"
 “Ada nasi goreng padang enak di Sumber Sari. Kamu pernah coba?"
“Kamu suka pergi ke Batu? Pernah naik paralayang belum?”
Aku menanyakan banyak hal padanya, dan payah sekali karena aku cuma bisa bertanya hal-hal sepele yang bahkan bisa ditanyakan oleh anak SD. Dia hanya menanggapi pertanyaanku seperlunya. Sesekali cuma menggeleng dan mengangguk. Aku tidak peduli meski aku tidak pandai membuat lelucon, aku hanya ingin menghiburnya sebisaku.
Ia tersenyum sesaat, menatapku agak sedikit lama.
"Terimakasih,” 
Sebentar, aku tidak salah dengar kan?
“Terimakasih karena aku tahu kamu sedang berusaha menghiburku. Tapi sepertinya, kamu nggak perlu repot-repot. Aku nggak semenyedihkan yang kamu lihat,” ia tertawa pelan.
Aku diam. Siapa pun yang melihat sendu matanya, pasti akan melakukan hal yang sama.
“Bagaimana rasanya pulang?,” ia tiba-tiba bertanya.
Dahiku berkeryit, tidak mengerti maksud pertanyaannya.
“Maksudku bagaimana perasaanmu saat kamu pulang? Apa kamu senang?”
Tentu saja aku senang. Pulang adalah sebaik-baik cara untuk menghilangkan segala kalut dan resah. Tempat berlindung paling nyaman dari kerasnya dunia yang kadang membuatmu merasa terlalu kecil di luar sana.
“Jelaskan padaku, aku cuma ingin tahu bagaimana rasanya.”
“Seperti, waktu kamu dapat hadiah ulang tahun setelah menunggu satu tahun di ulang tahunmu berikutnya. Kamu megerti kan?”
Dea menggeleng, “Aku nggak bisa merasakan perasaan semacam itu.”
"Bahkan meski sekarang aku sedang berada di kereta, aku tetap merasa tubuhku bukan di sini.”
“Apa maksudnya?”
Dia menggeleng, “Bukan apa-apa, kamu nggak ngantuk?”
Aku menelan ludah, mengira dia akan bercerita lebih banyak, ternyata dugaanku salah. Ia lagi-lagi justru mengalihkan  topik pembicaraan ke lain hal.
“Kamu mau tidur? Maaf sudah membuatmu mengobrol,” Aku merasa bersalah. Wajahnya terlihat lelah sekali.
“Nggak apa-apa,” ujarnya sambil tersenyum.
“Saya tidur dulu ya,”
Ia kemudian menyenderkan kepalanya di samping jendela. Perlahan memejamkan matanya. Aku tidak tahu dia tidur sungguhan atau hanya sedang berusaha mengindari percakapan denganku. Tapi setidaknya itu lebih baik daripada aku harus melihatnya terus-menerus menatap ke luar jendela, sambil sesekali menyeka air matanya. Diam-diam, aku mengamatinya saat ia sedang tertidur. Damai dan meneduhkan. Padahal, dari sedu sedan matanya, hatinya sedang berantakan. Belum pernah aku merasa sekacau ini hanya karena memandang cara tidur seseorang. Ya Tuhan, kenapa dadaku tiba-tiba berdebaran?
               
                  Hasil gambar untuk train tumblr
pict from here


17/08/2018, 3:20
Malang, 18 derajat



               
               
               
               
               
                 
               
               
               
               
               
               

Senin, 06 Agustus 2018

Enam Agustus yang ke Dua Puluh Satu Kali untuk Putri

Sebelum kamu membaca ini sampai selesai, pertama-tama aku ingin bilang padamu bahwa aku bersyukur sebab telah terlahir seseorang seperti 'kamu' di dunia.  Kabar baiknya, kamu ditakdirkan menjadi sahabatku.

Hari ini, umurmu dua puluh satu. Cepat sekali waktu berlalu karena rasa-rasanya baru kemarin kita menghabiskan waktu bermain di sawah seharian, mamanjat pohon jambu milik tetangga, mencari ikan sapu-sapu di sawah dekat rumahmu. Rasanya baru kemarin kita bercerita banyak hal tentang hal-hal yang akan kita lakukan saat kita dewasa, berbagi mimpi-mimpi dan semua hal yang ingin kita raih di masa depan nanti. Cepat sekali karena seperti baru kemarin kita sama-sama berpose memakai seragam wisuda esde. Terlalu banyak hal menyenangkan, suka-duka yang kita lewati bersama sejak masih kanak-kanak, remaja, hingga sekarang menginjak dewasa.
Beruntung aku mengenalmu sebagai seorang sahabat. Salah satu perempuan kuat yang berjasa dalam hidupku sebab selalu menguatkanku. Aku sungguh berterimakasih untuk banyak hal yang kamu lakukan untukku selama ini, untuk setiap ceritaku yang bersedia kaudengar tanpa mengenal kata bosan, untuk semua semangatmu demi membuatku bangkit kembali saat kubilang aku hampir menyerah. 

Hari ini, usiamu dua puluh satu. Tidak ada pesta perayaan dan lempar tepung yang bisa kulakukan seperti saat dulu aku masih tinggal di Jogja. Tapi kalau boleh jujur, aku ingin mengulanginya lagi. Memberimu kejutan bersama anggota geng yang lain, menghabiskan energi dengan tertawa sampai larut malam, lalu pulang dengan dada yang masih tetap penuh dengan letup kebahagiaan. Sebab bagi kita semua 'bahagiamu adalah bahagiaku juga.'


Hari ini, usiamu dua puluh satu. Terlalu banyak doa yang akan terlalu panjang jika kutuliskan. Tapi yang pasti kamu tahu, aku mendoakanmu bahagia selalu. Semoga setelah ini dan seterusnya, hidupmu semakin dipenuhi berkah yang berlimpah-limpah. Semoga diberi kekuatan untuk menjadi semakin kuat. Semoga apa pun yang kamu semogakan segera terealisasikan. 

Tetap jadi Putri yang rendah hati dan makin bermanfaat untuk banyak orang. Tetap jadi perempuan tangguh, penyayang, dan berdiri diatas kakinya sendiri. Tapi yang terutama, tetap jadi dirimu sendiri. Kamu hebat tanpa harus jadi orang lain. Kamu cantik apa adanya dirimu. Selalu bersyukur, dan jangan lupa bahagia. Sebab kamu istimewa.


Selamat ulang tahun Putri Sola Agustin,

Bahagia selalu.

Peluk jauh dan hangat dari Malang yang dingin.

Sahabatmu yang terseksi,
Sinta IF


Image may contain: 1 person, smiling, closeup








Bagaimana Kalau

Malam ini, seluruh tubuhku menggigil. Tidak ada musim dingin di kotaku, tapi aku seperti bisa merasakan sensasinya setiap kali suhu ruangan berada tepat di bawah angka lima belas derajat celcius. Seperti malam ini, dan beberapa malam lain yang sudah-sudah.
Jauh lebih mudah kulalui seandainya aku tidak sedang mengingatmu. Meski sudah terlalu lama, tapi biarkan laju memori otakku bekerja.
            Kau dulu pernah bertanya, “Kapan kamu pulang?”
            Kubilang, “Aku tidak tahu,”
            “Kamu tidak merindukan kotamu?”
            Aku menggeleng, “Belum, nanti barangkali.”
            “Kalau kamu pulang, aku mungkin sudah tidak di sini lagi,”
            “Kamu mau kemana?” kutanya.
            “Ke suatu tempat yang jauh, ada mimpiku di sana.”
            Terus terang saja aku mendadak kehabisan kata-kata.
            Tanpa berani bereaksi.
            Terlalu ciut nyali.
            “Kalau aku pergi, kamu bagaimana?"
        Aku terdiam lama. Aku tidak tahu maksudmu apa, jadi kutanya lagi, “Bagaimana apa?”
       “Bagaimana kalau kamu pulang, aku tidak bisa menemuimu?” di ujung telepon, suaramu bergetar. Aku tak cukup peka untuk mengenali pita suara manusia, tapi aku bisa merasakan nada suaramu berbeda.
            “Tidak apa-apa, aku akan menyapamu di telepon.”
            “Kamu tidak ingin menemuiku?”
            “Kapan-kapan mungkin, kalau ada waktu.”
            Lalu kamu tertawa. “Kenapa kamu selalu tidak bisa menjawab hal-hal yang bisa membuatku senang saat mendengarnya?”
            “Semacam apa?”
            “Ya aku ingin menemuimu. Sesederhana itu tidak bisa?”
            “Apakah harus?”        
       Kamu menggeleng, “Tidak, aku hanya sedang ingin menyenangkan diriku sendiri saja.”
            Hening. Saling terjebak dalam pikiran masing-masing.
            “Sudah, tidurlah. Berhenti begadang.”
            “Kau juga.”
            “Satu lagi,”
            “Apa?”
            “Kau anggap aku sahabat kan?”
            “Ya,"
            “Kalau begitu, doakan sahabatmu ini lekas punya pacar supaya dia tidak lagi mengusik orang yang selalu menganggap dirinya sahabatnya. Deal?”

           Aku pura-pura tertawa. Tapi diam-diam menangis dalam hati. Ah sial! Kenapa begitu mudah membohongi diri sendiri?

Image result for tumblr girl leaving

            

           
           

           
                       


 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger