Sabtu, 16 November 2019

Jeda

Lagu Green Day membuka live  music di kafe yang kudatangi malam itu. Wake Me Up When September End. Tepat dinyanyikan di bulan yang sama. Bulan dengan sejarah paling menyesakkan yang pernah kuingat. Hari-hari yang berat,  ingatan-ingatan tentang seseorang yang segera ingin kuusir pergi dari kepalaku, sebuah keangkuhanku pada diri sendiri karena merasa bisa melepaskan dalam sekejap waktu. 
Aku melirik jam di pergelangan tangan, dadaku mulai berdegup kencang tidak menentu. Apakah ini artinya hatiku masih sama saja seperti tahun-tahun sebelumnya? Apakah benar aku telah sembuh? Apakah keputusanku untuk berani menemuinya malam ini adalah sebuah keputusan yang tepat?
Apa....

“Sin?”
Aku terperanjat. Suaranya membuyarkan lamunanku.
Dia ada di sana. Berdiri tepat di seberang meja. Aku mengamatinya. Antara mengingat dia yang dulu dengan yang sekarang. Posturnya sekarang jauh lebih tegak dari terkhir kali aku melihatnya, dia yang terlampau tinggi sampai aku harus mendongakkan kepala dari tempat dudukku. Tersenyum canggung dia menatapku, mengulurkan tangannya. Aku mendadak beku, kehabisan kata-kata. Sekuat tenaga mencairkan suasana.
“Hei, apa kabar?” Aku berdiri, menjabat tangannya.
Tangan yang pernah menawariku segala macam bantuan, yang pernah diulurkannya secara cuma-cuma dengan kalimat, “aku gandeng ya?” seolah dengan begitu ia bisa memberiku perlindungan. Namun justru kubalas dengan gelengan.
“Duduk Rey,” aku mempersilakannya duduk. 
Dia mengangguk, “Sudah pesan menu?”
“Iya sudah.”
“Bagaimana kabarmu?” Ia bertanya.
“Baik, bagaimana kamu?”
“Aku baik, kamu berapa lama di Jogja?”
“Besok aku pulang.”
“Kenapa buru-buru?”
“Kenapa harus lama-lama?” Aku balik bertanya, dia tertawa.
“Kamu masih sama rupanya. Enggak berubah.”
Seorang pelayan kafe mendatangi meja kami. Mengulurkan segelas americano dan green tea latte. 
“Makasih ya Mas,” ucapku.
Pelayan itu tersenyum mengangguk, meninggalkan kami dengan gelas masing-masing. Dia memesan grean tea, aku memilih kopi.
“Kamu masih sering ngopi?”
“Masih,”
“Begadang juga?”
Aku nyengir, “Masih, tapi nggak separah dulu,”
“Kalau nulis?”
“Pertanyaanmu retoris,”
“Kenapa begitu?”
“Kamu masih sering baca tulisanku.”
“Itu bukan pertanyaan kan?” Dia tersenyum, aku menggeleng.
“Darimana kamu tahu aku masih sering baca tulisanmu?”
“Akunmu bukan anonim.”
“Hahaha. Begitu rupanya, ya?” Ujarnya sambil tertawa. 
“Apa kabar pacarmu?”
Dia agak sedikit terkejut mendengar pertanyaanku, “Bisa kita bahas yang lain saja?”
“Kenapa?”
“Aku sedang di sini, bertemu seseorang yang sudah lama sekali nggak kutemui. Kupikir akan lebih menyenangkan kalau aku membahas sesuatu tentang seseorang di depanku saja. Bisa ya?”
“Aku cuma ingin tahu kabarnya,”
“Dia baik,”
“Tolong sampaikan maafku untuk pacarmu.”
“Untuk apa?”
“Karena aku menemui pacarnya malam ini.”
Dia diam, menatapku lama sekali.
“Aku yang memintamu, nggak perlu merasa bersalah begitu. Dia nggak akan marah.”
“Tetap saja aku merasa bersalah karena pergi dengan pacar orang.”
“Maaf membuatmu merasa bersalah. Tapi aku cuma ingin ngrobrol sama kamu malam ini. Kapan lagi aku punya kesempatan?”
“Aku masih punya waktu satu jam di sini sebelum aku harus pulang. Berceritalah sesukamu, kudengarkan.”
Aku meraih cangkir americanoku, menghirup aromanya perlahan, meminumnya. Dari ekor mataku, aku dapat menangkap matanya mengamatiku. Lama sekali. Ayolah, bisakah dia sedikit bisa berkompromi? Bisa tidak, dia tidak perlu menatapku seperti itu? Menyebalkan sekali.
“Kamu tambah cantik sekarang,” katanya tiba-tiba. Aku bukan tipe perempuan yang akan langsung tersipu malu saat dipuji seperti itu jadi aku cuma bilang ‘terimakasih.’
“Sudah bisa pakai lipstik ya?” 
Aku mendelik. Terkekeh dia melihat ekspresiku.
“Kamu dulu tomboy sekali. Aku nggak pernah lihat kamu dandan. Takjub rasanya aku melihatmu malam ini.”
“Kadang waktu dan perjalanan bisa merubah seseorang, kan?” 
“Kalau perasaan manusia, bagaimana?”
“Itu sih cuma kamu sendiri yang bisa jawab. Aku enggak tahu.”
Dia memilih tidak menjawab lalu mengubah pembicaraannya ke topik lain. Beralih menceritakan kegiatannya di kota tempatnya bekerja, keinginannya untuk bisa sering mengujungi Yogykarta, tempat kelahirannya, dan mimpi-mimpinya. 
“Salah satu mimpimu sudah terwujud sekarang. Selamat atas pencapaianmu, aku belum sempat mengatakannya langsung waktu itu.”
“Makasih ya Sin. Makasih sudah sering bilang kalau aku pasti bisa dan sering ikut mengaminkan doaku. Aku senang sekali waktu hari itu dapat pengumuman bahwa aku lolos. Kamu tahu? Kamu orang pertama yang kuberi kabar setelah orang tuaku. Rasanya waktu itu aku ingin teriak, meluapkan kegembiraanku sama kamu. Tapi enggak bisa, kamu jauh.”
Aku bisa mendengar ketulusan dari ucapan terimakasihnya. 
“Aku turut senang, selamat sekali lagi.”
Live music itu masih berlangsung, kini seseorang menyanyikan lagu milik Sheila On 7, judulnya Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki. Aku mengikuti musiknya, terbawa suasana dengan liriknya. Itu salah satu lagu favoriteku. 
“Sin boleh aku tanya sesuatu?” 
Ada jeda saat aku tengah asik menatap live music itu dari kejauhan sebelum menoleh dan bertanya, “Apa?”
“Kalau dulu kamu menerima tawaran untuk jadi pacarku, apa yang akan terjadi sekarang kira-kira?”
Pertanyaannya membuat hatiku mencelos. Kupikir setelah bertahun-tahun berlalu, ia tidak akan lagi berminat membahasnya. Ternyata dugaanku keliru. Here we go. Back to the past.
“Mungkin aku nggak akan bertemu kamu malam ini,”
“Kenapa begitu?”
“Mungkin kamu sudah hilang kabar, mungkin nasibku akan sama saja seperti mantan-mantanmu yang lain itu, kan?” Aku tertawa kecil, menggodanya.
“Aku nggak pernah menganggapmu sama dengan mereka,”
“Tapi aku juga nggak bisa memastikan kamu nggak akan meninggalkanku seperti kamu memutuskan mantan-mantanmu.” Perbincangan ini terlalu mendebarkan untuk bisa kutahan sendirian. Kali ini saatnya. Biarlah. Aku tak punya banyak kesempatan untuk mengatakan semuanya.
“Aku sudah menyukaimu lama sekali, jauh sebelum aku bertemu dengan pacarku yang pertama. Kalau kamu tahu, malam itu saat aku bilang bahwa aku menyukaimu dan memintamu jadi pacarku. Aku sungguh-sungguh mengatakannya Sin. Aku sungguh-sungguh.”
Kuhela napas perlahan, berat sekali obrolan malam ini. Jujur, aku akan lebih senang dia bercerita tentang pacarnya daripada harus menodongku dengan rentetan kalimat samacam itu.
“Rey, aku tahu perasaanmu tulus.” Jawabku setelah menimbang sebelumnya, kutatap matanya berusaha meyakinkan.
“Tanpa kamu bilang pun, aku sebenarnya sudah tahu. Aku bisa merasakan itu.”
“Lalu kenapa?”
Pertanyaannya seolah mengintimidasi, meminta penjelasan, sesuatu yang selama ini tidak pernah kubicarakan dengannya panjang lebar.
“Kalau waktu itu aku bisa bicara terus terang, aku ingin bilang bahwa takut sekali rasanya harus kehilangan seseorang. Aku memilih menolakmu karena aku enggak mau kehilangan seseorang dalam hidupku. Kamu temanku yang sangat baik, kalau dulu aku menerima tawaranmu lalu kamu jadi pacarku, aku nggak bisa membayangkan bagaimana kalau nanti kita putus. Aku akan kehilangan pacar sekaligus teman baik. Aku nggak mau kehilangan dua-duanya. Jadi aku harus memilih salah satu. Dan aku memilih bilang tidak.”
Rasanya malam itu, separuh beban yang mengganjal di dadaku lebur. Ada perasaan lega yang ikut keluar seiring dengan banyak kalimat yang kulontarkan.
“Apa penjelasanku itu sudah cukup jelas?” 
Dia menggeleng, “Apakah waktu itu kamu menyukaiku?”
Selama ini, aku sudah terlalu lelah berbohong dengan diriku sendiri. Maka dengan sangat ringan dan tanpa beban aku mengatakan, “Ya,”
Tanpa kusangka-sangka, jawabanku membuatnya bungkam seketika. Dia menangkupkan telapak tangannya ke wajah, mengusapnya dengan gerakan lambat. 
“Kalau dulu kamu mengatakan semuanya, aku mungkin akan berpikir berulangkali untuk bersama orang lain.” Terangnya, ada raut menyesal di wajahnya.
“Enggak perlu. Buat apa? Aku nggak akan bisa menahan pergi seseorang kalau dia memang nggak berniat untuk tetap tinggal di hidupku.” Kujawab. Lugas dan tegas. Seolah aku tidak lagi memberinya kesempatan untuk mencari pembenaran, apa pun itu bentuknya.
“Maaf karena waktu itu aku pergi,” 
Aku menggeleng, “Itu hakmu, nggak perlu minta maaf.”
“Apa aku masih punya kesempatan?” Ia bertanya.
“Kesempatan untuk apa?”
“Kesempatan untuk bisa dekat denganmu lagi seperti dulu?”
“Mungkin, tapi aku nggak yakin,” aku mengedikkan bahu. Dia menghela napas.
“Kamu tahu kan? Sesuatu yang sudah berjeda lama tentu akan susah mengulangnya.” 
Dia mengerti maksudku, mengangguk paham.
“Tapi enggak apa-apa. Kalau kamu butuh teman untuk cerita, telingaku selalu terbuka lebar. Santai saja.”
Aku tersenyum jumawa, dia menghela napas lega, balas tersenyum menatapku.
“Kamu selalu jadi pendengar yang baik dari dulu. Makasih ya Sin.”
Kubalas perkataannya dengan anggukan.
“Aku boleh request sesuatu nggak sebelum aku pulang?” Kutanya.
“Iya apa?”
“Nyanyi ya? Di depan. Aku dengerin dari sini.”
“Mau lagu apa?”
“Apa saja, sebisamu.”
Tanpa kuminta dua kali, dia sudah berdiri. Berlajan menuju panggung live music. Dari kejauhan aku melihatnya berbicara dengan salah satu gitaris. Berbisik menentukan lagu dan mencocokkan tangga nada. Perlahan, musik mulai dimainkan. Memperdengarkan ia yang kini tengah memegang microphone, siap membuka suara.


“Dan kau hadir.. merubah segalanyaa, menjadi lebih indah.”

Reff lagu itu, lagu yang pernah dia nyanyikan untukku empat tahun yang lalu via telephone. 

Sekarang aku menyaksikannya menyanyikan lagu itu langsung di depanku. 

Tersenyum aku mengingatnya, tapi aku tidak boleh kalah.  Dia menatapku dari kejauhan. Aku melambaikan tangan. Mengacungkan ibu jari. Dia tidak tahu, diam-diam sambil mendengarkan suaranya, aku menyeka sudut-sudut mataku. Malam ini pertemuan sekaligus perpisahan menjadi satu. Tidak mudah melepaskan seseorang yang sangat kamu inginkan untuk tinggal di hidupmu. Namun, aku mengerti akan jauh lebih sulit mencintai diri sendiri. Aku mencintai diriku, maka aku berani melepasnya. Tidak ingin mengulang patah hati berikutnya, berikutnya lagi, terus menerus, berkali-kali, dengan orang yang sama. Malam ini adalah waktunya, aku berhenti. Sebelum besok aku tidak lagi bisa menemuinya, sebelum aku harus pulang ke kota tempatku bekerja. Jogja adalah tempat paling menyenangkan di dunia ini untuk pulang. Tapi tidak untuk tinggal.





 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger