Senin, 31 Desember 2012

Sosaku Kobayashi

Aku tahu beliau begitu rapuh. Tapi tak dibiarkannya kami menangkap sorot letih diwajahnya.
Dengan sisa kekuatan dan semangatnya yang begitu besar untuk kami, beliau tetap mengajari kami sebagaimana biasanya: ceria.
Aku tak habis pikir, bagaimana ia yang serenta dan selemah itu karena penyakitnya, tetapi tetap bersemangat untuk mengajari kami, muridnya. Hatiku jadi teriris, dan mungkin mereka (temanku) juga ikut merasakannya.
Beliau yang mempunyai semangat besar walau demi kami, ia harus rela menahan rasa sakitnya. Beliau yang tak pernah absent dengan panggilan istimewanya "Nak," pada kami. Beliau yang tak pernah bosan mendongengkan kami bermacam-macam kisah mengagumkan. Beliau yang tak pernah lepas dengan kata-kata motivasinya untuk kami, dan kata yang mungkin tak akan pernah kami lupa darinya adalah "Nak! Ingat, sukses atau tidaknya dirimu berada dalam genggamanmu, berjuanglah. Jangan menyerah dengan keadaan. Bayangkanlah betapa hebatnya bangsa ini kelak, karena calon pahlawan-pahlawan masa depan telah siap dengan perjuangan dan pengorbanan. Maka ingat dirimu, siapa pun kau, kau adalah calon penerus. Dan kalian tahu siapa calon penerus yang akan sukses di masa depan? Dialah orang-orang yang selalu memaksa dirinya untuk melakukan "ya", walau demi itu ia harus rela membuang semua rasa kemalasannya, ingat itu ya Nak?"
kami hanya mengangguk.
Terimakasih untuk jasamu yang sungguh luar biasa untuk kami.
~untuk menggambarkan, betapa menajubkannya sosokmu bagi kami; beliau yang menurutku sepadan dengan Sosaku Kobayashi(guru kami yang akan selalu kami kenang dalam sejarah kehidupan kami)
16 Januari 2012 16.48 WIB
Untukmu guru matematika favoritku di SMP
Yang selalu sabar mendidik murid-muridmu yang selalu malas mengerjakan tugas-tugas
Termasuk aku
Tapi kau hebat, kau berhasil membuat kami percaya bahwa kami bisa
Lihatlah, betapa hebatnya kau, bahkan nilai matematikaku saat tryout tak pernah lepas dari nilai empat dan lima
Tapi atas bimbinganmu yang luar aku berhasil mendapatkan nilai 8,75 :') saat ujian nasional
Begitu juga dengan nilai-nilai mereka yang lainnya
Jauh lebih baik dari yang mereka kira
Terimakasih Bpk. Isbiyanto
 Semoga sakitmu yang sering mengganggu pekerjaanmu dulu lekas sembuh O:)
Aamiin
Sekali lagi, terimakasih :)
Langit Senja :')

Minggu, 30 Desember 2012

Senja di Natsepa#2



Tiga puluh menit kemudian, mereka tiba di Pantai Liang. Pantai itu terletak di Desa Liang Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, dan hanya berjarak sekitar tiga puluh satu kilometer dari kota Ambon.

            Pantai ini, tak kalah menariknya dari Pantai Natsepa. Bahkan pernah dinobatkan sebagai pantai terindah pertama di Indonesia berdasarkan hasil penelitian Badan PBB yang mengurusi pembangunan global (UNDP) 1990, karena memiliki panorama bawah laut yang sangat menawan.

            Itulah sebabnya kenapa Azka sangat ingin berkunjung ke pantai ini, lagipula terakhir kali ia kesini dua tahun yang lalu. Dia juga rindu pantai ini, meskipun dia lebih merindukan Natsepa

            Satu jam berlalu. Mereka berdua masih asik bermain-main di bibir pantai, mengabadikan panoramanya dalam lensa kamera yang selalu Azka bawa di tas ranselnya.

            Tapi lima menit kemudian, setelah mereka puas menikmati panorama Liang, mereka memutuskan pulang.

            “Sha pulang dari sini anterin gue ke Natsepa ya!”

            “Lah, bukannya baru kemarin kita kesana?”

            “Ayolah! Lagian daket dari rumah ini!” Azka menarik tangan Rakasha, mengajaknya pergi.

            Azka memang sangat menyukai pantai terutama Natsepa, dan beruntungnya dia karena sahabatnya, Rakasha juga menyukai hal yang sama. Dulu, dua tahun yang lalu mereka sering berkunjung ke pantai mana pun yang mereka suka.

Mereka sering pergi berdua naik angkot semasa Azka masih tinggal disini. Membuat petualangan yang mengagumkan. Menjelajahi pantai-pantai. Pergi ke tempat bersejarah di kota Ambon. Mengunjungi Patung Pattimura di Lapangan Merdeka,  Patung Martha Christina Tiahahu di Karang Panjang atau  ke Bunker/Terowongan bawah tanah V.O.C. di Benteng Atas dan masih banyak tempat-tempat lainnya. Semua tempat di kota itu mereka telusuri.

            Tapi itu dulu, sebelum Azka akhirnya pergi, melanjutkan studynya di Ibu Kota Negara. Sebelum seragam SMPnya berubah menjadi putih abu-abu.

***

            Lima  tahun yang lalu, di Pantai Natsepa Indah

            Seorang gadis kecil yang hendak menginjak remaja, berkulit sawo matang, berkemeja merah, rambutnya dikucir kuda, memakai topi putih, dan gelang metalik di pergelangan tangannya. Berlari-lari kecil menyusuri bibir pantai dengan wajah riangnya.

            Kedua orang tuanya mengawasinya dari kejauhan. Sesekali tersenyum melihat tingkah puterinya.

            Seorang anak laki-laki hampir remaja, wajahnya peranakan china, berkaos biru, bertopi biru, dan di tangan kirinya terpasang jam tangan, juga warna biru. Berdiri memerhatikan gadis itu. Diam-diam mengintip dari balik pohon kelapa. Orang tuanya juga mengawasinya. Bukan tersenyum, tapi geleng-geleng melihat tingkah puteranya.

            Gadis itu masih bermain di bibir pantai. Menyambar ranting rotan di dekat pohon kelapa di sekitarnya, lalu menulis di pasir putih dengan ranting itu, ‘Azka’. Anak laki-laki yang memerhatikannya diam-diam dari balik pohon kelapa itu tersenyum, ‘Jadi, namanya Azka?’

            Pandangannya masih mengarah pada gadis itu. Lalu mimik wajahnya berubah pucat ketika gadis itu berlalu dari tempatnya semula. Dia panik, mengedarkan pandangannya ke segala arah, tidak ada. Dia kemana? Kenapa tiba-tiba dia merasa sedih ketika gadis itu pergi? Bukankah dia belum benar-benar mengenal gadis itu? Hanya sebatas tahu coretan namanya di pasir putih?

            Gadis yang dicarinya ternyata sudah berdiri di depan warung. Dia ingin membeli rujak natsepa, rujak buah berbumbu kacang yang selalu menjadi kegemarannya saat ia berkunjung di pantai itu. Saat pesananya sudah siap, lalu ia membawa rujaknya ke bibir pantai lagi. Menyantapnya sambil menikmati deburan ombak.

            Ketika melihat gadis itu datang lagi, anak laki-laki itu tersenyum, matanya berbinar-binar. Gadis yang dicarinya ternyata kembali lagi. Dan kabar baiknya, dia sekarang duduk di bibir pantai yang hanya berjarak lima langkah persis dari pohon kelapa yang menjadi tempat persembunyiannya. Dia bahkan berjingkrak-jingkrak karena teramat senangnya.

            Gadis itu masih belum menyadari bahwa ia sedang diamati oleh seseorang. Hingga telinganya mendengar gemerisik dari balik pohon kelapa di dekatnya, dia lari mendekat. Matanya menatap heran pada anak laki-laki itu. “Kamu ngapain disini?”

            “Oh, eh, enggak, gue lagi berteduh aja.” Nada bicaranya naik turun, dia teramat malu.

            Gadis kecil itu mengeryitkan keningnya, gue? Anak ini sepertinya bukan penduduk asli kota ini. Gaya bahasanya berbeda, kulitnya putih, dia bukan orang sini.

            “Oh,”

            Anak laki-laki di depannya mengangguk.

            “Kamu kenapa nggak main di sana?” Telunjuknya menunjuk bibir pantai yang semula ia tempati, “kan seru!”

            Anak laki-laki itu menggeleng.

            “Ayo ikut aku, eh ikut gue kesana!” Dia nyengir meniru kata “gue” yang tadi disebut lelaki kecil itu. Anak laki-laki itu juga nyengir.

            Mereka lalu duduk berdua, di bibir pantai. Orang tua mereka masih ditempatnya semula. Duduk di kursi tenda tepian pantai sambil mengawasi anak-anak mereka.

            Gadis kecil itu, menawari anak laki-laki itu rujak natsepanya. Mereka makan berdua.

            “Ini namanya rujak natsepa, kamu harus coba! Enak.”

            Anak laki-laki itu tersenyum, tangannya mencomot rujak dari wadah makanan ditangan gadis itu. “Enak,”’

            “Haha, iyalah. Oiya kamu tinggal di daerah sini?”

            “Iya, gue baru aja pindah dari Jakarta.”

            “Jakarta? Itu kan tempat kelahiran papa.”

            “Oya?”

            Gadis itu mengangguk, “Iya, dulu papa lahir disana, lalu pindah kesini dan menikah dengan mama.”, mata gadis itu berbinar-binar, “terus kamu kok pindah ke sini?”

            “Ayah gue pindah tugas disini. Jadi kami sekeluarga ikut pindah,”

            “Oh, pantesan bahasa kamu beda sama logat gue.”

            Anak laki-laki itu tertawa, “Haha, kalau ‘kamu’ itu ‘elo’, itu bahasa yang sering orang Jakarta gunakan.”

            “Oh, iya elo.” Gadis itu nyengir lagi.

            “Nama lo?” Ragu anak laki-laki itu bertanya.

            “Azka. Elo?”

            “Rakasha”

            Dia mengulurkan tangan, gadis kecil itu menerima jabat tangannya.

            Saat itu, detik itu, menit itu juga, Pantai Natsepa menjadi saksi kisah persahabatan mereka berdua.

***

            Sehari setelah pertemuan itu...

Takdir memang tidak bisa direka. Siapa yang mengira mereka akan bertemu lagi? Ternyata Tuhan berbaik hati, mengabulkan permintaan anak laki-laki itu.

Rakasha dan keluarganya ternyata pindah di kompleks perumahan yang sama dengan Azka. Jadilah sejak saat itu, mereka semakin akrab. Mereka menjadi sahabat yang baik, hingga mereka menginjak remaja, bahkan hingga saat ini.

            Hal itu mebuat semua kisah remaja mereka mengalir indah. Sangat indah. Apa yang lebih menyenangkan selain menikmati kisah masa kecilmu bersama seseorang yang teramat berharga dalam hidupmu?

***

Bersambung Senja di Natsepa#3 :D

 

Senja di Natsepa #1



Gadis itu menghirup nafas dalam-dalam, menikmati hembusan angin semilir yang sedari tadi menggelitik kulit arinya. Sungguh, ini pantai yang menarik. Pantai yang menjadi objek paling menonjol di kota kelahirannya,  kota Ambon.
Iya, Pantai Natsepa, disinilah segala kenangan kisah persahabatannya bermula, pantai inilah yang menjadi saksi kisah-kisah masa kecilnya, pantai yang memiliki kenangan penuh dalam sejarah hidupnya. Dia bahkan tak pernah bosan berkunjung ke sini, berkali-kali, tanpa kenal batas dan dimensi.
            Keindahan panoramanya yang mengagumkan, air lautnya yang bening tanpa sedikit pun sampah yang menggenang, pasir putihnya yang menawan, juga hembusan anginnya yang anggun, meneduhkan. Siapa yang tak terpesona?
            Dia suka menikmati kesunyian disini, mengabadikan objek-objek yang dianggapnya menarik. Dan nanti, ketika mentari mulai meninggalkan peraduan, dia akan berteriak riang, berlari-lari kecil menyusuri bibir pantai, lantas duduk takzim di atas tanah berpasir. Menatap penuh  jejak rona jingga di ufuk barat. Ini menyenangkan.
            Dan disinilah dia sekarang, duduk termangu seorang diri. Menikamati senja yang mulai menyisakan gelap.
            “Hoi!” Seseorang membuyarkan lamunannya. Dia terlonjak, kaget.
            “Eh, elo, ngagetin aja sih!”
            “Lagian elo ngapain melamun disini? Haha.”
            “Refreshing lah, deadline gue padet banget sekarang.”
            “Dih, sok-sokan sibuk,” Pria itu mengacak-acak rambutnya.
            “Hahaha, biar.”
            Mereka saling tertawa, lalu pandangannya kembali terarah pada langit senja. Matahari nyaris tak bersisa.
            “Elo kok suka banget sih kesini? Nggak bosen?”
            Gadis itu menggeleng, “Bosen? Nggak ada kata bosen dalam kamus gue buat pantai seindah ini.”
            “Oya?”
            Yang ditanya hanya mengangguk. Mereka diam sesaat.
“Eh, elo kapan balik ke Jakarta?”
            Gadis itu menoleh, menatap lamat pria itu, “Elo ngusir gue?”
            “Bukan! Bukan itu maksud gue, gue cuma mau mastiin aja, elo bakal lama tinggal disini,”
            “Hahaha, woles aja kali! Iya, gue tahu maksud lo. Tapi gue disini cuma bentar. Cuma libur semester ini.”
            Begitu mendengar kalimat gadis itu, hembusan nafas pria itu terasa berat. Bukankah baru sebentar ia bertemu dengan sahabat kecilnya itu? Kenapa sekarang harus pergi lagi?
            “Oh,”
            Gadis itu menepuk bahunya, “Santai aja, gue pasti kesini lagi kok.”
            Pria itu tersenyum kecut. Memaksa bibirnya  membuat senyum simpul semanis mungkin. Mereka kini berdua, duduk takzim dibibir pantai berpasir putih. Dihiasi nyiur kelapa, perahu yang melintas di sepanjang pantai, juga pemandangan sunset yang mulai menyisakan siluet senja.
***
            Pukul 15.00 WIT, Di rumah Rakasha. Di kompleks perumahan yang dulu juga ditempati Azka. Di pusat kota Ambon.
            “Eh elo lama nggak ngajakin gue ke  Pantai Liang kan? Ajakin gue kesana yuk!”
            “Lo yakin Ka?”
            “Yakin lah Sha,”
            “Oke cabut!”
            “Eh Ka! Elo mau kemana?” Tangannya menarik lengan sahabatnya.
            “Ke garasi. Kita bawa mobil.”
            Gadis itu menggeleng, pria yang di depannya mengeryitkan dahi. “Jadi maksud lo?”
            “Siapa suruh kita bawa mobil, hahaha kita bakal naik angkot.”
            “Serius?”
            “Ah! Lama lo, ayo!”
            Gadis itu tertawa lebar, sekali lagi menarik lengan sahabatnya, Rakasha. Lalu mereka berlari kecil ke jalan raya, menunggu angkot.
            Rakasha hanya geleng-geleng kepala ketika memerhatikan ulah sahabatnya, Azka. Gadis ini, meskipun sudah lebih dewasa dari lima tahun yang lalu, tapi tingkah konyolnya masih selalu ada. Tak pernah hilang, Rakasha nyengir
“Eh itu angkotnya udah dateng,” Azka melonjak-lonjak. Tangannya masih memegang lengan Rakasha.
“Iya, iya gue tahu! Tapi tangan lo lepasin dong, sakit woy!” Rakasha meringis.
“Haha, sory, gue kebawa suasana ni, kan lama gue nggak naik angkot sini.”
Tanpa basa-basi, Azka lalu menyeret Rakasha naik ke atas angkot. “Tuh kan, pegangan tangan lo kenceng banget. Lo cewek apa cowok sih? Kekar banget!”
Rakasha masih mengomel. Azka tak peduli, malah asik bersenandung. Beruntung, mereka duduk bersebelahan di deretan bangku depan. Persis di dekat pintu masuk angkot. Setidaknya duduk di bangku itu terasa lebih sejuk karena udara bebas keluar masuk.
“Rasanya masih sama kayak dulu ya?”
“Haha, kayak nggak pernah naik angkot aja lo,”
Azka melotot, tangannya menepuk bahu Rakasha. “Aduh!” Rakasha hanya cengengesan.
“Lagian kalo di Jakarta naik angkotnya nggak seasik ini. Disini lebih nyaman.”
“Berdoa aja, semoga Jakarta macetnya bisa berkurang dan lo bisa leluasa naik angkot dengan aman dan nyaman, hahaha”
“Elo kok malah cengengesan sih, ini gue lagi berargumen. Ngerti?!”
“Siapa bilang elo lagi lagi nyanyi sambil joget-joget. Gue juga berargumen kan?”
“Terserah lo deh,”
“Gue ketawa kan bukan karna ngetawain argumen lo Ka,”
“Lah?” Azka bengong. Lantas emangnya Rakasha tadi ngetawain apaan?
“Lucu aja lihat tampang antusias lo,hahaha.”
Azka sekali lagi menepuk bahu Rakasha. Mereka sama-sama tertawa. Sepanjang perjalan menuju Pantai Liang itu,  hanya mereka berdua yang membuat kehebohan di dalam angkot. Penumpang angkot yang lainnya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka berdua. Sesekali ada yang melotot ke arah mereka, mengisyaratkan agar mereka berdua tenang selama perjalanan.
Tapi, dua orang itu hanya cengengesan bila di pelototi seperti itu, lalu Azka akan berbisik ke telinga Rakasha, “Wuih, lo liat bapak-bapak yang melototin kita itu nggak Sha?”
Yang dibisiki melirik ke arah yang dimaksud, mengangguk. “Mainstream banget ye?” Yang dibisiki cekikian,”Inget Mak Lampir musuhnya Grandong kan lo?” Rakasha mengangguk lagi
 “Menurut lo Antara Mak Lampir sama Grandong, mana yang lebih mirip sama tatapannya dia, kalo gue sih dua-duanya hahaha” Kali ini Rakasha menggeleng.
 “Shutt, dianya ngelihatin kita lagi tuh, diem!” Rakasha mengingatkan sambil memasang jari telunjuk di depan bibir, isyarat tutup mulut.
“Hahaha,” Tapi Azka malah tertawa lagi.
“Ini anak!” Dan Azka akhirnya bisa berhenti tertawa setelah Rakasha membungkam mulutnya dengan tangannya.
“Emmmppffhh”
“Hahahaha, rasain!”
***
Bersambung Senja di Natsepa#2 :D

Selasa, 25 Desember 2012

Mamaku Berbeda, Tapi Aku Sangat Mencintainya

Aku dilahirkan dari latar belakang orangtua yang berbeda. Papaku seorang muslim, dan mama seorang kristiani. Meskipun mereka berbeda dalam keyakinan, namun mereka begitu paham tentang toleransi. Mereka membiarkanku tumbuh dengan demokrasi penuh. Tak pernah memaksaku dalam memilih keyakinan.  Dan inilah pilihanku,  aku tumbuh dalam keyakinan seorang muslim, dengan pilihanku sendiri, tanpa paksaan dari siapa pun.
Aku akan bercerita tentang mama yang begitu baik bagi kami, aku dan papa. Mama selalu paham tentang berbagai hal yang sedang kami lakukan, termasuk soal kewajiban kami sebagai umat beragama. Termasuk saat aku dan papa  menjalankan ibadah puasa setiap tahunnya.
Mama dengan kasihnya, selalu bangun lebih awal dari kami, mempersiapkan makan sahur. Membangunkan kami untuk makan sahur bersama. Begitu juga ketika waktu berbuka tiba, tepat lima menit sebelum adzan maghrib berkumandang, semua makanan sudah siap terhidang di meja makan. Mama yang menyiapkan semuanya.
Tak jarang, mama juga ikut berpuasa bersama kami, walau pun beliau hanya menahan makannya saat berada di rumah. Hanya untuk menghormati kami yang sedang berpuasa.
Mamaku mama yang baik. Dia adalah mama yang paling berharga di dunia ini walaupun ia berbeda. Aku tak pernah sekali pun mempermasalahkan perbedaan kami. Karena papa selalu menasehatiku berkali-kali, bahwa setiap makhluk Tuhan itu harus saling toleransi, harus saling mencintai. Dan aku mencintai mama, lebih dari apa pun di dunia ini.
Mama seorang kristiani yang taat, disela-sela kesibukannya sebagai wanita karir beliau masih sempat mengikuti kebaktian di gereja setiap jumat dan minggu pagi. Saat-saat inilah, aku dan papa menunjukkan toleransi kami. Sebelum weekend, aku dan papa biasanya mengantar mama dan menunggunya di luar gereja. Setelah beliau usai menjalankan ibadahnya, barulah kami pergi berekreasi, menikamati akhir pekan kami
Mama adalah teman yang baik untuk diajak berbelanja. Pernah suatu ketika, beliau mengantarkan aku membeli mukena. Kerena aku bingung dengan berbagai banyak pilihan yang ada, lalu mama membantuku untuk memilih mukena yang pantas untuk kukenakan.
“Mukena ini cocok untukmu, Langit. Warnanya putih bersih, pasti anggun sekali jika kaupakai,”
“Tapi yang biru bagus juga kan Ma?”
“Bagus sayang, tapi lebih bagus yang putih. Bukankah putih lambang kesucian?” Mama tersenyum, tangannya masih membawa mukena yang dipilihnya.
“Oke Ma, aku ambil yang ini.”
Begitulah mama, selalu paham dengan hal-hal yang seharusnya kulakukan.
***
Aku juga tak mengerti tentang perbedaan kami. Yang jelas, walaupun dalam perbedaan, kami tetap saling mendoakan. Aku tak pernah lupa membawa nama mama dalam doa, begitu pun dengan papa.
Meskipun, setiap  beribadah ke masjid, mama tak bisa mengikuti kami. Meskipun ketika mama bergereja, aku dan papa hanya bisa menemaninya dari luar.
Mama dan papa, dua insan yang berbeda tetapi sangat menjunjung tinggi toleransi. Aku hanya diam  ketika mereka di luar sana menganggap keluarga kami hina karena keyakinan kami berbeda. Sepanjang kami hanya saling mencintai dan tak saling menyakiti apa salah kami?
Sebentar lagi, natal tiba. Tepat pada tanggal 25 Desember. Seperti biasa, mama ikut merayakannya. Mama tidak pernah merayakan natal dengan pesta mewah dan berlebihan. Di ruang tengah pun, beliau hanya meletakkan satu pohon natal berukuran kecil. Mama juga  sering mengajakku menghias pohon natal miliknya. Aku dengan senang hati menerima tawarannya. Mana mungkin aku berani menolaknya? Bukankah tiap lebaran, mama juga sibuk setengah mati mempersiapkan ketupat dan opor ayam untukku dan papa?
Dan, setiap tanggal 25 Desember, yang kami lakukan selalu sama. Mama merayakan natal, tanpa ucapan ’selamat natal’ dari kami.
Mama tentu paham, karena masalah keyakinan, kami tak bisa mengucapkan selamat pada hari natalnya. Tapi mama pasti tentu jauh lebih mengerti, bahwa kami tetap ikut merasakan kebahagiaannya walaupun tanpa isyarat dan kata-kata. Sepanjang natal dirayakan, mama tak henti-hentinya berdoa demi kebaikan kami, demi kebahagiaan kami. Tentu saja, kami ikut bergembira ketika mama bahagia, sederhana.
Jadi bagiku seberapa pun berbedanya aku dengan mama, dia tetaplah mamaku. Mama yang melahirkanku, tak ada sedikit pun alasan bagiku untuk tidak mengasihinya.
Mama, meskipun kau berbeda, meskipun kita berbeda. Aku dan kamu, tetap saling mendoakan pada satu  Maha Kekal yang sama. Aku tak pernah membencimu sedikit pun. Percayalah Ma, perbedaan tak bisa menjadi alasan untuk saling memusuhi, justru saling mengasihi dan mencintai. Itu kan yang selalu mama katakan kepadaku berulangkali? :)
Ma, aku hanya mau bilang, sebentar lagi natal. Mama masih ingin mengajakku dan papa pergi ke panti asuhan yang sering mama kunjungi ketika natal kan? Bawa hadiah yang banyak untuk mereka yang jauh lebih membutuhkan ya Ma? Aku pasti sangat senang, ketika bisa ikut berbagi dengan mama disana. Papa pasti juga menyukainya.
Kami mencintaimu Ma,
Dari anak dan suamimu yang tak pernah henti mendoakan kebaikanmu
Meskipun dalam perbedaan,
Kita tetaplah sama.
Aku, kamu, dan papa
Saling mencintai, saling mendoakan.
Atas nama cinta, bukan perbedaan. :)
PS: Yang saya tulis ini hanyalah fiksi, tak bermaksud apa-apa, hanya terinspirasi dari teman saya yang sangat mencintai mamanya, begitu pun sebaliknya. Walau dalam perbedaan, dan keyakinan yang sangat sulit untuk disatukan, mereka tetap saling mendoakan dan mengasihi. Yang saya tahu, ketika menulis kisah ini, saya sedang belajar tentang toleransi.
Tuhan mengasihi setiap makhlukNya kan? Jadi apa salahnya untuk tetap saling mengasihi dan mendoakan walaupun dalam perbedaan? :)
Ditulis saat sedang setengah mati kehabisan ide untuk menulis rangkaian kata
Lalu kisah tersebut terbayang-bayang di kepala saya
Langit Senja :)
Sudah membaca? Terimakasih :)
Sumber Foto disini :)

Perempuan di Persimpangan (Pantaskah Tuhan Disalahkan?)

Perempuan itu duduk takzim menatap rinai hujan yang sedari tadi membanjiri kota ini Pandangannya menerawang pada masa lalu. Ketika segala hal yang berbau materi sudah tak didapatinya lagi. Dan segala logika sudah tak bisa dilogikakan dengan cara apa pun.
***
Dia adalah perempuan yang di ambang nasib. Dunia memberikan banyak pilihan kepadanya untuk mengarungi kehidupan. Tapi nyatanya, masa lalu yang kelam, memaksanya menjadi seseorang yang bahkan tak pernah diinginkan. Mereka sebut dia jalang.
“Kau bekerja apa di kota Ratih?” serak suara ibunya bertanya.
Sedikit bingung dia menjawab. “Eh, Ratih menjadi pelayan restaurant Bu,”
Ibunya tersenyum, mengusap lembut bahunya, “Tak mengapa Nak, asalkan halal, bekerja apa saja tak jadi masalah.”
Dia hanya diam, bisu, kelu. Selama ini, dan entah sampai kapan akan usai, kebohongan akan terus menghantuinya.
***
Dia menatap lurus pepohonan. Matanya mulai sembab. Hujan masih deras mengguyur kota ini. Cardigan di tubuhnya ia rapatkan. Ia masih mengais sisa masa lalu.
***
Hari itu, ketika persediaan beras di rumahnya menipis dan ibunya jatuh sakit.
“Bu, Ratih harus pergi lagi ke kota. Cari uang buat makan kita. Buat pengobatan Ibu juga, boleh Bu?”
“Asalkan halal, pergilah,”
Dia menangis, terus terbayang kalimat ibunya yang beliau ucapkan sebelum ia pergi. Dia berkali-kali menahan sesak, apa yang harus dia lakukan? Saat bapaknya memutuskan pergi dengan wanita lain, kehidupan keluarganya semakin terpuruk. Dia yang menggantikan posisi bapaknya, menjadi kepala keluarga.
Dia melangkahkan kakinya menuju tempat yang ia gunakan untuk mencari makan. Tekadnya sudah bulat, dia harus kembali lagi ke kota ini. Atau keluarganya tidak makan dan ibunya terus sakit-sakitan
.
***
Perempuan itu, menatap sayup pada riak genangan air hujan di jalanan. Terus memutar memorinya ke masa lalu. Kali ini wajahnya benar-benar sendu.
***
Saat itu, saat ia mulai mengerjakan segala sesuatunya, tiba-tiba kepalanya terasa berat. Dia menggigil, demam. Pria yang dilayaninya membentaknya kasar, “Dasar perempuan tak tahu diuntung! aku sudah bayar kau mahal-mahal. Kenapa servicemu mengecewakan? Hah!” tamparannya mendarat ke pipi kanan Ratih, ia merintih.
“Maaf Tuan, saya sedang sakit,” air matanya mulai bercucuran.
“Masa bodoh soal sakit kau! Sekarang pergi!” pria itu menarik kasar tangan Ratih ke luar kamar.Ratih berontak, ia masih memperjuangkan bayarannya.
“Tuan, ibuku sedang sakit keras. Aku butuh uang, Tuan boleh membayarku berapa pun yang Tuan mau, aslkan hari ini, aku bisa membawa ibuku berobat ke rumah sakit,” wajahnya memelas. Pria itu tersenyum sinis. Menatapnya tajam, “Dasar wanita bodoh! Wanita jalang macam kau tak pantas dikasihani. Pergi kau dari sini!”
Ratih terisak, perlahan kakinya melangkah pergi, tanpa alas  kaki. Malam itu hujan deras. Dia terus melangkah diantara celah hujan. Menangis sejadinya. Kalau dia tak dapat penghasilan hari ini, kedua adik dan ibunya di rumah, mau makan apa? Kalau dia tak bawa uang ke rumah hari ini, bagaimana dengan ibunya yang sudah mulai renta dan sakit-sakitan? Bagimana dia harus membawa berobat ibunya ke rumah sakit?
Dia terus meratapi nasib, menyalahkan Tuhan. Tunggu! Pantaskah Tuhan disalahkan? Tidak, dia sendiri yang salah, bukankah Tuhan telah memberi beribu pilihan kebaikan untuknya? Bukankah dia sendiri yang memilih jalan hidupnya menjadi seperti ini? Lihatlah, betapa bodohnya ketika bahkan ia meyadari kesalahannya sendiri.
***
Perempuan itu menghela napas, bayangan tentang masa lalunya mulai menghilang. Tidak, belum hilang sepenuhnya, ia masih mengais remah-remah yang tersisa. Tapi hujan di luar sana masih menari, telinganya  masih menangkap riuh lembut resonansi.
***
Ratih masih terus berjalan, demamnya semakin menjadi.  Dia menggigil kerena demam tinggi ditambah pula hujan deras, dia semakin menggigil. Ratih hanya memakai baju tipis, tak cukup kebal menahan guyuran air hujan.
Ketika kakinya mulai lemas, dan tubuhnya sudah tak kuat lagi untuk berjalan. Ratih kebingungan, dimana ia harus mencari tempat untuk berteduh? Dia berkali-kali meminta izin untuk berteduh di sebuah warung atau tenda-tenda makan di sepanjang jalan. Tapi mereka mengucilkan, tak memberi izin. Mereka kira dia gila. Lihatlah, dengan kaki telanjang dan baju berantakan seperti itu, siapa yang akan mengira dia waras?
Dia terus berjalan, kakinya bergetar hebat. Di persimpangan, dia berhenti. Duduk di tepi jalan, menggigil sendirian. Lima menit berselang, seseorang membuyarkan lamunannya, tangannya menggenggam gagang payung. Menatap Ratih lamat, lantas tersenyum “Maaf, Anda sedang apa di sini?”
Mulut Ratih susah bergerak, dia terus menggigil, hingga bibirnya kelu sulit mengucapkan sesuatu. “d-i-ng-in,” patah-patah Ratih mengucapkan kalimatnya.
Pria tampan itu mengeryitkan dahi, melindungi tubuh Ratih dengan payungnya. “Payung ini bisa sedikit membantumu, masih dingin?”
Dengan cepat Ratih mengangguk, pria itu tersenyum, lantas buru-buru melepas jaketnya. “Pakailah, kamu lebih butuh,”
Dengan tangan gemetaran, ia meraih jeket dari tangan pria itu. Lantas memakainya, merapatkannya ke tubuhnya. Setidaknya, rasa dinginnya mulai berkurang.
“Terimakasih, Anda siapa?” mulut Ratih mulai bisa digerakkan, walaupun masih gemetaran.
“Saya Bagaskara, tadinya saya mau sholat di masjid dekat persimpangan ini, kebetulan saya melihat Anda disini, sepertinya Anda butuh bantuan, jadi saya kemari.” Ratih masih menatap mata pria itu, sungguh menenangkan. Seumur hidupnya, baru kali ini ia melihat tatapan seteduh itu, syahdu sekali.
Tatapannya sungguh berbeda dengan pria-pria yang selama ini menatapnya dengan penuh nafsu. Tatapan pria ini sungguh berbeda, tatapannya ramah dan bersahabat, Ratih mengaguminya.
“Oh, terimakasih, mungkin kalau Anda tidak membantu saya, saya sudah membeku sejak tadi.”
“Hanya bantuan sederhana,” pria itu tersenyum, “maaf, nama Anda?”
“Ratih,”
“Kalau boleh tahu, kenapa Anda bisa disini?”
Ratih menatap kosong, tak menjawab.Pria itu mengerti, dia tak ingin bertanya lebih lanjut.
“Anda muslim?”
Ratih mengangguk, “Kalau tidak keberatan, mari ikut saya ke masjid di seberang sana. Anda pasti juga belum sholat Maghrib kan? Sekalian nanti kita bisa berteduh disana.”
Ratih beranjak berdiri, mengikuti langkah kaki pria itu. Mereka berjalan dengan berlindung pada satu payung yang sama. Pria itu yang memegangi gagang payungnya.
Di masjid, mereka berdua shalat berjamaah. Pria itu yang mengimami. Ratih menangis dalam sujud, mengingat semua kisah kelamnya. Dia merasa kotor, merasa dirinya benar-benar hina. Dia memohon ampun, dia ingin mengakhiri semuanya, tapi bisakah? Bisakah makhluk kotor sepertinya meminta ampun pada Tuhan?
Lalu, bagaimana bila pria itu tahu segalanya? Bagaimana kalau dia tahu siapa dirinya yag sebenarnya? Bagaimana sikapnya nanti ketika dia tahu bahwa perempuan yang ditolongnya adalah perempuan jalang? Bukankah begitu menatap syahdu matanya, Ratih mengaguminya?
***
Perempuan itu, sekarang menyunggingkan senyum simpul. Matanya berbinar-binar. Hujan deras mulai berubah menjadi gerimis kecil. Hujan hampir reda. Seseorang keluar dari balik pintu, kedua tangannya membawa dua gelas teh hangat, tersenyum. Menghampirinya, “Sayang, kamu pasti kedinginan, segelas teh hangat bisa menghangatkan tubuhmu, minumlah.”
Perempuan itu tersenyum, meraih segelas teh di tangan pria itu. “Terimakasih sayang,”
Mereka berdua duduk takzim menikmati sisa rintik langit. Di teras rumah mewah mereka. Lalu hujan benar-benar menghilang, mereka berdua melangkah, memasuki rumah.
Semua kisah kelam perempuan itu, benar-benar sudah usai.
***
“Tuhan tak pernah membencimu, bukankah persepsimu sendiri yang membuatmu percaya bahwa Tuhan membencimu? Percayalah, seburuk apa pun kau, sebesar apa pun dosa yang pernah kau lakukan, Tuhan akan memaafkanmu. Asalkan dengan penyesalan yang tulus, dan kau berjanji tak akan mengulanginya lagi, itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Tuhan percaya bahwa kau pantas dimaafkan, percayalah,” aku masih mengingat kalimat Bagaskara yang diucapkannya di masjid kala itu, saat ia mendengar semua pengakuanku. Aku sungguh tak percaya mendengar kalimatnya, saat itu mataku berkaca-kaca.
“Sekarang, jadilah perempuan yang lebih baik Ratih.  Dan jika kau tak berkeberatan, maukah kau jadi istriku. ?” Aku benar-benar tak percaya dengan penawarannya. Tentu saja, aku tak kuasa menolaknya. Bagaimana mungkin aku menolak pria sebaik ini? Pria pertama yang tatapannya mampu membuat aku terkesima sejak pertama kali aku melihatnya?
Dia sungguh orang yang baik, dia ikhlas menikahiku tanpa memandang siapa aku dimasa lalu.
Dia sungguh orang yang baik, merengkuhku saat kehidupan kami sedang terpuruk. Menjanjikan kehidupan dan masa depan yang lebih baik untukku dan keluargaku.
Dia sungguh orang yang baik, amat sangat baik. Dia yang mengenalkanku lebih dekat dengan Tuhan, membuat seluruh sisa hidupku menjadi mengesankan.
Aku adalah wanitanya, yang ditemukannya di persimpangan.
Aku adalah wanitanya yang beruntung karena telah memilikinya, terimakasih Tuhan.
***
End
sedikit berkisah tentang kehidupan nyata di luar sana
semoga mampu mengambil hikmahnya
Salam
Langit Senja :’)
Sudah Membaca? Terimakasih :)
Sumber foto disini :)
 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger