Selasa, 25 Desember 2012

Perempuan di Persimpangan (Pantaskah Tuhan Disalahkan?)

Perempuan itu duduk takzim menatap rinai hujan yang sedari tadi membanjiri kota ini Pandangannya menerawang pada masa lalu. Ketika segala hal yang berbau materi sudah tak didapatinya lagi. Dan segala logika sudah tak bisa dilogikakan dengan cara apa pun.
***
Dia adalah perempuan yang di ambang nasib. Dunia memberikan banyak pilihan kepadanya untuk mengarungi kehidupan. Tapi nyatanya, masa lalu yang kelam, memaksanya menjadi seseorang yang bahkan tak pernah diinginkan. Mereka sebut dia jalang.
“Kau bekerja apa di kota Ratih?” serak suara ibunya bertanya.
Sedikit bingung dia menjawab. “Eh, Ratih menjadi pelayan restaurant Bu,”
Ibunya tersenyum, mengusap lembut bahunya, “Tak mengapa Nak, asalkan halal, bekerja apa saja tak jadi masalah.”
Dia hanya diam, bisu, kelu. Selama ini, dan entah sampai kapan akan usai, kebohongan akan terus menghantuinya.
***
Dia menatap lurus pepohonan. Matanya mulai sembab. Hujan masih deras mengguyur kota ini. Cardigan di tubuhnya ia rapatkan. Ia masih mengais sisa masa lalu.
***
Hari itu, ketika persediaan beras di rumahnya menipis dan ibunya jatuh sakit.
“Bu, Ratih harus pergi lagi ke kota. Cari uang buat makan kita. Buat pengobatan Ibu juga, boleh Bu?”
“Asalkan halal, pergilah,”
Dia menangis, terus terbayang kalimat ibunya yang beliau ucapkan sebelum ia pergi. Dia berkali-kali menahan sesak, apa yang harus dia lakukan? Saat bapaknya memutuskan pergi dengan wanita lain, kehidupan keluarganya semakin terpuruk. Dia yang menggantikan posisi bapaknya, menjadi kepala keluarga.
Dia melangkahkan kakinya menuju tempat yang ia gunakan untuk mencari makan. Tekadnya sudah bulat, dia harus kembali lagi ke kota ini. Atau keluarganya tidak makan dan ibunya terus sakit-sakitan
.
***
Perempuan itu, menatap sayup pada riak genangan air hujan di jalanan. Terus memutar memorinya ke masa lalu. Kali ini wajahnya benar-benar sendu.
***
Saat itu, saat ia mulai mengerjakan segala sesuatunya, tiba-tiba kepalanya terasa berat. Dia menggigil, demam. Pria yang dilayaninya membentaknya kasar, “Dasar perempuan tak tahu diuntung! aku sudah bayar kau mahal-mahal. Kenapa servicemu mengecewakan? Hah!” tamparannya mendarat ke pipi kanan Ratih, ia merintih.
“Maaf Tuan, saya sedang sakit,” air matanya mulai bercucuran.
“Masa bodoh soal sakit kau! Sekarang pergi!” pria itu menarik kasar tangan Ratih ke luar kamar.Ratih berontak, ia masih memperjuangkan bayarannya.
“Tuan, ibuku sedang sakit keras. Aku butuh uang, Tuan boleh membayarku berapa pun yang Tuan mau, aslkan hari ini, aku bisa membawa ibuku berobat ke rumah sakit,” wajahnya memelas. Pria itu tersenyum sinis. Menatapnya tajam, “Dasar wanita bodoh! Wanita jalang macam kau tak pantas dikasihani. Pergi kau dari sini!”
Ratih terisak, perlahan kakinya melangkah pergi, tanpa alas  kaki. Malam itu hujan deras. Dia terus melangkah diantara celah hujan. Menangis sejadinya. Kalau dia tak dapat penghasilan hari ini, kedua adik dan ibunya di rumah, mau makan apa? Kalau dia tak bawa uang ke rumah hari ini, bagaimana dengan ibunya yang sudah mulai renta dan sakit-sakitan? Bagimana dia harus membawa berobat ibunya ke rumah sakit?
Dia terus meratapi nasib, menyalahkan Tuhan. Tunggu! Pantaskah Tuhan disalahkan? Tidak, dia sendiri yang salah, bukankah Tuhan telah memberi beribu pilihan kebaikan untuknya? Bukankah dia sendiri yang memilih jalan hidupnya menjadi seperti ini? Lihatlah, betapa bodohnya ketika bahkan ia meyadari kesalahannya sendiri.
***
Perempuan itu menghela napas, bayangan tentang masa lalunya mulai menghilang. Tidak, belum hilang sepenuhnya, ia masih mengais remah-remah yang tersisa. Tapi hujan di luar sana masih menari, telinganya  masih menangkap riuh lembut resonansi.
***
Ratih masih terus berjalan, demamnya semakin menjadi.  Dia menggigil kerena demam tinggi ditambah pula hujan deras, dia semakin menggigil. Ratih hanya memakai baju tipis, tak cukup kebal menahan guyuran air hujan.
Ketika kakinya mulai lemas, dan tubuhnya sudah tak kuat lagi untuk berjalan. Ratih kebingungan, dimana ia harus mencari tempat untuk berteduh? Dia berkali-kali meminta izin untuk berteduh di sebuah warung atau tenda-tenda makan di sepanjang jalan. Tapi mereka mengucilkan, tak memberi izin. Mereka kira dia gila. Lihatlah, dengan kaki telanjang dan baju berantakan seperti itu, siapa yang akan mengira dia waras?
Dia terus berjalan, kakinya bergetar hebat. Di persimpangan, dia berhenti. Duduk di tepi jalan, menggigil sendirian. Lima menit berselang, seseorang membuyarkan lamunannya, tangannya menggenggam gagang payung. Menatap Ratih lamat, lantas tersenyum “Maaf, Anda sedang apa di sini?”
Mulut Ratih susah bergerak, dia terus menggigil, hingga bibirnya kelu sulit mengucapkan sesuatu. “d-i-ng-in,” patah-patah Ratih mengucapkan kalimatnya.
Pria tampan itu mengeryitkan dahi, melindungi tubuh Ratih dengan payungnya. “Payung ini bisa sedikit membantumu, masih dingin?”
Dengan cepat Ratih mengangguk, pria itu tersenyum, lantas buru-buru melepas jaketnya. “Pakailah, kamu lebih butuh,”
Dengan tangan gemetaran, ia meraih jeket dari tangan pria itu. Lantas memakainya, merapatkannya ke tubuhnya. Setidaknya, rasa dinginnya mulai berkurang.
“Terimakasih, Anda siapa?” mulut Ratih mulai bisa digerakkan, walaupun masih gemetaran.
“Saya Bagaskara, tadinya saya mau sholat di masjid dekat persimpangan ini, kebetulan saya melihat Anda disini, sepertinya Anda butuh bantuan, jadi saya kemari.” Ratih masih menatap mata pria itu, sungguh menenangkan. Seumur hidupnya, baru kali ini ia melihat tatapan seteduh itu, syahdu sekali.
Tatapannya sungguh berbeda dengan pria-pria yang selama ini menatapnya dengan penuh nafsu. Tatapan pria ini sungguh berbeda, tatapannya ramah dan bersahabat, Ratih mengaguminya.
“Oh, terimakasih, mungkin kalau Anda tidak membantu saya, saya sudah membeku sejak tadi.”
“Hanya bantuan sederhana,” pria itu tersenyum, “maaf, nama Anda?”
“Ratih,”
“Kalau boleh tahu, kenapa Anda bisa disini?”
Ratih menatap kosong, tak menjawab.Pria itu mengerti, dia tak ingin bertanya lebih lanjut.
“Anda muslim?”
Ratih mengangguk, “Kalau tidak keberatan, mari ikut saya ke masjid di seberang sana. Anda pasti juga belum sholat Maghrib kan? Sekalian nanti kita bisa berteduh disana.”
Ratih beranjak berdiri, mengikuti langkah kaki pria itu. Mereka berjalan dengan berlindung pada satu payung yang sama. Pria itu yang memegangi gagang payungnya.
Di masjid, mereka berdua shalat berjamaah. Pria itu yang mengimami. Ratih menangis dalam sujud, mengingat semua kisah kelamnya. Dia merasa kotor, merasa dirinya benar-benar hina. Dia memohon ampun, dia ingin mengakhiri semuanya, tapi bisakah? Bisakah makhluk kotor sepertinya meminta ampun pada Tuhan?
Lalu, bagaimana bila pria itu tahu segalanya? Bagaimana kalau dia tahu siapa dirinya yag sebenarnya? Bagaimana sikapnya nanti ketika dia tahu bahwa perempuan yang ditolongnya adalah perempuan jalang? Bukankah begitu menatap syahdu matanya, Ratih mengaguminya?
***
Perempuan itu, sekarang menyunggingkan senyum simpul. Matanya berbinar-binar. Hujan deras mulai berubah menjadi gerimis kecil. Hujan hampir reda. Seseorang keluar dari balik pintu, kedua tangannya membawa dua gelas teh hangat, tersenyum. Menghampirinya, “Sayang, kamu pasti kedinginan, segelas teh hangat bisa menghangatkan tubuhmu, minumlah.”
Perempuan itu tersenyum, meraih segelas teh di tangan pria itu. “Terimakasih sayang,”
Mereka berdua duduk takzim menikmati sisa rintik langit. Di teras rumah mewah mereka. Lalu hujan benar-benar menghilang, mereka berdua melangkah, memasuki rumah.
Semua kisah kelam perempuan itu, benar-benar sudah usai.
***
“Tuhan tak pernah membencimu, bukankah persepsimu sendiri yang membuatmu percaya bahwa Tuhan membencimu? Percayalah, seburuk apa pun kau, sebesar apa pun dosa yang pernah kau lakukan, Tuhan akan memaafkanmu. Asalkan dengan penyesalan yang tulus, dan kau berjanji tak akan mengulanginya lagi, itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Tuhan percaya bahwa kau pantas dimaafkan, percayalah,” aku masih mengingat kalimat Bagaskara yang diucapkannya di masjid kala itu, saat ia mendengar semua pengakuanku. Aku sungguh tak percaya mendengar kalimatnya, saat itu mataku berkaca-kaca.
“Sekarang, jadilah perempuan yang lebih baik Ratih.  Dan jika kau tak berkeberatan, maukah kau jadi istriku. ?” Aku benar-benar tak percaya dengan penawarannya. Tentu saja, aku tak kuasa menolaknya. Bagaimana mungkin aku menolak pria sebaik ini? Pria pertama yang tatapannya mampu membuat aku terkesima sejak pertama kali aku melihatnya?
Dia sungguh orang yang baik, dia ikhlas menikahiku tanpa memandang siapa aku dimasa lalu.
Dia sungguh orang yang baik, merengkuhku saat kehidupan kami sedang terpuruk. Menjanjikan kehidupan dan masa depan yang lebih baik untukku dan keluargaku.
Dia sungguh orang yang baik, amat sangat baik. Dia yang mengenalkanku lebih dekat dengan Tuhan, membuat seluruh sisa hidupku menjadi mengesankan.
Aku adalah wanitanya, yang ditemukannya di persimpangan.
Aku adalah wanitanya yang beruntung karena telah memilikinya, terimakasih Tuhan.
***
End
sedikit berkisah tentang kehidupan nyata di luar sana
semoga mampu mengambil hikmahnya
Salam
Langit Senja :’)
Sudah Membaca? Terimakasih :)
Sumber foto disini :)

0 komentar:

 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger