Minggu, 30 Desember 2012

Senja di Natsepa#2



Tiga puluh menit kemudian, mereka tiba di Pantai Liang. Pantai itu terletak di Desa Liang Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, dan hanya berjarak sekitar tiga puluh satu kilometer dari kota Ambon.

            Pantai ini, tak kalah menariknya dari Pantai Natsepa. Bahkan pernah dinobatkan sebagai pantai terindah pertama di Indonesia berdasarkan hasil penelitian Badan PBB yang mengurusi pembangunan global (UNDP) 1990, karena memiliki panorama bawah laut yang sangat menawan.

            Itulah sebabnya kenapa Azka sangat ingin berkunjung ke pantai ini, lagipula terakhir kali ia kesini dua tahun yang lalu. Dia juga rindu pantai ini, meskipun dia lebih merindukan Natsepa

            Satu jam berlalu. Mereka berdua masih asik bermain-main di bibir pantai, mengabadikan panoramanya dalam lensa kamera yang selalu Azka bawa di tas ranselnya.

            Tapi lima menit kemudian, setelah mereka puas menikmati panorama Liang, mereka memutuskan pulang.

            “Sha pulang dari sini anterin gue ke Natsepa ya!”

            “Lah, bukannya baru kemarin kita kesana?”

            “Ayolah! Lagian daket dari rumah ini!” Azka menarik tangan Rakasha, mengajaknya pergi.

            Azka memang sangat menyukai pantai terutama Natsepa, dan beruntungnya dia karena sahabatnya, Rakasha juga menyukai hal yang sama. Dulu, dua tahun yang lalu mereka sering berkunjung ke pantai mana pun yang mereka suka.

Mereka sering pergi berdua naik angkot semasa Azka masih tinggal disini. Membuat petualangan yang mengagumkan. Menjelajahi pantai-pantai. Pergi ke tempat bersejarah di kota Ambon. Mengunjungi Patung Pattimura di Lapangan Merdeka,  Patung Martha Christina Tiahahu di Karang Panjang atau  ke Bunker/Terowongan bawah tanah V.O.C. di Benteng Atas dan masih banyak tempat-tempat lainnya. Semua tempat di kota itu mereka telusuri.

            Tapi itu dulu, sebelum Azka akhirnya pergi, melanjutkan studynya di Ibu Kota Negara. Sebelum seragam SMPnya berubah menjadi putih abu-abu.

***

            Lima  tahun yang lalu, di Pantai Natsepa Indah

            Seorang gadis kecil yang hendak menginjak remaja, berkulit sawo matang, berkemeja merah, rambutnya dikucir kuda, memakai topi putih, dan gelang metalik di pergelangan tangannya. Berlari-lari kecil menyusuri bibir pantai dengan wajah riangnya.

            Kedua orang tuanya mengawasinya dari kejauhan. Sesekali tersenyum melihat tingkah puterinya.

            Seorang anak laki-laki hampir remaja, wajahnya peranakan china, berkaos biru, bertopi biru, dan di tangan kirinya terpasang jam tangan, juga warna biru. Berdiri memerhatikan gadis itu. Diam-diam mengintip dari balik pohon kelapa. Orang tuanya juga mengawasinya. Bukan tersenyum, tapi geleng-geleng melihat tingkah puteranya.

            Gadis itu masih bermain di bibir pantai. Menyambar ranting rotan di dekat pohon kelapa di sekitarnya, lalu menulis di pasir putih dengan ranting itu, ‘Azka’. Anak laki-laki yang memerhatikannya diam-diam dari balik pohon kelapa itu tersenyum, ‘Jadi, namanya Azka?’

            Pandangannya masih mengarah pada gadis itu. Lalu mimik wajahnya berubah pucat ketika gadis itu berlalu dari tempatnya semula. Dia panik, mengedarkan pandangannya ke segala arah, tidak ada. Dia kemana? Kenapa tiba-tiba dia merasa sedih ketika gadis itu pergi? Bukankah dia belum benar-benar mengenal gadis itu? Hanya sebatas tahu coretan namanya di pasir putih?

            Gadis yang dicarinya ternyata sudah berdiri di depan warung. Dia ingin membeli rujak natsepa, rujak buah berbumbu kacang yang selalu menjadi kegemarannya saat ia berkunjung di pantai itu. Saat pesananya sudah siap, lalu ia membawa rujaknya ke bibir pantai lagi. Menyantapnya sambil menikmati deburan ombak.

            Ketika melihat gadis itu datang lagi, anak laki-laki itu tersenyum, matanya berbinar-binar. Gadis yang dicarinya ternyata kembali lagi. Dan kabar baiknya, dia sekarang duduk di bibir pantai yang hanya berjarak lima langkah persis dari pohon kelapa yang menjadi tempat persembunyiannya. Dia bahkan berjingkrak-jingkrak karena teramat senangnya.

            Gadis itu masih belum menyadari bahwa ia sedang diamati oleh seseorang. Hingga telinganya mendengar gemerisik dari balik pohon kelapa di dekatnya, dia lari mendekat. Matanya menatap heran pada anak laki-laki itu. “Kamu ngapain disini?”

            “Oh, eh, enggak, gue lagi berteduh aja.” Nada bicaranya naik turun, dia teramat malu.

            Gadis kecil itu mengeryitkan keningnya, gue? Anak ini sepertinya bukan penduduk asli kota ini. Gaya bahasanya berbeda, kulitnya putih, dia bukan orang sini.

            “Oh,”

            Anak laki-laki di depannya mengangguk.

            “Kamu kenapa nggak main di sana?” Telunjuknya menunjuk bibir pantai yang semula ia tempati, “kan seru!”

            Anak laki-laki itu menggeleng.

            “Ayo ikut aku, eh ikut gue kesana!” Dia nyengir meniru kata “gue” yang tadi disebut lelaki kecil itu. Anak laki-laki itu juga nyengir.

            Mereka lalu duduk berdua, di bibir pantai. Orang tua mereka masih ditempatnya semula. Duduk di kursi tenda tepian pantai sambil mengawasi anak-anak mereka.

            Gadis kecil itu, menawari anak laki-laki itu rujak natsepanya. Mereka makan berdua.

            “Ini namanya rujak natsepa, kamu harus coba! Enak.”

            Anak laki-laki itu tersenyum, tangannya mencomot rujak dari wadah makanan ditangan gadis itu. “Enak,”’

            “Haha, iyalah. Oiya kamu tinggal di daerah sini?”

            “Iya, gue baru aja pindah dari Jakarta.”

            “Jakarta? Itu kan tempat kelahiran papa.”

            “Oya?”

            Gadis itu mengangguk, “Iya, dulu papa lahir disana, lalu pindah kesini dan menikah dengan mama.”, mata gadis itu berbinar-binar, “terus kamu kok pindah ke sini?”

            “Ayah gue pindah tugas disini. Jadi kami sekeluarga ikut pindah,”

            “Oh, pantesan bahasa kamu beda sama logat gue.”

            Anak laki-laki itu tertawa, “Haha, kalau ‘kamu’ itu ‘elo’, itu bahasa yang sering orang Jakarta gunakan.”

            “Oh, iya elo.” Gadis itu nyengir lagi.

            “Nama lo?” Ragu anak laki-laki itu bertanya.

            “Azka. Elo?”

            “Rakasha”

            Dia mengulurkan tangan, gadis kecil itu menerima jabat tangannya.

            Saat itu, detik itu, menit itu juga, Pantai Natsepa menjadi saksi kisah persahabatan mereka berdua.

***

            Sehari setelah pertemuan itu...

Takdir memang tidak bisa direka. Siapa yang mengira mereka akan bertemu lagi? Ternyata Tuhan berbaik hati, mengabulkan permintaan anak laki-laki itu.

Rakasha dan keluarganya ternyata pindah di kompleks perumahan yang sama dengan Azka. Jadilah sejak saat itu, mereka semakin akrab. Mereka menjadi sahabat yang baik, hingga mereka menginjak remaja, bahkan hingga saat ini.

            Hal itu mebuat semua kisah remaja mereka mengalir indah. Sangat indah. Apa yang lebih menyenangkan selain menikmati kisah masa kecilmu bersama seseorang yang teramat berharga dalam hidupmu?

***

Bersambung Senja di Natsepa#3 :D

 

0 komentar:

 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger