Tiga puluh menit kemudian, mereka
tiba di Pantai Liang. Pantai itu terletak di Desa Liang Kecamatan Salahutu,
Kabupaten Maluku Tengah, dan hanya berjarak sekitar tiga puluh satu kilometer
dari kota Ambon.
Pantai ini, tak kalah menariknya dari Pantai
Natsepa. Bahkan pernah dinobatkan sebagai pantai terindah pertama di Indonesia
berdasarkan hasil penelitian Badan PBB yang mengurusi pembangunan global (UNDP)
1990, karena memiliki panorama bawah laut yang sangat menawan.
Itulah sebabnya kenapa Azka sangat
ingin berkunjung ke pantai ini, lagipula terakhir kali ia kesini dua tahun yang
lalu. Dia juga rindu pantai ini, meskipun dia lebih merindukan Natsepa
Satu jam berlalu. Mereka berdua
masih asik bermain-main di bibir pantai, mengabadikan panoramanya dalam lensa
kamera yang selalu Azka bawa di tas ranselnya.
Tapi lima menit kemudian, setelah
mereka puas menikmati panorama Liang, mereka memutuskan pulang.
“Sha pulang dari sini anterin gue ke
Natsepa ya!”
“Lah, bukannya baru kemarin kita
kesana?”
“Ayolah! Lagian daket dari rumah ini!”
Azka menarik tangan Rakasha, mengajaknya pergi.
Azka memang sangat menyukai pantai
terutama Natsepa, dan beruntungnya dia karena sahabatnya, Rakasha juga menyukai
hal yang sama. Dulu, dua tahun yang lalu mereka sering berkunjung ke pantai
mana pun yang mereka suka.
Mereka sering pergi berdua naik angkot semasa Azka masih tinggal disini.
Membuat petualangan yang mengagumkan. Menjelajahi pantai-pantai. Pergi ke
tempat bersejarah di kota Ambon. Mengunjungi Patung Pattimura di Lapangan
Merdeka, Patung Martha Christina Tiahahu
di Karang Panjang atau ke Bunker/Terowongan bawah
tanah V.O.C. di Benteng Atas dan masih banyak tempat-tempat lainnya. Semua
tempat di kota itu mereka telusuri.
Tapi itu dulu, sebelum Azka akhirnya
pergi, melanjutkan studynya di Ibu Kota
Negara. Sebelum seragam SMPnya berubah menjadi putih abu-abu.
***
Lima
tahun yang lalu, di Pantai Natsepa Indah
Seorang gadis kecil yang hendak
menginjak remaja, berkulit sawo matang, berkemeja merah, rambutnya dikucir
kuda, memakai topi putih, dan gelang metalik di pergelangan tangannya.
Berlari-lari kecil menyusuri bibir pantai dengan wajah riangnya.
Kedua orang tuanya mengawasinya dari
kejauhan. Sesekali tersenyum melihat tingkah puterinya.
Seorang anak laki-laki hampir remaja,
wajahnya peranakan china, berkaos biru, bertopi biru, dan di tangan kirinya
terpasang jam tangan, juga warna biru. Berdiri memerhatikan gadis itu.
Diam-diam mengintip dari balik pohon kelapa. Orang tuanya juga mengawasinya.
Bukan tersenyum, tapi geleng-geleng melihat tingkah puteranya.
Gadis itu masih bermain di bibir
pantai. Menyambar ranting rotan di dekat pohon kelapa di sekitarnya, lalu
menulis di pasir putih dengan ranting itu, ‘Azka’. Anak laki-laki yang
memerhatikannya diam-diam dari balik pohon kelapa itu tersenyum, ‘Jadi, namanya
Azka?’
Pandangannya masih mengarah pada
gadis itu. Lalu mimik wajahnya berubah pucat ketika gadis itu berlalu dari
tempatnya semula. Dia panik, mengedarkan pandangannya ke segala arah, tidak
ada. Dia kemana? Kenapa tiba-tiba dia merasa sedih ketika gadis itu pergi?
Bukankah dia belum benar-benar mengenal gadis itu? Hanya sebatas tahu coretan
namanya di pasir putih?
Gadis yang dicarinya ternyata sudah
berdiri di depan warung. Dia ingin membeli rujak natsepa, rujak buah berbumbu
kacang yang selalu menjadi kegemarannya saat ia berkunjung di pantai itu. Saat
pesananya sudah siap, lalu ia membawa rujaknya ke bibir pantai lagi.
Menyantapnya sambil menikmati deburan ombak.
Ketika melihat gadis itu datang
lagi, anak laki-laki itu tersenyum, matanya berbinar-binar. Gadis yang
dicarinya ternyata kembali lagi. Dan kabar baiknya, dia sekarang duduk di bibir
pantai yang hanya berjarak lima langkah persis dari pohon kelapa yang menjadi
tempat persembunyiannya. Dia bahkan berjingkrak-jingkrak karena teramat
senangnya.
Gadis
itu masih belum menyadari bahwa ia sedang diamati oleh seseorang. Hingga
telinganya mendengar gemerisik dari balik pohon kelapa di dekatnya, dia lari
mendekat. Matanya menatap heran pada anak laki-laki itu. “Kamu ngapain disini?”
“Oh, eh, enggak, gue lagi berteduh
aja.” Nada bicaranya naik turun, dia teramat malu.
Gadis kecil itu mengeryitkan
keningnya, gue? Anak ini sepertinya bukan
penduduk asli kota ini. Gaya bahasanya berbeda, kulitnya putih, dia bukan orang
sini.
“Oh,”
Anak laki-laki di depannya
mengangguk.
“Kamu kenapa nggak main di sana?” Telunjuknya
menunjuk bibir pantai yang semula ia tempati, “kan seru!”
Anak laki-laki itu menggeleng.
“Ayo ikut aku, eh ikut gue kesana!”
Dia nyengir meniru kata “gue” yang tadi disebut lelaki kecil itu. Anak
laki-laki itu juga nyengir.
Mereka lalu duduk berdua, di bibir
pantai. Orang tua mereka masih ditempatnya semula. Duduk di kursi tenda tepian
pantai sambil mengawasi anak-anak mereka.
Gadis kecil itu, menawari anak
laki-laki itu rujak natsepanya. Mereka makan berdua.
“Ini namanya rujak natsepa, kamu
harus coba! Enak.”
Anak laki-laki itu tersenyum,
tangannya mencomot rujak dari wadah makanan ditangan gadis itu. “Enak,”’
“Haha, iyalah. Oiya kamu tinggal di
daerah sini?”
“Iya, gue baru aja pindah dari
Jakarta.”
“Jakarta? Itu kan tempat kelahiran
papa.”
“Oya?”
Gadis itu mengangguk, “Iya, dulu
papa lahir disana, lalu pindah kesini dan menikah dengan mama.”, mata gadis itu
berbinar-binar, “terus kamu kok pindah ke sini?”
“Ayah gue pindah tugas disini. Jadi
kami sekeluarga ikut pindah,”
“Oh, pantesan bahasa kamu beda sama
logat gue.”
Anak laki-laki itu tertawa, “Haha,
kalau ‘kamu’ itu ‘elo’, itu bahasa yang sering orang Jakarta gunakan.”
“Oh, iya elo.” Gadis itu nyengir
lagi.
“Nama lo?” Ragu anak laki-laki itu
bertanya.
“Azka. Elo?”
“Rakasha”
Dia mengulurkan tangan, gadis kecil
itu menerima jabat tangannya.
Saat itu, detik itu, menit itu juga,
Pantai Natsepa menjadi saksi kisah persahabatan mereka berdua.
***
Sehari
setelah pertemuan itu...
Takdir memang tidak bisa direka. Siapa yang mengira mereka akan bertemu
lagi? Ternyata Tuhan berbaik hati, mengabulkan permintaan anak laki-laki itu.
Rakasha dan keluarganya ternyata pindah di kompleks perumahan yang sama
dengan Azka. Jadilah sejak saat itu, mereka semakin akrab. Mereka menjadi sahabat
yang baik, hingga mereka menginjak remaja, bahkan hingga saat ini.
Hal itu mebuat semua kisah remaja
mereka mengalir indah. Sangat indah. Apa
yang lebih menyenangkan selain menikmati kisah masa kecilmu bersama seseorang
yang teramat berharga dalam hidupmu?
***
0 komentar:
Posting Komentar