Aku akan bercerita tentang mama yang begitu baik bagi kami, aku dan papa. Mama selalu paham tentang berbagai hal yang sedang kami lakukan, termasuk soal kewajiban kami sebagai umat beragama. Termasuk saat aku dan papa menjalankan ibadah puasa setiap tahunnya.
Mama dengan kasihnya, selalu bangun lebih awal dari kami, mempersiapkan makan sahur. Membangunkan kami untuk makan sahur bersama. Begitu juga ketika waktu berbuka tiba, tepat lima menit sebelum adzan maghrib berkumandang, semua makanan sudah siap terhidang di meja makan. Mama yang menyiapkan semuanya.
Tak jarang, mama juga ikut berpuasa bersama kami, walau pun beliau hanya menahan makannya saat berada di rumah. Hanya untuk menghormati kami yang sedang berpuasa.
Mamaku mama yang baik. Dia adalah mama yang paling berharga di dunia ini walaupun ia berbeda. Aku tak pernah sekali pun mempermasalahkan perbedaan kami. Karena papa selalu menasehatiku berkali-kali, bahwa setiap makhluk Tuhan itu harus saling toleransi, harus saling mencintai. Dan aku mencintai mama, lebih dari apa pun di dunia ini.
Mama seorang kristiani yang taat, disela-sela kesibukannya sebagai wanita karir beliau masih sempat mengikuti kebaktian di gereja setiap jumat dan minggu pagi. Saat-saat inilah, aku dan papa menunjukkan toleransi kami. Sebelum weekend, aku dan papa biasanya mengantar mama dan menunggunya di luar gereja. Setelah beliau usai menjalankan ibadahnya, barulah kami pergi berekreasi, menikamati akhir pekan kami
Mama adalah teman yang baik untuk diajak berbelanja. Pernah suatu ketika, beliau mengantarkan aku membeli mukena. Kerena aku bingung dengan berbagai banyak pilihan yang ada, lalu mama membantuku untuk memilih mukena yang pantas untuk kukenakan.
“Mukena ini cocok untukmu, Langit. Warnanya putih bersih, pasti anggun sekali jika kaupakai,”
“Tapi yang biru bagus juga kan Ma?”
“Bagus sayang, tapi lebih bagus yang putih. Bukankah putih lambang kesucian?” Mama tersenyum, tangannya masih membawa mukena yang dipilihnya.
“Oke Ma, aku ambil yang ini.”
Begitulah mama, selalu paham dengan hal-hal yang seharusnya kulakukan.
***
Aku juga tak mengerti tentang perbedaan
kami. Yang jelas, walaupun dalam perbedaan, kami tetap saling mendoakan.
Aku tak pernah lupa membawa nama mama dalam doa, begitu pun dengan
papa.
Meskipun, setiap beribadah ke masjid, mama
tak bisa mengikuti kami. Meskipun ketika mama bergereja, aku dan papa
hanya bisa menemaninya dari luar.
Mama dan papa, dua insan yang berbeda
tetapi sangat menjunjung tinggi toleransi. Aku hanya diam ketika mereka
di luar sana menganggap keluarga kami hina karena keyakinan kami
berbeda. Sepanjang kami hanya saling mencintai dan tak saling menyakiti
apa salah kami?
Sebentar lagi, natal tiba. Tepat pada
tanggal 25 Desember. Seperti biasa, mama ikut merayakannya. Mama tidak
pernah merayakan natal dengan pesta mewah dan berlebihan. Di ruang
tengah pun, beliau hanya meletakkan satu pohon natal berukuran kecil.
Mama juga sering mengajakku menghias pohon natal miliknya. Aku dengan
senang hati menerima tawarannya. Mana mungkin aku berani menolaknya?
Bukankah tiap lebaran, mama juga sibuk setengah mati mempersiapkan
ketupat dan opor ayam untukku dan papa?
Dan, setiap tanggal 25 Desember, yang kami lakukan selalu sama. Mama merayakan natal, tanpa ucapan ’selamat natal’ dari kami.
Mama tentu paham, karena masalah keyakinan,
kami tak bisa mengucapkan selamat pada hari natalnya. Tapi mama pasti
tentu jauh lebih mengerti, bahwa kami tetap ikut merasakan
kebahagiaannya walaupun tanpa isyarat dan kata-kata. Sepanjang natal
dirayakan, mama tak henti-hentinya berdoa demi kebaikan kami, demi
kebahagiaan kami. Tentu saja, kami ikut bergembira ketika mama bahagia,
sederhana.
Jadi bagiku seberapa pun berbedanya aku
dengan mama, dia tetaplah mamaku. Mama yang melahirkanku, tak ada
sedikit pun alasan bagiku untuk tidak mengasihinya.
Mama, meskipun kau berbeda, meskipun kita
berbeda. Aku dan kamu, tetap saling mendoakan pada satu Maha Kekal yang
sama. Aku tak pernah membencimu sedikit pun. Percayalah Ma, perbedaan
tak bisa menjadi alasan untuk saling memusuhi, justru saling mengasihi
dan mencintai. Itu kan yang selalu mama katakan kepadaku berulangkali?
:)
Ma, aku hanya mau bilang, sebentar lagi
natal. Mama masih ingin mengajakku dan papa pergi ke panti asuhan yang
sering mama kunjungi ketika natal kan? Bawa hadiah yang banyak untuk
mereka yang jauh lebih membutuhkan ya Ma? Aku pasti sangat senang,
ketika bisa ikut berbagi dengan mama disana. Papa pasti juga
menyukainya.
Kami mencintaimu Ma,
Dari anak dan suamimu yang tak pernah henti mendoakan kebaikanmu
Meskipun dalam perbedaan,
Kita tetaplah sama.
Aku, kamu, dan papa
Saling mencintai, saling mendoakan.
Atas nama cinta, bukan perbedaan. :)
PS: Yang saya tulis ini hanyalah fiksi, tak
bermaksud apa-apa, hanya terinspirasi dari teman saya yang sangat
mencintai mamanya, begitu pun sebaliknya. Walau dalam perbedaan, dan
keyakinan yang sangat sulit untuk disatukan, mereka tetap saling
mendoakan dan mengasihi. Yang saya tahu, ketika menulis kisah ini, saya
sedang belajar tentang toleransi.
Tuhan mengasihi setiap makhlukNya kan? Jadi apa salahnya untuk tetap saling mengasihi dan mendoakan walaupun dalam perbedaan? :)
Ditulis saat sedang setengah mati kehabisan ide untuk menulis rangkaian kata
Lalu kisah tersebut terbayang-bayang di kepala saya
Langit Senja :)
2 komentar:
Sinta, sore ini aku meng-klik judul blogmu yang ada di dasbor, lalu iseng meng-klik tag Tentang Ibu yang membawaku ke tulisan ini.
Kalau kamu bisa melihat kaca di mataku, itu artinya... Subhanallah, keren sekali :)
Ditunggu update selanjutnya! *ketahuan deh sering jadi silent reader-mu hihi
echa, malam ini aku buka email, lalu baca notif yang berisi komentarmu di blogku, dan well, bikin aku terharu.
makasih udah baca dan ngunjungin blogku ya :)
btw aku juga nunggu update selanjutnya di blogmu lho, sibuk ya sampai lama nggak posting? *tuh kan aku juga ketauan sering ngintip profilmu wkwk
Posting Komentar