Minggu, 30 Desember 2012

Senja di Natsepa #1



Gadis itu menghirup nafas dalam-dalam, menikmati hembusan angin semilir yang sedari tadi menggelitik kulit arinya. Sungguh, ini pantai yang menarik. Pantai yang menjadi objek paling menonjol di kota kelahirannya,  kota Ambon.
Iya, Pantai Natsepa, disinilah segala kenangan kisah persahabatannya bermula, pantai inilah yang menjadi saksi kisah-kisah masa kecilnya, pantai yang memiliki kenangan penuh dalam sejarah hidupnya. Dia bahkan tak pernah bosan berkunjung ke sini, berkali-kali, tanpa kenal batas dan dimensi.
            Keindahan panoramanya yang mengagumkan, air lautnya yang bening tanpa sedikit pun sampah yang menggenang, pasir putihnya yang menawan, juga hembusan anginnya yang anggun, meneduhkan. Siapa yang tak terpesona?
            Dia suka menikmati kesunyian disini, mengabadikan objek-objek yang dianggapnya menarik. Dan nanti, ketika mentari mulai meninggalkan peraduan, dia akan berteriak riang, berlari-lari kecil menyusuri bibir pantai, lantas duduk takzim di atas tanah berpasir. Menatap penuh  jejak rona jingga di ufuk barat. Ini menyenangkan.
            Dan disinilah dia sekarang, duduk termangu seorang diri. Menikamati senja yang mulai menyisakan gelap.
            “Hoi!” Seseorang membuyarkan lamunannya. Dia terlonjak, kaget.
            “Eh, elo, ngagetin aja sih!”
            “Lagian elo ngapain melamun disini? Haha.”
            “Refreshing lah, deadline gue padet banget sekarang.”
            “Dih, sok-sokan sibuk,” Pria itu mengacak-acak rambutnya.
            “Hahaha, biar.”
            Mereka saling tertawa, lalu pandangannya kembali terarah pada langit senja. Matahari nyaris tak bersisa.
            “Elo kok suka banget sih kesini? Nggak bosen?”
            Gadis itu menggeleng, “Bosen? Nggak ada kata bosen dalam kamus gue buat pantai seindah ini.”
            “Oya?”
            Yang ditanya hanya mengangguk. Mereka diam sesaat.
“Eh, elo kapan balik ke Jakarta?”
            Gadis itu menoleh, menatap lamat pria itu, “Elo ngusir gue?”
            “Bukan! Bukan itu maksud gue, gue cuma mau mastiin aja, elo bakal lama tinggal disini,”
            “Hahaha, woles aja kali! Iya, gue tahu maksud lo. Tapi gue disini cuma bentar. Cuma libur semester ini.”
            Begitu mendengar kalimat gadis itu, hembusan nafas pria itu terasa berat. Bukankah baru sebentar ia bertemu dengan sahabat kecilnya itu? Kenapa sekarang harus pergi lagi?
            “Oh,”
            Gadis itu menepuk bahunya, “Santai aja, gue pasti kesini lagi kok.”
            Pria itu tersenyum kecut. Memaksa bibirnya  membuat senyum simpul semanis mungkin. Mereka kini berdua, duduk takzim dibibir pantai berpasir putih. Dihiasi nyiur kelapa, perahu yang melintas di sepanjang pantai, juga pemandangan sunset yang mulai menyisakan siluet senja.
***
            Pukul 15.00 WIT, Di rumah Rakasha. Di kompleks perumahan yang dulu juga ditempati Azka. Di pusat kota Ambon.
            “Eh elo lama nggak ngajakin gue ke  Pantai Liang kan? Ajakin gue kesana yuk!”
            “Lo yakin Ka?”
            “Yakin lah Sha,”
            “Oke cabut!”
            “Eh Ka! Elo mau kemana?” Tangannya menarik lengan sahabatnya.
            “Ke garasi. Kita bawa mobil.”
            Gadis itu menggeleng, pria yang di depannya mengeryitkan dahi. “Jadi maksud lo?”
            “Siapa suruh kita bawa mobil, hahaha kita bakal naik angkot.”
            “Serius?”
            “Ah! Lama lo, ayo!”
            Gadis itu tertawa lebar, sekali lagi menarik lengan sahabatnya, Rakasha. Lalu mereka berlari kecil ke jalan raya, menunggu angkot.
            Rakasha hanya geleng-geleng kepala ketika memerhatikan ulah sahabatnya, Azka. Gadis ini, meskipun sudah lebih dewasa dari lima tahun yang lalu, tapi tingkah konyolnya masih selalu ada. Tak pernah hilang, Rakasha nyengir
“Eh itu angkotnya udah dateng,” Azka melonjak-lonjak. Tangannya masih memegang lengan Rakasha.
“Iya, iya gue tahu! Tapi tangan lo lepasin dong, sakit woy!” Rakasha meringis.
“Haha, sory, gue kebawa suasana ni, kan lama gue nggak naik angkot sini.”
Tanpa basa-basi, Azka lalu menyeret Rakasha naik ke atas angkot. “Tuh kan, pegangan tangan lo kenceng banget. Lo cewek apa cowok sih? Kekar banget!”
Rakasha masih mengomel. Azka tak peduli, malah asik bersenandung. Beruntung, mereka duduk bersebelahan di deretan bangku depan. Persis di dekat pintu masuk angkot. Setidaknya duduk di bangku itu terasa lebih sejuk karena udara bebas keluar masuk.
“Rasanya masih sama kayak dulu ya?”
“Haha, kayak nggak pernah naik angkot aja lo,”
Azka melotot, tangannya menepuk bahu Rakasha. “Aduh!” Rakasha hanya cengengesan.
“Lagian kalo di Jakarta naik angkotnya nggak seasik ini. Disini lebih nyaman.”
“Berdoa aja, semoga Jakarta macetnya bisa berkurang dan lo bisa leluasa naik angkot dengan aman dan nyaman, hahaha”
“Elo kok malah cengengesan sih, ini gue lagi berargumen. Ngerti?!”
“Siapa bilang elo lagi lagi nyanyi sambil joget-joget. Gue juga berargumen kan?”
“Terserah lo deh,”
“Gue ketawa kan bukan karna ngetawain argumen lo Ka,”
“Lah?” Azka bengong. Lantas emangnya Rakasha tadi ngetawain apaan?
“Lucu aja lihat tampang antusias lo,hahaha.”
Azka sekali lagi menepuk bahu Rakasha. Mereka sama-sama tertawa. Sepanjang perjalan menuju Pantai Liang itu,  hanya mereka berdua yang membuat kehebohan di dalam angkot. Penumpang angkot yang lainnya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka berdua. Sesekali ada yang melotot ke arah mereka, mengisyaratkan agar mereka berdua tenang selama perjalanan.
Tapi, dua orang itu hanya cengengesan bila di pelototi seperti itu, lalu Azka akan berbisik ke telinga Rakasha, “Wuih, lo liat bapak-bapak yang melototin kita itu nggak Sha?”
Yang dibisiki melirik ke arah yang dimaksud, mengangguk. “Mainstream banget ye?” Yang dibisiki cekikian,”Inget Mak Lampir musuhnya Grandong kan lo?” Rakasha mengangguk lagi
 “Menurut lo Antara Mak Lampir sama Grandong, mana yang lebih mirip sama tatapannya dia, kalo gue sih dua-duanya hahaha” Kali ini Rakasha menggeleng.
 “Shutt, dianya ngelihatin kita lagi tuh, diem!” Rakasha mengingatkan sambil memasang jari telunjuk di depan bibir, isyarat tutup mulut.
“Hahaha,” Tapi Azka malah tertawa lagi.
“Ini anak!” Dan Azka akhirnya bisa berhenti tertawa setelah Rakasha membungkam mulutnya dengan tangannya.
“Emmmppffhh”
“Hahahaha, rasain!”
***
Bersambung Senja di Natsepa#2 :D

0 komentar:

 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger