Gadis itu menghirup nafas
dalam-dalam, menikmati hembusan angin semilir yang sedari tadi menggelitik
kulit arinya. Sungguh, ini pantai yang menarik. Pantai yang menjadi objek
paling menonjol di kota kelahirannya,
kota Ambon.
Iya, Pantai Natsepa, disinilah
segala kenangan kisah persahabatannya bermula, pantai inilah yang menjadi saksi
kisah-kisah masa kecilnya, pantai yang memiliki kenangan penuh dalam sejarah
hidupnya. Dia bahkan tak pernah bosan berkunjung ke sini, berkali-kali, tanpa
kenal batas dan dimensi.
Keindahan
panoramanya yang mengagumkan, air lautnya yang bening tanpa sedikit pun sampah
yang menggenang, pasir putihnya yang menawan, juga hembusan anginnya yang
anggun, meneduhkan. Siapa yang tak terpesona?
Dia
suka menikmati kesunyian disini, mengabadikan objek-objek yang dianggapnya menarik.
Dan nanti, ketika mentari mulai meninggalkan peraduan, dia akan berteriak
riang, berlari-lari kecil menyusuri bibir pantai, lantas duduk takzim di atas
tanah berpasir. Menatap penuh jejak rona
jingga di ufuk barat. Ini menyenangkan.
Dan
disinilah dia sekarang, duduk termangu seorang diri. Menikamati senja yang
mulai menyisakan gelap.
“Hoi!”
Seseorang membuyarkan lamunannya. Dia terlonjak, kaget.
“Eh,
elo, ngagetin aja sih!”
“Lagian
elo ngapain melamun disini? Haha.”
“Refreshing
lah, deadline gue padet banget sekarang.”
“Dih,
sok-sokan sibuk,” Pria itu mengacak-acak rambutnya.
“Hahaha,
biar.”
Mereka
saling tertawa, lalu pandangannya kembali terarah pada langit senja. Matahari
nyaris tak bersisa.
“Elo
kok suka banget sih kesini? Nggak bosen?”
Gadis
itu menggeleng, “Bosen? Nggak ada kata bosen dalam kamus gue buat pantai
seindah ini.”
“Oya?”
Yang
ditanya hanya mengangguk. Mereka diam sesaat.
“Eh, elo kapan balik ke Jakarta?”
Gadis
itu menoleh, menatap lamat pria itu, “Elo ngusir gue?”
“Bukan!
Bukan itu maksud gue, gue cuma mau mastiin aja, elo bakal lama tinggal disini,”
“Hahaha,
woles aja kali! Iya, gue tahu maksud lo. Tapi gue disini cuma bentar. Cuma
libur semester ini.”
Begitu
mendengar kalimat gadis itu, hembusan nafas pria itu terasa berat. Bukankah
baru sebentar ia bertemu dengan sahabat kecilnya itu? Kenapa sekarang harus
pergi lagi?
“Oh,”
Gadis
itu menepuk bahunya, “Santai aja, gue pasti kesini lagi kok.”
Pria
itu tersenyum kecut. Memaksa bibirnya
membuat senyum simpul semanis mungkin. Mereka kini berdua, duduk takzim
dibibir pantai berpasir putih. Dihiasi nyiur kelapa, perahu yang melintas di
sepanjang pantai, juga pemandangan sunset yang mulai menyisakan siluet senja.
***
Pukul
15.00 WIT, Di rumah Rakasha. Di kompleks perumahan yang dulu juga ditempati
Azka. Di pusat kota Ambon.
“Eh
elo lama nggak ngajakin gue ke Pantai
Liang kan? Ajakin gue kesana yuk!”
“Lo
yakin Ka?”
“Yakin
lah Sha,”
“Oke
cabut!”
“Eh
Ka! Elo mau kemana?” Tangannya menarik lengan sahabatnya.
“Ke
garasi. Kita bawa mobil.”
Gadis
itu menggeleng, pria yang di depannya mengeryitkan dahi. “Jadi maksud lo?”
“Siapa
suruh kita bawa mobil, hahaha kita bakal naik angkot.”
“Serius?”
“Ah!
Lama lo, ayo!”
Gadis
itu tertawa lebar, sekali lagi menarik lengan sahabatnya, Rakasha. Lalu mereka
berlari kecil ke jalan raya, menunggu angkot.
Rakasha
hanya geleng-geleng kepala ketika memerhatikan ulah sahabatnya, Azka. Gadis
ini, meskipun sudah lebih dewasa dari lima tahun yang lalu, tapi tingkah
konyolnya masih selalu ada. Tak pernah hilang, Rakasha nyengir
“Eh itu angkotnya udah dateng,”
Azka melonjak-lonjak. Tangannya masih memegang lengan Rakasha.
“Iya, iya gue tahu! Tapi tangan
lo lepasin dong, sakit woy!” Rakasha meringis.
“Haha, sory, gue kebawa suasana
ni, kan lama gue nggak naik angkot sini.”
Tanpa basa-basi, Azka lalu
menyeret Rakasha naik ke atas angkot. “Tuh kan, pegangan tangan lo kenceng
banget. Lo cewek apa cowok sih? Kekar banget!”
Rakasha masih mengomel. Azka tak
peduli, malah asik bersenandung. Beruntung, mereka duduk bersebelahan di
deretan bangku depan. Persis di dekat pintu masuk angkot. Setidaknya duduk di
bangku itu terasa lebih sejuk karena udara bebas keluar masuk.
“Rasanya masih sama kayak dulu
ya?”
“Haha, kayak nggak pernah naik
angkot aja lo,”
Azka melotot, tangannya menepuk
bahu Rakasha. “Aduh!” Rakasha hanya cengengesan.
“Lagian kalo di Jakarta naik
angkotnya nggak seasik ini. Disini lebih nyaman.”
“Berdoa aja, semoga Jakarta
macetnya bisa berkurang dan lo bisa leluasa naik angkot dengan aman dan nyaman,
hahaha”
“Elo kok malah cengengesan sih,
ini gue lagi berargumen. Ngerti?!”
“Siapa bilang elo lagi lagi
nyanyi sambil joget-joget. Gue juga berargumen kan?”
“Terserah lo deh,”
“Gue ketawa kan bukan karna ngetawain
argumen lo Ka,”
“Lah?” Azka bengong. Lantas emangnya Rakasha tadi ngetawain apaan?
“Lucu aja lihat tampang antusias
lo,hahaha.”
Azka sekali lagi menepuk bahu
Rakasha. Mereka sama-sama tertawa. Sepanjang perjalan menuju Pantai Liang itu, hanya mereka berdua yang membuat kehebohan di
dalam angkot. Penumpang angkot yang lainnya hanya bisa geleng-geleng kepala
melihat tingkah mereka berdua. Sesekali ada yang melotot ke arah mereka,
mengisyaratkan agar mereka berdua tenang selama perjalanan.
Tapi, dua orang itu hanya
cengengesan bila di pelototi seperti itu, lalu Azka akan berbisik ke telinga
Rakasha, “Wuih, lo liat bapak-bapak yang melototin kita itu nggak Sha?”
Yang dibisiki melirik ke arah
yang dimaksud, mengangguk. “Mainstream banget ye?” Yang dibisiki
cekikian,”Inget Mak Lampir musuhnya Grandong kan lo?” Rakasha mengangguk lagi
“Menurut lo Antara Mak Lampir sama Grandong,
mana yang lebih mirip sama tatapannya dia, kalo gue sih dua-duanya hahaha” Kali
ini Rakasha menggeleng.
“Shutt, dianya ngelihatin kita lagi tuh, diem!”
Rakasha mengingatkan sambil memasang jari telunjuk di depan bibir, isyarat
tutup mulut.
“Hahaha,” Tapi Azka malah tertawa
lagi.
“Ini anak!” Dan Azka akhirnya
bisa berhenti tertawa setelah Rakasha membungkam mulutnya dengan tangannya.
“Emmmppffhh”
“Hahahaha, rasain!”
***
Bersambung Senja di Natsepa#2 :D
0 komentar:
Posting Komentar