Selasa, 28 Juli 2020

Saklar


                Lampu tidurku menyala remang tepat pukul 00.00. Hari ini, adalah titik pergantian hari kemarin. Mataku masih mengerjap sesekali, kutarik selimut rapat-rapat, suhu udara yang nyaris membuatku hiportemia di pagi buta, dan insomnia. Paket sempurna.
                Ada yang mengetuk-ngetuk kepalaku  hari ini. Seluruh cerita yang kapasitasnya melebihi daya sanggupku menampung, orang-orang bercerita yang kurekam di  memori, wajah-wajah yang menangis, teriakan dan jeritan penuh luka. Diam-diam, menjalar memenuhi rongga dada.
                Aku kadang membenci bagian sensitif dari rasa empatiku terhadap orang-orang tetapi lupa bagaimana cara diriku sendiri menampung kesedihan. Aku bisa begitu peduli dengan orang-orang sementara kerapkali abai pada diri sendiri.
                Ditengah mataku yang terus berusaha memejam dan sesekali terbuka. Kulirik ponsel yang lama kuletakkan di atas meja, layarnya berkedap kedip. Tidak ada nada dering di ponselku, itu berarti tanda panggilan masuk. Aku bangkit meraihnya, membaca nama kontak yang tertera di layarnya.
                “Halo,” serak suara seseorang di seberang sana.
                “Ya, halo.”
                “Kenapa belum tidur?”
                “Kenapa tahu aku belum tidur?”
                “Jawab dulu pertanyaanku,”
                “Kamu sudah tahu kenapa,”
                Dia sedikit tertawa, “Aku tahu kebiasaanmu, makanya aku menelpon.”
                “Ada apa?”
                “Besok Mama ulang tahun,”
                Aku diam sebentar, “Sekarang sudah ganti hari, apakah maksudnya hari ini?”
                “Bukan, besok. Satu hari lagi.”
                “Lalu bagaimana?”
                “Mau ikut makan malam denganku?”
                “Apa ini berarti undangan?”
                “Iya, boleh diterima?”
                “Aku pikirkan dulu,”
                “Kamu hanya harus datang, Mama pasti senang.”
                “Apakah aku harus dandan yang cantik?”
                “Tidak perlu, kamu sudah cantik.”
                “Aku tidak suka digombali,”
                “Aku tidak sedang menggombal.”
                “Apa aku harus pakai pakaian yang membuatku terlihat feminin?”
            “Pakai apa saja, senyamanmu. Ingat, kamu hanya perlu datang. Itu sudah membuatku senang.”
                “Aku tidak janji, aku usahakan,”
                “Aku tahu kamu pasti datang,”
                “Kenapa yakin sekali?”
                “Aku cuma sedang menghibur diri sendiri,”
                “Yasudah, kamu tidak tidur?”
                “Sebentar lagi, kamu tidur lah. Jangan banyak pikiran.”
                “Kamu menambah satu lagi daftar pikiranku. Menyebalkan sekali.”
                “Hahaha. Sudah, ya? Tidur.”
                Sambungan terputus. Aku menghela napas. Sebenarnya aku tidak benar-benar bisa memprediksi apa yang akan terjadi setelah ini. Dibuatnya aku kebingungan menerka-nerka perasaanku. Ia tak melakukan banyak konfrontasi, tidak banyak melempar kata-kata, tapi sekali waktu sikapnya membuatku habis kata.
                Kadang, di tengah badai yang sewaktu-waktu memporak porandakan isi kepalaku, aku hanya butuh mendengar seseorang berkata ‘Tidak apa-apa, nanti pasti terlewat juga,’. Dia tidak pernah mengatakan hal yang semacam itu, tetapi mendengarkannya bicara tentang sesuatu yang tidak terduga adalah pengecualian. Termasuk apa yang baru disampaikannya tadi. Sial.
                Aku bangkit. Meraih saklar di dinding kamar. Menyalakan tombolnya. Lampu kamarku menyala. Tepat ketika kembali kesadaaranku berpikir, aku tercenung, apa hidup itu seperti saklar lampu ya? Yang kadang menyala. Dan redup. Sesukanya.
DISKON Lampu LED Tumblr Hias Bulat Lampu Anggur Natal Taman Cafe ...

source: tumblr.
 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger