Sabtu, 22 Februari 2014

FiksiMini

AKU menemukanmu diantara tumpukan rak-rak buku. Diantara peredaran puluhan ekslempar di genggaman, serta diam-diam menyelinap dibalik lorong-lorong kecil. Disana, kamu membaca. Duduk takzim dengan ensiklopedia di tanganmu, dan lucunya kamu justru tertawa. Hey, kamu gila atau bagaimana? Itu buku tebal analisis IPA, bukan buku cerita.

Sementara aku asyik memilah-milah buku meski hanya pura-pura. Ernest Hemingway, Tere Liye, Raditya Dika, Dee, Koran, Majalah, dan Tabloid kuambil dengan acak secara bolak-balik. Tunggu! Disini, aku yang gila. Buat apa coba mengambil buku sebanyak itu, memangnya mau kubaca semuanya? Oh, tentu saja tidak. Aku yakin ini hanya akibat dopamine yang berlebih.

Dan kamu. Mata bening dengan topi rajut di kepala. Kenapa tiba-tiba muncul dengan segala antisipasiku terhadap sesuatu yang asing? Tidak perlu bertanya maksud kalimat itu apa. Kamu jawabannya.
22/02/2014
15:07
Langit Senja
Yogyakarta


Senin, 17 Februari 2014

Deep

Satu malam yang lalu, saya terenyak ketika mendapati sebuah twittpict cover novel sebuah akun yang menjadi following saya. "Tweetnesian". Tentu sebagian kalian sudah mengenal akun twitter yang satu ini. Novel ini berjudul "Deep" karya Hendra Putra.Dengan kalimat, "Tak ada jalan pintas menuju kebahagiaan" di cover depannya. Menjadikan buku ini menarik, sekaligus menggelitik. Jadi, diam-diam saya menyimpan kagum, dan berinisiatif akan mengumpulkan uang saku saya (meskipun selalu hanya wacana) untuk membeli novel ini.

Dan,

Mungkin inilah yang disebut sebagai telepati.

Tiba-tiba saja, tadi pagi seseorang mengulurkan sebuah benda kepada saya. Tepat disaat saya menghampiri mejanya dan menanyakan novel "bumi" nya yang sedang ia baca. Kemudian tangannya terjulur, mengulurkan sebuah benda dibalik kertas kadonya yang dibentuk serupa tas mungil. Saya terkesiap, tersenyum kecil.
"Apa?"
"Buat kamu." katanya. Dia tersenyum.
Saya menatapnya lurus-lurus, "Serius?"
"Iya! Serius lah." jawabnya, tergelak.
"Makasih ya!"

Dan, sesumringah itu saya menerima bingkisan itu.

Dirumah, sepuluh menit lalu saya teringat, lalu dengan semangat membuka tas saya dan mendapati bingkisan itu masih di dalam sana.
Saya lantas membukanya, pelan-pelan. Dan eufhoria itu seperti memuncak begitu saja ketika mengetahui benda di balik bingkisan itu adalah Novel yang sedang saya cari-cari. It's magic! Mungkin ini yang disebut telepati. Berlebihan tidak jika saya menyebutnya telepati? Hahaha.

Jadi, terimakasih untuk sahabat saya Ella Bahar, atas bingkisan manisnya.

Dan lebih dari itu, thanks a lot untuk tulisan-tulisan indahmu di dua 'benda  rahasia' yang kamu selipkan di dalamnya. Terimakasih. :)



17/02/2014
Langit Senja
Yogyakarta



Sabtu, 15 Februari 2014

Bukan Cappucino



Sebelumnya, Yogyakarta tak pernah sedingin ini. Suhu udara dengan angka mencapai 16 derajat celcius. Menggigilkan  tubuh mungil seorang gadis yang sedang duduk di salah satu kursi kedai kopi. Seseorang dengan sweater abu-abu membungkus tubuhnya, yang matanya dibingkai dengan kacamata berframe hitam,yang di lehernya terselempang syal sewarna senada, membuat rambutnya yang panjang terurai terlihat semakin surealis.
            Dan, ia terlihat manis.
Dan, nama gadis itu Kanatya. Ya, namanya Kanatya.

 Tangannya sesekali saling bergesekan untuk meredakan hawa dingin. Bibirnya yang mungil sesekali merapalkan sesuatu, semacam kalimat permintaan. Ia sebenarnya sedang menunggu. Dan, menunggu bagi sebagian orang memang membosankan, lebih dari bosan, lebih semacam kekesalan

, dan untuk yang satu ini, dia bukan perkecualian.
            Ia mengalihkan kebosanannya dengan menatap sekeliling, udara dan atmosfernya tampak begitu asing. Tapi, tidak dengan interior dan segala sudut di kedai itu. Ia sudah hapal di luar kepala, menikmatinya sebagai candu yang diam-diam menghinoptisnya untuk datang ke tempat ini, lagi dan lagi.
            Kedai dengan gaya klassik sederhana. Tidak terlalu luas, tetapi cukup nyaman. Bangku dengan kursi-kursi kayu berukiran kayu jati, lampu gantung dengan anyaman bambu yang dipasang di setiap meja, serta panorama eksotis dari jalanan kota yang temaram tetapi begitu bersahabat.
            Ia suka tempat ini, dan akan lebih menyenangkan lagi apabila ada seseorang yang duduk di depannya, menemaninya mengobrol sambil menikmati kopi. Tapi sekali lagi, ia sedang menunggu. Ia tidak datang sendiri,  hiburnya pada diri sendiri, mencoba memprediksi.
            Tepat saat Kanatya mulai berpikir bahwa hasil menunggunya akan sia-sia, seseorang tiba-tiba muncul di depannya. Cowok jangkung berkaos hitam dan dilapasi jaket jaens denim biru dongker, dengan potongan rambut jabrik yang di tata seadanya. Tersenyum. Membuatnya sedikit canggung, sekaligus bingung.
            Bukan. Bukan orang itu.
            Tapi, orang itu nampaknya tidak peduli. Buktinya ia masih berdiri di depannya, mengabaikan air muka dengan penuh tanda tanya di wajah Kanatya. “Boleh aku gabung disini?”
            Dan sebelum gadis itu mengangguk, seseorang itu sudah duduk sempurna persis di depannya, “Aku rasa kita perlu kenalan,” ujarnya dengan intonasi pelan tetapi menghanyutkan, kemudian tangannya terjulur, “Leo.”
            Kanatya masih belum menyadari keberadaan manusia asing di depannya ini. Ia mengajaknya berkenalan dengan cara yang menurut gadis itu aneh, sedangkan ia sendiri bingung kenapa bisa orang ini sekarang duduk di bangkunya. Tanpa harus merasa perlu meminta persetujuannya. Berani-beraninya.
            Merasa tidak mendapat respons, Leo-nama cowok itu menarik kembali jabat tangannya. “Oh oke. Nggak apa-apa. Kamu takut sama orang asing ya?” tanyanya dengan suara jenaka, seolah-olah  ia sudah mengenalnya dengan cukup lama.
            Kanatya melotot, menggeleng kuat-kuat.
            Leo tergelak, “Kalau gitu, kenapa nggak mau diajak kenalan?”
            Gadis mungil itu menghela napas, “Kanatya.”
            Akhirnya.
            Leo tersenyum penuh arti, memandangi gadis di depannya itu lamat-lamat. “Bagus.”
            “Apanya?”
            “Namamu. Namamu bagus.”
            Kanatya tersenyum, meskipun samar. Tapi, laki-laki pemilik wajah tirus itu masih bisa menangkap sebersit senyum di wajah Kanatya yang oval.
            “Udah pesen minum?”
            Kanatya menggeleng.
            “Espresso dua Mbak!”tiba-tiba  Leo sudah berteriak, memanggil salah satu waiter yang kebetulan sedang melewati mejanya.
            Benar-benar gila. Leo, cowok asing di depannya ini sudah benar-benar gila. Ia seenaknya saja memesankan espresso untuknya.  Memangnya ia suka? Cowok itu bahkan belum bertanya minuman apa yang ingin di pesannya. Keterlaluan.
            “Aku nggak suka espresso!” suaranya terdengar antara geram, jengkel, kesal dan entahlah. Ia baru pertama kali bertemu cowok asing ini. Tapi lagaknya sudah nyaris membuatnya habis kesabaran.
            “Oh gitu ya?” Leo menjawab santai, mengedikkan sebelah bahunya. “Sorry.”
            Apa dia bilang tadi? Sorry? Hanya sorry?
            Ia tidak merasa perlu untuk menanggapi cowok aneh di depannya itu lagi. Matanya mulai gelisah menatap jam tangan bermotif vintage di pergelangan tangannya yang kecil. Kemana dia? Kenapa belum datang?
            “Lagi nunggu orang ya?” tanya Leo setelah ia menyadari perubahan ekspresi dari wajah gadis di depannya.
            Merasa itu pertanyaan retoris, Kanatya tidak menjawab. Leo tergelak, tertawa kecil. “Percuma, dia nggak bakal dateng.”
            Oke. Kanatya diam, mencoba mengontrol emosinya. Lihatlah, ia bahkan tidak tahu menahu soal apa dan siapa yang sedang ia tunggu. Tapi kenapa ia bisa begitu santai mengucap kalimat itu seolah merasa sok paling tahu?
            “Kenapa nggak suka espresso?” dia bertanya lagi.
“Pahit.”
Leo tergelak. “Cuma itu? Terus ngapain kamu kesini dan belagak menikmati kopi padahal kamu nggak suka rasa pahit?”
Skak mat!
Kanatya berpikir sejenak, “Capuccino lebih favorite.” Ia menyangkal.
“Masih mau bilang capuccino itu kopi?  Apa esensinya minum kopi kalo cappucino? Itu nggak lebih dari susu yang diberi pernak-pernik kopi.” Matanya awas menatap lurus ke depan, “Kopi itu pahit, dan jangan ngaku pecinta kopi kalo kamu cuma suka sama yang manis-manis.”
            Kanatya diam. Tidak menjawab.
            Ayolah, berhenti mengajaknya berbincang lagi. Cowok itu tahu kan, Natya sedang menunggu seseorang? Dan, itu bukan dirinya. Ia bahkan tidak sama sekali mengharapkan cowok aneh ini muncul di depannya. Tapi kenapa­­­­-
            “Kamu siapa? Ngapain ke sini?”
            “Aku Leo, minum kopi.”
            Dan, ia merasa tidak perlu bertanya lagi. Cowok ini menyebalkan. Berdasarkan statistik, ada kemungkinan 75% ia mengidap gangguan jiwa, tapi senyum dan caranya berbicara menghapus habis seluruh ketidaknormalannya. Ia berbeda. Skeptis tetapi asik, terlalu asal-asalan tapi terlihat wajar.
            Sebenarnya ia tidak mau lagi menanggapi. Ia sudah berniat akan mendiamkan cowok aneh bin misterius ini kalau saja, ya, kalau saja ia tidak butuh teman bercerita. Ia bosan menunggu. Sudah terlalu lama, sudah hampir dua jam. Hingga cangkir espressonya sudah tandas tanpa ia duga-duga, karena ternyata ia mulai menikmati rasa pahitnya. Tapi seseorang yang ditunggunya tidak kunjung datang. Dan Leo, adalah satu-satunya orang yang bisa diandalkannya saat ini untuk mengusir rasa jenuh. Setidaknya Leo pencerita yang baik.
                Dengan segala tingkah konyolnya, membuat persepsi menyebalkan yang sebelumnya disematkan Kanatya dalam diri cowok itu, musnah entah kemana. Yang ada hanya obrolan seru, yang ada hanya cerita lucu, yang ada hanya riang, yang ada hanya gelak tawa.
            “Aku bilang juga apa, dia nggak bakal dateng.”
            “Kenapa kamu bisa tau?”
            “Simple, kalau dia menganggapmu istimewa dia nggak akan membiarkanmu menunggu.”             
                Lalu gadis itu akhirnya sadar, ia telah salah menunggu. Dan kali ini ia tahu, seseorang yang mengajarinya minum kopi sepahit espresoo, tidak sepahit perkiraannya. Buktinya, Leo manis. 

14/02/2014
Langit Senja
Yogyakarta
PS: cerita ini dibuat tanggal 14 Februari memang, tapi jelas bukan untuk sebuah peringatan tentang kasih sayang dan sebagainya, jika kalian beranggapan begitu. Ini hanya semacam, apa ya? Keseloan? Mungkin. :)

Kamis, 13 Februari 2014

Beda Embun dengan Abu

Pagi ini, Tuhan
tentang hari Jumat yang berkabung
langit membungkus kota kami
dengan gerimis abu yang mengepung

Gelap

Pekat

Pukul enam pagi
seperti dini hari

hingga tak ada celah
meski sejengkah
bagi sinar fajar yang biasanya datang
memberi hangat pada kami
tapi lupa kami syukuri

Pagi ini, Tuhan
tentang hari Jumat yang merengut
gugusan abu menjatuhi tanah kami satu-satu
erupsi gunung kelud

Pagi pukul setengah tujuh
seperti malam pukul sepuluh
tidak ada kristal bening itu lagi
di kaca jendela kami
yang hadirnya memberi kesejukan
tapi kami seringkali lupa, tidak memerhatikan



butir embun yang membasahi dedaunan

menghilang
tergantikan dengan butir abu
yang meradang

 Apa beda embun dengan abu?

Embun adalah apa-apa yang sempat kami lupa
di bulirnya yang memberi sejuk pada tanaman-tanaman kami
tapi lupa kami syukuri

Dan Abu,
adalah apa-apa yang kami rutuki
tentang sesak yang melanda
tentang pagi yang tak juga terang
tentang kota yang pucat pasi
tentang segala keluh yang membuat kami angkuh

Maafkan kami karena kami alpa

Dan, nikmatMu yang mana lagi kah yang kami dustakan?

Maafkan kami karena kami lupa caranya bersyukur

Dan, nikmatMu yang mana lagi kah yang kami dustakan?


Karena dengan begini kami baru akan mengerti

Ketika hanya ada abu yang kami lihat di jendela kami pagi ini, kami baru akan mensyukuri kehadiran embun yang menyejukkan kami setiap pagi.




 5.30 WIB
Jumat 14/02/2014
diantara langit gelap
dan hujan abu yang menyekap 
Langit Senja
Yogkarta




 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger