Sabtu, 15 Februari 2014

Bukan Cappucino



Sebelumnya, Yogyakarta tak pernah sedingin ini. Suhu udara dengan angka mencapai 16 derajat celcius. Menggigilkan  tubuh mungil seorang gadis yang sedang duduk di salah satu kursi kedai kopi. Seseorang dengan sweater abu-abu membungkus tubuhnya, yang matanya dibingkai dengan kacamata berframe hitam,yang di lehernya terselempang syal sewarna senada, membuat rambutnya yang panjang terurai terlihat semakin surealis.
            Dan, ia terlihat manis.
Dan, nama gadis itu Kanatya. Ya, namanya Kanatya.

 Tangannya sesekali saling bergesekan untuk meredakan hawa dingin. Bibirnya yang mungil sesekali merapalkan sesuatu, semacam kalimat permintaan. Ia sebenarnya sedang menunggu. Dan, menunggu bagi sebagian orang memang membosankan, lebih dari bosan, lebih semacam kekesalan

, dan untuk yang satu ini, dia bukan perkecualian.
            Ia mengalihkan kebosanannya dengan menatap sekeliling, udara dan atmosfernya tampak begitu asing. Tapi, tidak dengan interior dan segala sudut di kedai itu. Ia sudah hapal di luar kepala, menikmatinya sebagai candu yang diam-diam menghinoptisnya untuk datang ke tempat ini, lagi dan lagi.
            Kedai dengan gaya klassik sederhana. Tidak terlalu luas, tetapi cukup nyaman. Bangku dengan kursi-kursi kayu berukiran kayu jati, lampu gantung dengan anyaman bambu yang dipasang di setiap meja, serta panorama eksotis dari jalanan kota yang temaram tetapi begitu bersahabat.
            Ia suka tempat ini, dan akan lebih menyenangkan lagi apabila ada seseorang yang duduk di depannya, menemaninya mengobrol sambil menikmati kopi. Tapi sekali lagi, ia sedang menunggu. Ia tidak datang sendiri,  hiburnya pada diri sendiri, mencoba memprediksi.
            Tepat saat Kanatya mulai berpikir bahwa hasil menunggunya akan sia-sia, seseorang tiba-tiba muncul di depannya. Cowok jangkung berkaos hitam dan dilapasi jaket jaens denim biru dongker, dengan potongan rambut jabrik yang di tata seadanya. Tersenyum. Membuatnya sedikit canggung, sekaligus bingung.
            Bukan. Bukan orang itu.
            Tapi, orang itu nampaknya tidak peduli. Buktinya ia masih berdiri di depannya, mengabaikan air muka dengan penuh tanda tanya di wajah Kanatya. “Boleh aku gabung disini?”
            Dan sebelum gadis itu mengangguk, seseorang itu sudah duduk sempurna persis di depannya, “Aku rasa kita perlu kenalan,” ujarnya dengan intonasi pelan tetapi menghanyutkan, kemudian tangannya terjulur, “Leo.”
            Kanatya masih belum menyadari keberadaan manusia asing di depannya ini. Ia mengajaknya berkenalan dengan cara yang menurut gadis itu aneh, sedangkan ia sendiri bingung kenapa bisa orang ini sekarang duduk di bangkunya. Tanpa harus merasa perlu meminta persetujuannya. Berani-beraninya.
            Merasa tidak mendapat respons, Leo-nama cowok itu menarik kembali jabat tangannya. “Oh oke. Nggak apa-apa. Kamu takut sama orang asing ya?” tanyanya dengan suara jenaka, seolah-olah  ia sudah mengenalnya dengan cukup lama.
            Kanatya melotot, menggeleng kuat-kuat.
            Leo tergelak, “Kalau gitu, kenapa nggak mau diajak kenalan?”
            Gadis mungil itu menghela napas, “Kanatya.”
            Akhirnya.
            Leo tersenyum penuh arti, memandangi gadis di depannya itu lamat-lamat. “Bagus.”
            “Apanya?”
            “Namamu. Namamu bagus.”
            Kanatya tersenyum, meskipun samar. Tapi, laki-laki pemilik wajah tirus itu masih bisa menangkap sebersit senyum di wajah Kanatya yang oval.
            “Udah pesen minum?”
            Kanatya menggeleng.
            “Espresso dua Mbak!”tiba-tiba  Leo sudah berteriak, memanggil salah satu waiter yang kebetulan sedang melewati mejanya.
            Benar-benar gila. Leo, cowok asing di depannya ini sudah benar-benar gila. Ia seenaknya saja memesankan espresso untuknya.  Memangnya ia suka? Cowok itu bahkan belum bertanya minuman apa yang ingin di pesannya. Keterlaluan.
            “Aku nggak suka espresso!” suaranya terdengar antara geram, jengkel, kesal dan entahlah. Ia baru pertama kali bertemu cowok asing ini. Tapi lagaknya sudah nyaris membuatnya habis kesabaran.
            “Oh gitu ya?” Leo menjawab santai, mengedikkan sebelah bahunya. “Sorry.”
            Apa dia bilang tadi? Sorry? Hanya sorry?
            Ia tidak merasa perlu untuk menanggapi cowok aneh di depannya itu lagi. Matanya mulai gelisah menatap jam tangan bermotif vintage di pergelangan tangannya yang kecil. Kemana dia? Kenapa belum datang?
            “Lagi nunggu orang ya?” tanya Leo setelah ia menyadari perubahan ekspresi dari wajah gadis di depannya.
            Merasa itu pertanyaan retoris, Kanatya tidak menjawab. Leo tergelak, tertawa kecil. “Percuma, dia nggak bakal dateng.”
            Oke. Kanatya diam, mencoba mengontrol emosinya. Lihatlah, ia bahkan tidak tahu menahu soal apa dan siapa yang sedang ia tunggu. Tapi kenapa ia bisa begitu santai mengucap kalimat itu seolah merasa sok paling tahu?
            “Kenapa nggak suka espresso?” dia bertanya lagi.
“Pahit.”
Leo tergelak. “Cuma itu? Terus ngapain kamu kesini dan belagak menikmati kopi padahal kamu nggak suka rasa pahit?”
Skak mat!
Kanatya berpikir sejenak, “Capuccino lebih favorite.” Ia menyangkal.
“Masih mau bilang capuccino itu kopi?  Apa esensinya minum kopi kalo cappucino? Itu nggak lebih dari susu yang diberi pernak-pernik kopi.” Matanya awas menatap lurus ke depan, “Kopi itu pahit, dan jangan ngaku pecinta kopi kalo kamu cuma suka sama yang manis-manis.”
            Kanatya diam. Tidak menjawab.
            Ayolah, berhenti mengajaknya berbincang lagi. Cowok itu tahu kan, Natya sedang menunggu seseorang? Dan, itu bukan dirinya. Ia bahkan tidak sama sekali mengharapkan cowok aneh ini muncul di depannya. Tapi kenapa­­­­-
            “Kamu siapa? Ngapain ke sini?”
            “Aku Leo, minum kopi.”
            Dan, ia merasa tidak perlu bertanya lagi. Cowok ini menyebalkan. Berdasarkan statistik, ada kemungkinan 75% ia mengidap gangguan jiwa, tapi senyum dan caranya berbicara menghapus habis seluruh ketidaknormalannya. Ia berbeda. Skeptis tetapi asik, terlalu asal-asalan tapi terlihat wajar.
            Sebenarnya ia tidak mau lagi menanggapi. Ia sudah berniat akan mendiamkan cowok aneh bin misterius ini kalau saja, ya, kalau saja ia tidak butuh teman bercerita. Ia bosan menunggu. Sudah terlalu lama, sudah hampir dua jam. Hingga cangkir espressonya sudah tandas tanpa ia duga-duga, karena ternyata ia mulai menikmati rasa pahitnya. Tapi seseorang yang ditunggunya tidak kunjung datang. Dan Leo, adalah satu-satunya orang yang bisa diandalkannya saat ini untuk mengusir rasa jenuh. Setidaknya Leo pencerita yang baik.
                Dengan segala tingkah konyolnya, membuat persepsi menyebalkan yang sebelumnya disematkan Kanatya dalam diri cowok itu, musnah entah kemana. Yang ada hanya obrolan seru, yang ada hanya cerita lucu, yang ada hanya riang, yang ada hanya gelak tawa.
            “Aku bilang juga apa, dia nggak bakal dateng.”
            “Kenapa kamu bisa tau?”
            “Simple, kalau dia menganggapmu istimewa dia nggak akan membiarkanmu menunggu.”             
                Lalu gadis itu akhirnya sadar, ia telah salah menunggu. Dan kali ini ia tahu, seseorang yang mengajarinya minum kopi sepahit espresoo, tidak sepahit perkiraannya. Buktinya, Leo manis. 

14/02/2014
Langit Senja
Yogyakarta
PS: cerita ini dibuat tanggal 14 Februari memang, tapi jelas bukan untuk sebuah peringatan tentang kasih sayang dan sebagainya, jika kalian beranggapan begitu. Ini hanya semacam, apa ya? Keseloan? Mungkin. :)

0 komentar:

 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger