Senin, 26 Oktober 2020

Surat dari Dermaga

           Kepada, pengelana dengan ransel warna cokelat tua. Pemilik senyum sengahat matahari pukul sepuluh pagi, apa kabar hari ini?   

Kukabarkan kepadamu melalui sebuah surat. Bahwa ada seorang perempuan yang kemarin berkunjung kemari. Kulihat dia berjalan sendirian menujuku, menepi diantara hingar bingar manusia yang tengah berlalu lalang. Aku memerhatikannya sedang menatap nanar ke arah deburan ombak, sambil sesekali melempar kerikil kecil ke dasar laut. Benda yang dia bawa di kantong hitam kecil, yang ia kalungkan di tubuhnya yang terlihat sangat ringkih.

Sesekali aku menatapnya sesenggukan. Sebagai dermaga tempat berlabuh kapal-kapal yang datang dan pulang, aku ingin sekali menyewakan tubuhku sebagai tempatnya meneduh. Aku ingin tiba-tiba menjadi rumah baginya, menawarkan atap yang dilengkapi dengan jendela, sehingga dengan begitu, ada ruang lebih nyaman baginya untuk menumpahkan air mata.

Tetapi aku cuma bisa menyimaknya dari kejauhan, mendengarkan ceritanya yang lirih itu, yang dikabarkan angin pagi kepadaku. Sungguh, aku tidak habis mengerti dengan jalan pikirannya yang terlalu rumit dimengerti. Ia berulangkali menyebut namamu, mengejanya dengan penekanan yang susah payah ia lafalkan dengan kata-kata.

Kau tahu apa tidak? Barangkali, di bumi ini memang ada bebarapa orang yang sanggup meredam habis perasaannya sendiri. Perempuan itu salah satunya, dia bagian dari mereka. Ada sekat-sekat yang sekuat tenaga dia tentang, ada perbedaan-perbedaan cukup besar antara dia dan kau, seseorang yang ia kira adalah dunianya, keajaiban yang membuatnya sedikit berkompromi dari keterasingan yang pernah membuatnya begitu sakit.

Baginya, kau tidak lebih dari kata-kata yang melebur bersama dengan mimpi-mimpinya yang ia ingat setelah bangun dari tidur. Dalam dunianya, kau tidak lebih dari seseorang yang sangat ingin ia hindari sebab ia terlalu takut terjebak oleh perasaannya sendiri. Terkadang, demi melindungi dirinya dari patah hati, seseorang rela menimbun habis harapannya sendiri.

Tidak ada kata-kata yang sanggup kuutarakan banyak padamu, sebab ia lebih banyak menyimpan ceritanya sebagai rahasia. Perempuan itu, yang dari matanya menyiratkan sesuatu yang tidak habis kutebak perasaannya seperti apa. Dia penuh tanda tanya. Dia terlihat tidak peduli. Dia begitu apatis, entah bagimu.

  Baju putihnya berkibar-kibar ditiup angin, anak-anak rambutnya bersemburat acak tidak dihiraukannya. Kali ini, kering sudah air matanya, angin menyampaikan padaku bahwa perasaannya sedikit lebih baik. Tidak ada seorang pun bisa membuatnya sakit selama dia tidak mengharapkan apa pun dari manusia. Dia terlalu tangguh untuk sekadar meratapi setiap kepergian. Baginya hidup adalah adrenalin terbesar. Sementara kau adalah salah satu bagian dari hidupnya yang membuat dia merasa tertantang. 

Dia lebih berani, lebih tangguh, lebih kuat dari yang sanggup kamu bayangkan sebelumnya.

Dia tidak pernah mengharapkan apa pun dari seseorang. Tidak waktunya, tidak dunianya.

Dia cuma selalu butuh dirinya sendiri dan rasa sepi.




 source: tumblr

 

 

Kamis, 22 Oktober 2020

Hujan Pukul 22.00


Aku sedang ke toko buku, sendirian. Pulangnya, tidak bisa kuterobos hujan karena aku tidak bawa mantel. Berdiri menunggu di depan gedung pertokoan. Hawa dingin di luar. Hujan malam itu, deras sekali. Waktu sudah menunjuk pukul 10 malam, bukan aku tidak berani pulang. Aku berani saja sebenarnya. Tapi mengendarai sepeda motor malam hari dengan hujan sederas ini , kupikir bukan pilihan cukup baik. Jadi aku memutuskan menunggu sampai hujan mereda.

                Sambil memainkan ponsel, aku iseng membuat story. Merekam video hujan di depanku.

                Satu balasan pesan masuk.
“Kamu dimana?”
“Di Gramedia, kenapa?”

“Gramedia mana?”

“Gramedia Basuki Rahmat,”

“Sendiri? Ngapain di situ?”

“Beli buku. Kejebak hujan. Hahaha.”

“Jas hujannya kemana?”

“Lupa dibawa. Hehe.”

“Ya sudah, aku kesana.”

“Ngapain?”

“Aku anterin jas hujan,”

“Jangan, bentar lagi juga reda,”

“Ini udah malam, sudah tunggu di situ.”
“Enggak usah,”
“Eh ini udah reda, aku mau pulang.”
“Jangan ke sini..”
“Enggak usah dibawain jas hujan, beneran enggak usah, makasih sebelumnya..”

Percuma,  pesan-pesan yang kubombardir itu tidak terbaca, cuma centang dua.

                Hujan masih belum berhenti, malah makin deras resonansi. Sepuluh menit kemudian, sebuah mobil hitam terparkir tidak jauh dari tempatku berdiri. Pemiliknya berhenti, membuka pintu mobil. Sesosok yang tidak asing keluar dari sana, memakai jaket jeans dan topi. Dia berlari menerobos hujan. Tangan kirinya menghalau tempias air hujan, tangan kanannya membawa sekantong tas kresek hitam.

                “Hai,” sapanya, bahkan tanpa merasa berdosa setelah sebelumnya tidak membalas pesan-pesanku yang banyak sekali itu.

                “Ngapain, sih? Kan udah dibilang jangan.”

“Mau sampai kapan di sini sendiri? Enggak takut?”

“Bentar lagi juga reda,”

“Sok tahu. Hahaha. Masih deres gini,”

“Lagian ngapain nyusulin?”

“Enggak boleh?”

“Bukan enggak boleh, aku cuma nggak mau ngrepotin.”

“Siapa yang repot?”

“Bukannya kamu masih sibuk kerja?”

“Barusan selesai meeting, enggak sibuk.”
“Selesai dari meeting atau sengaja diselesaiin biar bisa bolos ke sini?”

“Hahaha. Kita tunggu hujannya biar agak terang ya, nanti kamu pakai jas hujannya. Aku anterin pulang,”
“Enggak usah lah, kamu kan bawa mobil. Aku bisa pulang sendiri.”

“Ya sudah, enggak, aku tungguin aja di sini sampai lumayan terang.”

“Lihat, jaketmu jadi basah, kan?” aku menunjuk jaketnya. Dia menoleh, menatapku. Tidak menjawab. Cuma nyengir.
“Kamu tadi udah makan?” ia bertanya.
“Udah, kamu yang belum ya?”

“Laper, mau makan bakso, nggak?”
“Emang ada yang jual bakso? Di deket sini?” Aku celingukan mencari gerobak bakso. Tidak ada.

“Kita cari di luar,”
“Ya udah, ayo. Aku ambil motor dulu.”
“Hmm, enggak usah.”
“Kok enggak usah?”

“Kita naik mobil.”
“Kan aku bawa motor?”

“Masih ada Pak Satpam, kan? Nanti aku bilang.”
“Kenapa aku enggak bawa motor aja biar sekalian pulang?”

“Kenapa?”

“Kok malah kenapa?”

“Kenapa enggak mau naik mobil?  Takut sama aku?”

“Ya enggak,”

“Ya terus?”
“Ya sudah, ayo.”

Dia tertawa, sial. Kemudian berlari menuju pos satpam, menitipkan motorku. Aku cuma bisa menggeleng dari kejauhan.

Setelah keperluannya selesai dari pos satpam, dia kembali menghampiriku. Melepas jaket jeansnya, mengulungkannya di depanku.

“Pakai jaketku buat penutup kepala. Biar enggak basah,” Aku ingin menolak. Tapi sebelum sempat aku mengatakan apa-apa, dia sudah dulu berlari lebih dulu menuju mobilnya. Menutupi kepalanya dengan kedua tangan.

“Ayo!” ia berseru.

Aku mengangguk, berlari menyusulnya.

Dibukakannya pintu mobilnya untukku, lalu aku duduk di sebelah kursi kemudinya. Memakai shit belt. Setelahnya, kuperhatikan dia yang tengah fokus memegang kemudi.

Kaosnya yang basah, badannya yang terlihat kedinginan, dan ekspresi wajahnya yang tidak menunjukkan keberatan sama sekali dengan apa yang dilakukannya malam ini.

Diam-diam, dalam pengamatanku yang seperti itu, aku bergumam lirih dalam hati.
Kalau ada seseorang didatangkan untuk membayar lunas seluruh patah hati, aku cuma mau orang ini.




 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger