Minggu, 04 Mei 2014

Hujan Tanpa Jaket

         Ingatkah tentang sore yang dilingkupi kabut pekat dan gugusan berjuta-juta partikel air dari awan? Tentang kereta yang terlalu lama untuk ditunggu kedatangannya. Dan waktu yang terasa cepat berlalu sekalipun sebenarnya kita sudah lama menunggu. Kau ingat?
          Bajumu basah dilahap titik-titik air yang  saat itu dengan nyalang menggelontor ke tubuhmu satu-satu. Bibirmu bahkan bergetar menahan gigil dan bisa kudengar gemeletuk gigimu akibat beku. Ya, kau benar. Aku mengamati detailmu seluruhnya. Saat itu, dengan hati tercabik-cabik menahan ngilu.
          "Kau pulang saja, biar kutunggu keretanya sendirian. Pulanglah," kau katakan itu tanpa menoleh ke arahku sedetik pun, dengan intonasi selirih embusan angin tetapi dengan ketajaman sebilah pedang.
          "Tak apa, biar aku di sini sampai keretamu berangkat."
           Aku dengar kau menghela napas, aku menunduk. "Apakah.. apakah kau keberatan aku ada di sini?"
           "Tidak. Tapi akan jauh lebih melegakan jika kau pergi."
            Embun di mataku mulai menggantung. Sekilat gerakan petir aku menatapmu, secepat yang kubisa. Sama sekali tidak menyangka kalimat itu keluar dari mulutmu. "Kenapa?" tanyaku lirih.
            "Karena memang seharusnya begitu."
             Aku tahu cinta dan perasaan adalah soal harga diri, bukan irasionalitas. Maka selepas kudengar kalimatmu yang terakhir, dengan suasana hati yang porak-poranda tak terjabar kata-kata, aku segera berdiri. Bangkit dari dudukku yang semula berada di samping kirimu.
            Aku sudah melangkah beberapa kaki jaraknya, diselingi dengan gerak telapak tanganku sesekali menyeka pipi. Tetapi tepat pada langkah ke lima, aku berhenti. Jangan bertanya 'mengapa' karena aku juga    tidak tahu jawabannya. Sesuatu yang lebih dahsyat dari magnet tiba-tiba menarikku. Seketika itu juga aku berbalik. Menatapmu lagi dari kejauhan. Kau masih di sana, dengan kemejamu yang kebahasan dan getar di bibirmu yang masih belum hilang.
              "Di kereta nanti pasti jauh lebih dingin. Kau tidak bawa jaket bukan? Ini, ambillah." kuulurkan jaket tebalku di depanmu.
              Kau mendongak, menatapmu sejenak."Terimakasih."
             Maka setelah memastikan kau menerima jaket itu tanpa sedikit pun penolakan. aku membalikkan badan. Menarik napas panjang. Lalu pergi dari hadapanmu. Dengan langkah-langkah lebar dan memastikan aku tidak akan pernah kembali menoleh ke belakang.

Mereka benar, bahwa cinta adalah soal harga diri, bukan irasionalitas. Memilih terus-menerus disakiti karena menganggap cinta itu irasional sehingga rasa sakit yang ditimbulkan adalah sebuah pembenaran, atau memilih pergi dan melindungi hatimu sendiri menuju sebenar-benarnya kebahagiaan.

4/05/2014
23.10 WIB
Langit Senja
Yogyakarta
PS: Ini cuma fiksi. Tentu saja. Maaf jika pilihan diksinya membuat kalian risih. Saya hanya sedang melatih diri untuk kembali peka dengan kata-kata. Berhubung saya sudah lama tidak menulis cerita bergenre romance, maka ini adalah salah satu cara agar saya bisa aktif menulis lagi.













0 komentar:

 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger