Senin, 26 Mei 2014

Na (bagian 2)



Mata Na yang hitam pekat itu mengerjap sekali. Mendongak menatap langit. Lalu bola matanya beralih menatapku, mengehela napas pelan.
            “Gerhana,” ucapnya lirih.
            Aku yang tidak mengerti kemana arah kalimatnya memasang wajah kebingungan, siap melemparnya dengan pertanyaan berikutnya.
            “Namaku,” ia mengangguk, memberiku penjelasan lebih dulu.
            Seperti ada belut-belut listrik yang mengaktivasi seluruh indraku. Seketika itu juga tubuhku beku. Tercengang, unbelieveable dan entah apa lagi. Aku merasa bukan lagi manusia dari planet bumi yang ada di depanku kini, barangkali ia memang alien dari palnet lain. Atau makhluk muliseluler dari sebuah UFO yang kebetulan mendarat di bumi.
            Apa pun itu, aku tidak pernah membayangkan bahwa Na adalah Gerhana.
            “Namamu? Namamu benar-benar Gerhana?”
            Na tersenyum, sialnya lagi ia bersikap seolah tidak peduli dengan keterkejutanku barusan, reaksi dari kalimatnya. Ia justru santai mengangkat bahu, kali ini membidik kepulan asap rokok yang di latari temaram lampu tiang.
            “Aku memang lahir saat gerhana, nggak perlu seterkejut itu.” Tangannya berhenti sejenak dari tombol kamera, “kamu ini masuk spesies teoritis.”
            Na tertawa. Aku tidak mengerti apa maksudnya, jadi aku diam saja.
            “Sebagian orang lebih sering dikendalikan oleh teori, jadi wajar saja kalau kamu tidak percaya. Teori mengatakan bahwa gerhana merupakan salah satu fenomena alam dimana terjadi kegelapan pada matahari atau bulan, baik total maupun sebagian.” Na meraih gelas kopinya, menjeda kalimatnya dengan satu tegukan.
            “Jadi orang-orang akan berpikir, mustahil sekali di zaman modern seperti sekarang ini lambang kegelapan dijadikan sebagai nama. Begitu kan?”
            Na tertawa lagi. Lebih lepas. Ditambah dengan ekspresi supertololku, aku kembali sukses dibuatnya menjadi orang paling bodoh semuka bumi.
Tapi Na, jelas bukan kegelapan. Tawanya yang lepas, senyumnya yang sumringah, outfitnya yang ceria. Na hidup. Cerah. Sama sekali tidak gelap. Tega sekali kedua orang tuanya memberinya nama Gerhana.
“Jangan bilang setelah Gerhana, ada embel-embel matahari, bulan bahkan lengkap dengan cincin, total, dan sebagian di belakang namamu,” aku bergurau.
“Matahari,”
Aku nyaris tersedak. Wajah Na sama sekali tidak terlihat sedang bergurau saat mengatakan itu. Ia justru nyengir lebar, membuat lambang victory dengan telunjuk dan jari tengahnya. Aku terperangah.
“Gerhana Matahari? Hei! Orang tuamu tega sekali memberimu nama Gerhana, Matahari pula.”
Tangan Na ganti sibuk merapikan topi rajutnya yang sebagian menutupi poninya yang membelah samping.
“Apa salahnya orang tuaku memberiku nama Gerhana? Memang kenyataannya aku lahir saat gerhana matahari.”
“Tapi menjadi sangat kontras dengan artifiusalnya. Meski harus kuakui, namamu sebenarnya unik.”
“Kamu memperdebatkan artinya?”
“Ya, Gerhana berarti gelap. Ditambah gerhana matahari, lebih gelap lagi.”
“Lalu bagaimana pendapatmu dengan nama Marah Laut yang diberikan oleh seorang penyair kepada salah satu anak laki-lakinya? Bisa kamu jelaskan interpretasi sebagian orang yang bisa saja mengartikan bahwa penyair itu mengharapkan anaknya, si pemilik nama itu kelak akan tumbuh menjadi pribadi yang sering marah-marah? Kemarahan yang dahsyat seperti laut.” Na mengangkat bahu, tertawa kacil menjelang kalimatnya yang terakhir.
“Kuberi tahu, banyak sekali orang-orang yang terlanjur keliru menterjemahkan suatu simbol, cerita, peristiwa dari suatu fenomena. Mereka hanya melihat dari sisi mana simbol, cerita atau peristiwa itu berasal. Dan seperti yang kubilang tadi, semua hanya berdasarkan teori. Tidak benar-benar mengkaji isinya secara detail. Luarnya terlihat nyata padahal di dalamnya fatamorgana. Kosong. Tidak terbukti. Nol besar.”
Aku seluruhnya dibuat bungkam. Lihatlah, Na di depanku ini sedang berfilosofi. Padahal aku hanya bertanya masalah sepele, hanya soal kenapa orang tuanya tega sekali memberinya nama Gerhana. Ia menjawabnya sudah seperti seorang mahasiswa semester akhir yang sedang mengikuti sidang skripsi.
“Kamu mahasiswa filsafat?” ragu-ragu aku bertanya, memotong sejenak sambungan kalimat Na.
Na tersenyum lebar, menekan salah satu tombol pada kameranya. Matanya sibuk kembali dengan lensa. Menggeleng.
“Aku belum selesai menjelaskan.” Lanjutnya.
Mengangguk kupersilakan ia berpikir sejenak. Membiarkan Na mencerna kalimatnya lebih dulu sebelum disampaikan kepadaku.
“Soal nama tadi, lupakan saja. Yang gelap belum berarti gelap. Yang terang belum tentu terang. Simple.”
“Tapi menjadi rumit dengan relevansi kehidupan zaman modern seperti saat ini kan, Na?”
“Benar, seperti Marah Laut tadi. Kamu menebak pemilik nama itu nantinya akan tumbuh jadi seorang emosianal yang meledak-ledak, iya kan? Hanya karena ada kata Marah dinamanya.”
Aku mengangguk, cengengesan. Tadinya juga kupukir begitu.
“Padahal anak penyair itu bisa jadi lahir bertepatan dengan fenomena gelombang dahsyat memuntahkan lautan. Saat laut menjadi marah, saat gelombang menjadi ganas. Who knows.”
Aku sekarang mengerti, meski kalimat Na masih saja sulit kupahami. Aku menatap Na, lebih intens. Kuraih kamarenya yang saat ini bebas diletakkannya di selesar tikar.
“Kamu lupa mengambil gambarmu sendiri. Mau kufoto?”
Na tidak menjawab, sudah siap dengan  pose senyum tiga jarinya. Tangannya membentuk simbol victory. Aku cekatan menekan tombol kamera. Cheers! Gambarnya berhasil terbidik pada hitungan ketiga.
“Jadi semua inti kalimatmu adalah, semua hanya soal interpretasi. Bagaiamana kejadian sesungguhnya memaparkan, bukan soal teori dan apa yang dikatakan orang lain. Iya kan?”
Tersenyum lebar aku menatap Na sambil mengulurkan hasil bidikanku di kameranya. Na tersenyum, mengambil alih kameranya. Memotret lagi. Aku tidak tahu sudah berapa foto yang  berhasil diabadikannya. Tapi sepertinya lebih dari gabungan jumlah semua jari tangan dan kaki kami.
Aku melambaikan tangan pada bapak peracik kopi, memesan satu gelas kopi hitam berisi arang. Kalian tahu kan? Gelas kopiku sudah tumpah. (remember?)
“Na, kamu belum bercerita soal kenapa kamu bisa ada di sini dan kenapa kamu datang sendiri. Aku sudah memesan kopi lagi, siap mendengar interviemu. Kamu sendiri yang bilang aku cocok jadi wartawan,” aku tersenyum penuh kemenangan.
Na di depanku menghentikan gerakannya membidik lalu lalang motor melintasi gang. Melirik jam tangan hitam metalik di pergelangan tangannya.
“Tidak sekarang.” Cekatan ia membereskan kameranya ke dalam tas mungil di gantungan lehernya,
“Aku harus pulang. Mungkin lain kali  kalau aku ketemu sama kamu lagi,”
Na sudah berdiri, melenggang cepat menghampiri bapak peracik kopi. Mengulurkan sejumlah uang.
Bersamaan dengan itu, aku terbengong-bengong di tempatku, tidak kuasa mengucap sepatah kata pun. Tidak lama setelahnya, bapak peracik kopi itu datang, menyerahkan segelas kopi arang pesananku.
Kutatap siluet tubuh Na yang berjalan santai melintasi trotoar di pembatas pagar. Tidak sempat menanyakan nomor ponsel, kartu nama atau sebuah deadline untuk pertemuan kami selanjutnya. Sekarang, Na benar-benar sukses membuatku menjadi orang paling bodoh sedunia. Bukan pada saat ia tertawa, tapi dalam kepergiannya.
***


Senin, 26 Mei 2014
23.45 WIB
Langit Senja
Yogyakarta

0 komentar:

 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger