Sabtu, 22 November 2014

Emp(a)ty

Biasanya aku apatis. Mati rasa pada segala macam ekspresi baik sedih atau bahagia. Tapi aku suka tertawa, terutama saat mendengar lelucon konyol dan menggelitik dari orang-orang disekelilingku. Ceritakan padaku sebuah cerita lucu, maka sudah cukup kau bisa dengar gelak tawaku. Asal, jangan suruh aku bercerita secara lisan tentang kisah sedih atau bahagia, karena saat itulah aku pasti kehabisan kata-kata. Aku susah mencerna. Bingung menyampaikan ekspresi. Kalaupun bibirku mampu merangkai banyak kata menjadi kerangka cerita yang kususun utuh, belum tentu mereka bisa mengerti maksud kalimatku secara menyeluruh. Satu dua berhasil, delapan dari sepuluh diantaranya sudah pasti gagal.

Jadi, aku memang bukan pencerita yang baik. Aku pernah sekilas membaca judul buku, dengan nama yang sama persis dengan salah satu sindrom. Sayangnya, memoriku tak cukup kuat untuk mengingat. Tapi aku tahu intinya, sindrom itu membuatmu selalu kesulitan menyampaiakan sesuatu, bahkan sekalipun bibirmu dijahit kamu tetap akan lebih unggul menyampaikan isi kepalamu,

Mungkin itulah sebabnya aku menulis. Dengan menulis aku menjadi lebih waras, Dengan menulis mereka bisa dengan mudah menangkap maksduku lewat kata-kata meski tanpa suara. Ya, barangkali karena itu.

Dan lagi, menurut sejarah yang kuingat. Belum pernah sekalipun, aku menunjukkan eskpresi atas respon yang kudapat selepas mendengar beberapa curhatan teman, cerita duka atau bahagia mereka, dengan ekspresi normal. saat mendengar curhatan sedih misalnya, biasanya aku hanya akan memandangi orang di depanku dengan sorot mata datar, anggukan kepala kecil, sesekali gerak telapak tanganku menepuk pelan bahu si empunya cerita sekadar memberi empati meski hanya sebatas itu saja aku sanggup memberi. Bukan aku tak bisa merasa, atau tak peka. Aku hanya, yah begitulah, susah dijelaskan. Lagipula aku juga tak mau berpusing-pusing ria untuk dimaklumi. Peduli apa?
Tapi lucunya, saat mereka berpikir aku tak memberi respon yang baik, tanpa sekalipun pernah mencoba menebak apa yang sesungguhnya terasa di dalam hati, aku justru merasakan sesak yang bertubi-tubi, Cerita yang kudengar dari telingaku menjalar serupa listrik pararel hingga menembus pori-pori. Aku merasakannya, aku bisa mengerti bagaimana rasanya. Aku hanya tak bisa menunjukkan ekspresi di depan orang lain sebagaimana mereka berekspresi lewat dirinya sendiri.

Tapi sore ini, saat kulihat tubuh tinggi milik seseorang berjalan diantara lorong penuh desinfektan dan aspirin yang menyengat, saat sosoknya kemudian menghambur bersama sosok-sosok yang lain, semua sisi kebekuanku luruh. Menyeretku untuk ikut membenamkan diri, memeluk tubuh tinggi itu diantara tangan-tangan lain yang mendekapnya dengan erat.
Guncang bahunya, dan isaknya yang tertahan dengan cepat menjalar ke seluruh organ. Aku memeluknya lebih erat. Lalu tanpa sadar, butir air itu, tanpa pernah kuduga sebelumnya, mengalir begitu saja. Respon pertama yang terasa begitu ganjil karena baru kali ini aku bisa menangis melihat orang lain menangis.

Lebih dari itu, tak hanya sekadar tepukan di bahu tanpa kata-kata seperti biasa, aku membisikinya dengan kalimat supermelankolis yang belum pernah kuucapkan kepada siapa pun sebelumnya sambil terisak air mata.

"Jangan nangis, kamu kuat. Kamu pasti kuat."

Lalu seperti itu. Lorong koridor berlantai putih menjadi saksi bahwa petang tadi sesuatu yang mengharukan terjadi. Sesuatu yang bisa menyesakkan hati siapa pun yang melihatnya, termasuk aku. Oleh indraku sendiri, juga hatiku.

Aku melihatmu berjalan
di lorong koridor berbau desinfektan
dari kejauhan matamu menerawang
kosong tanpa binar keceriaan
Aku tahu dibalik matamu air mata tersimpan
Tapi demi menyambut kami di ruang tunggu, kau menyembunyikannya mati-matian
Kamu mungkin sekuat itu
Hanya saja mungkin tidak
Saat melihat luruh kristal bening itu
jatuh dari matamu
Tangan-tangan terentang
Kamu menggapainya dengan sisa-sisa kekuatan
Direngkuhnya kamu dengan segala tangis yang tiba-tiba menjalar
Merasakan bagaimana sesak dadamu saat sesenggukan
Jangan kawan, jangan.
Kamu kuat, kamu tak sendirian
selalu ada pelangi setelah turun hujan
Tuhan menyayangimu
dan pertolonganNya selalu datang tepat waktu

pict from tumblr

Hujan
pada ruang sepi, dini hari
02:00 WIB
22/11/14
Langit Senja
Yogyakarta


0 komentar:

 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger