Sabtu, 12 Januari 2013

Aku, Kamu dan Pohon Pinus

Hari itu saya ulang tahun. Ini pucket bunga buat saya, katanya di koridor sekolah waktu itu. Saya menatapnya sejenak, sedikit ragu saya berkata, “Buat gua?”. Dia lalu mengangguk, tersenyum simpul.
“Tapi gua nggak suka bunga. Maaf.”
Saya tahu dia kecewa, bahkan teramat sangat. Wajahnya berubah murung seketika. Lagipula saya memang tak suka bunga, bunga membuat hidung saya terasa gatal dan bersin-bersin bila mencium aromanya.
“Eh, tapi kalau lu kasih gua coklat gua mau!” Saya cepat merespon raut wajahnya, berusaha membuat keadaan senormal mungkin.
“Tapi gua nggak bawa coklat, adanya permen karet. Lu mau?” Dia tampak ragu-ragu menjawab perkataan saya.
Saya melonjak-lonjak riang di depannya, dia tertawa. “Mau-mau!” Tanpa basa-basi saya lalu merampas beberapa bungkus permen karet yang barusaja ia keluarkan dari saku celananya. Saya tertawa riang, “Hahaha, thanks ya!”
Dia juga ikut tertawa, menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu mengacak-acak rambut saya. “Padahal gua cuma kasih lu permen karet. Kayak gua ngasih lu berlian aja!”
“Hahaha, daripada lu ngasih gua bunga? Bisa berabe gua hahahaha!” Saya menepis tangannya yang masih usil mengacak-acak rambut saya.
Membuka satu bungkus permen karet. Lalu memasukkannya ke mulut saya dengan lahapnya.
***
Saya tak pernah meminta banyak hal darinya. Bahkan hanya untuk sekadar memintanya menemani saya pergi pun, tak pernah. Saya tak tega bila harus melihatnya murung seharian karena kekasihnya sibuk mengomelinya.
Pacarnya akan marah besar jika seharian dia tak memberi kabar dan ternyata pergi bersama perempuan lain sekalipun itu sahabatnya. Saya teramat tak tega.
Dulu memang dia sering mengajak saya pergi bersama, wajar saja dia sahabat baik saya. Tapi semenjak dia berkata pada saya bahwa dia sudah punya kekasih, saya selalu mengelak bila diajaknya pergi sekalipun dengan kekasihnya.
Mungkin bagi saya, dia tetaplah sahabat baik saya, pun dia sebaliknya. Tapi bagi kekasihnya? Saya tak ingin melukai perasaannya. Saya tidak ingin membuatnya berpikiran yang bukan-bukan. Saya tidak ingin dia salah paham lalu melampiaskan kekecewaannya pada sahabat saya. Itu saja.
***
Saya menghirup aroma pinus dalam-dalam. Disini udara sejuk, saya suka mengahabiskan waktu saya disini. Di jalan setapak tempat saya dan sahabat saya biasa bersepeda (tapi itu dulu). Di kanan-kiri jalan penuh rimbun pohon pinus, saya selalu terkesima. Dulu dia sering mengabadikan gambar saya di tempat ini. Sekarang? Sudahlah, toh dia sudah bersenang-senang dengan kekasihnya disana.
Lalu sore itu entah ada angin apa, tiba-tiba dia datang dengan sepeda fixinya. Dia berteriak memanggil nama saya dan tangannya melambai dari kejauhan. Saya yang sedang asyik menikmati pemandangan di tepi jalan menoleh. Melambaikan tangan.
Dia menyandarkan sepedanya di dekat sepeda saya. Lalu beranjak duduk di samping saya.
Hening.
Kami masih sibuk dengan pikiran masing-masing, sebelum akhirnya dia membuka suara dan berkata.
“Apa kabar?” Suaranya terdengar begitu ramah, saya terperangah.
“Baik, lu sendiri?”
“Baik,” Dia mengangguk.
Hening.
Entahlah, ini terlalu absurd untuk dijelaskan. Semenjak dia punya kekasih baru dan kami lama tak lagi bersua, akankah harus secanggung ini ketika hendak berbicara? Bukankah dia sahabat saya?
“Pacar lu, apa kabar?” Saya berusaha membuat senyum simpul semanis mungkin.
“Pacar gua? Maksud lu? Ratna?”
Saya mengangguk siapa lagi?
Heh,” dia tertawa kecut, “Gua udah putus sama dia.”
Saya terkaget-kaget mendengar pengakuannya. Bukankah katanya dia sangat mencintai kekasihnya?
“Iya, gua putus. Lu jangan bengong gitu dong!”
“Kenapa?”
“Karna kita udah nggak cocok.”
Saya hanya mengangguk, enggan menanggapi lebih lanjut. Itu sama sekali bukan urusan saya.
Seketika saya paham, kenapa tiba-tiba dia datang mengahmpiri saya disini. Semata-mata hanya karena dia telah bebas dari kekasihnya. Segampang itukah?
“Gua mau ngomong sama lu, sebenernya gua suka sama lu.” dia berkata dengan begitu ringannya. Saya muak, tersenyum kecut, acuh tak acuh menjawab perkataannya. “Bulshit,”
Kalau dia memang menyukai saya, kenapa dulu dia tak pernah mengatakannya ? Apa maksudnya ketika dia justru memilih  pergi dengan kekasih barunya dan tak lagi bercerita kabar pada saya, sahabat sekaligus orang yang katanya dia suka?
“Na?”
Saya menoleh,
“Maafin gua.”
“Nggak ada yang perlu dimaafin. lu nggak salah apa-apa.”
“Harusnya gua bilang sama lu dari dulu.”
Saya lagi-lagi menggeleng, “Nggak perlu.”
“Gua pacaran sama Ratna supaya gua bisa lupa sama perasaan gua sendiri. Dan sebenernya yang gua suka itu elu bukan dia, asal lu tau,”
Hening.
“Na?”
“Ya?” Saya masih menatap rerimbunan pinus di depan saya.
“Maafin gua.”
“Santai aja!” Saya menoleh, lalu menepuk-nepuk bahunya. “Lu tetap sahabat gua!”
Dia mengangguk, bola matanya meredup. “Sahabat?”
“Ya, apalagi?” Saya tersenyum.
Ketika melihat senyum sumringah di wajah saya, redup matanya mulai menyala. Dia tak lagi terlihat murung. Lalu dengan keyakinan penuh dia berkata, “Iya, lu sahabat gua!”
Dan dia lalu tertawa tanpa paksa. Saya hanya bisa tertawa kecil. Menatapnya diam-diam. Lalu kembali mengarahkan pandangan saya pada hamparan pohon pinus. Sebegini sakitnya kah perasaan?
Maaf, bukan aku tak mencintaimu. kau sahabat baikku dan bagaimana mungkin aku tak cinta? Aku sedang menunjukkan rasa cinta kepadamu dengan caraku yang berbeda. Dengan tetap menagasihimu sebagaimana biasanya. Sahabat. Itu saja cukup. Aku tak ingin lebih. Sekali lagi, kamu sahabatku, dan aku mencintaimu. :’)
PS: ini hanya fiksi sodara-sodara. Kalian pernah mengalami hal yang sama dengan cerita ini? Kalau ada, ini bisa disebut ‘based on the true story.’ wkwkwk. Read and commented? Thanks :)
7012013 22.26
 Langit Senja :)

Sumber Foto disini :)


0 komentar:

 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger