1202 2021
Pagi-pagi
sekali, ponselku berdering. Panggilan pertama yang lebih pagi dari alarmku hari
itu.
Aku mengangkat panggilannya,
begitu membaca nama kontak yang tertera.
“Halo, Assalamualaikum,”
ujarku dengan nada suara berat.
“Halooo waalaikumsalam.
Selamat ulang tahun, anak cantik,
semoga..... ” dan doa-doa lain dipanjatkan setelahnya.
Aku tersenyum, aku bahkan
lupa dan enggan mengingat hari itu selain hari imlek. Tetapi, bersemangat sekali mengaminkan doa-doanya.
“Aamiin.Terima kasih Buk,”
Panggilan itu selesai. Aku membuka notif
WhatsApp yang tidak akan terbaca kalau tidak kubuka. Beberapa pesan masuk, yang
tidak langsung kubuka satu per satu. Aku tidak ingin menspesialkan hari apa pun,
termasuk hari lahirku sendiri. Juga tidak berambisi merayakannya. Tetapi, sebelumnya, aku berterima kasih untuk teman-teman yang memberiku doa. Terima kasih banyak.
Pagi-pagi sekali, aku berkemas.
Aku berencana pergi ke suatu kota kecil di Jawa timur, kota dengan ikon bernama
SLG (Simpang Lima Gumul) hari itu, dengan naik kereta. Jadi aku ke stasiun,
menanyakan apakah tiket go show hari itu masih tersisa? Habis. Kenapa aku tidak
memesan jauh-jauh hari sebelumnya menggunakan aplikasi? Aku tidak akan bilang
kalau kebetulan sistem jaringan aplikasi di ponselku bermasalah, karena
bukankah tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini? Jadi kupikir hari itu
memang aku tidak ditakdirkan pergi ke sana naik kereta. Mungkin aku tetap di takdikan pergi ke sana, tetapi bukan naik sepeda, ya, naik sepeda motor.
Kupikir akan seru sekali kalau
hari itu aku bisa touring ke luar kota sendirian, pertama kali dalam hidupku, melakukan
sesuatu yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Maksudnya, naik sepeda motor
sendirian keluar kota. Karena biasanya aku naik kereta atau bis antar kota
kalau sedang pergi sendiri, kalau pun naik motor, biasanya dengan kawanku.
Aku tidak berencana naik motor sebelumnya, tapi dalam
perjalanan sepulang dari stasiun, ide itu tiba-tiba terlintas begitu saja
dikepalaku. Ide spontan itu bisa kubilang cukup nekat, karena jarak Malang-Kediri
yang lumayan jauh jika ditempuh menggunakan sepeda motor dan aku juga tidak
pandai membaca peta.
Sepanjang perjalanan, aku
menikmati waktuku di jalan sendirian. Melihat pemandangan serba hijau di
sepanjang jalan Batu dan Pujon. Aku berkali-kali melewati jalan itu, tapi tetap
tidak berhenti takjub dan berdecak kagum
saat melewatinya. Gunung yang terbentang dengan begitu luas dan indah,
pohon-pohon hijau yang masih asri, sungai yang deras mengalir dan menyejukkan.
Jalan Pujon yang berkelok-kelok adalah salah satu jalan yang
membuat aku trauma, kecelakaan yang terjadi tahun 2017 lalu, yang membuat aku
dan Bapak jatuh tergelincir dari sepeda, begitu membekas di kepala.
Aku melewati titik lokasi
kecelakaan dengan jantung berdebar, sebuah tikungan tajam di atas tanjakan jalan beraspal. Tidak jauh dari
sana, berdiri sebuah pukesmas tempat kami dulu di rawat. Bersyukur karena masih
banyak orang-orang baik hari itu yang menolong kami.
Aku masih ingat kata-kata Bapak
hari itu, “Padahal di jalan tadi sepi, tapi waktu kita jatuh, orang-orang tiba-tiba
berdatangan, bantuin kita sampai bisa ditangani di sini (baca: pukesmas). Itu
bukan kebetulan, bisa jadi itu karena doa orang yang pernah kita tolong, Allah
tolong kita juga dari perantara orang lain di saat kita membutuhkan
pertolonganNya. Jangan pernah bosan berbuat baik, karena akhirnya kebaikan itu akan kembali ke kita.”
Aku tidak berhenti mengucap
syukur selama aku berkendara. Betapa baiknya Tuhan memberi aku kesempatan untuk
menghirup udara sampai usiaku yang
sekarang. Betapa baiknya Ia, sebab diberiNya aku kesempatan menjelajah setitik
dari bumi ciptaanNya yang begitu luas. Hari itu, di hari lahirku, aku tidak
ingin meminta apa pun. Aku cuma ingin bilang terima kasih. “Ya Allah, terima
kasih banyak.”
Aku
tidak menghubungi siapa pun hari itu, kalau aku mau touring ke Kediri.
Satu-satunya yang kuberi kabar adalah seorang sahabatku yang tinggal di sana,
Mega. Ia awalnya mengira aku tak jadi datang karena kehabisan tiket kereta. Ia
tidak tahu kalau saat aku menghubunginya, aku sudah tiba di Pare. Sebuah kota
kecil yang masih satu kabupaten dengan Kediri.
“Meggg, tiket keretanya habis.
Tapi.. aku tetap jadi berangkat ke sana. Naik motor. Ini udah sampai Pare. Hahaha.”
“Hah? Sumpah? Ya Allah nekat
banget temen guaaaa.”
“Kalau nggak nekat kan namanya
bukan temanmu,”
Tentu saja dia kaget. Sebagai
saksi hidup yang paham benar aku hobi kesasar, mana dia mengira aku akan
benar-benar pergi ke sana naik motor? Dan sendirian? Hahaha.
Butuh kurang lebih 4 jam sampai
aku tiba dan bertemu dengan Mega. Tentu itu sudah termasuk waktu berhenti
istirahat di jalan, dan nyasar sana-sani. Tetapi tidak berkurang rasa senang,
tetap kunikmati. Karena selama perjalanan itu, aku bertemu dengan orang-orang
baru, berinteraksi dengan warga lokal, mereka semua baik sekali dan
menyenangkan.
Kota Kediri yang tidak terlalu
bising, rumah Mega yang terletak di pedesaan yang masih asri,keluarganya yang
sangat hangat menyambut kedatanganku (walapaun Ibu Mega sempat terheran-heran, tidak menyangka kalau aku
betulan datang ke rumahnya hari itu), pemandangan di halaman rumahnya yang kusukai,
yang saat aku di sana, bisa kulihat pemandangan sawah terbentang luas. Udara
yang masih sejuk, jauh dari hiruk pikuk kota.
Hari itu rasanya sudah cukup. Aku
tidak meminta apa-apa, tidak ingin mengharapkan apa pun dari orang lain, bahkan
untuk sepotong kata selamat. Aku bersyukur, untuk seluruh perjalanan yang
kulalui, untuk teman-teman baik disekelilingku, untuk orang-orang yang
kusayangi, untuk orang-orang yang menyayangiku, untuk begitu banyak kesempatan, untuk
banyak hal yang bisa kujadikan pelajaran.
“Ya Allah, terima kasih banyak. Aku mencintaiMu.”
PS: Thank you, Mbak-mbak fotografer! Haha.
Malang, 16 februari 2021
18.59
0 komentar:
Posting Komentar