Lalu
tiba-tiba, dari arah dapur sesosok perempuan menghampiriku. Senyumnya
mengembang.
“Den,”
sapanya.
Aku
tersenyum, mengangguk. Memberinya isyarat agar ikut duduk.
Maka
seperti biasanya, mengalirlah percakapan diantara kami. Dia dengan kisah
nostalgia masa mudanya, dan aku lebih banyak diam mendengarkan. Kudengarkan kisah masa lalunya tentang
romansa masa muda.
“Dulu
Den, saya kalau kemana-mana sama pacar saya cuma naik sepeda. Itu pun kami
jarang sekali berpergian berdua. Jarang bertemu dan komunikasi mboten segampang sakniki.”
Aku nyengir, mengangguk
kecil. Membiarkannya melanjutkan ceritanya.
“Ah!
Dulu semuanya masih terlalu berpedoman sama norma. Anak gadis mboten elok kalau pergi-pergi berdua
apalagi sama yang bukan makhromnya. Orangtua jaman dulu terlalu ketat mengatur
anak-anaknya soal itu, Den. Kalau mau serius ya langsung nikah. Mboten enten istilah main-main atau
pacaran kayak sekarang.”
Sebenarnya
moodku hari itu sedang tidak kondusif membicarakan apa pun, termasuk soal ini. Bicara soal komitmen bagiku adalah sesuatu yang
absurd. Terlalu riskan untuk kutelaah, berat sekali untuk kumengerti.
Tapi
aku tidak punya pilihan lain selain terus mendengarkan, demi kode etik. Seru
sebenarnya melihat bola matanya yang berbinar tiap kali cerita itu mengalir
dari bibirnya yang mulai renta. Sampai akhirnya aku menyadari satu hal.
Benar.
Tidak biasanya dia bercerita dan mengajakku bicara tentang perasaan. Baru kali
ini, dan aku mulai menyadari apa itu artinya. Mungkin, dia ingin menasehatiku
lewat cara yang lain. Aku tahu bagaimana mengertinya perempuan itu tentang
keras kepalanya aku selama ini. Aku juga tahu perempuan itu sebenarnya mengerti
bagaimana bekunya hatiku lebih dari siapa pun.
“Den,”
Dia
kembali menyapaku setelah sebelumnya aku hanya bungkam.
“Kula pesen kalih njenengan, pisan niki mawon
kulo ngendika. Kalau besok njenengan
suka sama laki-laki, pilih satu mawon
yang terbaik. Cukup kalih setunggal tiyang mawon. Ampun
ganti-ganti, nggih Den.”
Aku
diam, mencerna kalimatnya dalam-dalam.
“Nggih Mbah, “ kataku mengangguk.
Meyakinkan dengan menatapnya sungguh-sungguh.
***
Percakapan
itu berlangsung beberapa hari sebelum aku meninggalkan rumah. Sebelum akhirnya
malam itu aku meminta diri untuk pergi. Malam saat beliau sembunyi dibelakang rumah karena tidak tega kupamiti. Aku tidak tahu kenapa langkahku terasa
berat malam itu. Separuh hatiku bahagia karena mimpiku menjadi anak rantau akhirnya
terealisasi juga, tapi berat membayangkan bagaimana hidupku nanti di kota orang
tanpa Mbah Sar.
Demi
Tuhan, sepanjang hidupku aku tidak akan pernah lupa. Bagaimana pengabdiannya
selama ini untuk keluarga kami-untuk diriku sendiri terutama. Mbah Sar yang setiap
hari setia bangun pagi, memasak, mencuci, menyiapkan segala keperluan,
perlengkapan dan makan untukku selama di rumah.
Mbah
Sar yang mengerti benar bagaimana kondisiku lebih dari siapa pun orang di rumah
itu. Aku berhutang budi banyak hal kepadanya. Bahkan jika harus kubayar dengan
sisa umurku untuk membuatnya bahagia, kurasa itu tidak akan pernah cukup.
Sudah
enam bulan lebih, aku tidak bertemu dengan sosoknya lagi. Aku ingin menangis, memutar balik waktu. Tapi
tidak bisa, aku tidak punya kendali soal itu.
Aku
ingin bertemu dengannya dalam keadaan sukses. Sehingga mimpiku untuk
memberangkatkannya naik haji bisa terealisasi. Sehingga pencapain-pencapaianku
bisa mengukir senyumnya, jawaban dari doa-doanya yang selama ini beliau
panjatkan untukku.
“Den, kula mboten mandek doake njenengan.
Mugi-mugi sesuk jenengan dadi tiyang sukses, bahagia uripe, lan mugi ampun lali
kalih kula.”
Aaamiin.
Aamiin.
Aamiin Ya Allah
Bahagia
selalu di sana mbah.
Menualah
dengan penuh suka cita di sisi keluargamu.
Tunggu
anak asuhmu yang bandel dan suka bikin onar ini jadi orang sukses.
Insya
Allah, lima tahun lagi. Mbah Sar naik haji.
pict from here
1 komentar:
Rindu mbah sar :")
Posting Komentar