Minggu, 03 April 2016

Sepucuk Doa Mbah Sar

 Sore itu, aku sedang duduk di meja makan. Hal sepele yang biasanya kulakukan seorang diri di rumah jika tidak ada kerjaan. Aku hanya duduk, mengawang memikirkan apa saja yang terlintas di kepala. Tanpa berbuat apa-apa.
                Lalu tiba-tiba, dari arah dapur sesosok perempuan menghampiriku. Senyumnya mengembang.
                “Den,” sapanya.
                Aku tersenyum, mengangguk. Memberinya isyarat agar ikut duduk.
                Maka seperti biasanya, mengalirlah percakapan diantara kami. Dia dengan kisah nostalgia masa mudanya, dan aku lebih banyak diam mendengarkan.  Kudengarkan kisah masa lalunya tentang romansa masa muda.
                “Dulu Den, saya kalau kemana-mana sama pacar saya cuma naik sepeda. Itu pun kami jarang sekali berpergian berdua. Jarang bertemu dan komunikasi mboten segampang sakniki.”
                Aku nyengir, mengangguk kecil. Membiarkannya melanjutkan ceritanya.
                “Ah! Dulu semuanya masih terlalu berpedoman sama norma. Anak gadis mboten elok kalau pergi-pergi berdua apalagi sama yang bukan makhromnya. Orangtua jaman dulu terlalu ketat mengatur anak-anaknya soal itu, Den. Kalau mau serius ya langsung nikah. Mboten enten istilah main-main atau pacaran kayak sekarang.”
                Sebenarnya moodku hari itu sedang tidak kondusif membicarakan apa pun, termasuk soal ini.  Bicara soal komitmen bagiku adalah sesuatu yang absurd. Terlalu riskan untuk kutelaah, berat sekali untuk kumengerti.
                Tapi aku tidak punya pilihan lain selain terus mendengarkan, demi kode etik. Seru sebenarnya melihat bola matanya yang berbinar tiap kali cerita itu mengalir dari bibirnya yang mulai renta. Sampai akhirnya aku menyadari satu hal.
                Benar. Tidak biasanya dia bercerita dan mengajakku bicara tentang perasaan. Baru kali ini, dan aku mulai menyadari apa itu artinya. Mungkin, dia ingin menasehatiku lewat cara yang lain. Aku tahu bagaimana mengertinya perempuan itu tentang keras kepalanya aku selama ini. Aku juga tahu perempuan itu sebenarnya mengerti bagaimana bekunya hatiku lebih dari siapa pun.
                “Den,”
                Dia kembali menyapaku setelah sebelumnya aku hanya bungkam.
                Kula pesen kalih njenengan, pisan niki mawon kulo ngendika. Kalau besok njenengan suka sama laki-laki, pilih satu mawon yang terbaik. Cukup kalih setunggal tiyang mawon. Ampun ganti-ganti, nggih Den.”
                Aku diam, mencerna kalimatnya dalam-dalam.
                Nggih Mbah, “ kataku mengangguk. Meyakinkan dengan menatapnya sungguh-sungguh.
***
                Percakapan itu berlangsung beberapa hari sebelum aku meninggalkan rumah. Sebelum akhirnya malam itu aku meminta diri untuk pergi. Malam saat beliau sembunyi dibelakang rumah karena tidak tega kupamiti. Aku tidak tahu kenapa langkahku terasa berat malam itu. Separuh hatiku bahagia karena mimpiku menjadi anak rantau akhirnya terealisasi juga, tapi berat membayangkan bagaimana hidupku nanti di kota orang tanpa Mbah Sar.
                Demi Tuhan, sepanjang hidupku aku tidak akan pernah lupa. Bagaimana pengabdiannya selama ini untuk keluarga kami-untuk diriku sendiri terutama. Mbah Sar yang setiap hari setia bangun pagi, memasak, mencuci, menyiapkan segala keperluan, perlengkapan dan makan untukku selama di rumah.
                Mbah Sar yang mengerti benar bagaimana kondisiku lebih dari siapa pun orang di rumah itu. Aku berhutang budi banyak hal kepadanya. Bahkan jika harus kubayar dengan sisa umurku untuk membuatnya bahagia, kurasa itu tidak akan pernah cukup.
                Sudah enam bulan lebih, aku tidak bertemu dengan sosoknya lagi.  Aku ingin menangis, memutar balik waktu. Tapi tidak bisa, aku tidak punya kendali soal itu.
                Aku ingin bertemu dengannya dalam keadaan sukses. Sehingga mimpiku untuk memberangkatkannya naik haji bisa terealisasi. Sehingga pencapain-pencapaianku bisa mengukir senyumnya, jawaban dari doa-doanya yang selama ini beliau panjatkan untukku.
                Den, kula mboten mandek doake njenengan. Mugi-mugi sesuk jenengan dadi tiyang sukses, bahagia uripe, lan mugi ampun lali kalih kula.”
                 Aaamiin.
                 Aamiin.
                Aamiin Ya Allah
                Bahagia selalu di sana mbah.
                Menualah dengan penuh suka cita di sisi keluargamu.
                Tunggu anak asuhmu yang bandel dan suka bikin onar ini jadi orang sukses.

                Insya Allah, lima tahun lagi. Mbah Sar naik haji.



 pict from here

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Rindu mbah sar :")

 

SKETSA TANPA RUPA Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger