Sudah tidak terhitung lagi, ini kali ke berapa
aku melakukan ritual yang sama. Sudah berminggu-minggu, sejak kedatanganmu ke
kota ini. Selepas gerejaku sore tadi, aku terburu-buru hendak menemuimu. Di
sebuah desa kecil tempat kau mengajari anak-anak banyak hal. Membaca dan
menulis, mendongeng dan bercerita. Apa saja.
Seperti biasa, aku menunggumu di depan pintu
pagar bangunan itu. Bangunan yang tidak terlalu besar tapi banyak menyimpan
nilai-nilai kesederhanaan. Disanalah sebagian besar waktumu kauhabiskan, yang
ajaibnya meski tugas kuliahmu padat seharian tapi demi anak-anak itu, kamu rela
meluangkan waktu.
Barulah saat anak-anak itu berhamburan keluar dan
tugasmu sudah usai, kamu akan berjalan anggun menghampiriku. Kerudung biru laut
yang menempel di kepalamu terlihat begitu teduh dan menenangkan,
digerak-gerakkan angin. Membuat wajah teduhmu semakin terlihat cantik.
Menatapmu dari jarak beberapa meter dari tempatku berdiri, aku cuma bisa
tersenyum.
"Udah lama nunggunya ya?" Kamu
bertanya. Dengan senyum sumringah dan wajah teduh sempurna. Ya Tuhan, bahkan
memandangimu sekilas saja mulutku sudah terbata-bata.
"L-umayan." aku semakin salah tingkah.
Kamu melirik jam tangan di tangan kananmu,
sekilas. "Pulang sekarang?"
Aku mengangguk. Lalu tanpa diberi perintah kita
sudah sama-sama melangkah. Begitulah, selama perjalanan pulang yang sering
terjadi hanyalah lengang. Aku sedikit tanya basa-basi, kamu menjawab normal
sewajarnya, begitu sebaliknya.
Dan langkah kita akan sama-sama terhenti persis
di ujung jalan.Seperti biasa, menunggu bus kota. Sekali dua kali kamu menghela
napas pendek, tidak juga datang.
"Bis nya lama ya?" kamu nyengir
menatapku. Memperlihatkan gigi kelincimu yang putih dan berjejer rapi.
Aku tertawa pendek, memasang muka "sabar
saja!" dan kamu bukannya mengangguk justru menggeleng pelan.
"Sebentar lagi maghrib," sambil
tersenyum.
Aku ber'oh' pelan sambil menyeka dahiku yang
sedikit berkeringat.
Sudah lima belas menit lalu bus kota tak kunjung
tiba. Membuatmu resah dan berkali-kali melirik arloji. Kapan bus nya datang?
"Kalau maghrib masih lama, aku pasti nggak
akan secemas ini."sekali lagi kamu tersenyum, meski aku tahu kamu sudah
hampir putus asa menunggu.
Aku paham maksudmu, jelas saja. Kalau sampai
lepas maghrib nantii kamu belum sampai rumah, bagaimana mungkin kamu
meninggalkan sembahyang rutinmu itu?
"Mau aku antar, sekarang?" ragu-ragu
aku bertanya. Alis hitam tebalmu terangkat. Seolah bertanya, "kemana?"
"Di dekat sini ada masjid." aku
menunjuk salah satu gang dimana masjid itu didirikan. Kamu beberapa detik
lamanya diam, menimbang-nimbang.
"Oke, aku sholat disana. Biar aku pergi
kesana sendiri, ya!" kamu menatapku, tersenyum lagi.
Aku dengan cepat menggeleng. "Aku akan
mengantarkanmu kesana!"
Setelahnya aku bisa mendengar intonasi suaramu
meninggi. "Kamu tetap disini. Nggak masalah aku menunggu lama, rumahku
nggak terlalu jauh dari sini. Tapi kamu? Rumahmu jauh. Kamu akan pulang larut
kalau sampai kamu ketinggalan bis."
Kamu lupa kalau aku keras kepala. Aku dengan
cepat menggeleng tegas bahkan sebelum kalimatmu barusan usai. Bagaimana mungkin
aku akan membirkanmu sendirian menunggu bus malam-malam begini seorang diri?
Kamu perempuan, dan aku-laki-laki-yang saat ini sedang bersamamu, bertanggung
jawab menjagamu, atas hal apa pun itu.
"Nggak masalah. Bahkan aku akan menunggu bis
itu datang sampai besok kalau perlu. Asal aku bisa pulang bersamamu."
mataku menatapmu tajam. Samar-samar, aku lihat pipimu berubah warna. Bersemu
merah. Aku terkekeh sendirian melihatmu salah tingkah.
Kemudian begitulah, sampai akhirnya aku untuk
yang kedua kalinya-hari ini-menunggumu di depan sebuah bangunan. Bukan bangunan
sederhana seperti tempatmu mengajari anak-anak, tapi bangunan berkubah tempatmu
mengeja nama Tuhan.
"Makasih ya, udah nungguin." kamu
tersenyum tulus, bibirmu melengkung senyum lagi.
Aku mengangguk, sama-sama.
"Ar?" kamu menyebut namaku, aku
menoleh.
"Maafkan aku untuk hal-hal yang nggak bisa
kulakukan kepadamu, sama seperti kamu melakukannya untukku." suaramu
serak, menggigit bibir. Getir. Aku jelas mengerti kemana arah pembicaraanmu.
Akhirnya aku cuma bisa tersenyum, tidak apa-apa.Dan kamu, demi melihat senyum itu, berhenti menggigit bibir. Senyummu kembali hadir.
"Al," mungkin suaraku terdengar lebih
kecil dari desau angin, kamu tidak mendengar.
"Al, Aliyah?" kuulangi sekali lagi, dan
tanpa menunggu enterupsi selanjutnya kamu sudah menoleh. Mimik mukamu seolah
bertanya, "ada apa?"
"Gimana kalau kita lari? Lomba ya?"
wajahku sumringah, kamu antusias.
Dan selanjutnya yang terjadi kita sudah berlari,
secepat mungkin. Menuju tempat kita tadi menunggu bus. Kamu kelelahan,
berkali-kali ngos-ngosan. Tapi beberapa detik berikutnya wajahmu kembali
sumringah. Berjingkrak-jingkrak pelan. "Horee! aku yang menang. Kamu
kalah!" seperti anak kecil, intonasimu saat menyebut kalimat itu terdengar
menyenangkan.
Dan aku cuma bisa ketawa. Berikutnya disusul tawa
milikmu. Tentu saja, aku cuma mengalah. Aku membiarkanmu menang, dan aku bisa melihatmu bertingkah seriang itu.
Dua menit setelah percakapan seru tentang lomba
lari itu selesai, persis saat kamu mulai lelah untuk ketawa lagi, apa yang
sejak tadi kita tunggu berjalan mendekat. Masih beberapa meter lagi. Itu bus
yang kita tunggu-tunggu.
Matamu membulat senang, menunjuk bus itu.
"Bisnya datang!" lalu nyengir lebar. Aku demi melihat wajah riangmu
balas tersenyum.
"Nggak terlalu lama akhirnya datang
juga." kamu berujar senang, "Alhamdulillah."
"Puji Tuhan, lomba lari tadi ternyata ada untungnya
juga!" aku bergurau, dan mendadak tawamu yang mulai reda kembali
berguncang lagi.
****
Rabu, 30 Oktober 2013
22.15 WIB
Langit Senja.
Yogyakarta.