Sebuah naskah, untuk siapa pun pahlawanku.
Meskipun kita belum bisa menyamai jasa para pahlawan
Setidaknya kita masih bisa menginspirasi dan mencerahkan
-Chintaro-
Seperti biasa, siang ini aku kembali harus sibuk
dengan debu, polusi, terik matahari juga kemacetan jalanan kota. Berjalan dari
kendaraan satu ke kendaraan lain, bermodalkan gitar tua dan satu kantong
plastik bekas, aku siap menjual suara. Harus kuakui memang, suaraku jauh dari
kata merdu. Fals disana-sini, tapi toh aku sedang tidak mengikuti ajang kontes
menyanyi, aku hanya sedang bekerja, biar dapur kami tetap mengepul dan hari ini
aku dan keluargaku bisa nyaman tidur.
Lihatlah, ketika anak-anak
sebaya kami tengah sibuk bermain dan tertawa sepanjang hari, belajar di
sekolah, menggunakan seragam lengkap, bersepatu, menenteng tas dipundak. Aku
sungguh sangat ingin seperti mereka, nasib anak-anak yang beruntung. Sayangnya,
aku tidak seberuntung itu, yang aku tahu hanya sibuk bekerja membantu
perekonomian keluarga. Pendapatan bapak yang hanya menjadi pemulung tidaklah
banyak, terlebih lagi ibuku yang hanya menjadi buruh cuci. Masih ditambah lagi
dengan biaya kebutuhan adikku yang tahun ini memasuki tahun pertamanya di taman
kanak-kanak.
Maka demi adikku, aku rela
putus sekolah. Hanya tamat kelas satu sekolah menengah pertama. Tidak apa-apa,
aku masih bisa belajar meski tanpa duduk di bangku sekolah formal. Aku masih
bisa membaca dari buku-buku bekas yang kubeli dari tukang rongsok di tengkulak
bapak. Terlebih, aku masih bisa belajar banyak hal bersama teman-temanku yang
lain-yang nasibnya juga sama tidak beruntungnya dengan aku-hal yang sepatutnya
harus kusyukuri karena setidaknya kami masih memiliki seseorang yang peduli,
seseorang yang bagiku sudah seperti malaikat kami.
Namanya Galih. Entah kami
harus menyebutnya dengan nama apa, relawan? guru? Atau malaikatkah? Yang jelas,
jika ada istilah manusia berhati malaikat dalam kamus besar bahasa Indonesia,
aku sudah pasti akan menggunakan kata itu untuk merujuk sosoknya.
Dia pemuda berusia sekitar
dua puluh satu, prediksiku. Seorang mahasiswa salah satu universitas negeri di
kotaku, kota metropolitan. Jakarta. Kota dimana banyak senyum-senyum mengembang
juga tangis-tangis yang meradang. Sangat kontras jika melihat gedung-gedung
pencakar langit di kota ini disandingkan dengan rumah tinggal kami; kolong
jembatan dipinggir kali. Miris.
Kami semua memanggilnya
Kak Galih. Biasanya dan seperti itulah rutinitasnya, dia akan datang ke ‘rumah’
kami setiap hari Jumat dan Minggu sore. Sesekali dia datang bersama
teman-temannya yang lain. Membawa banyak buku-buku bacaan, papan tulis mini,
juga tak jarang sembako untuk keluarga kami dan makanan ringan. Mengajari kami
banyak hal. Dan ajaibnya tidak peduli meski tugas kuliahnya menumpuk, demi
memberikan kami ilmu, dia masih meluangkan waktu.
Dan lagi, setiap minggu dia tak pernah alpa membawa
gitar. Mengajari kami cara bermusik yang baik, sekaligus sebagai hiburan bagi
kami setelah seminggu melepas peluh.
Kami memulai “kelas
jelajah dunia”-nama yang dia gunakan untuk kelas itu- tepat pukul empat sore.
Selepas kami pulang dari mengadu nasib di jalanan.
Berhubung sekarang hari
Jumat dan sebentar lagi pukul empat, maka aku memutuskan pulang. Jadwal yang
sengaja aku ubah lebih awal dari biasanya.
Disana, mereka sudah duduk
takzim diatas tikar. Menyimak penuh antusias ke arah Kak Galih yang berdiri di
depan. Mereka sebagian besar anak-anak sebayaku, sebagian lagi sepadan dengan
adik kelasku dan ada beberapa yang setingkat dengan kakak kelasku. Semua
belajar menjadi satu. Kami belajar bersama, tidak memedulikan usia.
Begitu aku tahu kelas
sudah dimulai, maka aku segera menghambur, mengambil tempat diantara mereka.
“Baru pulang Rud?” Kak
Galih bertanya, aku mengangguk. Mengiyakan.
“Kesini!” wajahnya yang
selalu tulus itu tersenyum, tangannya melambai ke arahku.
Aku menurut, beranjak ke
arahnya.
“Ini ada kertas, kamu isi
ya. Tulis apa cita-cita kamu disana, apa pun yang ingin kamu tulis, tulis!
Mengerti?’
Aku mengangguk, meski
separuh otakku bersikeras menyatakan protes tidak terima. Cita-cita? Aku bahkan
asing mendengar kata itu. Bagiamana pula mau menuliskannya?
Aku menyikut Reno, salah
satu temanku yang tengah asyik menuliskan sederetan cita-citanya di atas
kertas. Sekilas melirik selembar kertas ditanganku, masih kosong. Aku menghela
napas. Reno menoleh.
“Kenapa Rud?” tangannya masih asyik menulis.
“Gua bingung No mau nulis apa. Gua nggak ngerti sama cita-cita gua,
boro-boro No gua ngerti, denger namanya aja gua asing.” Aku berkata lesu.
Reno menghentikan gerakan tangannya, menatapku ganjil. Lalu tertawa,
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ckck, Rudi, Rudi! Lu kan bisa nulis apa pun semau lu. Lu pengen punya
rumah mewah, sedan gede, pesawat, helikopter, kapal pesiar atau apa pun! Gitu
aja masak lu nggak ngerti?” kali ini dia nyengir, mengacak-acak rambutnya yang
semakin terlihat gimbal, jarang keramas.
“Itu termasuk cita-cita ya No?” aku bertanya ragu, Reno dengan cepat
mengangguk sebelum bergelut dengan kertas ditangannya lagi.
Aku butuh waktu lima belas
menit untuk berpikir, sampai akhirnya dikepalaku terlintas kata yang menurutku
spektakuler. Karena setidaknya, dulu ketika aku masih sekolah, aku sering
mendengar kata itu. Paling sering di mata pelajaran kewarganegaaran tak jarang
juga di mata pelajaran sejarah.
Ragu-ragu aku
menuliskannya, karena sejujurnya aku masih belum yakin apakah kata ini bisa
disebut sebagai cita-cita atau tidak.
Aku ingin jadi pahlawan. Yang membela tanah airku dari penjajah. Dan
berperang gagah di medan perang.
Aku tersenyum membaca
tulisanku sendiri. Pertama karena setidaknya kertasku tidak lagi kosong. Kedua
karena aku sadar benar, kalimatku barusan terdengar konyol.
Kak Galih menyuruh kami
segera mengumpulkan kertas itu. Kami menurut, ditangannya sudah ada
berlembar-lembar kertas berisi cita-cita kami.
“Kalian tahu cita-cita apa yang paling mulia?” matanya tajam menatap kami
satu persatu..
“Semua cita-cita itu mulia, adik-adik. Kalian tahu kenapa?” Dia memberi
jeda pada kalimatnya. Semua serius mendengarkan, tidak sabar menunggu jawaban
“Karena cita-cita itu sendiri adalah harapan indah yang selalu ingin
diwujudkan. Sesulit apa pun cita-cita kalian, kalau kalian mau berusaha keras
untuk menjadikannya kenyataan, maka tidak ada yang mustahil. Jarak antara mimpi
dan cita-cita kalian, hanya seperjuta mili saja.”
Kami semua fokus mendengar kalimatnya. “Dan lagi, apa
pun pekerjaan kalian kelak, apa jabatan kalian besok itu bukan yang terpenting.
Yang terpenting adalah apa yang kalian kerjakan bisa bermanfaat untuk orang
lain, orang-orang di sekitar kalian. Membantu banyak orang, berbagi
kebahagiaan. Itu sudah lebih dari cukup.” Lantas Kak Galih tersenyum. Wajahnya
yang selalu tulus kepada kami terlihat berseri-seri.
Selembar kertas terjatuh dari tangannya, Kak Galih
mengambil kertas itu kemudian mengamatinya beberapa detik. Setelahnya aku bisa
melihat ekpresinya berubah, sulit ditebak.
“Ah ya! Dan kamu Rudi!” Kak Galih menatapku. Membaca isi kertas itu
keras-keras.
“Cita-citamu ingin jadi pahlawan?”
Sontak semua temanku
tertawa, aku nyengir menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Kak Galih menatapku
dengan senyum jumawa.
“Rudi, seorang pahlawan
itu nggak harus selalu ikut perang di medan perang, nggak harus selalu mengusir
penjajah, Dik. Nggak harus bawa senjata, pakai baju tentara. Banyak
pahlawan-pahlawan di sekitar kita yang tanpa kita sadari, perannya sangat luar
biasa. Kalian lihat ibu kalian, ayah kalian. Mereka setiap hari bekerja keras,
banting tulang. Tanpa peduli meski hujan deras, meski mereka sedang sakit.
Semua itu demi kalian.”
Aku mencerna kalimat itu dalam-dalam. Kemudian refleks
kuedarkan pandanganku ke penjuru kolong yang merangkap rumah bagi beberapa
kepala keluarga. Ibu dan Bapak ada diantaranya. Pertama, mataku terfokus pada
Ibu yang sedang menggendong Tina-adikku satu-satunya. Tangannya yang lain
membantu Bapak memilah-milah sampah hasil keringatnya hari ini. Ada getir yang
diam-diam menyelinap di dadaku. Kak Galih benar. Mereka berdua adalah pahlawan.
Setidaknya untuk diriku sendiri dan adikku.
Kak Galih mengehentikan kalimatnya sejenak.
Memperbaiki letak kacamatanya. Matanya menyusuri setiap fokus pandangan mata
kami.
“Nah dengar, jadilah anak-anak yang baik. Jadilah
pahlawan untuk orang-orang di sekitar kalian. Kalian harus punya mimpi, punya
cita-cita. Tidak ada yang mustahil selama bumi ini masih berputar. Kalian yang
akan mengubah nasib kalian sendiri. Kalian sendiri yang akan menentukan masa
depan kalian.” Kak Galih berhenti sejenak, melirik arloji di tangannya.
“Kalian paham adik-adik?” senyumnya kembali hadir.
Kami semua seperti terhipnotis mendengar seluruh kalimat-kalimatnya.
Bengong, terpaku, berapi-api, jadi satu.
Begitulah, sore ini kami menghabiskan waktu dengan
bercerita tentang masa depan, semangatku dan teman-teman seketika
berkobar-kobar mendengar seluruh kalimat dan nasehat yang dia berikan.
Sungguh, jika Kak Galih tadi bilang bahwa pahlawan itu
berarti melakukan hal yang bisa bermanfaat untuk orang lain. Maka bagiku, dia
juga adalah pahlawan. Dia tulus meluangkan waktunya demi kami. Membagi ilmu,
mengajari kami banyak hal, memotivasi kami tanpa pamrih. Bagiku dan
teman-teman, kehadirannya dua kali seminggu di ‘rumah’ kami sudah lebih dari
cukup.
Kehadirannya membuat kami sedikit berkompromi dengan
masa depan, meskipun dalam keterbatasan. Dia merengkuh aku, teman-temanku juga
orang-orang yang tinggal di kolong jembatan ini tanpa pamrih. Membebaskan kami
dari jeratan kebodohan, dengan apa-apa yang ia ajarkan.
Sungguh dia orang yang baik. Manusia berhati malaikat,
orang yang masih mau peduli dengan nasib orang-orang seperti kami. Karena
sejujurnya, rasa kepeduliaan mengalahkan apa yang tidak bisa kami miliki. Dan
kepeduliannya melengkapi apa yang selama ini sudah kami punya.
“Nah kita ketemu lagi hari Minggu ya! Sekarang kakak
mau pulang dulu. Sebentar lagi hujan.”
Kak Galih tersenyum sekali lagi pada kami. Lalu
kakinya melangkah, menyusuri setiap tempat di lorong ‘rumah’. Meminta izin
pulang pada penghuni lainnya, termasuk orang tua kami. Mereka menyambut izinnya
dengan ramah, seperti biasa berkali-kali bilang terimakasih. Atas sembako yang
dia bawa dan ilmu yang dia ajarkan untuk anak-anak mereka.
Lihatlah, dia berjalan di jalan tanjakan menuju jalan
raya. Berlari-lari kecil, sambil tangannya melambai pada kami. Tidak peduli
karena ternyata hujan lebih dulu turun dari prediksinya saat ia menengok
arloji. Hujan membungkus tubuhnya yang jangkung itu dengan titik air, jaket
jeansnya basah.
Tapi sekali lagi, dia manusia berhati malaikat. Dan
seorang malaikat tidak pernah takut dengan air hujan.
Jumat, 8 November 2013
20:32 WIB
Yogyakarta
Langit Senja.