Sekarang pukul delapan lebih tiga puluh, lewat satu jam
lalu sejak ia memutuskan untuk duduk di salah satu bangku kafe yang selalu
didatanginya seorang diri itu setiap malam minggu. Semua orang-termasuk pelayan
kafe itu-seringkali bertanya-tanya, kenapa ia suka sekali datang sendirian
sementara rata-rata pengunjung kafe itu datang kesana untuk mencari
keramaian?
“Apakah
kamu menyukainya?” Kutanya
Gadis
itu tersenyum kecut, mengangguk pelan tanpa kata-kata.
“Sejak
kapan?”
“Delapan
tahun lalu,”
“Kau
gila?” Aku refleks memekik, membuat beberapa pengunjung kafe menoleh ke arah
meja kami.
“Kenapa?”
“Itu
berarti sejak kamu masih duduk di bangku kelas enam sekolah dasar?”
“Mungkin
saja lebih, seandainya takdir membuat kami bertemu sebelum itu.”
“Kenapa
kamu tidak pernah bilang?”
“Percuma,
dia tidak akan percaya.”
“Itu
karena kamu bersikap seolah tidak peduli, terlalu pandai membohongi diri
sendiri.”
“Aku
tidak bermaksud begitu,”
“Lalu,
apa?”
Mata
gadis itu berkaca-kaca, mengalihkan perhatiannya pada satu titik sebelum
akhirnya dia membuka suara.
“Aku
hanya-kau tahu? Aku ini absurd. Tidak semua orang bisa mengerti jalan
pikiranku, tidak semua orang akan paham dengan apa yang aku katakan, sekalipun
sudah kujelaskan panjang lebar. Jadi jika selama ini kamu lebih sering
melihatku menulis daripada mendengarku berbicara, inilah salah satu alasannya.
Aku ingin bilang padamu, tanpa bermaksud untuk membuatmu peduli. Menjadi aku
itu tidak mudah. Terus terang saja.”
“Apa
dia pernah menyatakan perasaannya kepadamu?”
Gadis
itu mengangguk.
“Lalu,
apa dia bilang?”
“Bahwa
dia menyukaiku, dan lalu bertanya apa aku mau jadi kekasihnya.”
“Apa
katamu?”
“Aku
bilang tidak.”
“Kau
gila!”
“Kamu
hanya tidak tahu rasanya berada di posisiku saat itu.”
“Memangnya,
bagaimana?
“Kamu
tahu rasanya jatuh cinta dengan seseorang begitu lama? Tapi tidak banyak yang
bisa kaulakukan selain hanya menunggu dan terus menunggu? Membiarkannya datang
dan pergi kapan pun sesukanya. Saat dia bisa dengan leluasa berlabuh pada banyak
hati di luar sana, kamu tidak punya pilihan lain selain bertahan di tempatmu. Memilih
untuk tetap menunggunya datang menghampiri, meski itu artinya kamu harus merelakan
hatimu patah berkali-kali.“
“Dan
lalu, saat tiba pada momen di mana kamu mulai melupakannya, dia muncul lagi dalam
hidupmu dengan tiba-tiba. Kamu hampir melupa segala hal tentang dia, mulai
menggantinya dengan seseorang yang berbeda.
Hanya saja, saat seseorang itu ternyata adalah orang yang mahir mematahkan, dia datang
berperan bagai pahlawan kesiangan. Sehingga akhirnya kamu harus jatuh cinta
lagi, pada orang yang sama, untuk kesekian kalinya.”
“Kamu kira itu tidak membutuhkan banyak
energi? Aku hanya konsisten dengan satu orang soal urusan perasaan. Tapi
nyatanya, konsekuensinya tidak pernah sesederhana itu. Saat dia bilang dia
menyukaiku, sungguh ada pertanyaan besar di kepalaku yang tidak kuasa
kulontarkan dan hanya bisa kusimpan erat-erat sendirian. Aku ingin protes di
depannya dan bertanya, kenapa baru sekarang? Kenapa baru bilang saat aku sudah
mulai menimbun harapanku padamu dan tidak lagi mengharapkanmu sebanyak dulu? Kenapa
baru bilang disaat aku mulai melupakanmu dan membuka hatiku untuk orang
lain? Kenapa baru bilang setelah kamu menjelajahi banyak hati, sementara aku
harus menunggumu selama itu dengan bertahan seorang diri?”
“Aku
hanya, entahlah harus bagaimana aku menjelaskannya. Tidak
terbayangkan rasanya di posisiku saat itu. Seseorang yang kauharapkan
bertahun-tahun, seseorang yang kedatangannya bagaikan undian berhadiah sebab tidak pernah
bisa kauprediksi kapan waktunya tiba, kini ada tepat di depanmu tanpa tendensi.
Menyatakan perasaannya, fakta yang membuatmu sulit berlogika dan
bertanya-tanya, “apakah dia benar-benar menyukaiku?" Ini gila.”
“Jadi
sebenarnya, apakah saat itu kamu ingin menjawab ‘iya’?”
Gadis
itu mengangguk.
“Berat
sekali mengatakan ‘tidak’ untuk sesuatu yang sangat kamu inginkan. Tidak
pernah mudah melakukannya. Butuh keberanian besar untuk melepaskan. Tapi tetap
harus kulakukan.”
“Lalu
kalau bagimu itu sulit, kenapa tetap kaulakukan? Kalau saja saat itu kamu
mengatakan ‘iya’, mungkin seterusnya tidak akan serumit ini.”
“Kalau
saat itu aku menerimanya menjadi kekasihku, tetap tidak ada yang bisa menjamin
kelak kami akan benar-benar bisa bersatu. Sebut aku konvensional, tapi aku
bukan tipe orang yang dengan mudah menjadikan parameter perasaan seseorang
dengan hubungan bernama pacaran.
“Bagiku,
kalau kau cinta dengan seseorang. Mau menempati posisi apa pun kau dalam hidup
seseorang yang kaucintai, tidak akan mengubah apa pun dalam dirimu untuk orang
itu. Bagiku cinta bukan hanya soal diterima atau menerima, ditolak atau
menolak. Cinta itu harga diri, kadar yang nilainya tidak akan pernah bisa
berkurang, selama dibungkus dengan ketulusan. Kalau kau tulus, bagaimana pun ia
menganggapmu, sekali pun seandainya baginya kamu tidak masuk dalam daftar
seseorang yang pantas menetap dihatinya, kamu akan tetap mencintainya. Tanpa
syarat, tanpa imbalan, tanpa pengecualian. Sesederhana alasan karena kamu hanya
mencintainya. Dan itu sudah lebih dari cukup ”
“Apa
kamu pernah menyesal menolaknya?”
“Iya.
Sedikit. Meski sebenarnya bukan. Bukan karena itu. Aku bukan menyesali
keputusanku untuk menolaknya menjadi kekasihku. Yang kusesali adalah
keputusannya untuk menyatakan perasaannya di waktu yang tidak tepat.”
“Di
bagian mana yang menurutmu tidak tepat?”
“Dia
tidak pernah tahu ada sisi dalam diriku yang tidak perlu kuceritakan pada siapa
pun. Menceritakannya pada orang lain hanya akan menimbulkan empati. Dan aku,
bukan tipe orang yang suka dikasihani. Aku belum siap berkomitmen dengan
laki-laki mana pun saat itu, sekalipun aku percaya bahwa dia adalah orang baik.
Ada hal yang jauh lebih penting untuk segera kuhadapi dari sekedar menuruti
kata hati. Duniaku saat itu sedang dirundung abu-abu. Di kepalaku hanya ada
ibuku, ibuku, dan ibuku yang ingin kubahagiakan dengan caraku sendiri.
Bagaimana mungkin aku hanya memikirkan perasaanku sendiri sementara ibuku
sedang dilanda kesedihan bertubi-tubi? Bagaimana mungkin aku sempat memikirkan
perasaanku terhadap seseorang-betapa pun besar aku menyukainya-sementara aku
belum bisa membuat ibuku bahagia? Seandainya saja, dia bisa menunggu sedikit
lebih lama. Menyatakan perasaannya dalam versi yang berbeda, memintaku menjadi
lebih dari sekedar teman baiknya di saat aku merasa segala hal sudah berjalan
baik-baik saja, disaat kurasa waktunya memang sudah tepat, disaat semuanya
dirasa sudah siap. Sekali lagi, seandainya dia mau bersabar lebih lama. Aku
mungkin tidak akan berpikir dua kali lagi untuk mengatakan ‘iya’”
“Bukankah
dia akan tetap menunggumu?”
“Awalnya,
sempat kupikir iya. Bahwa dia akan tetap berdiri di sana, menjadi orang yang
peduli dan kukira tidak akan meninggalkanku pergi. Nyatanya aku keliru, bahkan
setelah kini ia tahu bagaimana perasaanku, dia tetap memilih pergi. Faktanya hati
manusia bisa berubah dalam kurun waktu satuan detik, lucu sekali.“
“Kenapa
ia memutuskan pergi?”
“Aku
tidak tahu. Hanya saja kalau aku boleh menebak, mungkin dia mengira aku
menyukainya karena dia yang sekarang. Yang ia tidak tahu, aku sudah menyukainya
sejak dulu. Jauh sejak dia belum menjadi dia yang saat ini.”
“Kenapa
kamu tidak mencoba menjelaskan? Kenapa kamu memilih membiarkannya pergi tanpa
penjelasan?”
“Buat
apa? Aku tidak akan menjelaskan sesuatu kepada seseorang yang memang tidak
ingin menerima penjelasan. Meski sebenarnya aku ingin menjelaskan banyak hal
padanya. Bahwa jika kubilang aku menyukainya, itu adalah pernyataan. Bukan
untuk meminta jawaban. Aku ingin bilang padanya bahwa aku mengatakannya karena aku
ingin, karena aku tidak ingin menunggu selama delapan tahun yang lain. Sama
sekali bukan berniat untuk memintanya menjadi kekasihku, tidak sedikit pun
berniat memaksanya untuk membalas perasaanku. Aku menyukainya dan bagiku itu
adalah pernyataan yang cukup jelas. Terserah dia mau bagaimana terhadapku, aku
tidak peduli.”
“Namun,
yang membuat dadaku sesak adalah bukan saat mengetahui kenyataan bahwa hatinya
bukan untukku lagi. Lebih dari itu, aku sedih karena kehilangan salah satu
orang terbaik di hidupku. Aku kehilangan seseorang yang bisa bebas kucurhati tentang
banyak hal tanpa perlu merasa risih dan sungkan, seseorang yang dengannya aku
berani berkeluh kesah, tanpa perlu merasa cemas membuka topengku selama ini
yang tampak selalu terlihat kuat dan baik-baik saja di hadapan orang-orang,
seseorang yang kukenal cukup baik dalam waktu yang cukup lama dan kini harus
kembali menjadi orang asing. Aku tidak peduli apakah dia masih atau sudah tidak
lagi memiliki perasaan terhadapku, yang kupedulikan adalah kenapa dia harus
menghindar? Jika aku masih tetap menjadi orang yang sewajarnya dia kenal saat
dia menyatakan perasaanya, kenapa dia tidak bisa melakukan hal yang sama?
Kenapa dia memilih pergi? Seperti dia tidak lagi mengenaliku, menempatkanku
menjadi orang asing? Apa aku seburuk itu sehingga dia merasa harus perlu
menghindar supaya aku tidak lagi bisa masuk ke kehidupannya?”
“Itu
terlalu berlebihan. Mungkin dia punya alasan lain kenapa ia memerlakukanmu
seperti itu. Dan sama sepertimu, dia barangkali punya sisi dalam hidupnya yang
tidak bisa ia ceritakan pada siapa pun. Kalau kamu tidak mendapatkan
penjelasannya hari ini, semoga besok lusa meski entah kapan penjelasan itu akan
tiba, kamu harus percaya bahwa semua kisah di dunia ini akan berakhir bahagia.
Kalau kaurasa tidak, berarti akhir cerita itu belum selesai.”
“Apa
pun itu, aku ingin mengajari diriku sendiri tentang arti melepaskan dan
menerima. Bahwa apa pun yang kupaksa
betapa pun kerasnya, jika Tuhan tidak mengizinkan itu terjadi, maka sampai kapan
pun tidak akan pernah terjadi. Jadi, aku memilih membiarkan semuanya mengalir
seperti air. Biarlah, jika hari ini dan seterusnya dia memilih pergi. Aku tidak
akan memaksanya agar tetap tinggal. Seperti yang kulakukan sebelumnya,
beginilah seharusnya aku. Aku tidak bisa membencinya, dan kalau pun aku bisa,
tetap tidak akan kulakukan. Terserah orang mau menilai dia buruk, terserah jika
perlakuannyaa padaku pernah membuat hatiku patah, aku tetap akan bilang bahwa
dia orang baik. Aku ingin meminjam istilah Pidi Baiq untuk menutup akhir
ceritaku malam ini, bahwa jika aku mencintainya itu urusanku. Bagaimana ia
kepadaku, itu urusannya.”
Malang, 1 Agustus 2017
Malang, 1 Agustus 2017
source: tumblr